Anda di halaman 1dari 7

PRINSIP BERAGAMA

Ada beberapa prinsip beragama yang telah di tuliskan Mbah Rifai: diantaranya kemerdekaan,
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), kearifan dan kebijaksanaan, amanah, kejujuran dan
tanggungjawab, dan cinta kasih.

Mungkin pertemuan kali ini tidak bisa mengetengahkan keseluruhan prinsip tadi. Kita bahas
satu persatu. Kalau ada kemauan dan keistiqomahan untuk sinau bareng insya Allah kita akan
melanjutkan tulisan ini.

Pertama, Kemerdekaan

Prinsip kemerdekaan ini merupakan prinsip dasar dari beragama. Dulu setelah keislaman para
sahabat budak seperti Bilal bin Rabah, langsung saja Abu Bakar memerdekakannya. Mengingat
betapa pentingnya kemerdekaan bagi kelangsungan keberagaman para sahabat. Karena
beragama tanpa kemerdekaan laksana mendapatkan petunjuk tetapi tangan dan kakinya terikat
Impian besar bagi Mbah Rifa’i juga perihal kemerdekaan.

Misalnya dalam teks:

“mukmin bungkuk kekasab nenandur tela, iku luwih becik tinimbang ngawula ing landa”

“mukmin bungkuk kekasab nandur jagung, iku luwih becik tinimbang ngawula tumenggung”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa salah satu makna kata merdeka
adalah tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Kemudian apa yang
disebut merdeka menurut Mbah Rifai? Langsung saja saya kutip pernyataannya dalam kitab
Bayan Akhir yang menerangkan tentang prinsip dasar dari kemerdekaan.
ِ‫ت ح ٌّر ِم َّما لَهُ اَئ‬
‫س‬
ٌ ُ َ ْ‫أَن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ‫وس لُْوبَاىَن‬ْ ُ‫سْيَر ايْ ُك ْو َم ْرديْ َكا َسك ْع َبَر ْع اَنَاىَنْ ۞ سْيَر َسك ْع َس ِويْ ِج ِوج ْى ُف ْوت‬
‫ا‬ ‫ع‬ ِ ‫رف َعرف اِ ْع اهلل ف َفا‬
‫ر‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ِ‫عرف اِع منوسا َفويويه ِر ْزقِ ۞ بال‬
ْ ‫ىَن‬ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ‫رف ْ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ىَن‬ ْ ‫اَْو َرا َع‬
‫دع ْى َس ِك ْع اهلل ف َفا ِر َعا ْن‬ ِ ِ
َ ‫اع ْن ۞ اُْو َكا فَ َمْن‬ َ َ‫اكن َسك ْع ت‬
ْ ‫وع‬ َ ُ‫َداديَا َمُن ْو َسا ُع ْول‬
‫ت لَهُ طَ ِام ٌع‬ َ ْ‫َو َع ْب ٌد لِ َما اَن‬
ِ ِ ِ
ْ‫لَ ْن َداد ْى َك ُولَىَن ْ َك ُد َو ْى َس ِو ِج ِو ِج اَنَاىَنْ ۞ سْيَر َك َارنَا َس ِو ِج ِو ِج لُْوبَا تنَ ُم ْوىَن‬
‫ا‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫ى‬ ‫كد‬ ‫ه‬ ِ
‫و‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫و‬‫ل‬ ‫ك‬ ‫ى‬ ِ ‫رف اِع منوسا سْن َداع َفعا ۞ لَن د‬
‫اد‬
ْ ‫ىَن‬ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ْ‫رف َع ْ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ىَن‬ ْ ‫َع‬
(dikatakan merdeka itu ketika) anda tidak berharap lebih kepada siapapun, maupun apapun.
Tidak berhadap kepada pemberian rizqi dari manusia, tetapi mengharapkan anugerah dari Allah
SWT semata.
Meskipun manusia (kadang) mengulurkan tangan (memberi sesuatu), (tetapi dalam hati tetap)
memandang bahwa semua itu hakekatnya dari Allah.
(dan sebaliknya)manusia menjadi budak dari sesuatu yang ia ingini.
Mengharap kepada manusia (pemberian) sandang pangan. Dan menjadi terhina lebih besar
dosanya.

Memahami prinsip di atas membawa pengertian bahwa kemerdekaan bukan datang dari luar
diri manusia. Kemerdekaan terletak dalam penataan akal fikiran dan hati terhadap segala hal
yang dijumpainya. Kalau hati manusia terlalu menyukai sesuatu, maka ia otomatis menjadi
budak dari yang disukainya, sebaliknya ia merdeka dari segala hal yang tidak sampai masuk ke
dalam hati.

Sebagaimana diungkapkan Mbah Rifa’i dalam kitab Bayan Akhir juga

1
Ada orang yang tergantung terhadap hawa nafsunya, bahkan akhirnya karena kebiasaan
tergantung kepada hawa nafsu, maka manusia menuhankannya. Sebagaimana diutarakan dalam
QS. Al Furqan: 43

  ﴾۴۳﴿ ۙ ‫نت تَ ُكو ُن َعلَ ِيه َوكِياًل‬ ِ


َ َ‫يت َم ِن اخَّتَ َذ اهٰلَهُ َه ٰوهُ ؕ اَفَا‬
َ َ‫اََرء‬
43. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?

Pertama yang perlu kita tanyakan kepada diri “Sudahkah kita merdeka dari perbudakaan nafsu
kita?”

Musuh terbesar kita bukan Wahabi, bukan HTI, tetapi diri kita sendiri. Nafsu kita, Syahwat kita.
Kita sudah akrabkan dengan ungkapan Kanjeng Nabi Muhammad SAW

ِ‫األصغَ ِر إىَل اجْلِ َه ِاد اأْل ْكرَب‬ ِ ِ ِ


ْ ‫َر َج ْعنَا م َن اجْل َهاد‬
“Kita kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.”

Bagaimana keadaan politik masyarakat sekarang? Yang seringkali yakin bahkan panic, karena
menganggap bahwa golongan, agama, lain merupakan musuh beratnya, sering lupa bahwa
dirinyalah musuh senyata-nyatanya.

Kedua, Tazkiyatun Nafs

Tazkiyatun Nafs atau biasa diterjemahkan sebagai penyucian jiwa termaktub dalam kitab
Tarjamah sebagai membersihkan hati dari delapan sifat tercela dan kemudian menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji. Beberapa ulasan ini kami kutipkan dari kitab Abyanal Khawaij

1. Al-Zuhud
Dalam kitab Abyan Al-Hawaaij, Mbah Rifai menyebutkan pengertian Zuhud sebagai berikut:

“Zuhud tegese tarajumah boso jawine


Iku ing aranan topo ingdalem dunyane
Pertelane istilah syara’ maknane
Yaiku cawis-cawis ingdalem atine
Gawe ngibadah netepi wajib milahur
Sakuasane saking dunya haram mungkur
Neja ing Allah zahir batin jujur
Ngarep-ngarep ing Allah ning Suwarga luhur”

“Zuhud menurut terjemahan bahasa Jawa


Adalah bertapa di dunia
Menurut istilah syara
Adalah bersiap-siap di dalam hati
Untuk beribadah menjalankan kewajiban
Sekuasanya menghindar dari dunia haram
Hendak benar-benar menuju kepada Allah lahir batin
Mengharap kepada Allah di sorga yang tinggi

Dalam bait syair selanjutnya, Mbah Rifai mengutarakan makna zuhud lebih mendalam.
Makna zuhud tapa mengo kadonyan
Iku ora nana ibarat kekarepan
Saking nyepeaken wongiku ning atine
Saking arta balik yaiku tinemene
Nyepeake wong ikut ing atine

2
Saking gumantung kelawan artane

(yang dimaksud dengan) makna zuhud bertapa berpaling dari dunia


(Itu bukan berarti) mengosongkan hatinya dari harta
Tetapi menyepikan diri (uzlah hati) dari ketergantungan kepada harta (dunia).

Zuhud merupakan maqam yang mulia, demikian kata Mbah Rifai, karena zuhud merupakan
pangkal kebaikan dan ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT. Oleh karena itu, sungguh
beruntung bagi orang yang telah mampu mencapai maqam zuhud, karena ia akan memperoleh
kebahagiaan yang sejati di akhirat nanti, sebagaimana digambarkan dalam bait nazham berikut
ini:

“Begjo temen kaduwe wong zahid tilar dunyo


Sadurunge yen tinggal ing wong iku dunyo
Lan cawis-cawis manfaate kubur ngupoyo
Sadurunge yen manjing kubur kapanggiyo
Lan murih ridlone wong iku ing pangerane
Sadurunge yen tetemu ing Allah Gustine’’ .

“Beruntung sekali bagi orang yang zuhud meninggalkan dunia


Sebelum dia meninggal dunia
Dan berupaya mempersiapkan (amalan) yang bermanfaat di alam barzakh
Sebelum ia masuk ke dalam kubur
Dan ia berusaha mencari ridla Allah
Sebelum bertemu dengan Nya”

Adapun tanda-tanda orang yang telah mencapai maqam zuhud, Mbah Rifai menyebutkan
sebagai berikut:

a. Ia senantiasa melakukan amal shaleh, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim
juga termaktub dalam Al Hikam tulisan Ibnu Atho’illah:

ِ‫بر‬
ٍ ‫اغ‬
.‫ب‬ ٍ ِ ٍِ ٍ ِ
َ ‫َما قَ َّل َع َم ٌل َبَر َز م ْن َق ْلب َزاهد َواَل َك ُثَر َع َم ٌل َبَر َز م ْن َق ْل‬
“Tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yang dilakukan dengan hati yang zuhud, dan
tidak dapat dianggap banyak amal yang dilakukan oleh seseorang yang cinta dunia.”

Ungkapan tersebut memberikan isyarat bahwa ukuran amal ibadah itu tergantung pada hati
pelakunya. Amal ibadah yang dilakukan oleh seorang zahid meskipun sedikit menurut ukuran
lahiriah (kuantitas), namun sebenarnya mempunyai nilai tinggi menurut ukuran batiniah
(kualitas). Begitu pula sebaliknya, amal ibadah yang dilakukan oleh orang yang cinta dunia
meskipun kelihatan banyak menurut ukuran lahiriah, namun sebenarnya mempunyai nilai
rendah menurut ukuran batiniah. Mengapa demikian? Karena seorang zahid itu selamat dari
cacat yang merusak keikhlasan perbuatan mereka baik berupa riya’, berpura-pura dalam
beramal, ataupun thama’ terhadap kenikmatan dunia.

b. Jika ia bertambah ilmunya, maka harus bertambah pula sifat zuhud-nya. Sebagaimana
disebutkan oleh Mbah Rifai dalam kitab Ri’ayat al Himmat.

“Sopo wonge wuwuh ngilmu kezhohirane


Lan ing hale tan wuwuh topo mengo dunyane
Moko ora nono saking Allah kahundakane
Anging sangsoyo adoh kemartabatane’’

“Barangsiapa yang secara lahiriah bertambah ilmunya

3
(Tetapi) haliyahnya tidak tambah kezahidannya
Maka tidak ada tambahan dari Allah
Kecuali bertambah menjauh (dari Allah) martabatnya”

Berkaitan dengan dengan hal ini, Mbah Rifai mengungkapkan bahwa banyak orang alim yang
bertambah ilmu syari’atnya, akan tetapi mereka semakin banyak berbuat maksiat dan tidak mau
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang semakin jauh dari Allah SWT.

c. Ia tidak tergiur dengan keduniawian, karena keduniawian merupakan tipu daya, godaan, dan
fitnah. Allah berfirman dalam surat Thaha, ayat 131:

ِ ِ ُّ ‫َاة‬ ِ ‫َّن عيَنيك إِىَل ما متَّعنَا بِ ِه أ َْزواجًا ِمْنهم زه ر َة احْل ي‬


َ ِّ‫الد ْنيَا لَن ْفتَِن ُه ْم ف ِيه َو ِر ْز ُق َرب‬
‫ك‬ َ َْ َ ُ َ ْ َ َ َ ْ َْ َّ ‫َوال مَتُد‬
‫َخْيٌر َوأ َْب َقى‬
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka
dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”

d. Ia senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah berjanji akan memberikan
kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamanya. Sebagaimana dikatakan Oleh ‘Ali ibn
Ahmad

ِ ِِ ِ ‫أِل‬
ُ‫َم ْن َع َم ِل خَرته َك َفاهُ اهللُ ْأمَر د ْينَهُ َو ُد ْنيَاه‬
“Barangsiapa beramal untuk (tujuan) akheratnya, maka Allah akan mencukupi urusan agama
dan dunianya”

e. Ia tidak merasa tentram dan tenang hatinya ketika melihat segala yang wujud di dunia ini,
jika hatinya tidak hadir dihadapan Allah.

f. Jika ia dipuji oleh manusia, maka hatinya menjadi susah karena khawatir kalau-kalau amal
kebajikannya berubah menjadi riya’ dan haram. Sebagai mana dikatakan oleh Muhammad
bin Ibrahim:1

Di antara keutamaan-keutamaan bagi orang yang melakukan zuhud, KH . Ahmad Rifa’i


menyebutkan sebagai berikut:

a. Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seorang zahid dilipat-gandakan oleh Allah SWT. Hal
ini berdasarkan perkataan ibn Mas’ud:2
ِ ‫ز ِاه ٍد خير ِمن ِعباد ِة الْمَتعبِ ِدين الْمجتَ ِه ِدين إىَل‬
‫آخ ِر‬ ٍ‫ان ِم ْن َعامِل‬
ِ َ‫ال اِبن مسعو ِد ر ْكعت‬
َ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ‫ق‬
َ ْ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ ْ ٌَْ َ
.‫َّه ِر أ ََم ًدا َس ْر َم ًدا‬
ْ ‫الد‬
“Ibn Mas’ud berkata: shalat dua raka’at yang dilakukan oleh seorang zahid itu lebih utama
dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan dengan amal ibadah yang dilakukan oleh seorang
‘Abid yang tekun beribadah sepanjnag masa.”

1
Muhammad bin Ibrahim, Syarh al-Hikam, juz I op. hal. 105.
2
Al-Ghazali, ihya’ ‘Ulum al- Din, jilid IV, hal. 239. Lihat juga: Muhammad bin Ibrahim, syarh al-Hikam, juz. I,
hal. 40.

4
b. Seorang zahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari Allah SWT, tanpa belajar.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din:

ُ ْ ‫َم ْن َأر َاد أ ْن يُ ْؤتِيَهُ اهللُ ِع ْل ًما بِغَرْيِ َت َعلُّ ِم َو ُه ًدى بِغَرْيِ ِه َدايَِة َف ْلَي ْز َه ْد ىِف‬
‫الد ْنيَا‬
“Barangsiapa yang ingin memperoleh ilmu dari Allah tanpa belajar dan memperoleh petunjuk
tanpa perantara manusia, maka hendaklah ia melakukan zuhud di dunia.”

2. Al-Qana’at

Mbah Rifai memberikan definisi sebagai berikut:

‘’Qana’at tegese maknane tarajumah


Iku anteng atine maknane istilahhiyat
Iku anteng atine milih ridhone Allah
Ngambil dunyo sekedar hajat diarah
Ingkang sakiro dadi nulungi ing taat
Netepi wajib ngedohi maksiat’’ .3

Terjemahannya:
Qana’at menurut tarajumah
Adalah tenang hatinya, menurut istilah
Adalah hatinya tenang memilih ridha Allah
Mengambil keduniawian sekedar hajat
Yang diperkirakan dapat menolong untuk taat
Memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.

Ungkapan di atas dapat dipahami bahwa qana’at berarti kemantapan hati dalam mengharap
ridha Allah SWT, serta mencari harta hanya sekedar hajat untuk mencukupi kebutuhan dalam
rangka menunaikan kewajiban syari’at dan meninggalkan maksiat.
Perwujudan sifat qana’at terletak pada sikap untuk selalu menerima dengan rela hati terhadap
segala rizqi yang diberikan oleh Allah berapapun jumlahnya. Ia tidak pernah mengeluh dan
kecewa lantaran kekurangan harta. Hal ini sesuai dengan ungkapan Muhammad bin ‘Ali
Al- Tirmidzi yang berikut ini:

.‫القناعة رضا النفس مبا قسم هلا من الرزق‬


Al-qana’at adalah kerelaan jiwa untuk menerima segala rizqi yang diberikan oleh Allah.

Dalam menguraikan sifat qana’at ini Mbah Rifai mengaitkan dengan kefakiran (kemiskinan).
Orang yang memiliki sifat qana’at, demikian menurut Mbah Rifai tergolong orang kaya walaupun
kadangkala ia pernah mengalami kelaparan, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham
berikut ini:

“Utawi wong kang anteng nerimo atine


Ing peparinge Allah sekedar rizki anane
Ikulah aran wong kang sugih tinemune
Lan senadyan ono luwe kadangkalane” .
Adapun orang yang tenang hatinya
Dalam menerima pemberian Allah sekedar rizki apa adanya
Itulah yang dinamakan orang kaya
Meskipun kadangkala ia mengalami kelaparan.

3
Ahmad Rifa’i, Ri’ayat al-Himmat, juz. II, hal. 15.
5
Timbul pertanyaan: apa sebenarnya yang dimaksud dengan kaya dan miskin menurut Mbah
Rifai Menurutnya, kekayaan sejati ialah kekayaan rohani bukan kekayaan materi, sebagaimana
Rasulullah bersabda:

‫ليس الغىن عن كثرة العرض إمنا الغىن غىن النفس‬


Yang dimaksud kaya itu bukanlah karena banyaknya harta, melainkan karena kaya jiwa.

Dalam menguraikan sifat qana’at ini Mbah Rifai mengaitkan dengan kefakiran. Orang memiliki
sifat qana’at, demikian menurut Mbah Rifai, tergolong orang kaya walaupun kadangkala ia
pernah mengalami kelaparan, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini:

“Utawi wong kang anteng nerimo atine


Ing peparinge Allah sekedar rizki anane
Ikulah aran wong kang sugih tinemune
Lan sendayan ono luwe kadangkalane’’.

Adapun orang yang tenang hatinya


Dalam menerima pemberian Allah sekedar rizki apa adanya
Itulah yang dinamakan orang kaya
Meskipun kadangkala ia mengalami kelaparan.

Timbul pertanyaan: apa sebenarnya yang dimaksud dengan kaya dan miskin menurut Mbah
Rifai Menurutnya, kekayaan sejati ialah kekayaan rohani bukan kekayaan materi:

Oleh karena itu, orang yang memiliki sifat qana’at tidak akan pernah merasa kecewa karena
kekurangan harta, melainkan sebaliknya orang tersebut senantiasa merasa tenanng dan
gembira, karena yang dicari hanya ridha Allah dan ia berkeyakinan bahwa rizqi yang diberikan
oleh Allah kepadanya berapa pun jumlahnya merupakan nikmat yang paling sempurna,
sebagaimana Muhammad bin Ibrahim menyebutkan:

‫من متام النعمة أن يرزقك ما يكفيك ومينعك ما يطفيك‬


“Termasuk kesempurnaan nikmat adalah Allah memberikan rizqi kepadamu sekedar untuk
mencukupi kebutuhanmu dan Allah mencegah dari apa yang dapat menyesatkamu.”

Sedang yang dimaksud dengan miskin menurut Mbah Rifai, bukanlah tidak mempunyai harta
benda, melainkan karena tidak mempunyai ilmu dan amal yang bermanfaat di akhirat,
sebagaimana diungkapkan dalam nazham beikut ini

‘’Ora nono miskin sebab tan duwe arto


Lan tetapi arn miskin tan ngilmu kacito
Lan ora ikhlas ngamal garahito
Kang tinemu maanfaat akhirat kabekto”

Selanjutnya Mbah Rifai menjelaskan tentang keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’at
sebagai berikut :

a. Orang fakir yang memiliki sifat qana’at, derajatnya lebih tinggi dihapan Allah dibandingkan
dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’at, meskipun sama-sama beribadah,
sebagaimana Rasulullah bersabda:

‫أحب العباد إىل اهلل تعاىل الفقري القانع يرزقه الراضى عن اهلل تعا ىل‬
“Hamba yang paling dicintai oleh Allah adalah orang fakir yang menerima hatinya (qani’) dalam
menerima rizqi yang diberikan oleh Allah kepadanya, dan ia ridha kepada Allah.”

Oleh Ahmad Saifullah

6
7

Anda mungkin juga menyukai