Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IJMA’
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :
Hariman Surya Siregar, M.Ag
Siti Halimah, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Muhammad Hasan Irfan Rifaie : 1202020103
Nanda Ratna Pratiwi : 1202020115

PAI I D
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
2020

0
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam tak lupa juga kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
karena beliaulah yang telah menghantarkan kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang penuh berkah. Adapun judul makalah kami “ IJMA’ ”.
Tentunya masih banyak kesalahan pada tugas makalah ini yang mungkin tidak
kami sadari, oleh karena itu kritik dan saran bagi pembaca sangat kami harapkan guna
perbaikan tugas makalah- makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, 29 Oktober 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 1


DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
BAB I ........................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 3
BAB II ...................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 4
A. Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya ............................................................... 4
1. Pengertian Ijma’ ..................................................................................................... 4
2. Ijma’ dilihat dari segi caranya ............................................................................... 6
3. Ijma’ dilihat dari segi waktu .................................................................................. 7
B. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam ............................................... 7
1. Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti ........................................................... 8
C. Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’.......................................................... 9
D. Syarat Ijma’ ............................................................................................................... 10
BAB III................................................................................................................................... 11
PENUTUP.............................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 11
B. Saran .......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang
tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan
lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam
landasan agama. Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah
berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an dan hadist
agar jelas dan tidak subhat.
Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal yang pada zaman rasul tidak
terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan
kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengertian ijma’, macam- macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan
disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka terdapat
beberapa permasalahan pokok dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya?
2. Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana Contoh- Contoh Kasus Hukum yang Didasari Ijma’ dan syarat-
syarat ijma’?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka terdapat beberapa tujuan penulisan:
1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’ dan macam- macamnya.
2. Untuk mengetahui kedudukan ijma’ dalam hukum islam.
3. Untuk mengetahui contoh- contoh kasus hukum yang didasari ijma’ dan
syarat- syarat ijma’.

3
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya


1. Pengertian Ijma’
Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat
dan definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
a. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran
surat Yunus ayat 71
‫َّللاِ فَعَلَى ه‬
ِ‫َّللا‬ ‫ِت ه‬ ِ ‫ْيَري ِبِآَيَا‬ ِ َ‫ََواَتل ََعلَْي ِهْم نَُبَأ َ نوحٍ إِذ قَا َل ِلَقَو َِم ِه َيَا قَو ِم إِن َِكانَ َِكُب ََر ََعلَْيُكْم ََمَق‬
ِ ‫اَمي ََوَت َْذ ِِك‬
ِ ‫ي ََو ََل َتن ِظَر‬
‫َون‬ ‫َت ََو هِكلت فَأَج ِمعوا أََم ََرِكْم ََوش ََرِكَا َءِكْم ث هْم ََل َيَُكن أََمَرِكْم ََعلَْيُكْم غ همةً ث هْم اقضوا إِلَ ه‬
Artinya : Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di
waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat
bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-
ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah
keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan,
lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh
kepadaku.1
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus
mengikuti jalan beliau tempu. Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny,
“barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka
puasanya tidak sah.2

1 Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva


Media Kreasi, 2011). Hlm, 217
2 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm, 68

4
b. Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah berijma bila mereka
sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat
Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara a.s.:
َ‫ب ۚ ََوأََو َحْينَا ِإلَْي ِه لَتن َُِبئَنههْم ِِبأََم َِرهِْم َٰ َهْذَا ََوهْم ََل ََيشعَرَون‬ ِ ‫فَلَ هما ذَهَُبوا ِِب ِه ََوأَج َمعوا أَن ََيج َعلوه فِي َغ َْيا َِب‬
ِ ‫ت الج‬
Artinya : Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah
dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada
ingat lagi."3
Yakni mereka bersepakat terhadap perencana tersebut adapun
perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan
oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa
dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya.4
Sedangkan menurut istilah para ahli ushul fiqih dirumuskan sebagai
berikut :
‫اجماع هو اَتاق َمجتهدَين فى َعصَر َمن العصور َوفاة الَرسول الى حُكْم شَرَعى فى الواقعة‬
“ Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa
tertentu stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu
peristiwa (kejadian )”.5
Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para
mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau dengan
beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.

3 Departemen Agama, op cit, Hal, 237

4 Rachmat Syafe’I, op cit, Hal: 69


5 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta:PustakaFirdaus 2003), hlm. 308

5
b. Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan
kesepakatannya. Jika ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka
tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang
mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi kesepakatan.
c. Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan
harus berdasarkan pada Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika
didasarkan pada yang lainnya.6
Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan
antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu masalah
didalam kehidupan dalam masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam
Al-quran dan as-sunnah.

2. Ijma’ dilihat dari segi caranya


Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1. Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu
ijma shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak
ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan. Tidak pula
diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu kejadian setelah
terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai kejadian itu.7
2. Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau
takut. Sebab diam atau tidak memberi tanggapan itu dipandang telah
menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan.

6 Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011 ), hlm 131
7 Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000), Hlm. 73

6
Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :
“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”. 8
3. Ijma’ dilihat dari segi waktu
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain
sebagai berikut:
a. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
masalah pada masa tertentu.
b. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah
terhadap sesuatu urusan hukum.
c. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu
masalah.
d. Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu :
‫اَتفاق الخلفء اَلرِبعة َعلى اَمَر َمن اَلَمور الشَرَعة‬
“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang
diambil dalam satu masa atas suatu hukum.”9
e. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam
suatu masalah

B. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu


sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.10
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah

8 Suratno, op cit, Hal: 132


9 Totok Jumantoro, Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi
Aksara 2009), hlm. 106
10 Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 ), hlm. 138

7
terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu
masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang
qathi’sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
- Firman Allah SWT :
‫َيا اَيهاالْذذَين اَمنو اطْيعوَّللا َواطْيعواالَرسول َواَولى اَلَمَر َمنُكْم (النساء‬
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (
Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’
59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah
penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat
ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan
hukum yang disepakati mereka.
- Hadist RasulullahSAW
) ‫ان اَمْذَتي َل َتجمع َعلى ضاللة ( رَواه اِبن حاجه‬
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
‫َمارءاه المسلمون حسنا فهو َعند هللا حسن‬
Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik.11
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat
yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu
terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat
umat islam.
1. Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum

11 Suratno, op cit, hlm: 133

8
tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak
menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid
tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’. Dan pendapat ini dianggap lebih kuat
daripada pendapat perorangan.12

C. Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’


1. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan
Rasulullah SAW.
2. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
3. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam
Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat,
apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka
wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.13
Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan
Abu Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk
menetapkan dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.

12 Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56
13 Suratno, op cit, Hlm:134

9
D. Syarat Ijma’
Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
1. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya).
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
1. Para mujtahid itu adalah sahabat.
2. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama
ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
3. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya
seluruh mujtahid yang menyepakatinya.

Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
sama.14

14 Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-
54Makalah Ushul Fiqh Oleh: Tri Nopika (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah
Palembang

10
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwapengertian Ijma’ itu


sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas
suatu masalah didalam kehidupan dalam masalah-masalah sosial yang tidak ada
didalam Al-quran dan as-sunnah.

Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah
Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
sunnah.

Syarat-syarat Ijma’ itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan


dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya harus muncul pendapat-pendapat dari
para mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para mujtahid itu
harus berusaha dan menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah.

Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar
kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.

Dari beberapa macam Ijma’dapat kami simpulkan bahwa dari semua macam
Ijma’ itu yang pertama Ijma’ qoth’i , Ijma’ Sukuti, Ijma’Sahaby,Ijma’ Ahli
Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’ Khulafaur Rasyidin.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam
makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: PustakaFirdaus.

Efendi, Satria. 2005. UshulFiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.

Jumant Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Jumantoro, Totok. 2005.KamusIlmuUshulFiqh. Jakarta: BumiAksara.

Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama.

Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Amir, Syarifuddin.2009.UshulFiqh.Jakarta: Fajar Interpratama.

Wahhab Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai