Anda di halaman 1dari 12

Amir, dan Akhir Sebuah Syair

(Sebuah Tafsir dalam Monolog)

Iswadi Pratama
AKTOR YANG MEMAINKAN MONOLOG INI HARUS MEMERANKAN TIGA KARAKTER:

1. IJANG WIDJAYA; Seorang Algojo, Mandor, dan Guru Silat Amir Hamzah
2. AMIR HAMZAH : Tokoh Utama Cerita; Seorang Penyair, Bupati Langkat Sumatera
Timur, Keturunan Bangsawan
3. SEORANG YANG MISTERIUS
SATU

PANGGUNG BERNUANSA SUREAL. DI BAGIAN BELAKANG PANGGUNG; DI ATAS LEVEL YANG LEBIH TINGGI
DARI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG, TERDAPAT BEBERAPA BARIS BANGKU KAYU WARNA PUTIH. DI SISI
KIRI PANGGUNG YANG SEJAJAR DENGAN SISI KANAN PANGGUNG; TERDAPAT BEBERAPA BARIS BANGKU
KAYU BERWARNA MERAH. SEDANG DI SISI KANAN PANGGUNG SEJUMLAH BANGKU KAYU BERWARNA
HIJAU DITATA. DI ATAS SETIAP BANGKU HIJAU INI, DENGAN KETINGGIAN KIRA-KIRA 1 METER DI ATASNYA
TERGANTUNG KARUNG-KARUNG GONI YANG SERUPA DENGAN PENUTUP KEPALA.

DI BAGIAN TENGAH PANGGUNG: TERDAPAT SEBUAH BALAI-BALAI YANG LEBIH RENDAH DARI KETIGA SISI
PANGGUNG. DI BAWAH BALAI-BALAI INI TERDAPAT LUBANG BESAR YANG MENGESANKAN BARU SAJA
DIGALI. DI ATAS BALAI-BALAI INI TAMPAK CELANA DAN KEMEJA BERWARNA PUTIH YANG DILIPAT RAPI,
JUGA SEBUAH SARUNG KHAS MELAYU DAN SEBUAH PECI BERWARNA HITAM; SETUMPUK BUKU, SEBUAH
KITAB SUCI, PENA, ALBUM FOTO, DAN SEBUAH LAMPU SINTIR DENGAN NYALA YANG TENANG. SEDANG
JAUH DI ATASNYA TERHUNUS SEJUMLAH BAMBU ATAU KAYU YANG MENYERUPAI TOMBAK-TOMBAK
DENGAN UJUNG TAJAMNYA YANG MENGANCAM KE ARAH BAWAH.

DI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG TERDAPAT DUA BUAH SPEAKER TOA MENGARAH KE AREA
PANGGUNG. DARI SPEAKER TOA INI MENGALUN LAGU BERNUANSA KOLONIAL. BERSAMAAN DENGAN ITU,
LAMPU FADE IN DI SALAH SATU BANGKU PUTIH YANG TERPISAH DARI BARISAN BANGKU LAINNYA, BERADA
PALING DEPAN.

TAMPAK AMIR HAMZAH SEDANG DUDUK BERKHIDMAT. KEDUA LENGANNYA MENOPANG DAHI; SEPERTI
ADA SESUATU YANG SANGAT MENDALAM YANG SEDANG DIPIKIRKANNYA. PERLAHAN IA MENGANGKAT
WAJAH, BERDIRI, DAN MENATAP KE DEPAN.

Semua bermula dari permintaan Sultan agar aku kembali ke Langkat. Surat yang ringkas, dan separuhnya
bernada cemas. Dunia sedang berubah; negeri sedang bergelora menuju ke suatu pemerintahan yang
demokratis. Sistem feodal yang telah berabad-abad tumbuh di negeri ini, satu per satu hancur. Raja-Raja
tumbang, juga langkat, kerajaan kecil di Sumatera Timur itu, di ambang kehancuran. Bila mereka ingin
berpihak pada rakyat dan Republik, mereka harus membubarkan diri. Dan bila mereka hendak
mempertahankan trah dan tahta, mereka harus menjadi "boneka" Belanda yang datang kembali setelah
Jepang menyerah.

Bukan hanya Sultan dan kerajaan Langkat yang terambing situasi setelah negeri ini menyatakan daulatnya.
Aku pun. Di Batavia, pergerakan pemuda untuk menjalin kebangsaan dan kesatuan sedang bergelora. Fajar
Baru sedang menyingsing. Bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir, kami bergerak! Dengan pena dan kata-
kata, dengan risalah-risalah, roman, sajak, juga kisah-kisah. Bahasa Melayu Baru harus menjadi perekat
seluruh bangsa. Apa yang kami lakukan tak luput dari pengawasan pemerintah Hindia-Belanda. Kami tak
bisa lagi bertumpu pada Balai Pustaka karena haluan yang berbeda. Maka kami mendirikan Poedjangga
Baroe. Majalah perjuangan yang harus kami biayai sendiri. Aku pernah berkirim surat pada banyak Sultan.
Tapi tak satupun yang berkenan membantu, sebab mereka tahu, apa yang kami lakukan ini bertentangan
dengan kehendak pemerintahan Hindia Belanda. Dan Sultan memintaku kembali ke Langkat karena dua
alasan: pergerakanku di Batavia membahayakan kerajaan, dan Ia ingin aku menikahi puterinya Kamaliah,
agar aku dapat menggantikan kedudukannya. Aku tak mungkin menolak permintaannya. Berkat Sultan aku
bisa melanjutkan pendidikan di Batavia dan melakukan semua yang patut kulakukan untuk negeri ini. Ia
pula yang menghidupiku sejak ayahku wafat. Maka, seperti Nahkoda yang harus memutar balik arah
pelayarannya, kutinggalkan Batavia. Kulupakan pulau-pulau harapan yang telah tampak di depanku.
Kutinggalkan Armijn dan Sutan Takdir. Kutinggalkan Ilik, kekasih yang amat kucinta. Kutampik tawaran
Purwodarminto untuk menggantikannya mengajar Bahasa Indonesia di Jepang.

AMIR BERJALAN KE SISI LAIN DI BARISAN BANGKU-BANGKU PUTIH ITU.

Armijn, Sutan Takdir, Ilik....bagaimana aku bisa terpisah dari mereka? Mereka telah menjadi denyut dalam
nadiku. Aku merasa tak akan bertemu lagi dengan mereka. Firasat itu begitu kuat dalam diriku.

Seperti yang kalian tahu, aku kembali ke Langkat bukan sebagai seseorang yang rindu kampung halaman;
berziarah, mendekap masa lalu dan apa saja yang indah. Aku kembali ke Langkat karena nubuat. Takdir
ditetapkan, dan manusia tak bisa mengelak. Sultan memintaku menikahi Kamaliah, putrinya, dan dengan
begitu aku dapat menggantikan kedudukannya.

Aku gentar seperti Arjuna yang ragu saat harus menarik anak panahnya dalam perang Kuru. Tapi Darma
harus dilaksanakan. Orang menjadi mulia karena ia melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Menggantikan kedudukan Sultan Langkat, aku seakan harus menarik anak panah dalam kecamuk yang
memisahkanku dari rakyat yang amat kucinta. Tapi Arjuna berdiri di atas kebenaran yang kukuh, setidaknya
bagi para Dewa, dan Khirsna benar-benar di sisinya. Sedang aku, kakiku bertumpu pada tanah yang guyah,
tanah yang telah menyimpan benih bencana namun harus kupertahankan dan kubela. Para Sultan telah
kehilangan marwah dan daulatnya telah luntur di kaki kaum penjajah.

Ah...inikah rupanya; mengapa aku dulu begitu menyukai membacakan kisah Bhagavad Gita pada anak-anak
di sekolah. Terutama saat Arjuna dirundung ragu karena harus bertempur dengan saudara-saudaranya
sendiri yang amat ia cinta.

Aku berhutang budi dan menyayangi Sultan dan seluruh keluarga kerajaan--meski aku tahu beberapa di
antara mereka khianat. Tapi aku pun amat mencintai rakyat, kaum jelata. Aku mencintai bangsa ini, bukan
tahta atau segala kelimpahan kaum bangsawan.

Maka, anak panah itu tak kulepaskan. Sebab yang ada di hadapanku adalah diriku sendiri; rakyat yang amat
kucintai. Hari esok bangsa yang telah menjadi arah bagi kelahiranku di dunia.

(TIBA-TIBA MERAGUKAN PERNYATAANNYA SENDIRI) Atau mungkin aku memang tak memiliki busur dan
anak panah? Aku tak berdiri tegak kukuh sebagai ksatria dalam kecamuk itu. Barangkali aku lebih seperti
Hamlet--kisah yang pernah dituturkan Sutan takdir padaku--Pangeran yang penuh ragu...

Tidak! Aku bukan Hamlet! Aku Amir Hamzah. Tengku Amir, Putra Tengku Mohmad Adil. Putra Langkat. Aku
seperti Arjuna yang telah menerima Dharma dan Karmanya tanpa busur panah. Aku mencintai bangsaku,
aku mencintai kebaikan dan kebenaran. Meski keduanya tak selalu seiring, bahkan acap berbenturan.
Menjadi Bupati Langkat, bagiku, adalah menegakkan bangunan yang tiang-tiangnya telah rapuh seluruhnya:
hidup berfoya-foya dan terjerat dalam hutang..

Aku pulang ke Langkat, masuk dalam kecamuk...


DUA

FADE-OUT
DALAM GELAP TERDENGAR DERAP SEPATU YANG LAMAT-LAMAT DI KEJAUHAN. SEMAKIN LAMA SUARA
SUARA DERAP SEPATU INI SEMAKIN MENEGAS LALU BERBAUR DENGAN TAMBUR, SORAK-SORAI DAN
TERIAKAN-TERIAKAN YANG MENYERUKAN PENGHANCURAN DAN PEMBINASAAN. SEGALA KEBISINGAN INI
BERBAUR DENGAN KEPANIKAN; JERIT TANGIS DAN KEKACAUAN. INTENSITAS SUARA-SUARA INI DIIKUTI
DENGAN MUNCULNYA CAHAYA DI SETIAP SISI PANGGUNG DALAM INTENSITAS YANG SECUKUPNYA;
SEKADAR MEMBERI BIAS PENERANGAN DENGAN TETAP MEMPERTAHANKAN VOLUME DAN KEDALAMAN
RUANG. KETIKA KEBISINGAN DAN SEGALA KEKACAUAN ITU MENCAPAI TITIK KLIMAKSNYA; SEBUAH LAMPU
SPOT MENYALA SECARA TIBA-TIBA MENGARAH KE SEBUAH BANGKU MERAH YANG BERADA DI BAGIAN
PALING DEPAN.
LAMAT-LAMAT NYANYIAN "DARAH RAKJAT".

(SESEORANG; SOSOK MISTERIUS, bangkit dari duduknya dengan tenang. Berdiri di sana dengan khidmat.
Memandang ke atas; ke arah tombak-tombak yang terhunus, lalu ke balai-balai yang berada tepat di
bawah tombak-tombak itu, lalu memandang ke arah penonton; dingin dan datar)

Hari itu, 3 Maret 1946, ribuan orang telah berkumpul sejak pagi. Semua mendengar bahwa Belanda akan
datang lagi. Kaum kulit putih yang menjadi Tuan dan Juru Selamat para bangsawan di negeri ini. Para
bangsawan yang telah hidup berjaya di atas compang-camping dan kemelaratan hidup kami. Mereka
bangun istana-istana mereka, mereka limpahi diri, anak-anak, dan isteri-isteri mereka dengan harta,
mereka baguskan dan cukupkan segala rupa kebutuhan hidup mereka dari suburnya kebun-kebun
tembakau. Kebun-kebun tembakau yang kami tanam dan jaga dengan tangan-tangan kurus dan gemetaran.

Mereka membuat kami kehilangan pautan dengan tanah kami sendiri. Mereka telah membuat kami jeri
bahkan untuk sekadar memimpikam hari esok yang tak cemas. Anak-anak kami lahir, tumbuh, dan besar
dalam lapar dan was-was. Sementara anak-anak mereka, sekolahnya pun tinggi, pakaiannya selalu kemilau
dan wangi. Dalam hal apa pun, merekalah yang harus kami dahulukan. Mereka memiliki kasur-kasur yang
empuk, selimut hangat, mahligai-mahligai bagi mimpi indah mereka. Sedang kami hanya memiliki sepasang
lengan dan bahu untuk mendekap dan memikul segala penderitaan. Kami simpan mimpi kami dalam perut
yang selalu perih dikoyak lapar dan kemiskinan. Kami seret kaki-kaki kami di sepanjang jalan di sisi dinding-
dinding istana dan kebun-kebun tembakau yang megah. Sedang mereka duduk-duduk menyantap
makanan bersama Tuan-Tuan Kulit Putihnya sambil merancang nasib yang akan mereka timpakan pada
kami.

SOSOK MISTERIUS menghampiri setumpuk pakaian putih yang ada di balai-balai. Mendekap dan menghidu
harumnya. Lalu meletakkannya kembali.

(Dengan nada lirih dan dalam) Para Tengku yang mulia......


Betapa marahnya kami ketika itu, betapa murkanya...
Simalungun, Karo, Langkat, dan Deli..ke sanalah kami bergerak mencarimu...Satu per satu dari kalian
memang kami tangkap dan lenyapkan. Mungkin kalian akan menyebut kami keji, tak berperasaan, dan
menistakan segala kebajikan. Kebajikan yang menjadi topengmu untuk menistakan kami.

Mungkin kita hanya berbeda dalam soal kekejian yang kita pilih. Kalian amat mencintai kedamaian,
ketentraman, kemasyhuran. Sebab hanya dalam keadaan seperti itu kalian bisa menikmati segala
kelimpahan. Sedang kami berpihak dan mencintai Revolusi. Betapa pun revolusi itu datang dari sebuah
sejarah yang tak pernah terang benar arahnya. Dan sejarah, di manapun, selalu ditaburi begitu banyak kata
"konon".

LAMPU DI BANGKU MERAH PERLAHAN MEREDUP.


MUSIK: Nyanyian "Darah Rakjat" kembali mengalun.

SOSOK MISTERIUS tadi bergerak ke sisi luar barisan bangku merah. Melepas pakaiannya dan bersalin rupa
menjadi AMIR HAMZAH.

TIGA

DARI DUA SPEAKER TOA YANG TERDAPAT DI SISI KIRI DAN KANAN PANGGUNG MENGGEMA SERUAN
SEPERTI SEBUAH PADUAN SUARA.

Raja telah jatuh! Rakyat Berkuasa!


Raja Telah Jatuh, Rakyat Berkuasa!
Raja telah jatuh, Rakyat Berkuasa!
Rakyat menjadi hakim! Hidup Rakyat!
Musnahkan kaum bangsawan!
Lenyapkan Kaum Feodal!

AMIR HAMZAH YANG SEBELUMNYA TAMPAK KHIDMAT MENULIS DAN MEMBACA DI ATAS BALAI-BALAI,
TIBA-TIBA BANGKIT. IA MENCOBA MEREDAM SEGALA RASA PANIKNYA. BERGEGAS TURUN DARI BALAI-
BALAI ; MENCARI KAMALIAH DAN TAHURA.

Tahura...! Dinda..! Di mana kalian?


(SEAKAN SEDANG BERBICARA PADA KEDUANYA) Cepatlah kalian berkemas, ajak pengawal menemani.
Pergilah dari sini. Cepat! Jangan cemaskan aku..aku bisa jaga diriku. Cepat...! Mereka sudah masuk ke istana
dan merusak apa saja. Pergi ke tempat yang sudah kita rencanakan. Cepat..!

HENING.
MUSIK:
AMIR MENANGGALKAN PAKIAN YANG TADI DIKENAKANNYA. KINI IA HANYA MENGENAKAN KAUS SINGLET
USANG DAN CELANA SEBATAS LUTUT, DENGAN PENUTUP KEPALA BERUPA SECARIK KAIN USANG PULA.

Mereka menangkapku dan mengirimku ke perladangan terpencil ini. Mereka membuat pengadilan yang
mereka sebut Peradilan Rimba. Merekalah yang menentukan dan memutuskan nasib apa yang harus kami
terima. Beberapa yang mujur dipulangkan, sebagian dipindah ke rumah-rumah penjara, sebagian lagi
dikirim ke kamp-kamp tahanan yang ada di kota-kota lain. Aku termasuk yang dianggap berbahaya. Dari
Binjai, mereka mengirimku ke Langkat, di perladangan Kuala Begumit. Di sini kami dipaksa menggarap
ladang, memanggul beban. Tanpa makanan yang cukup juga tanpa alas kaki, kami harus melakukan
pekerjaan apa saja yang mereka anggap sebagai "balasan" atas segala penderitaan yang pernah mereka
tanggungkan. Mereka melucuti seluruh milik kami; baju, celana, sandal, sepatu, arloji, semuanya...semua
yang mereka sebut benda-benda duniawi yang menjadi milik tak sah kaum feodal. Bahkan sebagian dari
kami ditelanjagi.....
Bila malam menjelang, kami menghuni kamar-kamar gelap; tanpa lampu, tanpa cahaya. Kadang amat
kurindukan membaca kitab suci seusai sembahyang. Acap kutulis pula syair dalam remang, meraba-raba,
mencatat kata demi kata. Di dalam syair-syair itu kusimpan seluruh rinduku pada Ilik, pada Tahura dan
Kamaliah; kucatat segala gebalau dan gelisahku, menyeka sepiku, menghunus pula nestapa; gemetar
karena takut dan harapan, bimbang dan percaya pada kebenaran

Tidak! Aku tak ingin mendendam. Sebelum mereka yang menyebut dirinya pendukung revolusi menjarah
dan menghancurkan istana, aku selalu berpesan pada Kamaliah, agar kelak, bila nasib buruk menimpaku,
hendaknya ia tak menyimpan benci pada siapa pun. Aku ingin ia pergi menjauh dari segala situasi dimana
yang hak dan yang bathil tak nyata lagi bedanya. Aku ingin ia, membawa Tahura, putri kami, ke desa yang
tenang; berladang dan menggembala ternak. Membangun hidup yang lebih layak, sedikit demi sedikit...

EMPAT
LAMPU FADE-OUT, KECUALI LAMPU YANG BERASAL DARI DALAM LUBANG YANG ADA DI BAWAH BALAI-
BALAI.

LAMPU FADE-IN PADA SALAH SATU BANGKU BERWARNA HIJAU. DALAM REMANG TAMPAK SOSOK LELAKI
MISTERIUS BERDIRI DI SANA.

(BERBICARA PADA PENONTON) Hari itu, langit di atas negeri Langkat amat bersih. Kamaliah dan putrinya
dan sebagian besar keluarga bangsawan di giring ke sebuah rumah besar bercat hijau. Orang menyebutnya
Rumah Hijau. Di seluruh kota Binjai, orang-orang yang berdarah ningrat ditangkap. Satu per satu dari
mereka ditanyai dengan pertanyaan-pertanyaan yang seluruhnya bernada tinggi. Sebagian kecil
dipulangkan, sisanya tetap ditahan.Tak sedikit pula yang diarak di jalan-jalan sambil diselubungi karung
goni. Mereka dihardik, dicaci maki, dihina dengan kata-kata kotor dan urakan, bahkan didera dengan benda
apa saja yang mereka temukan di jalanan. Sebagian lagi di temukan telah tak bernyawa di sembarang
tempat.

(BERBICARA PADA AMIR) Tetapi kau tak perlu khawatir Amir, Kamaliah dan Tahura tak mengalami hal
memedihkan seperti ini. Orang-orang yang marah itu, beberapa dari mereka, tahu pula bagaimana
keluhuran budimu. Di rumah itu, Kamaliah hanya dipekerjakan sebagai pelayan untuk membersihkan
sayuran dan memasak di dapur meladeni kaum yang saat itu menguasai kota.
Kau pun tak perlu mencemaskan, bahwa Kamaliah akan menaruh dendam pada mereka yang telah
mengambil keuntungan dari kecamuk itu.

Juga ketika hukum di negeri ini, beberapa tahun setelah kematianmu, memutuskan vonis mati bagi Ijang,
algojo yang telah menjalankan eksekusi mati mu, Kamaliah menolak menandatangani surat keputusan itu.
Ia merasa tak berhak menentukan hidup-mati seorang manusia. Ijang hanya dipenjarakan. Ia telah cukup
menderita dihukum rasa bersalahnya. Dan ketika dibebaskan, ia telah kehilangan kewarasannya. Tidak,
Amir. Isterimu tetap takzim padamu. Bahkan ia tak hendak membenci kepada mereka yang telah
menangkap dan membunuhmu. Ia telah menerima apa yang kau katakan padanya; bahwa semua itu telah
menjadi suratan takdir Yang Maha Kuasa.

FADE-OUT

LIMA
LAMPU FADE-IN
SUARA TAMBUR DITINGKAHI BUNYI-BUNYIAN DALAM NADA DAN INTENSI YANG GELISAH DAN PENUH
KECEMASAN.

SAAT LAMPU SPOT MENYALA; MENERANGI SALAH SATU SISI DI BAGIAN BELAKANG BARISAN BANGKU
MERAH; TAMPAK SEORANG LELAKI BERPERAWAKAN TEGAP NAMUN BOYAK. IA TAMPAK AMAT CEMAS,
GELISAH, DAN TERTEKAN. PAKAIAN DAN RAMBUTNYA COMPANG CAMPING. LELAKI INI, IJANG WIDJAYA,
ADALAH BEKAS SEORANG MANDOR YANG MENJADI ALGOJO YANG MEMANCUNG AMIR HAMZAH. SAAT
AMIR MASIH KANAK, IJANG ADALAH GURU SILAT AMIR DAN BEKERJA PADA BANGSAWAN.

IJANG BERJALAN HILIR MUDIK DI ANTARA BANGKU-BANGKU MERAH ITU SAMBIL TERUS MEMANDANG KE
BALAI-BALAI. MENDEKATI BALAI-BALAI DENGAN LANGKAH RAGU DAN TERTEKAN, LALU MENJAUH LAGI,
MENDEKAT LAGI DAN MENJAUH LAGI. MENGITARI BALAI-BALAI SEAKAN SEDANG MENZIARAHI MAKAM
SEORANG YANG AMAT DICINTAI DENGAN PENUH PENYESALAN. IJANG TERAMBING DAN DIHANTAM
PERASAAN BERSALAH DAN MENYESAL. DUDUK DI TEPI BALAI-BALAI MEMANDANGI SETUMPUK PAKAIAN
PUTIH YANG TERGELETAK DI SANA; TERSENYUM, LALU MERATAP DAN BERTERIAK.

Tengkuuuuu....!
Mengapa harus engkau Tuanku? Mengapa harus engkau...?!
Betapa tak patut kau jemput maut yang serupa itu. Betapa tak layak kau tundukkan kepala di hadapan
orang-orang yang marah dan tak sudi memilah mana benar dan salah.

(Meraih setumpuk pakaian putih itu lalu mendekatkan ke dadanya. Berdiri dan melangkah perlahan.
Sepasang lengannya tampak gemetaran)

Sejak kecil tak pernah kau berkata kasar pada siapa saja. Tengku Amir Hamzah, Tengku Busu...kau
kusayangi lebih dari ayahku sendiri. Akulah yang menemanimu pergi mengaji. Duduk bersama kita di surau
setiap lepas senja. Sepasang mata kanakmu itu, tak jemu mengagumi cahaya bulan dan bintang-bintang
setiap gelap menjelang. Engkau bersih laksana bunga-bunga randu bersemi. Engkau harum seumpama
bunga tanjung di pagi hari...engkau tak pernah membedakan mana rendah dan tinggi. Engkau bangsawan
terpuji, namun hatimu kau berikan bagi kami; jelata yang kau rengkuh seperti saudaramu sendiri.

Tengkuuuuuuuu...!
Mengapa harus Patik, Tuanku? Mengapa harus tanganku yang menggenggam parang menghantar
mautmu?. Tangan yang dulu menuntunmu dengan sabar dan takzim....tangan yang juga menumpahkan
darahmu di subuh kelam itu. Akhhhhh..tengkuuuuuu (Menangis melolong)

(Ijang menghempaskan tubuhnya ke tanah, meraung, menggila. Beberapa saat berlalu. Lalu sayup-sayup
terdengar dendang Melayu. Ijang bangkit perlahan. Melihat ke satu arah; menangkap sesosok bayangan di
balik kabut malam. Ijang menghampiri sosok itu)

Tengku...? Kaukah itu Tengku Busu? Kaukah itu Tuanku....? Ini Patik, Tuanku. Ini Ijang , Tengku. Ijang yang
mengajari Tengku silat dan menjaga Tengku semasa kanak. Jangan pergi Tengku..jangan tinggalkan Patik.
Perkenankan Patik tetap menjagamu, perkenankan Patik mengabdikan diri. Tengku....maafkan Patik
Tengku...maafkan Patik. Bicaralah Tengku....makilah Patik, nistakanlah Patik...Ayo Tengku, hardiklah
Patikmu yang khianat ini....

JEDA. LALU KEMBALI BICARA PADA SOSOK ILUSIF YANG BERDIRI TAK JAUH DARINYA.

Tengku..mengapa Tuan diam seribu bahasa? Mengapa Tuan bermuram durja? Apa Tuan sudah pergi
mengaji...Ayo, Patik antar ke Surau. Apa Tuan sudah pergi sembahyang....? Ayo..jadilah Imam, patik akan
berdiri di belakang...Apa? Tuan hendak berlatih beberapa jurus silat lagi? Tuan lupa bagaimana bertahan
dari serangan ? Baik tengku, baik. Patik akan peragakan...

IJANG MEMERAGAKAN BEBERAPA JURUS SILAT

Kuda-kuda Tengku harus kukuh agar mampu menopang badan. (MEMBUAT SATU GERAKAN). Hadapi
hasrat menyerang dan kemarahan dengan sikap tenang dan bersandar pada Tuhan (MEMBUAT SATU
GERAKAN). Tenaga akan mengalir dari inti jiwa ke seluruh badan (MENARIK NAFAS MENGGERAKKAN KUDA-
KUDA KE SISI BADAN). Sepasang mata harus bersumber pada hati yang bersih, mengawasi setiap gerak-
gerik dengan teliti (MEMBUAT BEBERAPA GERAKAN).

DIAM. HANYA TERDENGAR SUARA SERANGGA MALAM . IJANG MENGHAMPIRI SOSOK ILUSIF YANG SEAKAN
SEDANG DUDUK DI DEPANNYA MEMANDANG KE ARAH LAIN.

(Meratap) Bicaralah Tengku..betapa Patik rindu renyah suara Tuan...Patik rindu tawa riang Tuan..Patik rindu
gerak-gerik dan kidung nyanyaian Tuan. Tengkuuuuuuuuuuuu.....

HENING. HANYA SUARA ISAK TANGIS IJANG DITINGKAHI DERIK JANGKRIK DAN SERANGGA MALAM.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, IJANG BANGKIT MENGAMBIL SEPOTONG RANTING YANG TERGELETAK DI
DEKATNYA. MENGGARIS-GARISKAN RANTING ITU PADA TANAH SEAKAN SEDANG MENGGAMBAR SESUATU.
LALU DUDUK MEMPERHATIKAN GURATAN YANG DIBUATNYA ITU. MEMANDANG LURUs KE MUKA DENGA
SOROT MATA TANPA CAHAYA.

BICARA DALAM NADA SUARA YANG LIRIH DAN DALAM


Tengku, Patik tak mengerti apa sebenarnya revolusi...Patik tak tahu mengapa Patik ada di sana,?Untuk
siapa? Patik hanya menjalankan titah. Mereka akan menangkap dan mungkin menyiksa keluarga Patik bila
Patik menolak perintah itu. Patik tak dapat mengelak. Namun Patik tak pernah membayangkan bahwa
Tengkulah yang akan bersimpuh di tepi lubang itu menerima hantaman parang...
Tengku, tahukah Tuanku, saat parang itu memenggal kepala Tuan...sesungguhnya Patik telah menyembelih
Jiwa Patik sendiri. Senyum dan wajah Tengku yang rela, terus menghantui hamba. Tak pernah sekejap pun
Patik merasakan tentram lagi. Tapi Patik tak hendak menampik. Hukuman apa pun yang ditimpakan kepada
Patik, tak akan melunasi penyasalan ini..rasa bersalah ini...bahkan mati tak akan menyudahinya....
Tengku....kalau saja masih bisa Patik dapatkan maaf yang terucap dari mulut Tuan.....kalau saja masih bisa
Patik rasakan sentuhan tangan Tuan..Kalau saja masih bisa Patik raih kaki Tuan dan bersimpuh demi maaf
dan restu....

TIBA-TIBA DIAM SEDIAM-DIAMNYA. HANYA BULIR AIR MATANYA MENGALIR DARI SUDUT-SUDUT MATA.

LAMPU PADA TIJANG FADE-OUT.

ENAM
LAMPU FADE IN:

LAMPU DARI DALAM LUBANG YANG TERDAPAT DI BAWAH BALAI-BALAI FADE-IN. CAHAYANYA MEMBIAS
HINGGA KE TOMBAK-TOMBAK YANG MENGANCAM DI ATAS. MENYUSUL KEMUDIAN LAMPU YANG
TERDAPAT DI BELAKANG BARISAN KURSI-KURSI MENYALA; MEMBENTUK GARIS-GARIS DAN SILHUET YANG
MEMANJANG.

DI BAWAH REMANG LAMPU DI AREA BALAI-BALAI; ADA SOSOK YANG BERJALAN TERHUYUNG-HUYUNG,
TERTATIH PELAN SERAYA MEMBOPONG SEKARUNG BEBAN DI BAHUNYA. IA MENGENAKAN CELANA
SEBATAS LUTUT; CELANA YANG TELAH KUSAM, SEMENTARA PAKAIANNYA TERBUAT DARI KARUNG GONI
MEMBUNGKUS TUBUH RINGKIHNYA. IA BERJALAN TANPA ALAS KAKI MENGITARI BALAI-BALAI ITU.

LAMAT-LAMAT SUARA TILAWAH QUR'AN AYAT TERAKHIR DARI SURAH AL-MU'MINUN.

SETELAH TILAWAH ITU PERLAHAN MENGHILANG, TERDENGAR JELAS NAFAS TERENGAH AMIR HAMZAH.
YANG TERUS DIPAKSA BERJALAN MEMBAWA BEBAN.

MUSIK: SULING ATAU DENDANG MELAYU

DENGAN NAFAS YANG TERENGAH DAN TUBUH MENGUCUR KERINGAT, AMIR MELETAKKAN BEBAN ITU.
MEMUNGUT BEBERAPA LEMBAR KARDUS DAN MENGGELARNYA DI ATAS LANTAI. DUDUK DI SANA DAN
MINUM DARI CANGKIR KALENG YANG ADA DI DEKAT TUMPUKAN BARANG DI SISINYA. IA MEREBAHKAN
TUBUHNYA. BARU BEBERAPA DETIK, IA BANGKIT DAN MEMERIKSA SEBUAH RANTANG YANG ADA DI SISI
LAINNYA. RANTANG ITU KOSONG. LALU IA DUDUK BERSANDAR PADA BEBAN YANG TADI DIPANGGULNYA.
SETELAH BEBERAPA SAAT, AMIR BERDIRI DENGAN SEPASANG KAKI YANG GUYAH. CELANA YANG
DIKENAKANNYA ITU TAMPAK KEBESARAN, DIIKAT DENGAN TALI SEKENANYA. BAJU YANG IA KENAKAN PUN
TAK SAMPAI MENUTUPI PUSARNYA. WAJAHNYA AMAT TIRUS.

Mereka memaksa kami untuk menggali lubang. Ada banyak lubang. Masing-masing berjarak seratus meter.
Di depan lubang itu kami berdiri. Satu per satu nama kami dipanggil. ..

Di hadapan orang-orang yang kalap dan marah; bergunakah suatu Kebenaran?

Ahh..di mana mereka kini? Siapakah yang menemani di tengah kecamuk begini? Selamatkah mereka? Atau
keduanya bernasib sama sepertiku? Tidak! Oh..tidak...Ya Tuhan...Kumohon...timpakan saja segala
kepahitan dan penderitaan kepadaku semata. Jangan mereka, jangan keduanya. Kumohon,
Tuhanku....mereka tak bersalah..merekalah semata harapan dan kebahagiaan hamba....

DARI SPEAKER TOA TERDENGAR SUARA PANGGILAN: "TENGKU AMIR HAMZAH". SETELAH PANGGILAN ITU,
AMIR MENAIKI BALAI-BALAI, DUDUK SEPERTI DUDUK TERAKHIR DALAM SHALAT. LALU BERSUJUD DAN
BANGKIT DENGAN TENGADAH.

Wahai Sang Perkasa, di manakah Tangan-Mu..? Kalaupun telah kau tetapkan semua ini atasku, kumohon
janganlah kau biarkan aku meragukan apa yang telah Kau nisbatkan ke dalam Iman. Kumohon, duhai
tumpuan dan sandaran hatiku, jangan lepaskan aku, jangan tinggalkan aku sebagaimana telah kau
tinggalkan orang-orang yang meninggalkanMu...

AMIR BERDIRI MENATAP CAKRAWALA, LALU TURUN DARI BALAI-BALAI. BALAI-BALAI TERANGKAT KE SISI
SAMPING SEPERTI JENDELA YANG TERBUKA. DARI DALAM LUBANG MEMANCAR CAHAYA BIRU. AMIR
BERDIRI DI TEPI LUBANG ITU.

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu.....

SEUSAI BAIT ITU, AMIR BERSIMPUH. DENGAN KEDUA LENGAN TERIKAT KE BELAKANG. LAMPU DARI DALAM
LUBANG BERUBAH MERAH. AMIR TERHEMPAS KE TANAH. BUNGA BUNGA TANJUNG MELAYANG PERLAHAN
MENIMBUN BUMI.

LALU KIDUNG MELAYU: BUNGA TANJUNG.

LAYAR

Bandar Lampung, 2 April 2021

Anda mungkin juga menyukai