Anda di halaman 1dari 8

Nama : Syarif anwar said al-hamid Tugas 8

Npm : 1912011221

Matkul : Konstitusi dan Hak Asasi Manusia

Dosen : Dr. Yusdianto, S.H.,M.H.

Problem Task

1. Penembakan Aparat yang menyebabkan meninggalnya warga Negara.

Kewajiban Negara kepada rakyatnya adalah Menghormati dan menjamin semua


orang tanpa diskriminasi menikmati hak-hak sipil dan politik. Mengambil langkah-
langkah harmonisasi hukum dan perundangan-undangan. Menjamin orang yang
dilanggar hak-hak sipil dan politiknya harus mendapatkan ganti rugi. Menjamin
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dari kewajiban tersebut bahwa
berdirinya sebuah bangsa bukan karena lain adalah untuk memanusiakan manusia
dengan dikemas dalam bentuk lembaga pemerintahan.Indonesia dengan demokrasi
sebagai system ketatanegaraan yang dianut menjadikan rakyat sebagi pemegang
kekuasaan tertinggi (kedaulatan rakyat) yang diwakilkan oleh wakilnya melalui
pemilihan langsung, menjadikann beban sekaligus amanat pelaksana serta pengurus
Negara untuk bertanggungjawab penuh dalam menjamin segala hak rakyatnya.

Hak sipil dan politik bagi setiap warga negaranya harus dijunjung tinggi layaknya
hak-hak lainnya. Karena dengan terpenuhinya hak setiap warga Negara kemaslahatan
bangsa bisa diukur sejauh mana dan sekuat apa penyelenggara Negara mampu
bertanggungjawab atasnya. Secara definitive arti kata sipil adalah kelas yang
melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang tidak beralasan oleh
pemerintah dan organisasi swasta, dan memastikan kemampuan seseorang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara tanpa diskriminasi atau
penindasan. Dalam case ini penembakan aparat yang menyebabkan meninggalnya
warga Negara dipertanyakan, apakah melanggar HAM atau itu diperlukan guna upaya
preventif perlawanan.

Jaminan hukum atas hak asasi manusia dimuat secara utuh dalam undang-undang
no. 39 tahun 1999. Sebagai groot norm pasal ini dijadikan payung hukum guna
dilaksankannya segala bentuk hak asasi manusia. Peristiwa yang terjadi dan dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang mengakibatkan meninggalnya warga Negara
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak sipil, dalam hal ini hak hidup.
Sebagaimana dalam pasal 28 A undang-undang tahun 1945 dikatakan bahwa “setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Dengan demikian tidak ada seorangpun selain dirinya sendiri yang berhak atas hidup
dan kehidupannya, bahkan dirinya sendiripun tidak berhak atas memutuskan kapan ia
harus berhenti hidup. Selaku aparatur Negara tindakan terbaik dalam upaya preventif
sebagai bentuk menyelenggarakan tegaknya hukum perlu dengan kehati-hatian level
yang max. Karena yang sedang diperjuangkan adalah hak segenap bangsa. Untuk itu
tindakan tindak yang notabene melanggar hak asasi manusia perlu diminimalisir.
Bahkan dalam menangkap penjahat sekalipun jikalau diperlukan tembakan maka
tembakan yang melumpuhkan, bukan yang mematikan.
2. Disrupsi sosial dan budaya dalam masyarakat.

Secara definisi disrupsi merupakan sebuah inovasi yang menggantikan seluruh


system lama dengan system baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pelaku-pelaku
yang berperan lebih lama dengan peran dari sumber daya yang baru. disrupsi social
dan budaya merupakan hasil dari dampak westernisasi budaya barat, minimnya
pengetahuan akan kondisi social dan budayanya sendiri menjadikan sudut kelemahan
untuk masuknya budaya-budaya luar. Dalam hal ini dari koponen terbentuknya
Negara maka manusianyalah yang bertanggungjawab, legitimasi antara pemerintah
dan rajanya (rakyat) haruslah salaing kooperatif dan berkoordinasi. Culture yang ada
merupakan velue yang harus dijaga karena merupakan salah satu bentuk identitas
suatu bangsa.

Perubahan masa ke masa, dari zaman pra modernisasi sampai dengan ssaat ini
peradaban manusia secara general sudah dimodernisasikan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Oleh sebab itu superteam dalam sebuah bangsa diperlukan guna tidak
terjebak dalam larutnya modernisasi zaman, dengan menjaga nilai-nilai social dan
budaya yang lebih dahulu hadir daripada modernisasi. Didalam setiap culture social
dan budaya mempunya moralitasnya sendiri, menjadi norma yang dijalankan, budi
pekerti luhur, sopan santun dijunjung tinggi, dan agama menjadi penunjang Dalam
berkehidupan. Namun, bergesernya zaman membuat culture social dan kebudayan
menjadi terancam. Lalu siapa yang bertanggungjawa? Apakah ini bentuk pelanggaran
ham?

Pada hakikatnya setiap individu bebas dengan kebebasan yang dia mau dalam
artian merdeka atas dirinya sendiri. Dalam pasal 4 Undang-Undang no 39. Tahun
2009 mengatakkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Dari pasal tersebut sudah dijamin bahwa kebebasan setiap individu sudah dijamin,
dalam konteks ini disrupsi social dan budaya menjadi pertanyaan besar, apakah ini
dampak dari kebebasan/kemerdekaan setiap individu dalam memilih, untuk tetap
bertahan dengan budaya dan lingkungan sosialnya atau melapas itu untuk turut larut
dalam modernisasi zaman. Oleh sebab itu dari hemat saya kebeabsan individu yang
sudah dijamin harus diimbangi dengan ketentuan pemerintah selaku
pengaggungjawab atas keutuhan suatu bangsa, baik social, politik, budaya, ekonomi
dan segala bentuk aspek lainnya. Tanggungjawab penyelenggara peemerintahan
haruslah mampu menjaga agar kebebasan yang suda diberikan tidak menerobos
hak/kebebasan lainnya, karena yang mampu membuat rule agar setiap hak yang
dimiliki oleh rakyatnya adalah penyelenggara pemerintahan, dengan demikian
control yang diperlukan agar tidak terjadinya disrupsi social dan budaya diperlukan
adanya kesanggupan dari Negara yang diupayakan oleh pemerintah kepada rakyatnya
untuk mencintai dan memahami pentinganya menjaga culture social dan budaya
sebagai identitas bangsanya. Jikalau itu tidak sanggup dilakukan, maka beban
pertanggungjawaban penuh dilimpahkan oleh penyelenggara pemerintahan.

Hal ini menjadi beban yang harus dipegang oleh penyelenggara pemerintahan
karena sebagai pelaksana punya kewajiban untuk memfasilitasi seballa kebutuhan
yang dibutuhkan oleh rakyatnya, termasuk menyediakan ruang berpikir. Melalui
pendidikan moral dan karakter diharapkan kesadaran akan pentingnya dan paham
dengan social dan budaya yang dippunya haruslah dijaga. Karena dengan menjaga itu
identitas bangsa masih dipegang teguh, jikalau gagal maka yang disalahkan adalah
penyelenggara pemerintah, sebab tidak secara maksimal dan massif memfasilitasi
ruang-ruang edukasi.

3. Penyeragaman atau homogenisasi kehidupan masyarakat.

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk social yang tak bisa hidup dengan
kesendirian. Saling melengkapi dan saling membutuhkan. Oelh sebab itu dari setiap
individu mempunyai kepentingan yang berbeda. Secara kodrati sifat manusia berbeda
dari individu yang satu dengan yang lainnya, sehingga mengakibatkan banyak sudut
pandang dan arah tujuan yang berbeda, bahkan tidak sejalan dan tidak sepemahaman.

Dalam case ini homogenisasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan bentuk


tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Seperti dalam pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang No. 39 Tahun 2009 dikatakan bahwa “Setiap orang dilahirkan bebas dengan
harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati
murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan”. Maksud dari penggalan ayat tersebut setiap orang dilahirkan bebas
dengan harkat dan martabat manusia yang sama adalah sama dihadapan tuhan dan
sama dihadapan persatuan. Karena perbedaan dari setiap individu tidak bisa
dihomogenisasi namun bisa disatukan, unity in diversity (persatuan dalam
perbedaan). Setiap individu berhak atas apa yang menjadi pilihannya, dalam hal
apapun dengan catatan tidak melanggar hak-hak individu/kelompok yang lain, apalagi
sampai terjadi diskriminasi apabila individu yang lain menolak untuk di
homogenisasikan, jelas itu melanggar hak asasi manusia asas-asas dasar. karena
didalam pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 menyatakan “Setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia,
tanpa diskriminasi”.

Dalam hidup berkehidupan homogenisai dalam segala aspek tidak bisa dilakukan,
kecuali dalam urusan bernegara, homogenisasi dihadapan hukum, sama dimata
hukum. Karena setiap orang berhak atas hidup dan kehidupannya, bebabs menentukan
arah dan kehidupannya seperti apa, bebas menentukan agama dan kepercayaannya.
Oleh sebab itu homogenisassi dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat dilakukan
karena jelas menyalahi kodrati hak asasi manusia, dan setiap orang bebas atas dirinya,
hidup dan kehidupannya. Seperti termaktub dalam pasal Undang-Undang No. 39
Tahun 2009 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat perbedaan justru menjadi pelengkap


dalam haarmonisasi persatuan, dengan adanya perbedaan dalam masyarakat maka
ruang ruang intelektua, ruang diskusi, dan ruang edukasi terbuuka lebar untuk dikaji.
Bahwa adanya perbedaan dari kehidupan masyarakat menandakan adanya fikiran dan
pemikiran yang hidup dan berkembang. Prinsip hidup setiap orang jelas berbeda dan
itu tidak dapat di homogeneisasikan, jelas dalam berkehidupan pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 sudah menjamin bahwa “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Dan
bebas untuk berserikat dan membentuk keluarga sebagi bentuk upaya melanjutkan
pemikiran yang tumbuh dan dibudidayakan kepada keturunannya, dan perihal ini
sudah dijamin dalam pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 “Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”.

4. Kesenjangan ekonomi
Negara yang maju adalah negara yang didalamnya kemiskinan tidak ada, atau
minimal angka kemiskinan rendah. Seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi
bahwa kesejahteraan social menjadi tanggungjawab penyelenggara Negara atas hak
rakyatnya, hidup sejahtera. Kesejahteraan masih menjadi masalah pokok yang di
hadapi oleh bangsa Indonesia. Isu kesejahteraan berkaitan erat dengan hak asasi
manusia, terutama hak ekonomi, sosial dan budaya.

karena dalam hak ekonomi, sosial dan budaya dijamin beberapa hak yang
diantaranya adalah: hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas pekerjaan.
Keseluruhan hak tersebut diatur dan dijamin dalam UUDNRI Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005, serta undang-undang lainnya. Namun ternyata,
walaupun hak tersebut telah dijamin dalam sebuah aturan hukum, kenyatannya tidak
seperti harapan. Masih saja peristiwa-peristiwa menyedihkan dialami oleh warga
negara kelas menengah ke bawah, dimana mereka selalu berhadapan dengan situasi
“orang miskin di larang sakit” dan “orang miskin di larang sekolah”. Oleh karena itu
permasalahan kesejahteraan warga negara Indonesia mesti mendapatkan sebuah
solusi. Dengan demikian realitas yang terjadi dilapangan bahwa cita-cita mulia
mensejahterakan seluruh rakyatnya masih utopis, bagaimana mungkin rakyat akan
sejahtera jikalau para pejabat Negara masih erat dengan korupsi, bagaimana mungkin
sejahtera didapat bagai rakyatnya jikalau dibawah-bawah kolong jembatan banyak
keluarga yang tinggal dan bernanung dibawahnya.

Selama masih ada kesenjangan ekonomi, maka hak dari seluruh rakyatnya belum
secara komprehensif terpenuhi, dan ini bentuk pengingkaran dari yang sudah
diamanatkan oleh konstitusi. Negara dengan penyelenggara pemerintahannya
haruslah bertanggungjawab atas kondisi ini, karena setiap warga berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak guna menunjak hidup dan kehidupannya,
seperti termaktub dalam pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945 “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Dengan demikian yang bertanggungjawab atas terfasilitasinya hidup dan kehidupan
yang sejahtera atas rakyatnya adalah penyelenggara Negara, masih tampaknya
kesenjangan ekonomi dengan ditunjukan pemandangan kemiskinan yang masih
banyak menandakan bahwa hak ekonomi masih belum terpenuhi, bahkan dilanggar
hak-haknya dengan korupsi dan intervensi dilembaga ketetanagakerjaan.

Dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa “(1) Setiap orang berhak
mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-
wenang dan secara melawan hukum.”. oleh sebab itu, peraturan yang adatidak hanya
dijadikan pedoman, melainkan harus dijalankan guna kemaslahatan dan kesejahteraan
yang menyeluruh bagi rakyatnya. Kesejahteraan bagi seluruh rakytanya sudah
diamanatkan oleh undang-undang no. 39 tahun 2009 pasal 36-42, dengan demikian
harapannya untuk kemanusiaan para penyelenggara Negara yang saat ini memegang
kekuasaan, maka digunakanlah untuk kemaslahatan, bukan untuk ketamakan. Karena
pekerjaan dapur ekonomi rumah Indonesia masih belum sejahtera .

5. Hukum yang tidak adil.

Equality before the law, begitulah salah satu dari adagium hukum. Semua sama
dimata hukum, dibawah naungan hukum, dan ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Supremasi hukum mengamanatkan bahwa tiada yang boleh berada diatas hukum guna
mengintervensi individu atau kelompok tertentu, karena pada hakikatnya rule dari
hidup dan berkehidupan adalah hukum. Tidak memandang apa dan siapa, hukum
bersifat mutlak “salah” dikatatan salah “benar” dikatakan benar.

Dalam adagium hukum yang lain dikatakan Equum Et Bonum Est Lex
Legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum), hukumnya hukum adalah
adil, maka apabila keadilan masih digandrungi oleh kepentingan-kepentingan
individu atau segelintir orang untuk menguasai dan membuat dirinya kebal akan
hukum dengan segala cara, pertanda hukum sedang terancam dan keadilan sedang
goyah. Apabila hukum tidak ditegakkan dengan adil, ada dua yang dilanggar, pertama
hak asasi manusia dan melanggar kodrat hukum itu sendiri.

Setiap insan yang dilahirkan ke muka bumi sudah didasari dengan hak-hak yang
harus didapatkan dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Dalam kehidupan
bernegara, sebuah bangsa tekhusus Indonesia dengan menggunakan sitem demokrasi
salah satu cirinya dalah menjujunjung tinggi Haak Asasi Manusia. Dengan demikian
supremasi hukum harus benar dijalankan, ketidakadilan dimata hukum merupakan
bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena didalam konstitusi telah
mengamanatkan dan mengatur bahwa setiap individu berhak diperlakukan adil
dihapan hukum. Dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2009
mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum”. Dengan demikian, setiap individu dalam bernegara berhak
mendapatkan pengakuan diuka hukum sebagai warga Negara. Berhak mendapatkan
jaminan perlindungan hukum, perlakuan hukum yang adil. Artinya hukum secara
kodrati sifatnya independent, tidak dapat dikontrol atau dikelabui oleh individu atau
sekelompok orang guna membuat hukum tidak adil, tumpul keatas dan tajam
kebawah.
Proses penegakkan hukum ditentukan dan diputuskan dalam pengadilan, ketuk
palu seorang hakim menjadi keputuan dan menimbulkan dampak hukum. Setiap
orang berhak menuntut dan mengajukan gugatan apabila dalam proses pelaksanaan
penegakkan hukum dilihatnya tidak adil, karena UU No. 39 Tahun 2009 sudah
menjelaskan pada bagian keempat tentag Hak Memperoleh Keadilan pasal 17-19.
Dengan demikian penyelenggara Negara haruslah menjadi wadah sebagi wakil
rakyatnya untuk dapat meneggakkan hukum dengan adil, jikalau tidak maka telah
menghianati amanat konstitusi, dan dapat dijatuhi hukuman.

6. Homogenisasi politik.

Kehidupan bernegara tidaklah luput dengan pergantian kekuasaan, pesta


demokrasi sebagi bentuk kemerdekaan dalam mengekspresikan sebuah bangsa telah
lepas dari belenggu besi kediktatoran kekuasaan. Melalui pemilu langsung setiap
individu diberikan kewenangan untuk memilih apa yang menurut pilihannya baik, dan
kepentingannya bisa diwakilkan.

Manusia selain makhluk social manusia juga merupakan makhluk “zoon


politicon” makhluk yang tidak dapat lepas dari politik. Suka atau tidak suka begitulah
kenyataannya. Individu sudah dijamin oleh undang-undang bahwa dalam kehidupan
berpolitiknya diberikan kebebasasn dalam mementukan keyakinan akan pilihannya..
diperkuat dengan pasal 23 ayat (1) “Setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan pilitiknya”. Dengan demikian dalam kontestasi politik
tidaklah ada dan tidak boleh ada yang melanggar hak tersebut. Karena sejatinya
priogritas memilih merupakan hak penuh dari masing-masing individu.

Homogenisasi dalam politik merupakan bentuk penyeragaman argument,


pandangan, bahkan membatasi hak dan kebebasan orang lain untuk berbeda. Dalam
hal ini justru kebabasan yang seharusnya didapatkan oleh individu dilanggak haknya
dengan ego dan pragmatisme. Tidak ada yang dapat membatasi seseorang untuk
berpendapat baik secara lisan ataupun tulisan selama tidak melanggar hak-hak
individu atau kelompok lainnya. Dijelaskan dalam pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun
2009 sudah dijamin setiap orang bebas untuk mengeluarkan pendapatnya, dalam hal
ini homogenisasi politik kontadiksi dengan pasal ini, dan melanggar hak asasi
manusia dalam berpolitik. Bahkan dalam UU No. 39 Tahun 2009 telah menjamin
akan kebebasan berkumpul dan berserikat dalam ruang ruang diskusi dengan orang-
orang yang dianggapnya sevisi, pasal 24 ayat (1) dan (2) berbunyi “(1) Setiap orang
berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. (2)
Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam
jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Didalam pasal 24 ayat (2) bahwa UU telah
memberikan kebebasan dan kewenangan bagi mereka yang ingin mendirikan partai
politik dengan catatan untuk berperan dalam pemerintahan.
Dengan demikian, perbedaaan dalam pandangan politik tidak dapat
dihomogenisasikan, karena itu merpakan hak setiap wakrga negaranya untuk
memilih. Dengan perbedaan pandangan dan argumentasi bukan berarti dalam
berpolitik menajadi tidak sehat, justru dengan adnaya perbedan dari berbagai
paradigma menunmbuhkan ruang-ruang intelektual dalam menyuguhkan solusi
terbaik untuk kemajuan bangsanya. Dalam pasal 43 ayat (1), (2), dan (3) telah
memberikan ruang bagi hak setiap warganya turut serta dalam pemerintahan. Dalam
system demokrasi untuk mencapai kursi kekuasaan di pemerintahan maka ada dan
terselenggaranya pemilu. Dengan adanya pemilu partisipasi masyarakat baik
independent atau melalui partai politik sangat dianjurkan, karena menentukan kemana
arah bangsa kedepan mau dibawa. Maka dengan adanya perbedaan lahirlah narasi dan
diskusi segar untuk mengimplementasikan cita bangsa. Oleh sebab itu homogenisasi
politik bukan saja melanggar hak asasi manusia, melainkan menghancurkan dan
melumpuhkan ruang-ruang intelektual dan diskusi secara sehat tanpa adanya dikte.

Unity in diversity merupakan bentuk perlawanan bahwa homogenisasi politik


tidak dapat dilakukan. Justru dengan berbeda kita tau makna bersama, kita jadi tahu
bahwa sebuah bangsa menajdi indah bukan karena sama, melainkan karena berbeda.
Beda disini dalam artian beda cara, beda solusi, dalam sudut pandnag politis untuk
kemajuan sebuah bangsa.

Anda mungkin juga menyukai