Anda di halaman 1dari 11

DE INONG BALEE

PAHLAWAN DARI KAUM JANDA SANG PENONGGAK KEMERDEKAAN BAGI


TANAH KELAHIRANNYA

Karya ini Disusun untuk Mengikuti Lomba Esai SMA/SMK/MA

Kompetisi Sejarah Nasional 2019

JHUN LIONG

0033853418

SMA NEGERI 13 JAKARTA

Jumat/ 23 Agustus 2019


DE INONG BALEE

PAHLAWAN DARI KAUM JANDA SANG PENONGGAK KEMERDEKAAN BAGI


TANAH KELAHIRANNYA

Oleh : Jhun Liong

PENDAHULUAN
“… Telah Gugur Pahlawanku; Tunai sudah janji bakti; Gugur satu tumbuh sribu; Tanah air
jaya sakti.” Gugur bunga - Ismail Marzuki.

Indonesia, bangsa dengan sejuta kekayaan alam dan budaya dengan beribu pulau
yang terbentang dari ujung Sabang sampai Merauke, tempat berkumpulnya orang-orang
majemuk dengan keberagaman suku, ras, kebudayaan, etnik, politik, ekonomi, agama,
kepercayaan, namun tetap bersatu membentuk negara berkedaulatan yang kukuh hingga saat
ini. Indonesia, dengan segala perbedaan yang ada pada negara ini namun tetap terlahir dalam
tonggak sejarah yang satu berawal dari kesuraman yang datang menimpa negara ini hingga
kebebasan yang terasakan dari Pulau Weh hingga Pulau Rote.
Tonggak sejarah yang telah tertorehkan pada tiga abad sebelum kemerdekaan hingga
kini tetap harus kita kenang beserta dengan kisah-kisah para pahlawan kita yang ‘unik’ dalam
menerima kedatangan para pengelana dunia saat sedang mencari kekayaan. Memang benar
mereka datang ke Negeri Indonesia, negeri surga yang katanya tongkat, batu, kayu jadi
tanaman. Negeri surga yang awalnya suci menjadi keruh ketika mereka mulai menanamkan
besi-besi aspal dan bangunan-bangunan perampas di hulu negeri kita hingga hilir negeri kita.
Semboyan mereka 3G, diterapkan hanya untuk mereka sendiri. Atas dasar keserakahan
mereka merampas apa yang bukan milik mereka.
Begitu besar derita yang telah negara ini alami semenjak kedatangan negara-negara
barat dan tak hanya negara barat bahkan negara di wilayah kita pun ikut menyerang negara
saudaranya. Tak ada rasa manusiawi, tak ada rasa peduli, hal ini menumbuhkan rasa empati
pada diri kita sendiri. Membuat para pahlawan kita yang lahir pada zaman itu mengubah rasa
empati mereka menjadi kekuatan. Menjadi semangat perjuangan yang lebih tebal dari zirah
yang dibuat oleh siapapun, yang tak tertembus oleh peluru apapun. Para pejuang kita dari
para lelaki hingga wanita yang gagah nan berani dengan berbagai kaum dari muda hingga
tua, dengan keterbatasannya pada saat itu, betapa hebatnya pahlawan kita memperjuangkan
tanah air kita.
Seperti salah seorang pahlawan dengan julukannya De Inong Balee, beliau, di tempat yang
layaknya milik negara lain, bertempur melawan para pendatang yang sungguh tak tau diri itu.
Hanya sebatas sampan sederhana melawan kapal bersenjatakan lengkap namun bermodalkan
segala kobar darah mereka dan rasa empati yang berubah menjadi semangat, mereka ubah
tanah kotor ini menjadi tanah yang dapat kita tinggali dengan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945.
Memang pahlawan ini tidak secara langsung berpartisipasi dalam kemerdekaan
Indonesia, namun tanpa adanya beliau maka tak akan ada Ir. Soekarno yang
memproklamasikan Indonesia, tak akan ada R.A. Kartini yang menjadi pelopor para kaum
wanita, tak akan ada Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia yang akan berjuang demi tanah
kelahiran dan tanah air kita. Bahkan sebenarnya Si Inong Balee ini merupakan pahlawan
perempuan Aceh pertama yang mendahului Cut Nyak Dhien dan juga Cut Meutia dalam
mempertahankan negeri saman itu. Namun, apakah hanya karna alasan bahwa beliau hidup
sekitar lima abad lampau dan budaya kita sejauh ini yang masih melekat adalah budaya lisan
atau karna sepak terjang beliau tidak tercatat dalam museum di Indonesia dan buku-buku
pelajaran lantas kita menjadi tidak mengetahui perjuangan beliau ?
Memang banyak pejuang-pejuang yang telah gugur yang masih belum dikenali oleh
bangsanya sendiri. Seperti pada salah satu lirik lagu yang telah tertulis di atas, sebenarnya
diharapkan bahwa dengan wafatnya para pahlawan di medan perang maka akan lahir para
pemuda-pemuda yang diharapkan dapat memajukan negeri ini. Namun, bagaimana kita dapat
melakukannya apabila kita tak tau kisah bangsa kita sendiri ? Apabila kita hanya mengenal
pahlawan yang gugur karna dialah yang paling terakhir memperjuangkan bangsa Indonesia?
Tanamkanlah bahwa tanpa adanya seseorang yang mendahului Ir.Soekarno maka tak akan
ada kata proklamasi. Walau dia adalah seseorang yang sungguh berjasa dalam memerdekakan
Indonesia, tapi kita tetap harus mengingat bahwa terdapat Ir.Soekarno pula di setiap kurun
waktu sebelum kemerdekaan Indonesia hingga kini setelah kemerdekaan Indonesia, di setiap
wilayah yang terbentang di Indonesia mulai dari pulau-pulau kecil yang tak tampak di atas
peta hingga yang besar dengan populasinya yang melimpah.
Dan apakah setelah kemerdekaan yang telah datang kepada kita, dengan segala
kebebasan yang telah kita miliki, tanpa adanya perang yang harus kita hadapi, membuat kita
layaknya kacang yang melupakan kulitnya ? Tak cukup kita hanya mengetahui garis besar
dari kemunculan negara kita. Tak cukup hanya dengan mengetahui orang-orang penting yang
telah berjasa secara langsung dalam memerdekakan Indonesia. Bukan hanya seorang Ir.
Soekarno yang memerdekakan Indonesia begitu pula bukan hanya R.A.Kartini sang pelopor
kaum wanita yang hanya menjadi pelopor wanita. Bukan hanya Cut Nyak Dhien dan Cut
Meutia saja yang merupakan seorang wanita yang pernah berjuang demi tanah kelahiran
mereka. Tapi terdapat seorang pahlawan yang lebih dahulu dari Cut Nyak Dhien dan Cut
Meutia, dengan julukannya de inong balee, sang pemimpin pasukan janda yang melawan
penjajah di atas kapal dengan menangkap para pemimpin sekutu dan memberikan perjuangan
baru bagi para pahlawan setelahnya yang pada akhirnya berhasil membuat Indonesia merdeka
layaknya kini.

ISI
“Dari tanahmu hei Aceh / Lahir perempuan perkasa / Bukan hanya untuk dikenang / Tapi
dia panglima laksamana jaya” Malahayati – Iwan Fals

Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, terdapat seorang tokoh wanita bernama
Keumalahayati. Keumala dalam Bahasa Aceh sama dengan Kemala yang berarti sebuah batu
yang indah dan bercahaya, banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian. Berdasarkan
sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di Univesity Kebangsaan Malaysia Din Berangka
tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan
Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.
Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya garis ayahnya
adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah
sekitar tahun 1530 – 1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan
Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1534 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh
Darussalam.
Tampak bagi kita bahwa Keumalahayati merupakan keturunan darah biru, yang
merupakan keturunan bangsawan keraton dimana ayah dan kakeknya pernah menjabat
sebagai Laksamana Angkatan Laut. Hal ini membuat Keumalahayati juga mewarisi jiwa
bahari dan bercita-cita besar menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan
kakenya.
Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum
diketahui pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad
XV dan awal abad XVI.
Setelah menempuh pendidikan agama di Meunasah, Ran Akang dan Dayah,
dikarenakan beliau ingin melanjutkan cita-cita dari sang ayah menjadi seorang pelaut yang
handal maka beliau menempuh pendidikan militer di akademi militer milik Aceh Darussalam
yang bernama Ma’had Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan angkatan darat dan laut,
dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Terbukti di Akademi tersebut, beliau
memanglah seorang taruna wanita berprestasi yang sangat memuaskan dan karena
kemahirannya di bidang militer, beliau berhak memilih jurusan yang beliau inginkan
sehingga masuklah beliau di jurusan angkatan laut.
Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Ma’had Baitul makdis tersebut,
Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya.
Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang sampai akhirnya sepakat
menjalin cinta asmara dan setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Ma’had Baitul
Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhinnya
mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira
Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan
armada Portugis.
Sebagai seorang perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh dan
memiliki prestasi pendidikan yang sangat memuaskan, Keumalahayati memperoleh
kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604),
diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Merasa jabatannya sangat tinggi dan mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, di
samping menjadi orang kepercayaan sultan, juga harus menguasai soal etika dan
keprotokolan sebagai mana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan manapun di
dunia. Bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati sebagai Komandan Protokol Istana,
diangkat pula Cut Limpah sebagai komandan intelijen istana (geheimraad).
Memang kisah perjalanan hidup dari Keumalahayati tidak jauh dari Cut Nyak Dhien.
Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut
Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. Demikian pula halnya dengan
Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di
perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya.
Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh
pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh kalena itulah maka Laksamana
Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan “Srikandi dari Aceh”. (Nyoman S. Pendit, 1970
: 189; I Made Purna, 1994 : 54-61).
Kepahlawanan Keumalahayati dimulai saat terjadinya pertempuran laut antara armada
Portugis dengan armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al
Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana.
Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru dan berakhir dengan hancurnya armada
Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 prajuritnya
gugur. Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah
suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia.
Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum
dapat diketahui dengan pasti.
Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan
gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati namun, walaupun
dirinya bangga, beliau juga geram dan marah pada Portugis atas kematian suaminya dan oleh
karena itu tidak mengherankan apabila beliau ingin menuntut balas terhadap suaminya
tersebut.
Untuk melaksanakan niatnya, beliau mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al
Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita
janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Setuju akan permintaan
Keumalahayati, beliau dengan armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada
Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai
pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng
Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di
perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap
laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu
Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda)
tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan
Malahayati.
Saat pembentukkan Armada Inong Balee, hanya berkekuatan 1000 orang janda muda
yang suaminya gugur di medan perang laut Haru namun diperbesar lagi menjadi 2000 orang
denan para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin
Laksamana Keumalahayati.
Keumalahayati adalah wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral)
Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan
Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan
Al Mukammil. Sebelum berpangkatkan Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati
menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh. Setelah
Keumalahayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia
diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer.
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 21 Juni 1599, dua buah kapal Belanda yang bernama
de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-
masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan
Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik
dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan
yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat
menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.
Namun dalam perkembangannya, banyak pengkhianatan dari Belanda terhadap Aceh
salah satunya adalah pembangunan gudang yang katanya untuk menyimpan hasil pembelian
Belanda terhadap Aceh namun ternyata gudang tersebut diperbesar dan dibangun mirip
seperti benteng. Akhirnya pada suatu hari, sultan meminta tolong Cornelis De Houtman
dalam sebuah surat perjanjian untuk melayarkan para pasukan Aceh untuk menggantikan
para penjaga perbatasan Johor yang telah lama tak kembali menemui sanak saudaranya.
Dengan diiringi Panglima Keumalahayati, pasukan itu tiba di depan kapal Belanda namun
sang nahkoda berkata bahwa ia tidak mengetahui adanya pelayaran untuk mengirim pasukan
Aceh ke Tanah Johor. Pengkhianatan tersebut akhirnya membuat peperangan yang hasilnya
adalah terbunuhnya Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dengan
Frederick de Houtman yang dijadikan tahanan. Frederick de Houtman mendekam dalam
tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus
Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara.
Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati
tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie",
hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut :
“Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya
Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang,
kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka,
tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel
pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.”
Bukan hanya seorang laksamana ataupun komandan pasukan wanita pengawal istana,
ia juga seorang diplomat dan juru runding yang handal. Hal ini telah dibuktikan dalam
praktek menghadapi counter part-nya dari Belanda maupun lnggris. Sebagai seorang militer,
Keumalahayati tegas dan disiplin tinggi, tetapi dalam menghadapi perundingan, la bersikap
luwes tanpa mengorbankan prinsip. Sebagai seorang militer dan panglima armada, la dapat
bersikap tegas tanpa mengenal kompromi menghadapi lawan. Namun sebagai seorang
diplomat Keumalahayati dapat bersikap ramah dan luwes dengan lawan berundingnya. Sosok
diplomat wanita Aceh ini sungguh berwibawa.
Pada tanggal 21 November 1600 Bangsa Belanda membalas dendam ke Kerajaan
Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden dan menenggelamkan
sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dulu memindahkan segala muatan lada dari kapal
itu ke dalam kapal-kapal mereka kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh.
Lalu tanggal 31 Juni l601 di bawah pimpinan Laksamana Yacob van Neck, sewaktu
mendarat di ibukota Kerajaan Aceh dan setelah memperkenalkan diri kepada Sultan Aceh
bahwa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dengan tujuan untuk membeli lada,
Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan
mereka secara tidak baik. Oleh Keumalahayati diinfomiasikan bahwa dua buah kapal Belanda
yang datang sebelumnya telah menenggelamkan kapal milik Aceh dan membawa sejumlah
lada tanpa bayaran. Oleh karena itu, sebagai ganti rugi. Sultan telah memerintahkan untuk
menawan setiap kapal Belanda yang berlabuh di perairan Aceh.
Pada 23 Agustus 1601, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan
4 buah kapal masing-masing Zeelandia, Middelborg, langhre Bracke dan Sonne tiba di
Pelabuhan Aceh. Kapal atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda untuk menjalin
hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Keduanya mendapat perintah untuk
menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat agar dipersembahkan kepada Sultan Aceh.
Terjadilah perundingan antara sultan, para pimpinan Belanda, dan juga Laksamana
Keumalahayati kemudian membuahkan hasil berupa :
“terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Aceh. Selanjutnya sebagai imbalan
dari dibebaskannya Federijck de Houtman dari tahanan. Belanda harus membayar
kerugian kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden. Berkat kepandaian
Keumalahayati berdiplomasi, akhirnya Belanda bersedia rnembayar kerugian
sebesar 50.000 gulden.”
Setelah bertemu dengan Sultan Aceh, utusan Pangeran Maurits tersebut mengakui
betapa baik sambutan pihak Aceh kepada para pedagang Belanda ketika mereka pertama kali
tiba di pelabuhan. Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan
menyampaikan rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Van Caerden
dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut
kompeni dagang Van Caerden atas tindakannya yang main rampas janjinya terpenuhi terbukti
dengan adanya hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas Van
Caerden, berupa keharusan membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh dan
uang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan kepada Aceh
Pihak Belanda yang dipimpin oleh Bickers ternyata berhasil meyakinkan pihak Aceh
melalui Keumalahayati. Oleh karena itu Sultan Aceh kemudian bersedia menerima kehadiran
mereka di istana Kerajaan. Mereka diizinkan berdagang di Aceh. Keumalahayati
diperintahkan membebaskan semua tawanan Belanda termasuk Frederick de Houtman.
Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi Laksamana
adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil
Rakyat Belanda. Ketiga utusan tersebut bernama Abdoel Hamid, Sri Muhammad, salah
seorang perwira armada laut di bawah Keumalahayati, dan Mir Hasan seorang bangsawan
Kerajaan Aceh (Wap, 1862 : 17). Ketiganya merupakan duta Aceh pertama dari Kerajaan di
Asia yang pernah dikirim ke Eropa (Negeri Belanda) sebagai saksi kemerdekaan Belanda
terhadap Spanyol dengan pengakuan dari Kerajaan Aceh diwakili tiga orang tersebut dan
disebut pengakuan de jure. Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah
pimpinan Pangeran Maurits, pendiri Dinasti Oranye itu telah terangkat derajatnya di kalangan
negara-negara Eropa.
Sekarang giliran lnggris bermaksud untuk menjalin hubungan dagang dengan
Kerajaan Aceh. Untuk itu Ratu Elizabeth I mengirim utusan ke Kerajaan Aceh. Sebagai
realisasinya pada tanggal 6 Juni 1602, James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut
Inggris bersama rombongannya tiba di Pelabuhan Aceh. la membawa sepucuk surat dari
ratunya Elizabeth I untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh Al Mukammil. Setibanya di
Aceh, sebelum bertemu dengan Sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan perundingan
dengan Laksamana Keumalahayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab.
Lancaster dapat mengerti bahasa itu karena ia membawa serta seorang Yahudi dari Inggris
sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa lnggris. Dalam perundingan tersebut, utusan
lnggris menyampaikan pentingnya menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan antara
inggris dengan Kerajaan Aceh. Selain itu Lancaster meminta kepada Keumalahayati agar
tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati pada orang-orang Inggris. Ia meminta agar Aceh
membantu utusan-utusan Inggris di Aceh.
Setelah perundingan selesai, Laksamana Keumalahayati meminta pada Lancaster agar
sernua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggris dan dibuat secara tertulis untuk
disampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James
Lancaster diperkenankan menghadap Sultan. Dengan didampingi Laksamana Keumala
Hayati, Sultan akhirnya bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil dari Ratu lnggris.
Tampaknya Portugis tidak suka melihat kedatangan orang-orang Belanda dan lnggris di
Aceh. Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan benteng di Pulau yang terletak di Pantai
Aceh. Hal itu kemudian ditentang oleh pihak Aceh dan merupakan batu ujian bagi
Laksamana Keumalahayati.
Pada tahun 1603 Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil menempatkan anak laki-
lakinya yang tertua sebagai pendampingnya di atas tahta Kerajaan Aceh. Oleh karena
berambisi ingin menjadi Sultan penuh, putranya itu menyingkirkan si Ayah dari kedudukan
sebagai Sultan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali
Riayat Syah.
Tahun-tahun pertama pemerintahan Sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-
bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang sangat panjang,
pertikaian berdarah dengan saudaranya dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis. Sultan
nampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. Apalagi pemerintahannya sendiri
berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini disebabkan karena caranya mencapai
kedudukan sebagai Sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri. Rasa tidak puas juga
disampaikan oleh Darmawangsa Tun Pangkat, seorang kemenakannya sendiri yang kemudian
ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan.
Ketika orang-orang Portugis menyerang Aceh pada bulan Juni 1606. Darmawangsa
masih berada di penjara. Penyerangan Portugis ke Aceh dipimpin oleh Alfonso de Castro.
Sebagai orang Aceh, Darmawangsa tidak rela jika negerinya diserang musuh. Oleh karena itu
ia meminta pada Sultan untuk membebaskan dirinya dari tahanan, agar ia dapat ikut
bertempur melawan Portugis. Dengan diperkuat oleh permintaan Laksamana Keumaiahayati,
permohonannya itu dikabulka. Setelah bebas dari tahanan, Darmawangsa bersama
Keumalahayati menghadapi serangan Portugis. Pertempuran sengit di perairan Aceh pun
terjadi. Berkat kecakapan dan kegigihan Laksamana Keumalahayati dan Darmawangsa,
akhirnya pasukan Portugis berhasil dihancurkan. Sultan sendiri karena tidak cakap dan tidak
disukai oleh rakyatnya la tidak bertahan lama di singgasana. Dengan bantuan Laksamana
Keumalahayati, akhirnya Darmawangsa Tun Pangkat berhasil menurunkan Sultan Ali Riayat
Syah dari tahta kerajaan. Darmawangsa adalah tokoh yang cakap yang akhirnya
menggantikan kedudukan Ali Riayat Syah sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan
Iskandarmuda, yang memerintah Kerajaan Aceh mulai tahun 1607-1636 M. Pada masa
kekuasaannyalah kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya.
Selanjutnya mengenai kematian Laksamana Keumalahayati belum dapat diketahui
karena memang belum ada data atau petunjuk yang menerangkan kematiannya. Walaupun
kelahiran dan kematiannya masih menjadi misteri, namun sepak terjang dan
kepahlawanannya pantas dicatat dalam lembaran sejarah Aceh dengan tinta emas.

PENUTUP
Terbuktilah sudah bahwa Laksamana Malahayati memang patut dikenang akan
perjuangan beliau. Sikap kepahlawanan beliau dalam berpolitik, ketegasannya, cara beliau
berunding dan keluwesan maupun kebijaksanaannya dalam menjadi diplomat telah
membuktikan bahwa sedari dulu memang sudahlah ada orang-orang yang menyamai
Soekarno di zaman dahulu bahkan sebelum adanya kelahiran Soekarno itu sendiri. Kehidupan
Keumalahayati dalam menempuh pendidikannya dalam bidang keagamaannya pun ia tekuni
saat ia masih di bangku sekolah ketika ia sekolah di sekolah keagamaan. Sikap hormat dan
santunnya, saling menghargai dan kekompakkannya, dalam membela segala kebenaran yang
ada dan mempertahankan tanah airnya telah menunjukkan usaha kerasnya selama ini.
Pola pikirnya, giatnya, disiplinnya, ketangguhannya sungguhlah dapat kita contoh di
berbagai bidang salah satunya di bidang politik, saat ia melakukan perundingan dengan
Inggris, dengan bijaksananya ia meminta utusan Inggris untuk menuliskan segala
permintaannya dalam bentuk perjanjian, setelah itu diserahkan kepada sultan. Atau dibidang
pendidikannya yang mana ketika kita melihat bahwa Laksamana Malahayati dalam
menempuh cita-citanya beliau benar-benar berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga ia
dapat diterima di akademi yang sangat bagus di Aceh. Selain itu di bidang kebudayaannya
dapat kita lihat ketika suatu perjanjian di berlangsungkan maka janji itu layaknya hutang
yang akan selalu ditagih dan harus benar-benar di taati.
Betapa banyaknya hal-hal yang dapat kita contoh dari pahlawan yang satu ini oleh
karena itu sejarah memanglah sangat penting selain untuk mengetahui munculnya suatu
bangsa atau kejadian-kejadian tertentu melainkan kita dapat memetik sebuah hikmah yang
dapat kita contoh dan memotivasi kita saat kita memandang tokoh yang terlibat di dalam
sejarah tersebut. Seperti kata Presiden RI pertama kita,
“JAS MERAH ; JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH”

Anda mungkin juga menyukai