Anda di halaman 1dari 2

*Cakrawala Santri Celeng*

Santri Celeng sebuah idiomatic yang memuat beban sejarah tentang santri-santri kalisalak yang
selalu _diuber_ oleh pemerintah kolonial Belanda, karena berpotensi menjadi pergerakan
perlawanan. Setelah masa traumatic perang Jawa yang meninggalkan beban hutang bagi pemerintah
kolonial, maka strategi penjajahan diubah. Kalau pada masa Pangeran Diponegoro, mereka
mengandalkan perang fisik, pada masa setelahnya memakai strategi yang biasa dikenal dengan
_Character Assasination_ pembunuhan karakter para pemimpin, tidak hanya pemimpin pergerakan,
tetapi juga para raja. Bahkan sampai hati merekayasa sejarah dengan menciptakan tokoh-tokoh
fiktif, dengan tujuan sama: memperburuk karakter para pemimpin bangsa nusantara.

Sebagaimana sering diutarakan oleh sejarawan KH. Agus Sunyoto, bahwa Ken Arok merupakan
tokoh fiktif yang sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda melalui _Serat Pararaton._ Ken Arok
dicitrakan sebagai manusia _jahat murokab_ dengan membunuh Mpu Gandring, karena
ketidaksabarannya ketika memesan keris yang tak kunjung selesai. Pembunuhan beruntun dengan
keris Empu Gandring dilakukan Ken Arok hanya dalam rangka merebut kekuasaan kerajaan Singosari
dan merebut istri Tunggul Ametung, Ken Dedes. Dengan adanya tokoh jadi-jadian Ken Arok ini tentu
akan memperburuk karakter keturunan raja-raja Jawa yang ternyata mempunyai simbah _bajingan
tengik_.

Serat Cebolek merupakan bagian dari strategi itu. Sehingga penulisan kisah fiktif KH. Ahmad RIfa’i
tak menyisakan satu larik kalimat pun tentang kebaikan beliau. Sampai pada satu kesempatan, K.
Abu Ilham yang merupakan santri angkatan pertama pesantren Kalisalak meninggal dunia. Selang
beberapa hari menurut penututuran lisan di kalangan Rifa’iyah, di makamnya ditemukan kepala
celeng. Sehingga semerbak isu bahwa _wong mbudiyah matine dadi celeng._ Itulah strategi
penumpasan ala Belanda yang sampai sekarang isunya diteruskan, bahkan diasyiki oleh bangsa kita
sendiri.

Semua fakta sejarah harus dituturkan apa adanya. Kalau suatu hari kita pernah disebut sebagai
santri celeng itu artinya bukan ungkapan tanpa sebab dan hampa makna. Ternyata hal itu kenyataan
sejarah yang pernah menimpa. Sejarah tidak layaknya politik praktis yang sarat pencitraan. Ia
dibangun di atas hamparan kenyataan yang harus kita akui, tidak bisa diingkari, harapannya bisa
menjadi _tanbih_ untuk tak segan mengambil hikmahnya.

Sebagaimana nama Gontor singkatan dari _nggon kotor_, karena ternyata dulu merupakan tempat
bersarangnya para perampok dan ahli maksiat. Tapi kemudian para pelaku sejarah tidak
mengubahnya menjadi Gonsik (nggon resik). Namanya tetap Gontor, bahkan disematkan menjadi
nama Pondok Pesantren Modern.

Ingatan sejarah itu membantu manusia untuk tidak _jumawa_ bahwa berdirinya kebaikan kadang
diatas sejarah peluh keburukan. Atau kesejahteraan sekarang itu pasti berawal dari perjuangan para
pendahulu.

Di tahun 90-an Kita masih merasakan sebaran aroma stereotip sesat, dan berbagai stempel minor
lainnya. Terutama karena didukung dengan legalisasi pelarangan penyebaran ajaran dengan SK
Kajati Jateng No. 012/ K.3/ 4/ 1981. Warga Rifa’iyah dulu layaknya ‘maling di kampung sendiri’
sehingga dicurigai, dilarang, dicari-cari kesalahannya.
Keperihan sejarah terjadi dimana-mana dan hampir di semua layer kehidupan manusia. Keperihan
itu bisa tak berarti apa-apa, tetapi seringkali menjadi cambuk perjuangan. Hal itu tergantung pada
pemaknaan manusianya atas peristiwa itu. Sebagaimana peristiwa sejarah dipenggalnya Sayyidina
Husain di padang Karbala yang sampai sekarang menjadi inspirasi perjuangan bagi rakyat Iran dan
Kaum Syiah.

Bagaimana kita memaknai sejarah tentang perihnya santri celeng?

Paesan, 25/8

AHSA
_bocah angon_

Anda mungkin juga menyukai