Sinopsis
Utusan dari Batavia mengabarkan terjadinya pembantaian ribuan orang China kepada
orang Lasem. Kabar tersebar di pasar. Rombongan penari penerus ajaran Sunan
Kalijaga, terus menyebarkan semangat melawan Kompeni dan menjaga Lasem. Lasem
mengangkat tiga panglima perang. Panglima Perempuan dari Kajar memberi ketiganya
bekal untuk peperangan dan meramalkan apa yang akan terjadi. Pasukan Lasem
menang di Rembang dan Juwana, namun kehilangan para pahlawan mereka.
Kumandang perang jihad dari Masjid Lasem, menyulut peperangan lebih besar,
korban lebih besar. [d]
Catatan Pengantar
Pementasan ini menceritakan Perang Lasem.
Sebagian fiktif, belum tercatat di buku, atas hasil pembacaan peninggalan sejarah, sedangkan
sebagian lagi berdasarkan catatan sejarah. Saya tidak menggunakan hanya satu sumber
sejarah. Sebisa mungkin, ini bukan cerita yang didominasi sumber sejarah etnis tertentu atau
agama tertentu. Ini tentang Lasem.
Jika hendak dipentaskan dalam kesempatan lain, sebaiknya kabari saya, mungkin ada
perkembangan dan catatan yang bisa kita diskusikan.
Terima kasih untuk kawan-kawan yang terlibat dalam proses penulisan naskah ini.
Terlepas dari semua catatan di atas, selamat membaca dan menikmati.
Day Milovich,,
Rembang Art Society.
UTUSAN : Atas nama perniagaan dan tata-cara berpindah, ribuan orang mati. Harta
kami dijarah. Perlawanan semakin melemah.
Lalu aku menyamar. Berkuda, tak peduli luka.
Aku harus kabarkan kepada semua orang.
Kumpeni akan menyisir Surakarta, Semarang, dan Lasem.
Kabar di Pasar
ORANG-ORANG DI PASAR, RAMAI MEMBICARAKAN PEPERANGAN.
Jantur Laku
ROMBONGAN PENARI TOPENG, PENERUS SUNAN KALIJAGA, MENGAJAK ORANG
BERPERANG DENGAN CARA MEREKA.
SANTI : Siapa penari itu, Badra? Mengapa dia tidak membuka topeng?
BADRA : Pada suatu hari, Syekh Wahdat melepas muridnya, bernama Lokajaya.
Beliau meminta Lokajaya pergi, turun dari Bonang, dengan tiga syarat.
Lokajaya harus menerjemahkan ajaran Syekh Wahdat dalam lidah Jawa.
Sebisa mungkin, sehalus mungkin, tanpa ada paksaan, tanpa pengakuan.
Lokajaya mengalami duka dan derita.
Dia menahan-diri, agar tak seorangpun tahu, dia murid Syekh Wahdat.
Lokajaya membungkus pengetahuan sejati dalam tembang dan tari.
Lokajaya membegal perhatian orang terhadap dunia
SANTI : Menuju ke mana, Kang Mas?
BADRA : Menuju kepada gerak dan bunyi. Menuju ketakberhinggaan.
Dia tinggalkan segala gelar menuju Yang Tak Bergelar.
Dia mengajak semua orang menari dan memasuki tetabuhan.
Kelak orang menyebutnya Sunan Kalijaga.
Penari dan pemusik tadi, adalah penerus ke sekian dari Syekh Wahdat dan
Sunan Kalijaga.
Apa yang sedang kau rasakan, Ni Mas?
SANTI : Tiba-tiba ada rasa rindu ingin bertemu dengan orang yang belum pernah
kutemui, Kang Mas.
BADRA : Suatu saat nanti, kau dan aku akan menyeberang, Ni Mas.
Semua manusia. Akan pulang. Hidup ini terus berulang.
Orang dilahirkan-kembali ketika ingatan tentang keabadian terjadi seperti
rasamu tadi.
SANTI : Berjanjilah kau akan selalu berbicara seperti ini kepadaku.
BADRA : Selamanya. Kau ingat itu?
SANTI : Apakah...
BADRA : Aku bisa mengatakan rindumu, dengan membaca kedua matamu, Ni Mas.
SANTI : Aku membenci perasaan seperti ini. Perasaan kehilangan. Kau akan...
BADRA : Benar. Aku akan pergi. Peperangan telah membuka seribu pintu.
Bumi Lasem memanggilku, mewakili setiap jengkal bumi, agar
perbudakan terhapuskan.
Aku percaya, setiap yang bernyawa itu setara.
SANTI : Aku mengerti. Hanya saja, aku tidak bisa menerima kehilangan dirimu.
BADRA : Aku telah pergi, Ni Mas. Kau tak pernah kehilangan aku.
Hidup ini, keabadian ini.
Lepaskan dan relakan. Kau akan mencapai segalanya.
SANTI : Kang Mas...
---
SANTI BERSEDIH. LALU BERSILA DAN MELAKUKAN MEDITASI.
Panglima Kajar
PANGLIMA PERANG LASEM DILANTIK DI KAJAR. TAN KEE WIE, OEY ING KIAT, DAN ADIPATI
WIDYANINGRAT MENEMUI PANGLIMA-PEREMPUAN.
TAN KEE WIE : Bukan kekuasaan ataupun kemenangan yang kami cari.
OEY ING KIAT : Ajarkan kepada kami bagaimana mengalahkan Kompeni.
PENGANTAR : Dua orang ini mata-mata Kompeni. Mereka di antara orang-orang di pasar.
Mereka sudah mengaku. Menunggu keputusanmu.
PANGLIMA : Jika kalian menjadi panglima, apa yang kalian lakukan kepada 2
pengkhianat ini?
WIDYANINGRAT : Mencari tahu, mengapa kedua orang ini berkhianat.
PENGKHIANAT 2 : Aku tidak memiliki kemampuan apa-apa selain berkhianat. Aku harus
melapor.
OEY ING KIAT : Ampunilah kedua orang ini. Mereka bisa menjadi orang baik-baik.
TAN KEE WIE : Orang-orang ini harus dibunuh jika benar mereka berkhianat.
PENGANTAR : Orang pertama ini, berasal dari Lasem. Aku kenal wajahnya.
Tangannya kasar, tanda dia rajin bekerja.
Dia memang berkhianat. Aku selalu memeriksa laporan pasukanku.
Dia memiliki harapan hidup tinggi, karena ingin menjadi orang kaya raya.
Di belakangnya ada orang-orang yang mau mengikuti apa katanya.
Mungkin 20 sampai 50 orang.
Dalam tujuh pasaran aku bisa mengajari mereka berperang.
Tinggal bagaimana kita bisa mengubah tujuan hidup tuannya.
Orang kedua, tidak berasal dari Lasem. Lihat debu di tubuhnya.
Tidak ada jejak pekerjaan di tubuhnya, selain makan dan minum.
Dia bekerja untuk dirinya sendiri.
Jika dibiarkan hidup, kita hanya membiarkan hidup satu orang.
Aku akan mengampuni orang pertama.
PENGANTAR : Bawa pengkhianat ini ke tengah pasar. Jadikan ingatan terburukmu. Dan
jangan pernah menoleh.
PANGLIMA : Ketahuilah siapa musuhmu. Kompeni akan menyerang dari Barat, Timur,
dan arah laut. Jangan jauh mengejar, perbaiki pertahanan. Ungsikan
keluarga kalian, lekaslah berpamitan. Siapkan lumbung makanan dan atur
kapan dan siapa yang boleh makan. Kalian membutuhkan pasukan.
Ajaklah para berandal dan perampok untuk membela tanah mereka.
Jangkauan senjata, lebih mematikan daripada tajamnya senjata.
Jika kalian gugur, tersenyumlah. Mintalah mereka yang masih hidup untuk
meneruskan peperangan.
Berdirilah. Aku akan melantik kalian.
Peperangan
SFX. SUARA PEPERANGAN.
BADRA DAN SANTI BERDIRI DI SEBUAH LEVEL, MENCERITAKAN PEPERANGAN.
SESEKALI ORANG-ORANG BERSELIWERAN DI TENGAH PEPERANGAN.
*) TEKSNYA MENYESUAIKAN NANTI.
DI SISI PANGGUNG LAIN, TERJADI PEPERANGAN.
SET. LAUTAN. CELAH ANTARA UJUNG WATU DAN PULAU MANDALIKA. 1742, 5 November
SFX. OMBAK LAUT. SUARA MERIAM DITEMBAKKAN. PELURU BERDESINGAN.
AWAK KAPAL : Tuan, kita berada di celah. Antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika.
Kompeni belum juga nampak. Kita terhalang kabut.
TAN KEE WIE : Teruslah melaju. Tanah Lasem sedang mengirimkan bintang-bintang,
memandang dari langit.
AWAK KAPAL : Satu dari tanah, satu dalam laut. Melawan penjajah, biar maut
menjemput.
TAN KEE WIE : Pintakan maaf pada tetumbuhan dan ikan. Lawan. Pantang menyerah!
SFX. PELURU-PELURU DITEMBAKKAN.
TAN KEE WIE TERTEMBAK.
KAPAL TERGUNCANG MERIAM.
ORANG-ORANG MATI DI TENGAH KABUT.
KOMPENI MELOMPAT KE KAPAL TAN KEE WIE.
MEMBUNUH PARA AWAK KAPAL.
BADRA : Lalu Den Panji melepas baju hitamnya. Menukar dengan baju rakyat biasa.
Den Panji bersama pasukannya, menyamar, dengan berjualan alat dapur.
Golok dan pedang telah disembunyikan, di bawah panci dan wajan.
Sepanjang jalan, terbayang pelor dan belati yang tertanam di dada dan
leher. Mereka terus berjalan sampai Lasem.
Sampai, lima tahun kemudian, datanglah kembali ancaman.
ORANG 1 : Kompeni terkutuk! Langit akan marah! Apa haknya melarang apa yang
kami percaya!?
ORANG 2 : Candi-candi dan patung-patung akan dihancurkan.
ORANG 3 : Kabarnya, benteng VOC akan dipindahkan dari Tulis, Kajar, ke Rembang
ORANG 4 : Para pemberontak Argasoka sedang turun gunung.
Mereka telah turun dari Kajar. Perang akan semakin besar.
SET. RUMAH PANJI MARGONO. 1750. MALAM. BAU DUPA, CAHAYA REMANG.
SLIDE MENAMPILKAN ORANG-ORANG MATI DI PEPERANGAN.
PANJI MARGONO NEMBANG SINOM.
ADA DUPA DAN SEBILAH GOLOK DI DEPANNYA.
PANJI MARGONO BERDIRI.
PANJI MARGONO : Kita berkumpul di sini karena sudah gusar dengan kekuasaan Kompeni.
Kita berkumpul karena sejengkal tanah yang tidak dihargai.
Sejengkal tanah bernama: keadilan, kemanusiaan, dan keyakinan.
Aku Panji Margono.
Nenek moyangku datang ke sini sejak ratusan tahun lalu.
Ini hutan kita, tanah kita, laut kita. Inilah kamanungsan kita.
Sejak semula, kita bebas. Mendirikan rumah, berdagang, dan
bersembahyang di sini.
Aku terlahir di Jawa seperti kalian semua.
Tuan Tan Kee Wie, Raden Ngabehi Widyaningrat, adalah saudaraku.
Sama seperti kalian semua, adalah saudaraku.
Mereka yang telah gugur melawan Kompeni, terpejam, tidur damai di
tanah ini. Maka bukalah mata kalian lebih dulu.
Pandangilah laut yang menjadi pintu kedatangan damai manusia dari
manapun. Pandangilah gunung-gunung yang menyediakan beras,
sekaligus benteng pertahanan.
Kenanglah kembali kebesaran Majapahit di Bumi Pusaka Lasem.
Kenanglah anak dan isteri kalian.
Jika kalian takut mati, jangan pernah mau mati dalam peperangan ini.
Sama seperti kalian, takutku pada mati, terjadi karena kecintaanku,
pada keluarga dan Bumi Lasem.
Aku tidak takut mati jika memang harus mati. Aku akan berdiri di depan
kalian dalam pertempuran, sama seperti sekarang.
"Aku membela kalian!". Tanamkan dalam dada kalian.
Getarkan dengan jantung sebagaimana kalian akan getarkan pedang
kalian. Agar tidak ada pedang Kompeni bisa tertanam dalam dada kalian.
Balas dan tumpaslah tangisan tetangga kita dengan jerit ketakutan
Kompeni. Pertempuran akan terjadi lagi.
Merdeka atau menjadi budak selamanya.
Apakah kalian lebih takut kepada manusia yang menghancurkan candi,
dan merampas pustaka warisan dari tanah ini?
Apakah kalian lebih mendamba menjadi budak selamanya daripada
kembali tertawa?
Kita akan bertempur. Meraih kemenangan.
Mengusir seluruh Kompeni dari tanah ini.
SELURUH ORANG MENGANGKAT SENJATA DAN BERTERIAK.
PANJI MARGONO MENGANGKAT TANGAN. ORANG-ORANG DIAM.
KYAI ALI BADAWI MAJU SELANGKAH. MENGANGKAT TANGANNYA DAN BERDOA.
ORANG-ORANG BERDOA DENGAN CARANYA MASING-MASING.
SETELAH BERDOA SELESAI ...
OEY ING KIAT : Kuburkan aku di lereng puncak gunung Bugel. Hadapkan ke matahari
tenggelam.
Tandai dengan dayung perahu dan pohon beringin.
Jangan biarkan Kompeni menyentuh. Hanya anak isteriku.
Ending
ORANG-ORANG MASUK. MENEBARKAN BUNGA DI ATAS PEPERANGAN.