Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN ALIRAN-ALIRAN

DALAM USHUL FIQH

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh


Nama Dosen : Siti Halimah, M.Ag.,

Disusun Oleh :
Renanda Silmi Farihi (1202020131)
Reza Fahlefi (1202020133)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya ilmu ushul fiqh bersamaan dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkanfiqhnya.
Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Secara historis, fiqh lebih dikenal dan tercatat/dibukukan lebih dulu daripada ushul
fiqh, produk ijtihad. Namun jika suatu produk sudah ada maka tidak mungkin tidak
memiliki pabrik. Fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena
itu pembahasan dalam makalah ini membahas tentang sejarah perkembangan dan
aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh
itu ada. Penelitian ini mengkaji sejarah perkembangan ushul fiqh, aliran ushul fiqh,
serta karya ilmiah di bidang ushul fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqh?
2. Apa saja aliran-aliran dalam ushul fiqh?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ushul fiqh.
2. Untuk mengetahui apa saja aliran-aliran dalam ushul fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan ushul fiqh

lmu ushul fiqh tumbuh pada abad ke dua Hijriah, karena pada abad pertama
hijriahSaat Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah
tertentu dalam memahami hukum syara’, semua permasalahan dapat langsung
ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw atau merujuk kepada penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an dan juga melalui sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan
berinteraksi langsung dengan turunnya wahyu baik al-Quran maupun hadits,
disamping itu mereka juga merupakan ahli bahasa, memiliki kecerdasan berpikir
serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami hukum.
Sepeninggal rasulullah saw, para sahabat tidak membutuhkan perangkat teori (kaidah)
untuk berijtihad, meskipun prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai
dan dapat digunakan saat memerlukannya.

Perkembangan ushul fiqh terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Ushul fiqh sebelum dibukukan


a. Masa Sahabat
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqhmeskipun
dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dariushul fiqh.
Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh,karena ushul fiqh
itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikutimujtahid pada waktu
menghasilkan fiqhnya. Namun dalamperumusannya ushul fiqh datang
belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah
Nabiwafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada
pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat di antaranya Umar IbnKhattab,
Ibnu Mas‘ud, ‘Ali ibn Abi Thalib. Menurut Abdul Wahhab Abu Sulaiman,
para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas,dan istislah (maslahah
mursalah) apabila hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai metode-
metode tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru mulai
berkembang waktu itu. Menurut Muhammad Abu Zahrahh, ushul fiqh  yang
dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihad para
sahabat

b. Masa Tabi’in
Pada masa ini permasalahan hukum yang muncul semakin kompleks
yang tejadi di berbagai daerah kekuasaan Islam. Seiringdengan perkembangan
zaman maka para tabi’in melakukan ijtihad seperti halnya yang telah
dilakukan oleh para sahabat. Seperti halnya yang terjadi di Madinah muncul
fatwa yang berkaitan dengan permasalahan baru. Sebagaimana diungkapkan
oleh Sa’id al-Musayyab, bahwa titik tolak para ulama dalam menetapkan
hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari sudut mashlahat, sementara yang
lain menetapkan hukumnya melalui qiyas.
Pada periode tabi‘in lapangan istinbath atau perumusan hukum
semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan.
Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil sebagai pemberi fatwa
hukum terhadap kejadian yang muncul;umpamanya Sa‘id ibn Musayyab di
Madinah dan lbrahim al- Nakha‘i dilrak. Masing-masing ulama ini mengetahui
secara baik ayat - ayat hukumdalam Al-Qur’an dan mempunyai koleksi yang
lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum
dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat
Dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan
Ibrahim Al-Nakha’I dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan
‘Illat hukum dari nash dan menerapkan nya terhadap peristiwa yang lama yang
baru bermunculan kemudian hari.

c. Masa Imam-imam Mujtahid


Metode ijtihad menjadi lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in,yaitu
periode para imam mujtahid sebelum Imam Muhammad bin Idrisal-Syafi’i
(204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Dari ungkapan–ungkapan mereka dapat
diketahui metode istinbat mereka. Imam Abu Hanifah an- Nu’man ( 150 H),
pendiri mazhab Hanafi umpamanya, seperti dikemukakan Muhammad Abu
zahrah, menjelaskan dasar–dasar istinbatnya, yaitu berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan didalamnya, ia berpegang kepada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati didalamnya ia berpegang kepada pendapat yang
disepakati para sahabat.Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah
satu dari pendapat-pendapat itu dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang
menyalaho pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada tabi’in karena ia
juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal
banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas (178 H), pendiri mazhab Maliki,
dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, sepertitergambar dalam
sikapnya dalam mempertahankann praktik penduduk Madinah sebagai
sumber hukum. Satu hal yang perlu, adalah bahwa sampai pada masa Imam
Malik,ushul fiqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan sistematis.

2. Pembukuan Ushul fiqh


Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah
perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukannya.
Untuk itu para ulama Islam mebutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam MuhammadIdris al-
Syafi’i(150--204H) tampil berperan dalam meramu,mensistematisasi dan
membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seperti disimpulkan
Abdul Wahhab Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman di masa itu. Perkembangan pesat ilmu– ilmu keislaman dimulai dari
masa Harun Al-Rasyid` (145 – 193H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang
memerintah selama 23 tahun(170 – 193 H) dan dilanjutkan dalam perkembangan
yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama al-Ma’mun (170-218 H),
khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198-218 H).
Upaya pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh sejalan dengan masa
keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Imam asy-Syafi'I banyak
memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atas tesis dan antitesis dari berbagai
keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi
antara kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Irak. Kepakarannya dalam
ilmu ini, terutama karena ia adalah murid langsung dari Imam Malik, ulama
Madinah, dan dari Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, salah seorang murid
Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia jugamenyerap ilmu fiqh dari para ulama di
Mekah, di mana ia lahir dan dibesarkan.

3. Ushul fiqh pasca Imam-imam Mujtahid


Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik,
dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh
pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah
disusun Imam Syafi‘i. Dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah
yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba
mengembangkan ushul fiqh Syafi‘i dengan cara, antara lain:
mensyarahkan,memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkan pokok
pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya
yang sempurna.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i
itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian.Sebagai ganti
dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yangsudah menjadi dasar
bagi pikiran imam mereka.
Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya
diletakkan Imam Syafi‘i, kemudianmereka menambahkan pemikiran tentang
istihsan dan‘urf  yang diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyah, di
samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak
mengikuti pendapat Syafi‘I yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan
tambahan berupamaslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan
sad al-dzarâ‘i.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya imam-imam mujtahidyang empat
dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti
adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang
tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada
menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.

B. Aliran-aliran dalam ushul fiqh

1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya denganmenggunakan cara-
cara yang digunakan dalam bidang ilmu kalam. Aliran usuliyah ini banyak disebut
sebagai aliran Syafi’iyah karena yang membangun teori-teori usuliyah ini
didomnasi dan berafiliasi kepada mazhab Syafiíyah dan jumhur Mutakallimin
(aliran ilmu kalam). yakni menetapkan kaidah yang didukung dengan alasan-
alasan yang kuat baik naqly (dengan dalil nash) maupun argumen‘aqly (dengan
akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum-hukum furu'  yang telah ada dari mazhab
manapun, kaidah usuliyah itusesuai atau tidak antara kaidah dengan hukum-
hukum tersebut tidak menjadi persoalan.

Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah,Malikiyah dan
Shafi'iyah. Di antara kitab-kitab ilmu Usul Fiqh dalam aliran ini yaitu:

a) Kitab Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin AliyAl-


Bashriy Al-Mu'taziliy Al-Shafi'iy (w. 463 H).
b) Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma'aliy Abdul Malik binAbdullah
Al- Juwainiy Al-Naisaburiy Al-Shafi'iy yang terkenaldengan nama Imam
Al- Haramain (w. 487 H).
c) Kitab Al-Mustashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad binMuhammad
Al-Ghazaliy Al-Shafi'iy (w. 505 H).

Dari tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah kitab Al- Mustashfa,
sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya dalam
kitab-kitab yang disusun oleh para ulama berikutnya,seperti nukilan kitab dari Al-
Burhan oleh Al-Asnawiy dalam kitab Shahr al- Minhaj.

Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab Al-Mahsul disusun oleh


Fakhruddin Muhammad bin 'Umar Al-Raziy Al-Shafi'iy (w. 606 H).Kitab ini
merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas.Kemudian kitab Al-
Mahsul ini diringkas lagi oleh dua orang yaitu :

a) Tajjuddin Muhammad bin Hasan Al-Armawiy (w. 656 H) dalamkitabnya


yang diberi nama Al- Hasil.
b) Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawiy (w. 672 H) dalam kitabnyayang
berjudul Al-Tahsil.

Kemudian Al-Qadiy Abdullah bin Umar Al-Baidawiy (w. 675 H)menyusun


kitab Minhaj al-Wusul ila 'Ilmi al-Usul yang isinya disarikan darikitab Al-Tahsil,
Akan tetapi, karena ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk dipahami. Hal
ini mendorong para ulama berikutnya untukmenjelaskannya. Di antara mereka
yaitu Abdur Rahim bin Hasan Al-Asnawiy Al-Shafi'iy (772 H) dengan menyusun
sebuah kitab yang menjelaskan isikitab Minhaj al-Wusul ila 'Ilmi al-
Usul tersebut.Selain kitab Al-Mahsul yang merupakan ringkasan dari kitab-
kitabal- Mu'tamad, Al-Burhan dan Al-Mustashfa, masih ada kitab yang juga
merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab Al-Ihkam fi Usul
al- Ahkam, disusun oleh Abdul Hasan Aliy yang terkenal dengan nama Saif al-
Din Al-Amidiy Al-Syafi'iy (w. 631 H). Kitab Al- Ihkam fl Usul al-Ahkam ini
kemudian diringkas oleh Abu Amr Usman bin Umar yang terkenal dengannama
Ibnul Hajib Al-Malikiy (w. 646 H). Kitabnya yang diberi nama Muntaha al-Su'li
wa al-Amal fi ilmi al-Usul wa al-Jidal Kemudian kitab itu beliau ringkas lagi
dalam sebuah kitab dengan nama Mukhtasar al-Muntaha. Kitab ini mirip
kitab Minhaj al-Wusul ila 'Ilmi al-Usul, sulit dipahami karena terlalu ringkasnya.
Hal ini mengundang minat para ulama untukmenjelaskannya. Di antara mereka
ialah 'Addud al-Din 'Abdu bin Ahmad Al-Ijiy (w. 756 H) dengan menyusun
sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab Mukhtashar al-Muntaha tersebut.

2. Aliran Hanafiyyah
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasan ilmu usul fiqhberangkat dari
hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (mazhab) mereka, yakni
dalam menetapkan kaidah usuli selalu berdasarkan kepada hukum furu' yang
diterima dari imam-imam mereka. Aliran ini dapat juga dinamakan aliran fuqaha’
yang banyak dianut oleh kalangan yang berafiliasi dengan mazhab Hanafiyah.
Aliran fuqaha’ini sangat praktis dandapat berubah sesuai perkembangan sosial dan
budaya di sekitarnya. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-
hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah
sedemikian rupa dandisesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Ulama
dalam aliran iniselalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu'
yang diterima dari imam-imam mereka. Kaidah usuli mereka diadaptasikan
dengan hukum realitas yang dipraktikkan pada masyarakat
Di antara kitab-kitab Ilmu Usul Fiqh dalam aliran Hanafiyah, yaknikitab yang
disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin 'Aliy yang terkenal dengansebutan Al-Jassas (
380 H); kitab yang disusun oleh Abu Zaid 'Ubaidillahbin 'Umar Al-Qadiy Al-
Dabusiy ( 430 H), kitab yang disusun oleh Shamsal-Aimmah Muhammad bin
Ahmad Al-Sarkhasiy (w. 483 H) dan kitab yang disusun oleh Fakhr al-Islam Aliy
bin Muhammad Al-Bazdawiy ( 483 H), kitab yang disebut terakhir ini diberi
penjelasan oleh Ala‘u al-Din Abd al-Azis bin Ahmad Al-Bukhariy ( 730 H) dalam
kitabnya yang diberi nama Kasyf al-Asrar . Dan juga kitab ilmu usul fiqh dalam
aliran ini ialah kitabyang disusun oleh Hafidh al-Din Abdullah bin Ahmad Al-
Nasafiy ( 790 H) yang berjudul Al-Manar , dan sharahnya yang terbaik yaitu kitab
Misykat al- Anwar.
Dalam abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannyamemadukan
antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan ilmuusul fiqh dengan
memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan sekaligusmemperhatikan pula
persesuaiannya dengan hukum-hukum furu'  di tengah masyarakat. Di antara
mereka itu ialah Mudhafar al-Din Ahmad bin 'Aliy Al-Sha'atiy Al-Baghdadiy
( 694 H) dengan menulis kitab Badi' al-Nizam yang merupakan paduan antara
kitab yang disusun oleh Al- Bazdawiy dengan kitab Al-Ihkam fi Usul al-
Ahkam yang ditulis oleh Al-Amidiy; dan Shadr al-Shariah'Ubaidillah bin Mas'ud
Al-Bukhariy Al-Hanafiy ( 747 H) menyusun kitab Tanqih al-Usul yang kemudian
penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul Al-Taudih. Kitab tersebut
merupakan ringkasan dari kitab yangdisusun oleh Al-Bazdawiy, kitab Al-
Mahsul karya Al-Raziy dan kitab Mukhtasar al-Muntaha  karya Ibnul Hajib.
Demikian pula, termasuk ulamayang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu
Tajud al-Din 'AbdulWahhab bin Al-Subkiy Al-Shafi'iy .( 771 H) dengan
kitab Jam'u al- Jawami’  dan Kamal al-Din Muhammad 'Abdul-Muin yang
terkenal dengan sebutan Ibn al-Hamam ( 861 H) dengan menyusun kitab yang
diberi nama Al-Tahrir.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Usul Fiqh ini, perludikemukakan
bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al- Shatibiy ( 760H) telah menyusun
sebuah kitab Ilmu Usul Fiqh, yang diberi nama Al- Muwafaqat. Dalam kitab
tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahastujuan shara' (maqasid al-
shariah) dalam menetapkan hukum.
Kemudian perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Usul Fiqh yangdisusun oleh
para ulama pada masa belakangan ini, antara lain : kitab Irshadal-Fuhul ila Tahqiq
al-Haq min 'llmi al-Usul oleh Imam Muhammad bin AliyAl-Shaukaniy .( 1255
H), kitab Ta‘sil al  -Wusul ila llmi al-Usul oleh Syaikh Muhammad 'Abdur
Rahman Al-Mihlawiy ( 1338 H); kitab Usul al-Fiqh oleh Muhammad Al-
Khudhariy Biyk ( 1345 H) dan kitab-kitab Ilmu Usul Fiqh yang lain.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
lmu ushul fiqh tumbuh pada abad ke dua Hijriah, karena pada abad pertama hijriahSaat
Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum syara’, semua permasalahan dapat langsung ditanyakan langsung kepada
Rasulullah saw atau merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga melalui
sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya wahyu
baik al-Quran maupun hadits, disamping itu mereka juga merupakan ahli bahasa, memiliki
kecerdasan berpikir serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami hukum.

Perkembangan ushul fiqh terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Ushul Fiqh sebelum dibukukan


2. Pembukuan Ushul Fiqh
3. Ushul Fiqh Pasca Imam-imam Mujtahid

Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh:

1. Aliran Mutakallimin
2. Aliran Hanafiyyah
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2017.Ushul Fiqh.cet. 7. Jakarta: K E N C A N A - PrenadaMedia Group.

Haroen, Narun. 1994.Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Publishing House.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul Fiqh. Terjemahan Noer Iskandar Al-Barsany
dan Moch. Tolchah Mansoer.1994. cet. 4. Jakarta: PT RajaGraffindo persada.

Anda mungkin juga menyukai