PPOK Keren
PPOK Keren
Disusun Oleh:
NURUL HIDAYATI
Pembimbing:
Dr. Azizman Saad, SpP (K). FISR
PEKANBARU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.1
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2018 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada
saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya. Eksaserbasi
dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang
pasien.1,3
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.1,4
PPOK eksaserbasi akut merupakan suatu kondisi perburukan dari gejala
penyakit PPOK yang bersifat akut dan menetap dengan gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan varian gejala harian normal sehingga memerlukan
perubahan dari obat-obatan yang biasa digunakan.3
3
2.2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.3 Insiden PPOK sangat bervariasi antar negara, dalam sebagian besar
penelitian, kejadian PPOK lebih besar pada pria dari pada wanita. Insiden COPD
juga lebih besar pada individu yang lebih tua, terutama pada mereka yang berusia
75 tahun dan lebih tua.5 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko,
Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%,
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11,3%.7 Pada
studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8%
dan 8,5% pada perempuan.8 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki
(4,2%) dibanding perempuan (3,3%).6
4
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
c. 10 pack years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:1,6
5
4. Sosial Ekonomi
6. Faktor Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen
Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor
dari protease serin. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emfisema
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau
bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitrypsin yang berat. Meskipun
kekurangan alpha-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia,
hal ini menggambarkan adanya interaksi antar gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK.1,3
6. Jenis kelamin
Hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK masih belum
jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar beberapa
biomarker plasma pada laki laki dan perempuan perokok dengan PPOK yang
berimplikasi pada emfisema (IL-6, IL16, VEGF), pada perempuan biasanya lebih
berat.
6
2.4 Patofisiologi
Secara umum patofisiologi yang mendasari terjadinya PPOK adalah
peradangan dan penyempitan saluran napas perifer menyebabkan transfer oksigen
menurun, terjadilah penurunan VEP. Pada bronkhitis kronis perubahan awal
terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru
disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema), yang menyebabkan hilangnya
elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk
bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan
akibat peningkatan pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di
bagian luar saluran napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas.
Lumen saluran napas kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel
radang yang meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara
pada PPOK disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos
pada bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO 2
meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO 2 ke hipoksemia, dorongan
pernapasan juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas. 1,7
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.
7
Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal
8
Gambar 2. Konsep patofisiologi PPOK
9
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu terutama
asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap dapur.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti: 1,8
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga, yaitu:1,8
1. Tipe I (eksaserbasi berat), terdapat peningkatan gejala sesak nafas,
peningkatan produksi sputum, dan peningkatan purulensi sputum.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) hanya memiliki 2 gejala diatas.
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi
saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai
dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.
2.6 Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. PPOK klinis didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan diagnosis derajat PPOK
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,5
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala, riwayat pajanan dengan faktor risiko (merokok, zat iritan),
Riwayat faktor predisposisi (BBLR, ISPA berulang , lingkungan asap rokok atau
polusi udara) riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat
eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas (jantung,
osteoporosis, muskulskeletal, keganasan) , dan dampak penyakit terhadap
aktivitas.
10
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang dapat
terlihat pada pasien PPOK adalah:
Inspeksi : cara bernafas pursed-lips breathing, bentuk dada barrel-chest,
diameter antero-posterior dan transversal sama besar. penggunaan otot bantu
napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, adanya
penampilan pink puffer atau blue bloater.
Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah, hepar
terdorong kebawah.
Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah atau normal, terdapat ronkhi
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, suara jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat obstruksi dan
merupakan parameter yang paling umum yang digunakan dalam penilaian
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit, berdasarkan penilaian VEP 1,
VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat diagnosis
ditegakkan): Obstruksi jika %VEP1 (VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1 % <75%.
VEP1 diukur sebelum diberikan bronkodilator dan pada pasien dengan PPOK
stabil.1,3
Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin. Peningkatan
kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder) dan defisiensi kadar alfa-1
antitripsin (kongenital).1,3
Foto toraks
11
Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen, diagframa
mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal melebar dan jantung menggantung
(jantung pendulum/eye drop appearance). Sedangkan pada bronkitis kronis akan
terlihat gambaran paru normal, namun terlihat corakan bronkovaskular
meningkat.1
12
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Tabel 5. Perbedaan PPOK dan asma3
Perbedaan PPOK Asma
Onset Biasanya > 40 tahun Semua umur, biasanya anak-
anak
Riwayat Biasanya > 20 bungkus/tahun Biasanya tidak merokok
merokok
Riwayat Biasanya tidak ada, kecuali Biasanya ada
keluarga kekurangan α-1 antitrypsin
Reversible Tidak reversible penuh, hanya Sangat reversible.
saluran napas reversible sebagian dengan Biasanya fungsi paru hamper
bronkodilator. normal
Berhenti merokok dapat
mengurangi penurunan fungsi
paru.
Pola gejala Biasanya kronik progresif Bervariasi dari hari ke hari
lambat tidak spesifik (malam/menjelang pagi)
Batuk (paling Dini hari Malam/setelah latihan
menonjol)
Sputum Khas Jarang
purulen
Peningkatan Jarang Sering
Ig E
Eosinofil Jarang Sering
13
mencegah dan menangani eksaserbasi serta menurunkan angka kematian. Adapun
penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik dan terapi nutrisi.1
14
Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lender
Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid
belum memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.
15
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk
S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).3,7
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:8
Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
Bronkodilator: inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +
antikolinergik
Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam). Aminofilin bolus
5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) untuk
menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol
cairan perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%, NaCl 0,9%
atau ringer laktat.
Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
Steroid intravena : pada keadaan berat.
16
menyediakan konseling praktis, serta merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut
2.9 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran nafas.
Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi
dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat akan memperburuk
prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal, dengan penghentian merokok
akan dapat mengurangi laju perkembangan PPOK.9
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:1
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
17
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.
2.11 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan program
promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini yaitu:3,9
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan penyakit,
mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien misalnya
berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.
BAB III
Ilustrasi Kasus
Identitas pasien
18
Nama : Tn. I
Umur : 60 tahun
Anamnesis
Keluhan utama
3 bulan SMRS, pasien merasakan sesak nafas pertama kali. Sesak napas
hilang timbul dan diperberat saat melakukan aktivitas. Sesak juga disertai dengan
batuk (+). Batuk yang dialami batuk kering hingga ada dahak sedikit berwarna
putih. Sesak tidak dipegaruhi oleh cuaca, emosi, makanan, dan debu. Demam juga
dikeluhkan naik turun, mengigil (-), keringat dingin (-), BAK dan BAB tidak ada
keluhan.
19
- Riwayat minum OAT(-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat asma dan alergi (-)
Pemeriksaan fisik:
20
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : Bulat, isokor diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
Mulut : Pursed-lip breathing (+)
Leher : Pembesaran KGB leher (-), JVP 5-2 cmH2O
Paru :
Inspeksi : Barrel chest (-), Otot bantu napas (+), Sela iga melebar, pergerakan
dinding dada simetris kiri dan kanan
Jantung :
Inspeksi : IC tidak terlihat.
Palpasi : IC teraba di SIK V linea midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan : Sulit dinilai
Batas jantung kiri : SIK V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, venektasi (-), kaput medusa (-)
Auskultasi : BU (+) 8x/ menit
Palpasi : Supel pada seluruh regio abdomen, hepatomegali (-), splenomegali
(-).
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah rutin (Tanggal 4-1-2019)
21
Hb : 11,9 g/dl
Leukosit : 8960 /uL
Ht : 37,6 %
PLT : 373.000/uL
Elektrolit
K+ : 4,1 mmol/ L
Cl : 103 mmol/L
Tn. I 60 tahun dirawat di RSUD Arifin ahmad dengan keluhan sesak napas
yang memberat sejak 3 minggu SMRS, sesak yang dirasakan pasien sangat berat
dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca dingin, makanan, dan debu. Sesak
nafas tidak berkurang jika pasien istirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk
kering sejak 3 bulan SMRS, 3 minggu SMRS batuk yang dikeluhkan berdahak
berwarna kuning kehijauan. Pasien sekali-sekali mengeluhkan nyeri dada yang
hilang timbul tetapi tidak terlalu berat dan tidak menjalar. Demam yang
dirasakan pasien naik turun, terjadi penurunan berat badan 18 kg dalam 3 bulan
terakhir. Keringat malam (+), penurunan nafsu makan (+), mual muntah
(+). Riwayat merokok sudah 44 tahun dan kurang lebih 20 batang perhari
dengan indeks brinkman 880 (perokok berat). Dari pemeriksaan fisik umum
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, TD
110/70, Hr 82x/menit, RR 30 kali/ menit, suhu 36,1o C, saturasi O2 98%. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bunyi napas vesikuler (+/menurun), wheezing
(+/+), ronki (+/+). Pada perkusi didapatkan redup dilapangan paru kiri. Pada
pemeriksaan penunjang, foto toraks didapatkan tampak atelektasis pada paru
kiri, sela iga melebar, dan terdapat perselubungan inhomogen pada bagian atas
hemitoraks bagian kiri.
Diagnosis
23
- Terduga TB paru kasus baru
- Peningkatan enzime transminase
Rencana pemeriksaan
Rencana penatalaksanaan
Non farmakologi
Farmakologi
24
BAB IV
Pembahasan
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang semakin hari semakin berat dimana menunjukkan bahwa sesak yang
dialami pasien mengalami progresifitas dan bersifat kronik. Berdasarkan dari tipe
dari gejala eksaserbasi akut pasien ini diklasifikasikan tipe sedang. Pasien ini
25
memiliki riwayat merokok selama 44 tahun sebanyak 20 batang/ hari. Didapatkan
indeks brinkman (IB)= 880 yang termasuk dalam kategori perokok berat. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi terjadinya Obstruksi pada paru
nya yang kronik karena dimana pada dasarnya pemicu PPOK terbanyak (95%
kasus) di Negara berkembang adalah karena merokok. Batuk disertai dengan
peningkatan jumlah sputum merupakan satu proses dari adanya bronkitis kronis
pada pasien. Faktor etiologi peradangan bronkus ini bisa diakibatkan oleh
terpajannya paru dengan asap rokok yang lama.
Merokok merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan suatu proses
hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus sehingga
menyebabkan batuk produktif. Batuk berdahak yang berwarna kehijauan
menandai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.
Dari pemeriksaan RR 30x/menit, dan otot bantu napas (+), ronkhi (+/+),
wheezing (+/+), perkusi lapangan paru kiri redup. Dan pada pemeriksaan
penunjang foto thoraks didapatkan tampak atelektasis pada lapangan paru kiri,
perselubungan inhomogen pada bagian atas paru kiri, dan sela iga melebar. Pada
pasien ini diberikan O2 3 L/menit untuk mencegah terjadinya hipoksemia
progresif dan berkepanjangan yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan
jaringan. Pemberian oksigen sangat penting untuk mempertahankan kebutuhan
oksigen dalam tubuh sehingga dapat mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
diorgan-organ lainnya.
26
Pemilihan antibiotik disesuaikan berdasarkan jenis bakteri yang menginfeksi,
pada pasien ini belum dilakukan kultur, jadi pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan pola kuman dirumah sakit, sehingga dipilih golongan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ke 3. Antipiretik dapat diberikan jika terdapat kenaikan suhu
tubuh. Pasien disarankan untuk istirahat, berhenti merokok dan makan-makanan
yang bergizi untuk mempercepat pemulihan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
27
3. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease.National Institutes of Health. National heart, Lung and blood Institute.
Update 2018.
9. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha Masyarakata
Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011.
28