Anda di halaman 1dari 23

LEARNING OBJECTIVE

Jenis-jenis Anemia dan Leukimia

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Definisi

Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
 pembentukan hemoglobin berkurang.

Etiologi

 Rendahnya masukan besi


Kurangnya bahan makanan yang mengandung besi
 Gangguan absorbsi besi
Kurangnya asupan daging & vit. C dan kelebihan serat
Gastrektomi
 Pendarahan menahun
Metrorhagia, hematuria, hemoptoe, kanker lambung, kanker kolon.

Gejala klinis
 Gejala umum anemia
Lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang & telinga mendenging
 Gejala defisiensi besi
Koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah, disfagia
 Gejala penyakit dasar (penyebab)
Cacing tambang : dyspepsia, parotitis, tangan kuning
Kanker kolon : perubahan kebiasaan BAB
Pathogenesis

Kehilangan besi menyebabkan cadangan besi menurun. Jika cadangan besi


menurun keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan
ini ditandai oleh penurunan kadar ferritin serum. Peningkatan absorbsi besi dalam
usus. Apabila kekurangan besi terus-menerus maka cadangan besi akan menjadi
kosong sama sekali. Penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi keadaan ini disebut iron deficient eritropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama
yang dapat dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyn atau zinc
 protophorphyn dalam eritrosit. Apabila jumlah besi
b esi menurun terus maka eritropoiesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun akhirnya timbul
anemia hipokromik mikrositik disebut iron deficieny anemia. Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut, faring serta berbagai gejala lainnya.

Pemeriksaan laboratorium

 Eritrosit hipokrom mikrositik, anisopoikilositoisi, pencil cell, cigar cell,


elliptocytosis
 Indeks eritrosit : MCV, MCH, MCHC menurun
 Serum ferritin : menurun
 Serum iron : menurun
 Total iron binding capacity : naik 
 Hempsiderin (cadangan besi) : menurun
 Free erythrocyteprotophorphyrin (FEP) : naik 
Terapi

 Terapi kausal : terapi terhadap etiologi misalnya pengobatan cacing tambang,


 pengobatan hemoroid.
 Terapi preparat besi
Terapi besi oral : ferrous sulphat 2 x 300 mg.
Terapi besi parenteral : iron dextran complex, iron ferric gluconate acid
complex, iron sucrose
 Terapi lain
Diet : makanan bergizi tinggi protein hewani
Vitamin C : diberikan 3 x 100 mg, untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah

Prognosis

 Prognosis baik apabila penyebab anemianya diketahui hanya karena


kekurangan besi saja serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
 pemberian preparat besi.
 Pada kasus anemia defisiensi besi karena perdarahan, apabila sumber 
 perdarahan dapat diatasi, maka prognosis anemia defisiensi besi adalah baik 
terutama apabila diberikan terapi Fe yang adekuat. Tentunya penyakit dasar 
sebagai sumber perdarahan kronisnya pun menentu kan prognosis dari pasien.
ANEMIA HEMOLITIK 

Definisi:

Memendeknya masa hidup sel darah merah, baik oleh karena cacat inheren
 pada eritrosit (anemia hemolitik intrakorpuskular) yang biasanya diturunkan atau
yang disebabkan oleh pengaruh luar (anemia hemolitik ekstrakorpuskular) yang
 biasanya didapat.

Klasifikasi:

Pencetusnya:

Intrinsic:

- kelainan membran sel : sferositosis, ovalositosis, eliptositosis dll

- hemoglobinopati : thalassemia, hemoglobin patologis

- defisiensi enzim : defisiensi G6PD,dll

Ekstrinsic:

- anemia hemolitik imun :

 Isoimun : reaksi transfuse darah, penyakit hemolitik bayi baru lahir 


 Autoimun : Leukimia, SLE, dll.
 anemia hemolitik non-imun : obat kimia, toksik/racun.

Kejadiannya:

- Herediter = intrinsic

- Didapat = ekstrinsic
Lokasi penghancuran

- Intravaskular = penghancuran
pen ghancuran disirkulasi

- Ekstravaskular = penghancuran di lien, hati dan sum-sum tulang

Gejala klinis anemia hemolitik ditandai dengan 3 proses yaitu:

1. Peningkatan laju pengrusakan sel darah merah.

2. Katabolisme Hb meningkat.

3. Peningkatan hematopoiesis, terutama eritropoiesis.

Gejala – 
Gejala – Gejala
Gejala

Berdasarkan 3 proses diatas:

- Kerusakan Eritrosit : Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah


menyebabkan aktifitas
aktifitas RES meningkat sehingga terjadi
terjadi hepatomegaly dan
splenomegaly
- Katabolisme Hb meningkat :
 Hiperbilirubinemia menyebabkan ikterus
 Urobilinuri, Hemoglobinemia
- Regenerasi / kompensasi
 Darah tepi :
Retikulositosis
 Normoblastemia
 Sum-sum tulang
Hiperpasia eritroid
Hiperplasia sum-sum tulang belakang
Eritropoesis ekstramedular sehingga terjadi splenomegali,
hepatomegali
Diagnosis Anemia Hemolitik 

1) Membuktikan hemolisis: kerusakan eritrosit, katabolisme Hb, regenerasi atau


kompensasi

2) Penentuan etiologi: hemolisis didapat atau hemolisis herediter (kongenital).

Penatalaksanaan:

- Tranfusi darah periodik.

- Bila sudah berat sebaiknya dilakukan spleenoktomi, dengan indikasi penderita yang
sudah dewasa muda.

- Dilanjutkan dengan imunisasi dan pemberian “anafilaksis penicillin” untuk 


 pemberian jangka panjang.

ANEMIA DEFISIENSI SIANOCOBALAMIN

Defenisi

Anemia defisiensi sianocobalamin (vitamin B12) merupakan anemia


megaloblastik yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA akibat adanya defisiensi
vitamin B12

Etiologi

1. Asupan tidak cukup

2. Malabsorbsi :

a. Gastrektomi

 b. Obat-obat yang menghalangi sekresi asam


c. Produksi faktor intrinsik menurun : anemia pernisiosa, gastrektomi total

d. Gangguan dari ileum terminalis : spure tropical,spure mnon tropical,


enteritis regional, reseksi intestinum, noeplasma dan gangguan
granulomatos, sindrom imerslund (malabsorbsi kobalamin selektif)

3. Defesiensi Transcobalamin II, defect enzim congenital

Gejala Klinik 

Gambaran klinis defisiensi B12 melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan


sistem nervorum.

1. Manifestasi hematologik 

Manifestasi ini sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat jarang


 purpura, dapat pula tampak karena trombositopeni. Keluhan anemia seperti rasa
lelah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang
 berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari defisiensi
kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata.
Peningkatan bilirubin berkaitan dengan tingginya pelipatan ganda sel-sel eritroid
dalam sumsum tulang. Denyut nadi cepat dan jantung mungkin membesar, pada
auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.

2. Manifestasi gastrointestinal

Keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan
kemerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dan disertai turunnya berat badan,
kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain.

3. Manifestasi gangguan neurologis

Perubahan patologi yang awal yaitu demielinasi, kemudian diikuti oleh


degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neural. Tempat yang menderita
gangguan termasuk syaraf perifer; medulla spinalis, dimana kolumna posterior dan
lateral mengalami demielinas; dan juga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala
termasuk mati rasa dan parestesi pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia.
Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter.

Patogenesis

Patogenesis tergantung dari etiologi;

1. Gastrektomi : luas dari penghasil faktor intrinsik berkurang sehingga


kemungkinan untuk absorpsi dari B12 kurang

2. Infeksi cacing pita : menyebabkan absorpsi B12 kurang sehingga terjadi


defisiensi vitamin B12

3. Defisiensi Transcobalamin II : hal ini menyebabkan B12 yang akan dibaa ke


sel-sel oleh transcobalamin II berkurang.

Keadaan-keadaan diatas kemudian berakibat pada Absorbsi serta transpor dari


B12 yang kemudian dapat menyebabkan anemia defisiensi sianocobalamin
(B12)

Diagnosis

Untuk menentukan diagnosis dari anemia defisiensi sianocobalamin ini perlu


dilakukan beberapa pemeriksaan termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
 penunjang.

Pemeriksaan fisik 

Pada inspeksi nampak kulit dan mata ikterus, wajah tampak pucat, lelah, pada lidah
nampak papil merah dan halus

Pemeriksaan Penunjang
Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosiofil, basophil,
neutrophil) golongan-golongan monosit.makrofag, trombosit, eritrosit dan
limfosit B dan T.

3. Metabolisme sel darah :


a. Eritrosit
Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan
dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 µm harus dapat
secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 µm,
untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan
untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein
(hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa
hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk 
memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel
dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP)
melalui jalur glikolisis anaerob (Embden-Meyerhof) dan menghasilkan
kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai
nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur 
 pintas heksosa monofosfat (hexose monophosphate shunt ). Metabolisme
eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu :
a) Jalur Embden-Meyerhof 
Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme menjadi
laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua molekul ATP
dan dengan demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP
menyediakan energi tinggi untuk mempertahankan volume, bentuk, dan
kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat
 plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran menyebabkan pergerakan
+ +
 Na dan K  yang terjadi terus menerus. Diperlukan pompa natrium ATPase
membran dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP untuk 
mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukkan dua ion kalium ke
dalam sel.
Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan
oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin
(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri
(dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin tiap hari) menjadi
hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang dihasilkan pada
 pintas Luebering-Rapoport ( Luebering-Rapoport shunt ), atau jalur samping
 pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin yang
 penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
 b) Jalur heksosa monofosfat (pentosa fosfat)
Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan
 perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan kemudian menjadi
ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang
mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH
dalam hemoglobin dan membran eritrosit. NADPH juga digunakan oleh
methemoglobin reduktase lain untuk mempertahankan besi hemoglobin dalam
2+
keadaan Fe yang aktif secara fungsional. Pada salah satu kelainan eritriosit
diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase/G6PD), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi.
 b. Hemoglobin
Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai
 pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin.
Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul
hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal (hemoglobin yang dominan
dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri atas empat rantai polipe ptida α 2β2,
masing-masing dengan gugus hemenya sendiri. Berat molekul HbA adalah
68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua hemoglobin lain
dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan HbA2. Keduanya juga mengandung rantai
α, tetapi secara berurutan, dengan rantai γ dan δ, selain rantai β. Perubahan
utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah
lahir.
Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim
A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu
asam δ-aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B 6) adalah
suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya,
2+
 protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe ) untuk 
membentuk heme, masing-masing molekul heme bergabung dengan satu
rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari
empat rantai globin masing-masing dengan gugus hemenya sendiri dalam
suatu ”kantung” kemudian dibentuk untuk menyusun suatu molekul
hemoglobin.
Struktur dan fungsi membran sel darah merah:

Seperti halnya sel-sel yang lain, eritrosit pun dibatasi oleh membran
 plasma yang bersifat semi permeable dan berfungsi untuk mencegah agar 
koloid yang dikandungnya tetap didalam

Zat-zat gizi esensial yang berhubungan dengan anemia.


Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah,
yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat; tetapi tubuh
 juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta
keseimbangan hormon, terutama eritropoietin (hormon yang merangsang
 pembentukan sel darah merah). Tanpa zat gizi dan hormon tersebut,
 pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan
selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen
sebagaimana mestinya.
a. Besi (Fe)
Besi merupakan salah satu elemen penting dalam metabolisme tubuh,
terutama dalam pembentukan sel darah merah (eritripoiesis). Selain itu
 juga terlibat dalam berbagai proses di dalam sel (intraseluler) pada
semua jaringan tubuh. Mitokondria mengandung suatu system
 pengangkutan electron dari susbstrat dalam sel ke mol O2 bersamaan
dengan pembentukan ATP. Dalam system ini turut serta sejumlah
komponen besi yang memindahkan atom. Kegagalan system ini dapat
terjadi bila pemasokan (suplai) O2 ke jaringan kurang dan
mengakibatkan produksi energi berkurang. Dalam proses pembentukan
energi ini terlibat enzim sitokrom.
Hemoglobin mempunyai berat molekul 64.500 terdiri dari 4 golongan
heme yang masing-masing mengikat 1 atom besi dan dihubungkan
dengan 4 rantai polipeptid dan dapat mengikat 4 mol oksigen.
Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Besi juga terlibat dalam bermacam-macam tingkatan proses metabolic
seperti reaksi hidrolisasi yang berhubungan dengan detoksifikasi obat,
sintesis steroid, DNA, metabolisme katekolamin dan pembentukan
kolagen. Bila sel mengambil besi lebih dari yang diperlukan untuk 
kebutuhan metabolisme khusus maka keleebihan ini akan merangsang
sintesis feritiin dan sejumlah kecil disimpan dalam sel. Komponen besi
yang disimpan dalam feritin dan hemosiderin terutama ditemukan
dalam system retikuloendotelial (RES) ;hati, limpa dan sum-sum
tulang, tapi juga ditemukan dalam sel parenkim. Inilah sebabnya
mengapa besi di dalam serum meningkat pada penyakit hepatitis.
Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g
tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di
dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5-3,0 g dan sisa
lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi
terikat dengan protein yang disebut transferin sebanyak 3-4 g.
Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial (non-
available) dan bukan esensial (available). Disebut esensial karena tidak 
dapat dipakai untuk pembentukan hemoglobin maupun keperluan
lainnya. Dalam mioglobin terdapat enzim sitokrom, katalase, dan
 peroksidase dalam jumlah lebih kurang 0,3 g sedangkan yang esensial
ditemukan dalam bentuk feritin dan hemosiderin siap untuk dipakai
 baik untuk pembentukan sel darah merah maupun keperluan lainnya
dalm sel retikuloendotelial hati dan sumsum tulang.
Besi diabsorbsi terutama di dalam duodenum dalam bentuk fero dan
dalam suasana asam. Absorbsi besi ini dipengaruhi oleh factor 
endogen, eksogen dan usus sendiri. Faktor endogen mengatur jumlah
 besi yang akan diabsorbsi dan tergantung dari jumlah cadangan besi di
dalam tubuh, aktivitas eritopoiesis dan kadar Hb. Bila cadangan besi
 berkurang atau aktivitas eritropoiesis meningkat, atau kadar Hb rendah,
maka jumlah besi yang diabsorbsi akan meningkat dan sebaliknya bila
cadangan besi cukup, aktivitas eritropoiesis kurang atau Hb normal
akan mengurangi absorbsi besi.
Faktor eksogen ditentukan oleh komposisi, sumber, sifat kimia dan cara
 proses makanan. Sumber hwani lebih mudah diabsorbsi daripada
sumber nabati dan vit C mempermudah absorbsi karena mereduksi besi
dari bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diabsorbsi.
Sebaliknya kasium, fosfor, dan asam fitat menghambat absorbsi karena
dengan besi membentuk suatu persenyawaan yang tidak larut. Faktor 
usus juga berpengaruh karena asam klorida lambung mempermudah
absorbsi untuk melepaskan besi dari kompleks feri sedang secret
 pancreas menghambat absorbsi besi. Pada pankreatitis dan sirosis
hepatic, absorbsi besi bertambah karena sekresi pankreas berkurang.
2. Pemeriksaan fisik 
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning
seperti jerami.
 b. Purpura: petechi dan echymosis
c. Kuku: koilonychia (kuku sendok)
d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan
stomatitis angularis.
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang dan nyeri sternum
 j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan sistem saraf.

3. Pemeriksaan Hematologik 
Pemeriksaan hematologik dilakukan secara bertahap. Pemeriksaan
 berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu sehingga
lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakuk an meliputi :
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemi dan bentuk 
morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :
i. Kadar hemoglobin
ii. Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan
electronic counting  dibidang hematologi maka hasil Hb, WBC (darah
 putih) dan Plt (trombosit) serta indeks eritrosit dapat dikeahui sekaligus.
Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga diketahui RDW ( red cell
distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah
merah.
iii. Apusan darah tepi.

 b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia,
untuk mengetahui kelainan pada system leukosit dan trombosit. Pemeriksaan
yang harus dikerjakan adalah:
i. Laju endap darah;
ii. Hitung diferensial;
iii. Hitung retikulosit.

c. Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian


 besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada
 beberapa kasus yang diagnosisny tidak perlu memelukan pemeriksaan sumsum
tulang.

d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita
telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk 
mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain:
i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin
serum:
ii. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.
iii. Anemia hemolitik: hitug retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb;
iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.

4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu


dikerjakan antara lain:
a. faal ginjal
 b. faal endokrin
c. asam urat
d. faal hati
e. biakan kuman
f. dan lain-lain

Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sitemik, seperti gagal
ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme. Ada juga kasus anemia yang
disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai hiperurisemia, seperti myeloma
multiple. Pada kasus anemia yang disertai sepsis, seperti pada anemia aplastic
diperlukan kultur darah.

5. Pemeriksaan Penunjang lain


Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
 b. Radiologi: torak, bone survey, USG, scanning, limfangiografi
c. Pemeriksaan sitogenetik 
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR =  polymerase chain reaction, FISH =
 fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain)

Strategi Diagnosis Kasus Anemia


Untuk menegakkan diagnosis anemia harusditempuh 3 langkah, yaitu:
1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia
2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai
3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut.

Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan.


1. Pendekatan klinik;
2. Pendekatan laboratorik;
3. Pendekatan epidemiologic.
Pendekatan klinik bergantung pada anmnesia dan pemeriksaan fisik yang baik 
untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda khsa masing-masing
anemia, srta gejala penyakit dasar. Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan
dengan menganalisis hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya:
 pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan
epidemiologic sangat penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui
 pola etiologi anemia di suatu daerah maka petunjuk menuju diagnosis etiologic lebih
mudah dikerjakan.

7. Differential diagnostik :
ANEMIA APLASTIK 
Definisi
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau
 basitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau
 pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
 bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga anemia
hipoplastik.

Klasifikasi
Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia)
1. Karena bahan kimia atau fisik 
- Bahan-bahan yang “dose dependent”
- Bahan- bahan yang “dose independent”
2. Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain : infeksi virus
(dengue, hepatitis), infeksi mikrobakterial, kehamilan, penyakit Simmond,
sklerosis tiroid.
3. Idiopatik 
 b. Familial antara lain :
- Pansitopenia konstitusional Fanconi
- Defisiensi pancreas pada anak 
- Gangguan herediter pemasukan asam folat dalam sel

Epidemiologi

Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di Negara


maju : 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di timur 
 jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di Negara barat.

a. Di Negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidensinya 2-3 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan di Negara barat
 b. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita
c. Faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis,
diduga memegang peranan penting

Etiologi

Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak di ketahui, atau


 bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan
oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Disamping itu juga
disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat.
Sebagian besar penelususran etiologi dilakukan melalui penelitian ep idemiologik.

Penyebab anemia aplastik adalah :

1. Primer 
Kelainan congenital :
- Fanconi
- nonFanconi
- dyskeratosis congenital 
2. Sekunder 
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
 b. Akibat obat-obat idiosinkratik 
c. Karena penyebab lain :
- Infeksi virus : hepatitis virus/virus lain
- Akibat kehamilan

Bahan kimia atau obat penyebab anemia aplastik 

1. Bahan kimia
a. Hidrokarbon siklik : benzene dan trinitrotoluene
 b. Insektisida : chlordane atau DDT
c. Arsen organic
2. Obat-obatan
a. Obat-obat yang “dose dependent”
- Obat sitostatika
- Preparat emas
 b. Obat yang “dose independent” (idiosinkratik):
1) Khloramfenikol : 1/60.000-1/20.000 pemakaian
2) Frekuensi relative obat penyebab anemia aplastik terdiri atas :
- Khloramfenikol (61%)
- Fenilbutason (19%)
- Antikonvulsan (4%)
- Sulfonamide (3%)
- Preparat emas (3%)
- Benzene (3%)
6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan membunuh sel
 plasma yang abnormal. Yang paling sering digunakan adalah melfalan dan
siklofosfamid. Kemoterapi juga membunuh sel yang normal, karena itu sel darah
dipantau dan dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan trombosit
terlalu banyak berkurang. Kortikosteroid (misalnya prednison atau deksametason)
 juga diberikan sebagai bagian dari kemoterapi.
7. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasikan dengan terapi penyinaran masih dalam
 penelitian. Pengobatan kombinasi ini sangat beracun, sehingga sebelum
 pengobatan sel stem harus diangkat dari darah atau sumsum tulang penderita dan
dikembalikan lagi setelah pengobatan selesai. Biasanya prosedur ini dilakukan
 pada penderita yang berusia dibawah 50 tahun. Pada 60% penderita, pengobatan
dapat memperlambat perkembangan penyakit. Penderita yang memberikan respon
terhadap kemoterapi bisa bertahan sampai 2-3 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis. Kadang penderita yang bertahan setelah menjalani pengobatan, bisa
menderita leukemia atau jaringan fibrosa (jaringan parut) di sumsum tulang.
Komplikasi lanjut ini mungkin merupakan akibat dari kemoterapi dan seringkali
menyebabkan anemia berat dan meningkatkan kepekaan penderita terhadap
infeksi.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah
leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang
terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali
 pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60%
 pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar 
seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi
ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones
yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

Radiologi

1. Foto Polos X-Ray

Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas
tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi
terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga
medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang
kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit
 pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan
gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. Saat timbul gejala sekitar 80-
90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:

Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama


tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma.
Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-
satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.

1. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan


osteoprosis senilis.
2. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang
 berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
3. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa
 jaringan lunak.
Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu
 penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%,
tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.

CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,
kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak 
dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan
kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.

 MRI 

MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik 
untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma
 berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi
intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.

 Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola


menyerupai mieloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak 
spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti
 pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk 
menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr. I Made Bakta. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
2. Robbins,dkk. 2012. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
3. Hoffbrand,dkk. 2002. Leukimia dalam: Buku Hematologi Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Kurnianda J, dkk. 2007. Hematologi dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
2 Edisi 4. Jakarta: FK UI

Anda mungkin juga menyukai