Kelompok: B-6
Ketua : Nadya Noor Mulya Putri (1102013204)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2013/2014
1
SKENARIO 1
LEKAS LELAH BILA BEKERJA
Yani, 19 tahun, memeriksakan diri ke dokter dengan keluhan sering merasa lekas lelah
setelah melakukan aktivitas. Keluhan ini sudah di alamai 3 bulan terakhir. Sebelumnya tidak
pernah mengalami hal seperti ini.
Pada anamnesis tambahan didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pola
makan Yani tidak teratur, jarang makan sayur, ikan, maupun daging, hanya tahu/tempe dan
kerupuk. Tidak dijumpai riwayat penyakit yang diderita sebelumnya dan riwayat pengobatan
tidak jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Wajah terlihat lelah, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi pernapasan
20 x/menit, suhu tubuh 36,8ºC, TB = 160cm, BB = 60 kg, konjungtiva palpebra inferior
pucat.
Pemeriksaan jantung paru dan abdomen dalam batas normal.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboraturium hematologi rutin, asil sebagai berikut :
2
1. Identifikasi kata-kata sulit
a. Konjungtiva palpebra inferior : konjungtiva yang melapisi konjungtiva mata dan
menutupi bagian depan sclera kecuali kornea
b. Hemoglobin : Pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit di
bentuk oleh eritrosit yang berkembang dalam sum-sum tulang terdiri dari empat
gugus heme dan globin yang mempunyai kemampuan oksigen reversible.
c. Hematokrit : Volume eritrosit dalam 100 ml darah, dinyatakan
dalam (%)
d. Eritrosit : Sel darah merah yang berfungsi untuk membawa
oksigen lewat darah.
e. Leukosit : Sel darah putih, sel darah tidak bewarna yang
mampu bergerak secara amuboid dengan fungsi utamanya adalah untuk melindungi
tubuh terhadap mikroorganisme yang menyebabkan penyakit
f. Trombosit : Platelet/keeping-keping darah
g. MCV : Rata-rata volume eritrosit dalam darah
Ht
x 10=… fL
Jumlah Eritrosit
3
i. Apakah dengan kekurangan makanan yang mengandung daging ,sayur dapat
mempengaruhi anemia ?
j. Mengapa penderita anemia terlihat lelah ,pucat ?
3. Analisa Jawaban
a. Karena kandungan makanan (daging merah) menjadi mudah di absorpsi Fe 2+, sedangkan yang
b. Pemeriksaan rutin
Untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Yang diperiksa adalah :
1. Laju endap darah
2. Hitung deferensial
3. Hitung leukosit
5
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
(produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Pemeriksaan penyaring : pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, hapusan darah
tepi
Pemeriksaan darah seri anemia : hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit, dan laju
endap darah.
Pemeriksaan sumsum tulang
Anemia mikrositik hipokrom Anemia Defiisiensi Besi
Thalasemia, Anemia Sideroblastik
A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV<80 fl; MCH <27pg)
B. Anemia Normokromik normositer
C. Anemiamakrositer
1. Megaloblastik
2 Nonmegaloblastik
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis
A. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
2. Gangguan utilisasi besi
3. Kerusakan jaringan sumsum tulang
B. Kehilangan eritrosit dari tubuh
C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolysis)
a. Gangguan membrane anemia anemia
b. Gangguan ensim
c. Gangguan hemoglobin
Asam folat , Fe2+, vitamin B12, protein
Kekurangan besi, heme bisa menjadikan oksigen berkurang dan mucat
4. HIPOTESA
Pada kasus ini pasien mengalami kekurangan asupan nutrisi yang dapat
mengganggu pembentukkan heme,sehingga menimbulkan gejala umum seperti :
lelah,lemas, dan pucat. Sebelum mendiagnosis penyakit, dokter melakukan anamnesis
,pemeriksaan fisik, dan pada scenario ini hasil dari pemeriksaan laboraturium
hemoglobin mengalami penurunan, MCH,MCHC,MCV menurun , ferritin menurun,
dan TIBC menurun ). Dengan hasil pemeriksaan tersebut, dokter mendiagnosis
pasien tersebut mengalami penyakit anemia defisiensi besi. Dapat dilakukan terapi
oral ataupun parenteral besi.
6
5. SASARAN BELAJAR
LI.1 Memahami dan menjelaskan ertiropoiesis
LO.1.1 Definisi eritropoiesis
LO.1.2 Mekanisme eritropoiesis
LO.1.3 Faktor yang di perlukan untuk eritropoiesis
LO.1.4 Morfologi, komponen, fungsi serta kadar normal eritropoiesis
7
LO.4.3 Klasifikasi anemia defisiensi besi
LO.4.4 Patofisiologi anemia defisiensi besi
LO.4.5 Patogenesis anemia defisiensi besi
LO.4.6 Manifestasi klinis anemia defisiensi besi
LO.4.7 Diagnosis anemia defisiensi besi
LO.4.8 Diagnosis banding anemia defisiensi besi
LO.4.9 Penatalaksanaan anemia defisiensi besi
LO.4.10 Pencegahan anemia defisiensi besi
LO.4.11 Komplikasi anemia defisiensi besi
LO.4.12 Prognosis anemia defisiensi besi
8
LI.1 Memahami dan menjelaskan ertiropoiesis
LO.1.1 Definisi eritropoiesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin dan bayi
proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
pada sumsum tulang. (Dorland edisi 31).
LO.1.2 Mekanisme eritropoiesis
a. Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih
produksi eritrosit secara ekslusif.
b. Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu
memproduksi sel darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulanh
kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan
sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan
ujung-ujungg atas tulang oanjang ekstremitas. Pada periode stress hematopoietik tubuh
dapat melakukan reaktivasi pada limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk
memproduksi sel darah, keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis ekstramedular
(Munker, 2006).
c. Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit
dan trombosit.Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang
secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua
jenis sel darah.
d. Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas daraah yang mengakngkut oksigen.Jika O2
yang disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormone eritropoietin
dalam darah yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam
sumsum tulang.Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah
mrngangkut O2.Peningkatan kemampuan darah mengangkut O2 menghilangkan
rangsangan awal yang memicu sekresi eritropoietin.
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi ginjal
(85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan eritropoietin berpusat pada hati
sebelum diambil alih oleh ginjal (Ganong, 1999). Eritropoietin bersirkulasi di darah dan
menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini
berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor
transkripsi yang dinamai hypoxia induced factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses
aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen yang
tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake
glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati
9
(Williams, 2007). Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal,
sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia
beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam kobalt, androgen,
adenosin dan katekolamin melalui sistem β-adrenergik. Namun perangsangannya relatif singkat
dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia (Harper,2003).
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan mempercepat proses
maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit (Hoffman,2005).
Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit (bakal
platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang lebih
fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus. Sensitivitas
terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih
matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada subunit
hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis
lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki inti, bertambah
banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring
dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk
poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari sel
prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel
selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi
dan menghabiskan sebagian destruksi eritrosit.
10
LO.1.3 Faktor yang di perlukan untuk eritropoiesis
a. sel induk: CFU-E,BFU-E, normoblast (eritroblast)
b. bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein dll
c. mekanisme regulasi : faktor pertumbuhan hemopoetik dan hormone
eritropoetin
Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin
(EPO)dan hormon glikoprotein.Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketikasel-sel ginjal mengalami hipoksia (kekurangan O2), ginjal akan mempercepat
pelepasaneritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi pada
defisiensi besi)
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada
penderita pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam
darah,sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan
penyaluranO2 ke jaringan ke tingkat normal.Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal,
sekresieritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak
mengaktifkanlangsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya
memberikanstimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.Selain itu, testosterone
pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal.Hormone sexwanita tidak berpengaruh
terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanitalebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2dalam jaringan ginjal.
↓ penyaluran O2ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon
eritropoetin ke dalamdarah → merangsang eritropoiesis di sumsum tulang
dengan merangsang proliferasi dan pematangan eritrosit →jumlah eritrosit
meningkat→ kapasitas darah mengangkut O2 ↑ dan penyaluran O2ke jaringan
pulih ke tingkat normal → stimulus awal yang mencetuskansekresi eritropoetin
hilang sampai diperlukan kembali.
Pasokan O2↑ ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih
11
mudah melepaskan O2: stimulus eritroprotein turun
Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus
berproliferasimenjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
Bekerja pada sel-sel tingkat G1
Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2&
kebutuhanmengatur pembentukan eritrosit.
Eritrosit normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter ± 7,8 µm, dengan
ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 µm dan pada bagian tengah1 µm atau
kurang. Volume eritrosit adalah 90 - 95 µm3.
12
Komponen eritrosit
1. membrane eritrosit
2. system enzim; yang terpenting:dalam Embden Meyerhoff pathway: pyrivat
kinase dalam pentose pathway: enzim G6PD
3. hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen komponennya terdiri atas
a. heme: gabungan dari besi dan protoporfirin
b. globin : bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta
13
LO.1.5 Kelainan morfologi eritrosit
1. KELAINAN UKURAN
a. Makrosit, diameter eritrosit ≥ 9 μm dan volumenya ≥ 100 fL
b. Mikrosit, diameter eritrosit ≤ 7 dan volumenya ≤ 80 fL
c. Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar
2. KELAINAN WARNA
1
a. Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≥ /3 diameternya
1
b. Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≤ /3 diameternya
c. Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang,
warnanya lebih gelap.
3. KELAINAN BENTUK
a. Sel target (target cell)
Berbentuk seperti lonceng, akan tampak seperti sasaran (target) kecil bewarna
gelap di bagian tengah eritrosit. Dapat terjadi akibat talasemia, anemia sel sabit.
14
b. Sferosit
Berbentuk seperti bola dan pada sediaan apus darah tepi akan tampak seperti
eritrosit yg lebih kecil daripada eritrosit normal lainnya dan tidak terdapat
bagian pucat ditengahnya, sehingga tampak bewarna gelap. Dapat terjadi pada
keadaan luka bakar yang berat, hiperplenisme.
c. Ovalosit/sel pensil
Bentuk eritrosit lonjong seperti telur, kadang-kadang terlihat gepeng. ditemukan
pada keadaan:
- anemia defisiensi besi
- anemia megaloblastik
- anemia bulan sabit
15
f. Sel sabit (sickle cell)
Sel ini adalah eritrosit yang berbentuk seperti sel sabit akibat kekurangan O 2.
Dtemukan pada keadaan hemoglobin S,
g. Sel helmet
16
LI.2 Memahami dan menjelaskan hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul yang berbentuk bulat dan terdiri atas empat subunit. Tiap-
tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme
adalah gabungan protoporfirin (derivate porfirin) dengan besi. Dan ada dua pasang polipeptida di
setiap molekul hemoglobin, yaitu globin, yang terdiri atas 2 rantai alfa (masing-masing
mengandung 141 residu asam amino) dan 2 rantai beta (masing-masing mengandung 146 residu
asam amino). Sepasang rantai globin dikode oleh kromosom 11 (beta) dan kromosom 16 (alfa).
17
Komposisi subunit hemoglobin utama adalah α2β2 (Hb A : Hemoglobin dewasa normal), α2γ2,
(Hb F : Hemoglobin Janin, dan α2δ2 (Hb A2 : haemoglobin dewasa minor). Struktur primer
rantai α,β,γ pada haemoglobin manusia bersifat tetap.
Biosintesis hemoglobin
Sintesis hemoglobin membutuhkan produksi dari heme dan globin yang terkoordinasi.
Heme adalah kelompok prostetik yang menjembatani pengikatan oksigen melalui hemoglobin.
Globin adalah protein yang mengelilingi dan melindungi molekul heme.
Sintesis Heme
18
pembuahan, Hb F sebagai hemoglobin dasar di dalam perkembangan janin. Gabungan dua rantai
alpha dan dua rantai beta membentuk hemoglobin adult (dewasa) yang juga disebut sebagai Hb
A. Walaupun Hb A dinamankan dewasa, Hb A menjadi hemoglobin yang menonjol sekitar 18
hingga 24 minggu kelahiran.
Sepasang dari satu rantai alpha dan satu rantai non-alpha menghasilkan sebuah dimer
(dua rantai) hemoglobin. Dimer hemoglobin tidak efisien membawa oksigen. Dua dimer
bergabung membentuk sebuah tetramer hemoglobin yang merupakan bentk fungsional dari
hemoglobin. Ciri-ciri biofisika lengkap dari tetramer hemoglobin yakni mengontrol pengambilan
oksigen di paru-paru dan melepaskannya di jaringan yang membutuhkan untuk mempertahankan
hidup.
Gen-gen yang mengkode rantai globin alpha terletak pada kromosom 16, sedangkan gen-
gen yang mengkode rantai globin non-alpha terletak pada kromosom 11. Kompleks alpha disebut
lokus globin alpha, sedangkan kompleks non-alpha disebut lokus globin beta. Keseimbangan
ekspresi gen pada rantai globin dibutukan untuk fungsi normal sel darah merah. Gangguan
keseimbangan ekspresi gen pada rantai globin menghasilkan sebuah penyakit yang dinamakan
talasemia. (Bunn dan Forget, Saunders, 2002)
Biosintesis hemoglobin
Sintesis hemoglobin di mulai dalam proteoblast dan berlanjut bahkan dalam stadium
retikulosit pada pembentukan sel darah merah.
19
Oleh karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah,
retikulosit tetap membentuk sejumlah kecil hemoglobin satu hari sesudah dan seterusnya sampai
sel tersebut menjadi eritrosit yang matur.
Tahap dasar pembentukan secara kimiawi :
Suksinil-KoA, di bentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin membentuk molekul
priol.
Empat priol bergabung membentuk protoporfirin IX bergabung dengan besi membentuk
molekul heme.
Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yaitu globin yang di
sintesis oleh ribosom membentuk sub unit hemoglobin yang di sebut rantai hemoglobin.
LO.2.3 Peranan zat besi terhadap tubuh
Penting untuk pembentukan hemoglobin namun juga penting untuk elemen lainnya (contoh
: myoglobin, sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase, katalase).
Jumlah total besi rata-rata dalam tubuh sebesar 4 sampai 5 gram, kira-kira 65 persen di
jumpai dalam bentuk hemoglobin. Sekitar 4 persen dalam bentuk myoglobin, 1 persen dalam
bentuk varisasi senyawa heme yang memicu oksidasi intra sel 0,1 persen bergabung dengan
protein transferrin dalam plasma darah, 15 sampai 30 persen di simpan untuk penggunaan
selanjutnya terutama di system retikuloendotelial dan sel parenkim hati, dalam bentuk ferritin.
(Guyton 11th edition, 2006)
20
Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat meningkatkan
absorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri menjadi ferro. Vitamin C dapat
meningkatkan absorbsi besi dari makanan melalui pembentukan kompleks ferro askorbat.
Kombinasi 200 mg asam askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan
besi sebesar 25 – 50 persen.
Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentukny kompleks besi fosfat
yang tidak dapat diserap.
Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe
Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan Fe.
· Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe. Zat besi diserap di dalam
duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses yang kompleks. Proses ini meliputi
tahap – tahap utama sebagai berikut :
a. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau Fe2+ mula –
mula mengalami proses pencernaan.
b. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh gastroferin
dan direduksi menjadi Fe2+.
c. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi FE3+. Fe3+ selanjutnya berikatan dengan
apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+ ke dalam
plasma darah.
d. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan transferitin.
Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk bergabung membentuk
hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam keseimbangan.
e. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam tubuh
(hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian dioksidasi menjadi
Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin membentuk ferritin yang kemudian
disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang dengan bentuk yang disimpan.
21
Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel
pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul
oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro, sehingga reaksi pengikatan
oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi.
Dengan reaksi : Hb + O2 ↔ HbO2
Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan hemoglobin. Sedangkan
jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin (deoksihemoglobin).
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan % saturasi
kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid khas yang
disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus heme pertama pada satu molekul
Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua terhadap O 2, dan oksigenase gugus kedua
lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul
O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama
Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara
signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Menurut Brunner
dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia secara umum antara lain :
A. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan.
B. Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah merah yang
berlebihan.
C. Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
D. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor keturunan, penyakit
kronis dan kekurangan zat besi.
22
B. Anemia Normokromik normositer
1. Anamia pascapendarahan akut
2. Anemia aplastic – hipoplastik
3. Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia mieloptisik
6. Anemia pada gagal ginjal kronik
7. Anemia pada mielofibrosis
8. Anemia pada sindrom mielodiplastik
C. Anemia makrositer
1. Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodiplastik
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis
A. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a. Besi : anemia defisiensi besi
b. Vit. B12 dan asam folat : anemia megaloblastik
2. Gangguan utilisasi besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak : aplastic/hipoplastik
b. Penggantian oleh jaringan fibrotic/tumor : leukoritroblastik/ mieloptisik
B. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca pendarahan akut
2. Anemia pasca pendarahan kronik
C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolysis)
1. Factor ekstrakapsuler
2. Factor intrakapsuler
a. Gangguan membrane anemia anemia
i. Hereditary spherocytosis
ii. Hereditary elliptocytosis
b. Gangguan ensim
i. Defisiensipyruvatekinase
ii. Defisiensi G6PD (Glocuse-6 phospate dehydrogenase)
c. Gangguan hemoglobin
i. Hemoglobinopatistructural
ii. thalassemia
D. Bentuk campuran
E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas.
(Sumber :Bakta, I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC)
23
Penentuan anemia pada seseorang tergantung pada usia , jenis kelamin , dan tempat
tinggal. Secara klinis criteria anemia di Indonesia umumnya adalah :
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30 %
3. Eritrosit < 2,8juta/mm3
(I Made Bakta , 2006)
Kriteria anemia menurut WHO adalah :
1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
2. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl
(Sumber :Bakta, I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC)
LO.3.4 Patofisiologi anemia
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel
darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapat terjadi akibat
kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak
diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus
yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan
ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang
menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam
system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini
bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan
destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin
plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada
sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke
seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya
dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel
bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah,
Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki.
24
Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome. Gejala
umum anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar
hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah
sebagai berikut:
a) System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak nafas,
angina pectoris dan gagaljantung
b) System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabel.
c) Sistem urogenital : gangguan hadidan libido menurun
d) Epitel : pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis
dan halus
2. Gejala khas masing-masing anemia
25
- Mata: ikterus, konyungtiva pucat, perubahan fundus;
- Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan
stomatis angularis;
- Limfadenopati;
- Hepatomegaly;
- Splenomegaly;
- Nyeri tulang atau nyeri sternum;
- Hemarthrosis atau ankilosis sendi;
- Pembengkakan testis;
- Pembengkakan perotis;
- Kelainan system sara
26
Biakan kuman
5.Pemeriksaan penunjang lain
Biopsi kelenjar dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
Radiologi : torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi
Pemeriksaan sitogenik
Pemeriksaan biologi molekular (PCR dan FISH)
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
(produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Pemeriksaan penyaring : pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, hapusan darah
tepi
Pemeriksaan darah seri anemia : hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit, dan laju
endap darah.
Pemeriksaan sumsum tulang
27
2. Terapi khas untuk masing masing anemia : anemia defisiensi besi diberi preparat besi,
asam folat untuk anemi defisiensi asam folat dll.
3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar: contoh anemia karna infeksi cacing tambang harus
diberi obat cacing
4. Terapi ex juvantivus: terapi yg diberikan sebelum diagnosis ditegakkan dalam keadaan
terpaksa atau tidak tersedia fasilitas juka respon baik di teruskan jika tidak di evaluasi
kembali.
(Sumber: Bakti,made.2006. Hematologi klinik ringkas. Jakarta,EGC)
28
iii. Saluran kemih : hematuria.
iv. Saluran napas : hemoptoe.
b. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (biovailabilitas) besi yg tdk baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging).
c. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
d. Gangguan absorbsi besi : gatrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa defisiensi yang di jumpai di klinik hamper identic dengan
perdarahan menahun. Factor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang
sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki – laki ialah
perdarahan gastrointestinal, di Negara tropic paling sering terekna infeksi cacing
tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena
meno-metrohagia. (Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V 2009).
LO.4.3 Patofisiologi anemia defisiensi besi
a. Kegagalan sintesis hemoglobin
Hoffbrand AV, Petit TE, Moss PAH. Essential Haematology 4 th ed. London :
Blackwell Scientific Publication. 2001; 1-97.
b. Berkurangnya masa hidup eritrosit, biasanya pada anemia berat
• Kekurangan besi Hb turun adanya penurunan formabilitas dan
fleksibilitas membran mudah didestruksi oleh limpa sel pensil, ovalosit,
sel target
• Bentuk dan fleksibilitas membran eritrosit dipertahankan oleh O2 dan Co2.
Lee GR, Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia. In: Lee GR et al. (eds). Wintrobe’s
clinical hematology. Philadelphia : Lee&Febiger. 1999: 979-1010.
LO.4.4 Patogenesis anemia defisiensi besi
29
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini di sebut iron deplete state atau negative iron
balan. Keadaan ini di tandai oleh penurunan kadar feritinin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoiesis berkurang hingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara
klinis belum terjadi, keadaan ini di sebut sebagai : iron defeifient erythropoiesis. Selanjutnya
timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia di saat ini terjadi
kekurangan besi pad epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada
kuku,epitel mulut dan faring serta gejala lainnya. (Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V
2009)
b.Athrofi papil lidah : permukaan lidah mejadi licin dan mengkilat di karnakan papil
lidah menghilang
30
c. Satomatitis angularis : Adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak
bercak berwarna pucat keputihan
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah dan disfagia.
(Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V 2009)
LO.4.7 Diagnosis anemia defisiensi besi
1. Menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin dan hematocrit
2. Memastikan adanya defisiensi besi dengan mengukur konsentrasi serum besi dab
Total iron binding capacity
3. Menentukan penyebab adanya defisiensi besi yang terjadi
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakuka anemanesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai
kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada sediaan apus darah tepi, atau MCV < 80 fl dan
MCHC < 31% dengan salah satu kriteria dibawah ini :
31
3. Pengecatan sumsum tulang dengan bitu prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi
(butir-butir hemosiderin) negatif
4. Pada pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari ( atau pereparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin > 2g/dl.
32
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan,
kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a.Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman.preparat yang tersedia, yaitu:
i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan
efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu:
33
LO.4.10 Pencegahan Anemia Defisiensi Besi
34
DAFTAR PUSTAKA
B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu.
Bakta, I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Dorland, W.A. Newman. (2007). KAMUS SAKU KEDOKTERAN DORLAN, Ed. 31. Jakarta :
EGC
Guyton,F. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran .Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hoffbrand AV, Petit TE, Moss PAH. Essential Haematology 4 th ed. London : Blackwell
Scientific Publication. 2001; 1-97.
35
.
Lee GR, Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia. In: Lee GR et al. (eds). Wintrobe’s
clinical hematology. Philadelphia : Lee&Febiger. 1999: 979-1010
36