Anda di halaman 1dari 25

Grand Case

BATU SALURAN KEMIH

Oleh :
Nadira Haura Sausano Gunawan 1940312032
Piscesia Monika 1940312050

Pembimbing :
dr. Peri Eriad Yunir, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUPDR. M.DJAMIL PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
grandcase ini yang berjudul Batu Saluran Kemih.

Grandcase ini ditulis dengan tujuan agar dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Batu Saluran Kemih, selain itu juga
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu Bedah di RSUP dr. M. Djamil, Padang Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan referat ini, terutama kepada preseptor dr. Peri Eriad Yunir,
SpU yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran dan
perbaikan kepada penulis.

Dengan demikian, penulis berharap agar grandcase ini dapat bermanfaat dalam
menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Batu Saluran Kemih.

Padang, Oktober 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu saluran kemih merupakan suatu keadaan terdapatnya batu di dalam


saluran kemih. 1 Di beberapa negara di dunia angka prevalensi batu saluran kemih
berkisar 1-20%. Di Indonesia, batu saluran kemih merupakan masalah kasus
tersering di antara seluruh kasus urologi. Batu saluran kemih ini prevalensinya lebih
banyak mengenai laki-laki dibandingkan perempuan. 2 Hal ini dikarenakan struktur
antomi saluran kemih laki-laki lebih panjang dibandingkan perempuan.

Pembentukan batu pada saluran kemih ini didukung oleh beberapa faktor
risiko seperti usia, jenis kelamin, geografis, iklim dan diet serta kebiasaan individu.
Semakin banyak faktor risiko yang terdapat pada individu, maka kemungkinan
untuk terjadinya batu saluran kemih akan meningkat.3 Batu yang terbentuk di
saluran kemih ini dapat mengakibatkan morbiditas dan menimbulkan mortalitas
jika telah mengakibatkan komplikasi.4 Diantara gejala yang dapat timbul akibat batu
saluran kemih ini yaitu nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi.1

Pada dasarnya penatalaksanaan terhadap adanya batu pada saluran kemih


ini meliputi perubahan gaya hidup, pemberian medikamentosa dan tindakan
pembedahan.4 Semakin kecil ukuran batu maka semakin non-invasif tindakan
penatalaksanaan yang dapat dilakukan. Serta penting untuk melakukan tindakan
pencegahan agar rekurensi batu saluran kemih ini tidak terjadi.
1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan grand case ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,


etiologi dan patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan batu saluran
kemih.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan grand case ini bertujuan untuk memahami serta menambah ilmu
pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai batu saluran kemih dan dapat
mengaplikasikan ilmu tersebut di kemudian hari.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan grand case ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan


yang merujuk pada berbagai literatur..
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Batu Saluran Kemih

Batu Saluran Kemih (BSK) atau “urolithiasis” berasal dari kata “ouron”
(urin) dan “lithos” (batu), merupakan suatu keadaan didapatkannya masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih, baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra).5 Batu ini
bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu
kandung kemih). Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium,
asam urat, sistein,dll.2
Pengendapan batu yang terdapat di saluran kemih ini dapat menyebabkan
gejala seperti nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi. Batu yang
terbentuk bervariasi dalam ukuran, dapat berukuran dari sekecil pasir hingga
sebesar buah anggur, atau jika dalam satuan memiliki diameter mencapai 5mm, 5-
10 mm, 10-20 mm dan >20mm2. Batu yang berukuran kecil biasanya tidak
menimbulkan gejala dan biasanya dapat keluar bersama dengan urine ketika
berkemih.5 Batu yang berada di saluran kemih atas (ginjal dan ureter) menimbulkan
kolik sedangkan jika batu berada di saluran kemih bagian bawah (kandung kemih
dan uretra) dapat menghambat buang air kecil.1

2.2 Epidemiologi
Batu Saluran kemih (BSK) merupakan salah satu kasus yang paling sering
terjadi di Indonesia di antara kasus urologi lainnya. Angka prevalensi di dunia
bervariasi sekitar 1-20%. Angka prevalensi Batu Saluran Kemih di negara dengan
standar hidup tinggi seperti Swedia, Kanada atau Amerika Serikat cukup tinggi
yaitu >10%. Di Amerika Serikat angka kejadian BSK pada perempuan sebesar 7%,
sedangkan pada laki-laki sebesar 10.6%. Rasio laki-laki dan perempuan sebesar
3:1.2 Angka kejadian BSK bervariasi tergantung dari etnis, musim, diet, genetik dan
penyakit yang diderita.8 Kejadian BSK ini pada suatu individu dapat mengalami
rekurensi, diantaranya pada 14% penderita dapat mengalami kekambuhan dalam 1
tahun, 35 % dalam 5 tahun dan sebanyak 52% dapat mengalami kekambuhan dalam
10 tahun.4
2.3 Etiologi
Pembentukan batu saluran kemih diduga berhubungan dengan adanya
gagguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran
kemih pada seseorang.
Tabel 2.3 Etiologi Batu Saluran Kemih1
Idiopatik
Gangguan Aliran Air Kemih
- Fimosis
- Striktur meatus
- Hipertrofi prostat
- Refluks vesiko-ureteral
- Ureterokele
- Konstriksi hubungan ureteropelvik
Gangguan Metabolisme
- Hiperparatirodisme
- Hiperuresemia
- Hiperkalsuria
Infeksi Saluran Kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease
(Proteus mirabilis)
Dehidrasi
- Kurang minum
- Suhu Lingkungan Tinggi
Benda Asing
- Fragmen Kateter
- Telur Skistosoma
Jaringan mati (nekrosis papila ginjal)
Multifaktor
- Penderita multitrauma
- Anak di negara berkembanga
2.4 Klasifikasi2

• Berdasarkan etiologi

Jenis batu Komposisi (Nama Kimia)


Batu akibat tanpa infeksi Kalsium oksalat
Kalsium Fosfat
Asam Urat
Batu akibat infeksi Magnesium amonium fosfat
Karbonat
Amonium urat
Penyebab genetik Sistin
Xantin

Obat

 Berdasarkan ukuran

Ukuran batu biasa diukur berdasarkan satu atau 2 dimensi, dan dibagi atas
kelompok yaitu diameter kuran dari 5 mm, 5 hingga 10 mm, 10 hingga 20 mm,
dan lebih dari 20 mm.
 Berdasarkan lokasi batu

Berdasarkan posisi anatomi yaitu kaliks ginjal superior, medial, atau inferior,
pelvis renal, ureter proksimal atau distal, dan buli.
 Berdasarkan gambaran radiologis

Radiopak Radiopasitas rendah Radiolusen


Kalsium Oksalat Magnesium Amonium Asam Urat
Fosfat
Kasium Fosfat Apatit Amonium urat

Sistin Xanthine

Obat - Obatan

Batu dapat diklasifikasikan menurut gambaran foto polos yang bervariasi


menurut komposisi mineralnya. Computed tomography tanpa kontras atau NCCT
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan batu menurut kepadatan, struktur
bagian dalam dan komposisi, yang dapat mempengaruhi pilihan terapi.
 Berdasarkan resiko rekurensi

Jenis batu dan tingkat keparahan menentukan rendah- tingginya


resiko rekurensi dari penyakit ini. Faktor resiko tinggi pembentukan batu
saluran kemih antara lain :
Faktor umum
- Onset usia dini dari urolitiasis (terutama anak-anak dan remaja)
- Faktor keturunan dengan riwayat BSK
- Batu yang mengandung brushite (CaHPO4.2H2O)
- Asam urat dan batu yang mengandung asam urat
- Batu akibat infeksi
- Ginjal tunggal
Penyakit yang berhubungan dengan pembentukan batu
- Hiperparatiroidisme
- Sindrom metabolik
- Nefrokalsinosis
- Penyakit ginjal polikistik
- Penyakit gastrointestinal (yaitu bypass jejuno-ileal, reseksi usus,
penyakit Crohn, kondisi malabsorpsi, hiperoksaluria enterik setelah
pengalihan urin) dan operasi bariatrik
- Kelainan Medula Spinalis, kandung kemih neurogenik

Kelainan genetik yang berhubungan dengan pembentukan batu


- Sistinuria
- Hiperoksaluria primer
- Asidosis tubulus ginjal (RTA) tipe I
- Xanthinuria
Kelainan anatomi berhubungan dengan pembentukan batu
- Obstruksi Ureteropelvic junction (UPJ)
- Divertikulum calyceal, kista calyceal
- Striktur ureter
- Refluks vesico-uretero-renal
- Ureterocele
2.5 Patogenesis
Konsep terbentuk batu secara umum5 :
- Konsentrasi zat terlarut yang berlebihan melebihi kelarutannya dalam urin
- Ketidak seimbangan pengubah (promotor dan inhibitor) kristalisasi dalam
urin
- Kelainan pada epitel sehingga memungkinkan terjadi perlekatan dan
pertumbuhan lanjut dari kristal menjadi batu

Beberapa teori tentang pembentukan batu saluran kemih


i. Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu merupakan
dasar terpenting dan merupakan syarat terjadinya pengendapan. Apabila kelarutan
suatu produk tinggi dibandingkan titik endapannya maka terjadi supersaturasi
sehingga menimbulkan terbentuknya Kristal dan pada akhirnya akan terbentuk
batu.1
Kalsium, oksalat dan fosfat membentuk banyak senyawa kompleks terlarut
yang stabil dengan komposisinya terdiri atas zat tersebut dan substansi urin lainnya.
Akibatnya aktivitas ion bebas dari zat itu lebih rendah daripada konsentrasi
kimiawinya. Supersaturasi urin dapat ditingkatkan melalui dehidrasi atau melalui
eksresi yang berlebihan dari pada kalsium, oksalat, fosfat sistin atau asam urat.
Selain itu pH urin juga perlu diperhatikan, karena fosfat dan asam urat merupakan
asam lemah dan dapat meningkatkan konsentrasi pada pH yang rendah.12

ii. Nukleasi

Nukleasi merupakan suatu proses untuk pembentukan Kristal padat. Partikel


yang mengalami supersaturasi selanjutnya akan mengalami pengendapan dan
memulai nukleasi sehingga akhirnya membentuk batu. Ketika kejenuhan air
melewati batas atas metastabil, Kristal akan mulai ternukleasi. Puing-puing sel dan
Kristal lain yang berada di saluran kemih dapat berfungsi sebagai template untuk
pembentukan Kristal, proses ini sering dikenal dengan heterogen nukleasi.
Heterogen nukleasi menurunkan tingkat kejenuhan urin, ini dibutuhkan untuk
pembentukan Kristal. Setelah terbentuk, inti Kristal akan terbentuk dalam ukuran
yang kecil kemudian dapat menjadi besar.4

iii. Teori Tidak Adanya Inhibitor

Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu organik dan anorganik. Pada inhibitor organic
terdapat bahan yang sering terdapat dalam prosrs penghambat terjadinya batu yaitu
asam sitrat, nefrokalsin, dan tamma-horsefall glikoprotein. Sedangkan inhibitor
anorganik diantaranya pirofosfat dan zinc. Inhibitor yang paling kuat adalah sitrat,
karena sitrat akan bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat yang dapat
larut dalam air. Inhibitor mencegah terbentuknya Kristal kalsium oksalat dan
mencegah perlengketan Kristal kalsium oksalat pada membrane tubulus. Sitrat
terdapat pada hamper semua buah-buhan, tertinggi pada buah jeruk.4

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul pada batu saluran kemih dipengaruhi oleh
lokasinya, adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Gejala yang dialami bervariasi,
dimulai dari asimptomatis, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria,
hematuria, retensi urin dan anuria. Infeksi biasanya disertai gejala demam, menggigil
dan nyeri ketika berkemih.2

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari
tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi
urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti demam dan
tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu
yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas,
hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau pankreas.
Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada pasien, antara
lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah dan sayur kurang,
serta makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah
dan jenis protein yang dikonsumsi. Riwayat pengobatan dan suplemen seperti
probenesid, inhibitor protease, inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D,
kalsium, dan inhibitor karbonik anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau
ginjal tunggal dan diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan
pencitraan.6,7

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan
penyulit yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fiisk khusus urologi dapat
dijumpai:8
-Sudut kosto vertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok dan pembesaran ginjal

-Supra simfisis : nyeria tekan, teraba batu, buli-buli penuh

-Genitalia eksterna : teraba batu di uretra

-Colok dubur : teraba batu pada buli-buli pada saat melakukan palpasi bimanual

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko, jenis batu dan
komplikasi yang ada. Pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan
darah rutin, urinalisis dan analisa urin 24 jam.4 Melalui pemeriksaan darah dapat
diketahui kemungkinan faktor risiko penyebab batu. Sedangkan melalui urinalisa
dapat diketahui apakah terdapat hematuri mikroskopik maupun makroskopik, serta
kemungkinann adanya piuria. Tinggi atau rendahnya pH urin dan adanya Kristal
dapat memberikan petunjuk apakah batu bersifat asam atau basa. Pengumpulan urin
24 jam dilakukan untuk mengevaluasi kalsium, natrium, magnesium, oksalat, asam
urat, sitrat, sulfat, kreatinin, pH dan volume total.9

 Batu yang tidak bergejala, diketahui secara tidak sengaja pada urin rutin (pH,
BJ, sedimen) untuk menentukan hematuri, leukosituri, kristaluria
 Lab darah : darah rutin (hb, ht, leukosit, trombosit) kadar kalsium, sistin, asam
urat
 Kultur urin : menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea

 Faal ginjal : mencari kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan persiapan IVP
 Kadar elektrolit : mencari faktor penyebab timbulnya BSK

2.7.4 Pencintraan

Pencitraan rutin antara lain, foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB


radiography). Pemeriksaan foto polos dapat membedakan batu radiolusen dan
radioopak serta berguna untuk membandingkan saat follow-up.13 USG merupakan
pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan aman, mudah diulang, dan terjangkau.
USG juga dapat mengidentifikasi batu yang berada di kaliks, pelvis, dan UPJ. USG
memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk batu ureter serta sensitivitas
45% dan spesifisitas 88% untuk batu ginjal.5,10

Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti


pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut karena lebih
akurat dibandingkan IVP. CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada nyeri
pinggang akut. CT-Scan non kontras dapat menentukan ukuran dan densitas batu. CT-
Scan dapat mendeteksi batu asam urat dan xantin.9,11

Pada wanita hamil, paparan radiasi dapat menyebabkan efek teratogenik dan
karsinogenesis. USG menjadi modalitas pencitraan utama pada pasien hamil dengan
kecurigaan adanya kolik renal. Namun, perubahan fisiologis pada wanita hamil dapat
menyerupai gejala obstruksi ureter. MRI dapat digunakan sebagai modalitas lini
kedua untuk menilai adanya obstruksi saluran kemih dan dapat melihat batu sebagai
‘filling defect’. MRI 1,5 T merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan pada
wanita hamil. Penggunaan gadolinium tidak rutin digunakan pada wanita hamil
karena memiliki efek toksik pada janin. Untuk deteksi BSK selama kehamilan,
penggunaan CT-Scan dosis rendah memiliki nilai prediksi positif 95,8%
dibandingkan MRI (80%) dan USG (77%).

Penggunaan CT-Scan direkomendasikan pada wanita hamil sebagai pilihan


modalitas terakhir.1 Pasien anak dengan batu saluran kemih memiliki risiko tinggi
terjadinya kekambuhan, oleh karena itu, perlu dilakukan prosedur analisis batu
saluran kemih. Gangguan metabolik yang dapat menimbulkan pembentukan batu
yang tersering pada anak adalah refluks vesikoureter (VUR), obstruksi UPJ,
neurogenic bladder dan kesulitan berkemih lainnya.
Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan bila direncanakan
penatalaksanaan BSK yang memerlukan anatomi dan fungsi ginjal. CT-Scan non
kontras juga memberikan informasi cepat secara 3D termasuk ukuran dan densitas
batu, jarak antara kulit dan batu, serta anatomi sekitarnya, namun dengan konsekuensi
adanya paparan radiasi. Pemeriksaan dengan zat kontras tidak anjurkan pada pasien
dengan alergi kontras dan penurunan fungsi ginjal, konsumsi metformin, dan
mielomatosis.12

 Foto polos abdomen : melihat batu di ginjal, ureter dan kandung kemih. dapat
menunjukan ukuran, bentuk, posisi dan membedakan klasifikasi batu yaitu
dengan: densitas tinggi menunjukan batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat,
densitas semiopak menunjukan batu struvit, sistin dan campuran, densitas lusen
menunjukan batu asam urat, xanthin, triamteren. Pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan batu di dalam maupun diluar ginjal.
 USG : menunjukan ukuran, bentuk, posisi batu dan adanya obstruksi. diperlukan
pada wanita hamil dan pasien yang alergi kontras radiologi. Keterbatasannya
adalah kesulitan menunjukan batu ureter, dan tidak dapat membedakan batu
klasifikasi dan radiolusen.
 IVP : menilai anatomi dan fungsi ginjal. Jika IVP belum dapat menjelaskan
keadaan sistem saluran kemih akibat penurunan fungsi ginjal, penggantinya
adalah pielografi retrograd. Kontraindikasi pada alergi terhadap bahan kontras, faal
ginjal yang menurun dan pada wanita hamil
 Urogram : deteksi batu lusen sebagai filling defect (batu asam urat, xanthin),
lokasi batu dalam system kolectikus, menunjukan kelainan anatomis.
 Analisa urin mikroskopik untuk adanya eritrosit yang banyak, terjadi infeksi
(leukositosis, hematuria, bakteriuria, nitrit urine (+). pH urine : batu sistin dan
asam urat terbentuk jika pH < 6,0. batu fosfat dan struvit pada pH urine > 7,2.
 CT scan : menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi batu.

2.8 Tatalaksana

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya


harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyakit lebih parah. Batu dapat
dikeluarkan dengan cara medikamentosa dan non medikamentosa: 13
a. Medikamentosa
 Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm
diharapkan dapat keluar dengan spontan dengan tujuan untuk mengurangi
nyeri saat proses pengeluaran batu dengan cara miksi. Pemberian diuretik
dapat digunakan untuk memperlancar aliran urin. Edukasi pasien untuk
minum banyak juga dapat dilakukan untuk memperlancar aliran urin.
 Oral alkanizing agents seperti natrium atau kalium bikarbonat dapat
mendisolusikan batu yang bersifat asam. Kontraindikasi obat ini adalah
pasien dengan riwayat gagal jantung atau gagal ginjal.

b. Non Medikamentosa
 ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) : alat ini dapat memecah
batu ginjal, ureter proksimal atau buli buli tanpa melalui tindakan invasive
dan tanpa pembiusan. Menggunakan shockwave batu dapat dipecahkan.
Pasien dapat merasa nyeri kolik pada proses pemecahan batu.
Kontraindikasi pemecahan batu menggunakan ESWL adalah pasien hamil,
infeksi saluran kemih dan batu sistein.
 PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy): menggunakan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dipecah menjadi
ukuran yang lebih kecil.
 Litotripsi: menggunakan alat litotriptor dengan akses dari uretra, batu dapat
dipecahkan menjadi fragmen kecil. Pecahan batu dapat dikeluarkan dengan
evakuator Ellik.
 Ureteroskopi: dengan memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna
 melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal.
 Bedah laparoskopi: cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.
 Bedah terbuka
2.8.1 Tatalaksana Umum
Tatalaksana batu pada saluran kemih dipituskan berdasarkan komposisi batu,
ukuran batu, dan gejala pasien. Terapi analgesik harus diberikan segera pada pasien
dengan nyeri kolik akut.14 Non Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAID) dan
parasetamol dengan memperhatikan dosis dan efek samping obat merupakan obat
pilihan pertama pada pasien dengan nyeri kolik akut dan memiliki efikasi lebih baik
dibandingkan opioid. Obat golongan NSAID yang dapat diberikan antara lain
diklofenak, indometasin, atau ibuprofen.15 Penambahan obat anti spasmodik pada
pemberian NSAID tidak menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik.14 Pada pasien
dengan batu ureter yang diharapkan dapat keluar secara spontan, maka pemberian
NSAID baik tablet maupun supositoria (seperti natrium diklofenak 100-150 mg/hari
selama 3-10 hari) dapat membantu mengurangi inflamasi dan risiko nyeri berulang.17
Pemberian obat golongan α-blocker, juga dapat menurunkan episode nyeri, namun
masih terdapat kontroversi pada beberapa literatur.18 Pemberian obat simtomatik
segera diikuti dengan terapi desobstruksi drainase dan atau terapi definitif pada batu
saluran kemih. Untuk pasien batu ureter simptomatik, pengangkatan batu segera
merupakan tata laksana pertama apabila memungkinkan.15
Tata laksana pada obstruksi ginjal dengan sepsis dan/atau anuria merupakan
kasus emergensi di bidang urologi. Dekompresi segera merupakan tata laksana yang
sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut berupa infeksi, hidronefrosis,
atau obstruksi ginjal unilateral ataupun bilateral. Saat ini, ada dua cara untuk
melakukan dekompresi segera pada obstruksi saluran kemih, yaitu pemasangan stent
ureter dan pemasangan nefrostomi.16
2.8.2. Tatalaksana Spesifik Batu Ginjal
1. Konservatif (Observasi)
Observasi batu ginjal, terutama di kaliks, bergantung pada riwayat perjalanan
penyakit. Rekomendasi observasi pada batu ginjal saat ini belum didukung literature
yang baik. Saat ini, suatu studi prospektif menyarankan dilakukan observasi tahunan
untuk batu kaliks inferior asimptomatik ≤10 mm. Bila terdapat pertambahan ukuran
batu, interval follow-up perlu diperpendek. Intervensi disarankan apabila batu
bertambah ukurannya >5 mm.
2. Faramakologis
Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan terapi
hanya untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai komposisi batu perlu dalam
menentukan pilihan terapi.
3. Pengangkatan Batu Ginjal Secara Aktif
Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:
• Pertambahan ukuran batu;
• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;
• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;
• Infeksi saluran kemih;
• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;
• Ukuran batu >15 mm;
• Ukuran batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi;
• Preferensi pasien;
• Komorbiditas;
• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling)
Pilihan terapi antara lain:
a) Shock Wave Lithotripsy (SWL)
b) Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL) / Ureterorenoskopi (URS)
c) Retrograde Intra Renal Surgery (RIRS)
4. Tatalaksana Endourologi
a) Nefrolitotomi Perkutan (PNL)
Nefrolitotomi perkutan merupakan prosedur standar untuk tatalaksana batu
ginjal yang berukuran besar. Perbedaan endoskopi kaku dan fleksibel merupakan
pilihan yang bergantung pada preferensi operator. Ukuran standar yang digunakan
adalah 24-30 F, sedangkan untuk akses yang lebih kecil, dapat digunakan ukuran
<18 F yang biasa digunakan untuk anak-anak, namun saat ini mulai popular untuk
penggunaan bagi orang dewasa. Kontraindikasi nefrolitotomi perkutan antara lain
infeksi saluran kemih yang tak terkontrol, tumor yang dicurigai di sekitar daerah
akses PNL, tumor ginjal dengan potensial ganas, dan kehamilan
b) Ureterorenoskopi
Penggunaan ureterorenoskopi pada batu ginjal dan/atau ureter saat ini banyak
digunakan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain endoskopi yang sangat
kecil, mekanisme defleksi, peningkatan kualitas optik, dan penggunaan alat sekali
pakai (disposable).
Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS) adalah suatu tindakan endourologi
yang menggunakan ureterorenoskopi fleksibel. RIRS atau PNL menjadi pilihan
terapi pada batu kaliks inferior berukuran 10-20 mm bila terdapat faktor penghambat
SWL misalnya sudut infundibulum-pelvis yang curam atau infundibulum yang
sempit. URS dapat dilakukan pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik
apapun. Pemasangan stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum melakukan prosedur
RIRS.
5. Tata Laksana Operasi Terbuka
Penggunaan SWL dan operasi endourologi (URS dan PNL) secara signifikan
menurunkan indikasi untuk dilakukannya operasi terbuka. Terdapat consensus
menunjukkan bahwa pada kasus batu yang kompleks, termasuk batu staghorn baik
parsial dan komplit, dapat dilakukan dengan PNL. Namun, apabila pendekatan
secara perkutan atau berbagai macam teknik endourologi tidak berhasil, maka
operasi terbuka dapat digunakan sebagai tatalaksana alternatif.

Algoritma Tatalaksana Batu Ginjal


2.8.3. Tatalaksana Spesifik Batu Ureter
1. Konservatif (Observasi)
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu
secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat
keluar spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm.
Observasi juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi
(infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran
ureter).
2. Faramakologis
• Medical Expulsive Therapy (MET)
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET),
perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak
diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu
ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan
pemilihan terapi. Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter,
penurunan fungsi ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu
ditunda. Penggunaan α-blocker sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan
efek samping seperti ejakulasi retrograd dan hipotensi. Pasien yang diberikan
α-blocker, penghambat kanal kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5
(tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk keluarnya batu dengan episode
kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan terapi. Terapi kombinasi
penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak
direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih
superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi
medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu
ureter, khususnya batu ureter distal ≥5 mm. Beberapa studi menunjukkan
durasi pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data
yang mendukung untuk interval lama pemberiannya.
3. Pengangkatan Batu Ureter Secara Aktif
Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:
• Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;
• Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
• Obstruksi persisten;
• Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney);
• Kelainan anatomi ureter
Pilihan terapi:
a) Shock Wave Lithotripsy (SWL)
b) Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL) / Ureterorenoskopi (URS)
4. Tatalaksana Endourologi
a) URS dan RIRS
Ureterorenoskopi (URS) semi rigid dapat digunakan pada seluruh
bagian ureter. Namun, seiring berkembangnya teknologi, saat ini lebih
banyak digunakan URS fleksibel pada ureter. URS juga dapat digunakan
pada seluruh pasien tanpa kontraindikasi spesifik apa pun. Sebagian besar
intervensi menggunakan anestesi spinal walaupun anestesi umum juga dapat
dilakukan. Sedasi intravena merupakan anestesi yang cocok untuk pasien
wanita dengan batu ureter distal.
b) Litotripsi Intrakorporal
Prosedur litotripsi yang paling efektif adalah dengan
menggunakanlaser Ho:YAG, yang saat ini merupakan standar optimal untuk
ureterorenoskopi yang efektif pada segala jenis batu.19 Sistem pneumatik dan
ultrasonik dapat digunakan dengan efikasi disintegrasi tinggi pada URS semi
rigid. Namun, migrasi batu ke dalam ginjal merupakan masalah tersering
yang dapat dicegah dengan pemasangan alat antimigrasi pada proksimal batu.
Terapi ekspulsi farmakologis diikuti litotripsi laser Ho:YAG dapat
meningkatkan angka bebas batu dan menurunkan episode kolik.
5. Tatalaksana Operasi Laparoskopi
Hanya sedikit studi yang melaporkan pengeluaran batu ureter secara
laparoskopik. Prosedur tersebut biasanya dilakukan untuk beberapa kasus
khusus seperti batu ureter proksimal yang sangat besar sebagai alternatif URS
atau SWL. Jika terdapat ahli urologi yang memadai, ureterolitotomi per
laparoskopi dapat dilakukan pada batu ureter proksimal besar sebagai
alternatif dari URS atau SWL. Semakin banyak prosedur invasif dapat
menghasilkan SFR yang tinggi dan prosedur tambahan lebih sedikit
Algoritma Tatalaksana Batu Ureter

2.8.4 Manajemen Medis pada Batu Ginjal


2.9 Komplikasi

Batu yang menyumbat pada saluran kemih dapat menyebabkan komplikasi


terhadap organ superior terhadap penyumbatan. Beberapa komplikasi urolithiasis
adalah obstruksi ureter yang dapat menyebabkan hidroureter hingga hidronefrosis.
Urin yang statis karena penyumbatan ginjalpun dapat menjadi media yang baik
untuk berkembangnya bakteri hingga dapat menyebabkan infeksi hingga urosepsis.
Pada keadaan tertentu pyonefrosis juga dapat terjadi pada batu saluran kemih bagian
atas. Perjalan pengeluaran batu juga dapat menimbulkan trauma pada ureter hingga
dapat membetuk striktur ureter.Dalam jangka waktu yang lama batu dapat
mengiritasi mukosa vesika urinaria secara kronis, hingga dapat menyebabkan
komplikasi karsinoma sel skuamosa.

19
2.10 Prognosis

Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu,
dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin buruk
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah
terjadinya infeksi.
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan
bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada sisa
fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan PNL,
80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula oleh
pengalaman operator
BAB III
KESIMPULAN

Urolithiasis adalah keadaan dimana adanya batu pada saluran kemih


dimulai dari ginjal, ureter, vesika urinaria hingga uretra. Penyakit batu saluran
kemih menempati posisi ke dua paling sering ditemukan pada urologi dengan
seiringnya waktu karena perubahan pola hidup dan diet masyarakat. Ada beberapa
jenis batu yang dapat terakumulasi pada saluran kemih, batu kalsium oksalat,
kalsium fosfat, batu urat, batu struvit dan batu campuran. Gejala yang ditimbulkan
pada penyakit ini bergantung pada lokasi ataupun obstruksi yang ditimbulkan oleh
batu tersebut.
Komplikasi batu saluran kemih yang sering tejadi adalah penyumbatan
total dari saluran sehingga menyebabkan flow back pada urin. Efek dari flow back
dari urin adalah dapat terjadinya hidroureter hingga hidronefrosis. Pada kasus
tertentu urosepsis dapat terjadi pada pasien. Gejala yang terdapat pada urolithiasis
adalah antara lain Obstructive Lower Urinary Track Syndrome, mual muntah,
demam, nyeri kolik pada pinggang, hematuria dan sensasi keluarnya pasir saat
berkemih.
Penatalaksanaan urolithiasis antara lain adalah dengan medika mentosa
ataupun intervensi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan dapat bersifat invasive
dan non invasiv. Tindakan invasiv seperti litotripsi, PNL, bedah laparoskopi.
Tindakan non-invasiv antara lain ESWL. Pasien dapat mencegah terjadinya batu
dengan cara mengatasi infeksi saluran kemih yang dialaminya, mengontrol kadar
zat dalam darahnya dan hidrasi yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Penerbit Buku


Kedokteran EGC. Bab 37: h 742-744, 2010.
2. Ikatan Ahli urologi Indonesia (IAUI). 2018. Panduan Penatalaksanaan Batu
Saluran Kemih. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI);2018.
3. Trinchieri A CG, et al., Epidemiology, in Stone Disease, K.S. C.P. Segura JW,
Pak CY, Preminger GM, Tolley D., Eds. 2008, Health Publications: Paris.
4. Jayaraman UC, Gurusamy A. 2018. Review on urolithiasis pathophysiology and
aesculapian discussion. IOS Journal of Pharmacy, 8 (2) : 30-42.
5. Vijaya T, Kumar MS, Ramarao NV, Babu AN, Ramarao N. 2013. Urolithiasis
and its causes. The Journal of Phytopharmacology, 2 (3): 1-6.
6. Sanchez-Martin, F.M., et al. [Incidence and prevalence of published studies about
urolithiasis in Spain. A review]. Actas Urol Esp, 2007. 31:511.
7. Hu, H., et al. Association between Circulating Vitamin D Level and Urolithiasis:
A Systematic Review and Meta-Analysis. Nutrients, 2017. 9.
8. Panduan Praktik Klinis RSCM. Departemen Urologi RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. 2016.2.
9. Jayaraman UC, Gurusamy A. 2018. Review on urolithiasis pathophysiology
and aesculapian discussion. IOS Journal of Pharmacy, 8 (2) : 30-42.
10. Wortmann, R. L., 2000. Gout dan Gangguan Metabolisme Purin Lain. Dalam :
Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu Pentakit Dalam Volume 5. Edisi 13. Jakarta :
EGC, 2300-2311
11. Zumstein V, Betscart P, Abt D, Schmid HP, Panj CM, Putora PM. 2018. Surgical
management of urolithiasis. BMC Urology, 18 (25): 1-8.
12. Sewell J, Katz DJ, Shoshany O, Love C. 2017. Urolithiasis. The Royal Australian
College Of General Practitioners, 46 (9) : 648-52.
13. Tanagho E, McAninch J. Smith’s General Urology. 17th edition. The McGraw-
Hillcompanies; 2008. P.246
14. Noegroho BS, Daryanto B, Soebhali B, Kadar DD, Soebadi DM, Hamiseno DW,
et al. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. Ikatan Ahli Urologi
ndonesia (IAUI). 2018. 62 p.
15. Wimpissinger, F., et al. The silence of the stones: asymptomatic ureteral calculi.
J Urol. 2007; 178:1341
16. Wu, D.S., et al. Indinavir urolithiasis. Curr Opin Urol. 2000;10:557
17. Ray, A.A., et al. Limitations to ultrasound in the detection and measurement of
urinary tract calculi. Urology. 2010;76:295.
18. Worster, A., et al. The accuracy of noncontrast helical computed tomography
versus intravenous pyelography in the diagnosis of suspected acute urolithiasis: a
meta-analysis. Ann Emerg Med. 2002;40:280.
19. Panduan Praktik Klinis RSCM. Departemen Urologi RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo.
20. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Satu, 2014. Hal
: 87-101.
21. Knoll T. Epidemioloy, Pathogenesis and Pathophysiology of Urolithiasis.
European Urology Supplements 9 (2010). Department of Urology,
Sindelfingen-BoeblingenMedical Center, Germany. P.802-806.

Anda mungkin juga menyukai