Anda di halaman 1dari 11

JURNAL MIMBAR:

Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani


Volume 6, Nomor 1, 2020
ISSN (print) : 2442-3217
ISSN (online) : 2716-3806
Homepage : http://journal.iaimsinjai.ac.id/index.php/mimbar

KONSELING TRAUMATIK: SEBUAH STRATEGI


GUNA MEREDUKSI DAMPAK PSIKOLOGIS
KORBAN BENCANA ALAM

Hayatul Khairul Rahmat1*, Desi Alawiyah2


1
Universitas Pertahanan, Bogor
Komplek Indonesian Peace and Security Center, Sentul, Citeureup, Bogor, Indonesia
2
Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai, Sinjai
Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 2, Balangnipa, , Sinjai, Sulawesi Selatan, Indonesia
*Corresponding Author: hayatul.rahmat@idu.ac.id, Telepon: +6281268928954

Abstrak
Tulisan ini mencoba untuk membahas konseling traumatik sebagai sebuah strategi untuk
mereduksi dampak psikologis korban bencana alam. Indonesia adalah negara yang akan
mengalami bencana yang dapat dilihat berdasarkan data dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana pada tahun 2019 yang disediakan 3.721 peristiwa bencana.
Bencana yang terjadi akan menimbulkan dampak psikologis maupun dampak non-
psikologis. Penulisan ini menggunakan pendekatan studi literatur. Temuan dalam
penelitian ini adalah (1) konseling traumatik merupakan proses memberi makna bagi
klien yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi konselor yang membantu
mengatasi trauma kliennya; (2) dampak psikologis dari bencana alam dapat diketahui
berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor saat bencana, dan faktor pasca
bencana; dan (3) dalam implementasi konseling traumatik dalam mereduksi dampak
psikologis korban bencana alam menggunakan beberapa strategi dalam tiga tahap yaitu
tahap awal konseling, tahap pertengahan konseling, dan tahap akhir konseling.
Kata Kunci: Konseling Traumatik, Dampak Psikologis, Bencana Alam, Strategi.

Abstract
This paper tried to discuss about traumatic counseling as a strategy to reduce the
psychological impact of victims of natural disasters. Indonesia was a country that will
experience a disaster that can be seen based on data from the National Disaster
Management Agency in 2019 which provided 3,721 disaster events. Disasters that occur
will have psychological and non-psychological impacts. This research used a literature
study approach. The findings in this study are: (1) traumatic counseling is a process of
giving meaning to clients who have experienced trauma and giving meaning to
counselors who help overcome the trauma of their clients; (2) the psychological impact of
natural disasters can be known based on three factors, namely pre-disaster factors,
factors during disasters, and post-disaster factors; and (3) in implementing traumatic
counseling in reducing the psychological impact of victims of natural disasters using
several strategies in three stages, namely the initial stage of counseling, the middle stage
of counseling, and the final stage of counseling.
Keywords: Traumatic Counseling, Psychological Impact, Natural Disaster, Strategy.

Jurnal Mimbar : Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 34


1. Pendahuluan
Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan
bahwa bencana adalah sebuah rangkaian kejadian yang mengganggu dan
mengancam penghidupan dan kehidupan masyarakat sekitar yang disebabkan oleh
faktor alam, non alam, atau faktor manusia yang menelan korban jiwa manusia,
rusaknya lingkungan, kehilangan harta benda, dan dampak pada psikologis.
Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana alam. Kondisi tersebut
membuat Indonesia dilanda oleh bencana alam yang datang silih berganti setiap
tahunnya (Rahmat et al., 2020). Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyebutkan bahwa selama
tahun 2019 mulai dari 1 Januari 2019 sampai 23 Desember 2019 terdapat 3.721
kejadian bencana alam di seluruh Indonesia. Dari fenomena alam tersebut dapat
membuktikan Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana alam. Berikut
adalah Gambar 1 yang menjelaskan data kejadian bencana pada tahun 2019:

Gambar 1. Kejadian Bencana pada Tahun 2019

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat data kejadian bencana pada tahun


2019 mencapai 3.721 kejadian bencana. Kejadian bencana yang terjadi tersebut
dapat dilihat terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia. Berbagai bencana
alam yang datang silih berganti tersebut dipengaruhi karena Indonesia terletak di

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 35


antara zona subduksi atau pertemuan tiga lempeng tektonik yang bertumbukan
yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Ketika
salah satu dari lempeng tersebut bergerak, maka akan terjadi gempa bumi, letusan
gunung berapi, dan tsunami di Indonesia (CFE-DMHA, 2015). Selain itu,
Indonesia juga terletak di jalur gempa bumi dan gunung berapi yang dinilai paling
dahsyat oleh United States Geological Surveys (Utomo & Minza, 2016). Jalur
yang terkenal dengan nama Pasific Ring of Fire yang berbentang dari belahan
bumi bagian barat tepatnya di Chile, kemudian melewati Jepang dan Asia
Tenggara (Israel, 2010).
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah SWT melarang manusia untuk
berbuat kerusakan (fasad) yang diisyaratkan dalam 50 (lima puluh) ayat al-Quran
dengan penyebutkan kata fasad kurang lebih sebanyak 53 kali (Aly, 1997).
Beberapa contoh perbuatan kerusakan (fasad) adalah pengrusakan tumbuhan,
generasi manusia, dan keharmonisan lingkungan (Rahmat, 2018). Berikut Allah
SWT menjelaskan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 205 yang berbunyi:

َ‫ساد‬ َّ ‫ث َوالنَّ أس َۗ َل َو‬


َ َ‫َّللاُ ََل يُ ِحبُّ أالف‬ َ ‫ض ِليُ أف ِسدَ فِي َها َوي ُ أهلِكَ أال َح أر‬ َ ‫َو ِإذَا ت َ َىلَّ ٰى‬
ِ ‫سعَ ٰى فِي أاْل َ أر‬
Terjemahan:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan.” (Q.S. al-Baqarah/ 2: 205).

Tidak dapat dipungkiri dengan terjadinya bercana alam menimbulkan


banyak sekali dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, di antaranya timbulnya
korban jiwa yang tidak sedikit, hilangnya harta benda, kerusakan lingkungan, dan
terganggunya fungsi psikologis para korban bencana alam (Utomo & Minza,
2016). Penanganan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan haruslah dilakukan
sesegera mungkin setelah bencana terjadi. Semakin cepat penanganan dilakukan
maka dampak negatif semakin depat pula dapat direduksi serta dapat
mempercepat pula proses pemulihan fungsi psikologis korban bencana alam.

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 36


Dalam menangani dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana alam
bukanlah suatu perkara yang mudah tetapi butuh berbagai pihak yang
berkolaborasi untuk menanganinya. Begitu juga bencana memiliki akibat yang
cukup fatal yaitu dampak psikologis. Dampak psikologis dipengaruhi oleh
interaksi perubahan atau gangguan fisik, psikologi, situasi sosial, dan masalah
yang bersifat material (Rahmat et al., 2018). Akibat dari bahaya trauma ini
diperlukan suatu solusi untuk mengurangi dampak psikologis pada korban
bencana.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata trauma
digunakan untuk menggambarkan kejadian ataupun situasi yang dialami oleh
korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan dihayati secara berbeda-beda
antara individu yang satu dengan lainnya sehingga setiap orang akan mengalami
reaksi yang berbeda-beda pula pada saat menghadapi kejadian yang traumatik.
Adapun ciri-ciri trauma adalah a) Disebabkan oleh kejadian dahsyat yang
mengguncang di luar rencana dan kemauan kita; (b) Kejadian itu sudah berlalu;
(c) Terjadi mekanisme psikofisis artinya kalau tidak melawan maka saya akan
binasa; d) Sensitif terhadap stimulus yang menyerupai kejadian asli (Triantoro &
Saputra, 2009).
Kondisi trauma biasanya berawal dari keadaan stress yang mendalam dan
berlanjut yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya.
Sejauh mana trauma tersebut berkembang, bagaimana sifat atau jenisnya. Bila
keadaan trauma dalam jangka panjang, maka itu merupakan suatu akumulasi dari
peristiwa atau pengalaman buruk yang memilukan yang kemudian
konsekuensinya menjadi suatu bebat psikologis yang amat berat dan mempersulit
diri seseorang dalam proses penyesuaian diri, akan menghambat perkembangan
emosi dan sosial individu dalam berbagai aspek perilaku dan sikap, seperti dalam
hal proses pendidikan maupun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu lainnya
secara luas.
Melihat kondisi yang demikian, maka diperlukanlah suatu layanan
konseling pada individu yang mengalami trauma-trauma maupun dampak
psikologis agar tidak sampai belebihan seperti stress dan depresi yang berdampak

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 37


mereka tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Dalam
melakukan konseling traumatik, keberadaan konsep deteksi awal akan menjadi hal
penting untuk dipahami dan diperhatikan oleh pemberi bantuan sehingga
tergambar berbagai sifat atau jenis trauma yang diderita oleh korban seperti
trauma ringan, sedang, dan berat. Namun, tidak semua peristiwa yang dialami
manusia bermuara kepada trauma. Biasanya kejadian dan pengalaman yang buruk,
mengerikan, menakutkan, atau mengancam keberadaan individu yang
bersangkutan, maka kondisi ini akan berisiko memunculkan trauma.
Metode yang digunakan oleh konselor dalam menangani konseli juga
berbeda-beda, hal ini wajar karena setiap orang berbeda-beda dalam memahami
orang lain. Dalam pendekatannya, ada yang menggunakan pendekatan persuasif
dan ada juga dengan pendekatan intensif. Dalam menumbuhkan konseli pasca
trauma pun tidak hanya dengan satu teknik atau strategi saja, namun harus
mengglobal agar dalam menghadapi dan menyikapi konseli dengan tepat sesuai
dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
membahas konseling traumatik sebagai sebuah strategi guna mereduksi dampak
psikologis pada korban bencana alam.

2. Metode Penelitian
Penulisan ini disusun menggunakan metode kepustakaan (library research).
Library research ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai referensi bacaan
yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dilakukan pemahaman
cara teliti dan careful sehingga mendapatkan sebuah temuan-temuan penelitian
(Zed, 2003). Penulis melakukan literature study secara mendalam untuk
mendukung penelitian ini.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Konseptualisasi Konseling Traumatik: Sebuah Uraian Ringkas
Konseling adalah praktik yang dijalankan sesuai dengan seperangkat
aturan atau pedoman yang disusun oleh lembaga konseling profesioanl dan sesuai
dengan kode etik, nilai-nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 38


klien dalam menentukan nasibnya sendiri (Geldard & Geldard, 2004). Konseling
merupakan suatu proses pemberian bantuan (give helping) yang bersifat teraputik
yang diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli, yang dilaksanakan
secara person to person yaitu antara konseli dan konselor dengan menggunakan
teknik wawancara sehingga diharapkan dapat mengentaskan permasalahan yang
dialami oleh konseli.
Menurut Corney (dalam Pickett, 1998), trauma berasal dari Bahasa Yunani
yang dapat diartikan luka. Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian
atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik pun
akan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu, sehingga setiap orang
akan memiliki reaksi yang berbda pula dalam menghadapi setiap peristiwa
traumatik. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar ketika seseorang
mengalami ketakutan baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi
stres atas kejadian traumatik tersebut. Kadang kala efek ini baru terjadi setelah
beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon individual pada
umumnya yang terjadi adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri.
Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan bergantung pada
pengalaman dan sejarah masa lalunya. Adapun indikator seseorang mengalami
trauma adalah dibayangi oleh peristiwa traumatis, berpikir negatif, merasa tidak
berdaya, emosional, mengisolasi diri, merasa harapan masa depan rendah
(Afnibar, 2012).
Menurut Prawirohardjo (2010) melihat trauma sebagai pengalaman yang
tiba-tiba, mengejutkan, dan meninggalkan bekas atau kesan yang mendalam pada
jiwa seseorang yang mengalaminya. Menurut Pickett (1998), ada dua simtom
yang dialami oleh individu yaitu (a) adanya ingatan terus-menerus tentang
kejadian atau peristiwa tersebut, dan (2) mengalami mati rasa atau berkurangnya
respon individu terhadap lingkungan. Kondisi ini selanjutnya akan mempengaruhi
fungsi adaptif individu dengan lingkungan. Hal inilah menjadikan seseorang
trauma yaitu muncul karena suatu peristiwa yang mengakibatkan terguncang jiwa
seseorang sehingga sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri.

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 39


Sutirna (2013) menyebutkan konseling traumatik adalah upaya konselor
untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi
sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang
dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Tujuan konseling
traumatik adalah untuk mengadakan perubahan perilaku pada klien sehignga
memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan, lebih menekankan pada
pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan yang baru (Afnibar, 2012). Secara lebih spesifik,
Murro dan Kottman (dalam Nurihsan, 2005) menjelaskan tujuan konseling
traumatik adalah (a) berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari
kehidupan; (b) memperoleh pengalaman tentang peristiwa dan situasi yang
menimbulkan trauma; (c) memahami dan menerima perasaan yang berhubungan
dengan trauma serta belajar keterampilan baru mengatasi trauma.
Konseling traumatik sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan
oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan.
Adapun konseling traumatik memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling
biasa, fokus pada trauma yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang
banyak dalam membantu konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor
(Tambusai, 2008). Adapun proses konseling traumatik adalah proses tengah
berlangsung dan memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi
makna pula bagi konselor yang membantu mengatasi trauma kliennya.
3.2 Dampak Psikologis Korban Bencana Alam
Berbicara tentang bencana alam tentunya akan berdampak terhadap orang
yang terdampak bencana alam tersebut. Salah satunya dampak psikologis.
Dampak psikologis terdiri dari dua kata yaitu dampak dan psikologis. Dampak
adalah pengaruh yang kuat yang menimbulkan akibat baik positif maupun negatif
(Partanto, 1994). Kata psikologis merupakan kata sifat dari psikologi yang artinya
kejiwaan. Menurut Irwanto (2002) menyebutkan bahwa psikologi jika
diterjemahkan berarti ilmu yang mempelajari jiwa. Jadi dipahami bahwa dampak
psikologis adalah dampak atau pengaruh yang kuat pada jiwa seseorang yang
ditimbulkan oleh suatu penyebab yang dalam hal ini adalah bencana alam.

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 40


Dampak akibat bencana alam secar psikis mencakup aspek emosi dan
kognitif dari korban bencana alam. Aspek emosi terjadi dengan gejala-gejala
seperti shock, rasa takut, sedih, dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak berdaya,
kehilangan emosi seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan atau perhatian
pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognitif juga mengalami perubahan
seperti pikiran kacau, salah persepsi, menurunnya kemampuan untuk mengambil
keputusan, daya konsentrasi dan daya ingat berkurang, dan menyalahkan dirinya
sendiri.
Menurut Tomoko (2009) disebutkan bahwa dampak psikologis dari
bencana alam dapat diketahui berdasarkan tiga faktor yaitu sebagai berikut:
1. Faktor pra bencana. Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dapat
ditinjau dari beberapa faktor seperti jenis kelamin, usia dan pengalaman hidup,
faktor budaya, ras, dan karakter etnis, sosial ekonomi, keluarga, serta tingkat
kekuatan mental dan kepribadian.
2. Faktor bencana. Dampak psikologis dilihat dari faktor bencana ini maka dapat
dilihat dari faktor seperti tingkat keterpaparan, ditinggal mati oleh sanak
keluarga atau sahabat, diri sendiri atau keluarga terluna, merasakan ancaman
keselamatan jiwa atau mengalami ketakutan yang luar biasa, mengalami
situasi panik pada saat bencana, kehilangan harta benda dalam jumlah besar,
pengalaman berpisah dari keluarga, pindah tempat tinggal akibat bencana, dan
bencana menimpa seluruh komunitas.
3. Faktor pasca bencana. Dampak psikologis pasca bencana dapat diakibatkan
oleh kegiatan tertentu dalam siklus kehidupan dan stres kronik pasca bencana
yang terkait dengan kondisi psikiati korban bencana. Hal ini perlunya
pemantauan jangka panjang oleh tenaga spesialis.
3.3 Implementasi Konseling Traumatik dalam Mereduksi Dampak Psikologis
Korban Bencana Alam
Sebagai mana proses konseling pada umumnya, proses dalam strategi
konseling traumatik juga dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal konseling,
tahap pertengahan (tahap kerja), dan tahap akhir konseling (Nurihsan, 2005;

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 41


Rahmat, 2019). Berikut adalah penjelasan dari strategi konseling traumatik dalam
mereduksi dampak psikologis korban bencana alam:
1. Tahap awal konseling. Adapun pada tahap awal ini terjadi sejak konselor
bertemu dengan konseli sehingga berjalanlah proses konseling dan
menemukan defenisi masalah klien. Adapun yang dilakukan oleh konselor
dalam proses konseling ini adalah sebagai berikut: (a) membangun hubungan
konseling traumatik yang melibatkan klien yang mengalami trauma; (b)
memperjelas dan mendefenisikan masalah trauma; (c) membuat penjajakan
alternatif bantuan untuk mengatasi masalah trauma; dan (d) menegosiasikan
kontrak.
2. Tahap pertengahan konseling. Berdasarkan kejelasan trauma klien yang
disepakati pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah mengkonfrontasikan
pada: (a) penjelajahan trauma yang dialami klien; (b) bantuan apa yang akan
diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah dijelajahi tentang
trauma klien.
3. Tahap akhir konseling. Pada tahap ini, konseling ditandai dengan beberapa hal
berikut ini: (a) menurunnya kecemasan klien yang diketahui setelah konselor
menanyakan keadaan kecemasannya; (b) adanya perubahan perilaku klien ke
arah yang lebih positif, sehat, dan dinamik; (c) adanya tujuan hidup yang jelas
di masa yang akan datang dengan program yang jelasp pula; (d) terjadinya
perubahan sikap yang positif terhadap masalah yang dialaminya, dapat
mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar
seperti orang tua, teman, dan keadaan yang tidak menguntungkan.

4. Simpulan
Konseling traumatik sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan
oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan.
Konseling traumatik memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling biasa,
fokus pada trauma yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang
banyak dalam membantu konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor.
Adapun proses konseling traumatik adalah proses tengah berlangsung dan

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 42


memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi
konselor yang membantu mengatasi trauma kliennya. Sedangkan dampak
psikologis dari bencana alam dapat diketahui berdasarkan tiga faktor yaitu faktor
pra bencana, faktor saat bencana, dan faktor pasca bencana. Dalam implementasi
konseling traumatik dalam mereduksi dampak psikologis korban bencana alam
menggunakan beberapa strategi dalam tiga tahap yaitu tahap awal konseling,
tahap pertengahan konseling, dan tahap akhir konseling..

UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam, Fakultas Ushuluddin dan
Komunikasi Islam, Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerbitkan tulisan ini dalam
Jurnal Mimbar : Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani.

DAFTAR PUSTAKA
Afnibar. (2012). Konseling Traumatik untuk Korban Gempa dan Resiliensi di
Kalangan Masyarakat Minangkabau. Prosiding International Seminar and
Workshop Post Traumatic Counseling, 46-56.
Aly, A. (1997). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
CFE-DMHA. (2015). Indonesia Disaster Management Reference Handbook.
Hawaii: Center for Excellence in Disaster Management and Humanitarian
Assistance.
Geldard, K., & Geldard, D. (2004). Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain
dengan Teknik Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irwanto. (2002). Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Israel, B. (2010). Indonesia’s Explosive Geology Explained. Retrieved from
http://www.livescience.com/8823-indonesia-explosive-geology-explained.
html., diakses tanggal 5 Mei 2020.
Nurihsan, A. J. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT
Refika Aditama.
Partanto, P. A. (1994). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 43


Pickett, G. Y. (1998). Therapist in Distress: An Integrative Look at Burnout,
Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. United States:
University of Missouri-St. Louis.
Prawirohardjo, S. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Rahmat, H. K. (2018). Traumatic Counseling Services As an Effort to Improve
Resilience of Natural Disaster Victims. Proceeding The 1st International
Conference on Islamic Guidance and Counseling 2018, 223-229.
Rahmat, H. K. (2019). Implementasi Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling
Komprehensif Bagi Siswa Tunanetra di MTs Yaketunis Yogyakarta.
Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 16(1), 37-46.
Rahmat, H. K., Kasmi, & Kurniadi, A. (2020). Integrasi dan Interkoneksi antara
Pendidikan Kebencanaan dan Nilai-Nilai Qur’ani dalam Upaya
Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah Menengah Pertama. Prosiding
Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, 2, 455-461
Rahmat, H. K., Nurmalasari, E., & Basri, A. S. H. (2018). Implementasi
Konseling Krisis Terintegrasi Sufi Healing untuk Menangani Trauma Anak
Usia Dini pada Situasi Krisis Pasca Bencana. Prosiding Seminar Nasional
PIT ke- 5 Riset Kebencanaan IABI, 671-678.
Sutirna. (2013). Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik. Yogyakarta:
Andi.
Tambusai, K. (2008). Trauma dan Konseling Traumatik. Bandung: Cita Pustaka
Media Perintis.
Tomoko, O. (2009). E-Learning Disaster. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
Triantoro, S., & Saputra, N. E.. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta:
Bumi Aksara.
Utomo, M. H., & Minza, W. M. (2016). Perilaku Menolong Relawan Spontan
Bencana Alam. Gadjah Mada Journal of Psychology, 2(1), 48-59.
Zed, M. (2003). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

MIMBAR Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 44

Anda mungkin juga menyukai