Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK) Eksaserbasi Akut type 2

Disusun Oleh:
NURUL HIDAYATI

Pembimbing:
Dr. Azizman Saad, SpP (K). FISR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD

PEKANBARU

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kroni adalah penyakit paru yang ditandai
dengan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten dan umunya
bersifat progresif, berhubungan dengan respon inflamasi kronik yang
berlebihan pada saluran nafas dan parenkim paru akibat gas atau partikel
yang berbahaya.1 PPOK bukanlah satu penyakit tunggal, tetapi istilah
payung yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru-paru kronis
yang menyebabkan keterbatasan aliran udara di paru-paru.2
Penyakit Paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu
penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Saat
ini, PPOK berada pada peringkat ke empat menjadi penyebab kematian di
dunia dan bisa menjadi penyebab kematian nomor 3 pada tahun 2020. 3
Pada tahun 2012, Lebih dari tiga juta orang meninggal akibat PPOK, yaitu
6% sebagai penyebab kematian dari seluruh kematian secara global dalam
beberapa decade terakhir. Angka ini semakin meningkat dikarenakan
semakin meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor resiko seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan
PPOK.1,3
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan
jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di negara-negara asia pasifik
tahun 2006 mencapai 56,6 juta orang dengan prevalens 6,3%. Di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta orang dengan prevalens 5,6. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90%
penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Hubungan antara
merokok dengan PPOK merupakan hubungan dosis dengan respons,
semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan semakin lama
kebiasaan merokok dilakukan, maka akan semakin tinggi risiko untuk
menderita PPOK.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.1
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2018 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada
saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya. Eksaserbasi
dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang
pasien.1,3
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.1,4
PPOK eksaserbasi akut merupakan suatu kondisi perburukan dari gejala
penyakit PPOK yang bersifat akut dan menetap dengan gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan varian gejala harian normal sehingga memerlukan
perubahan dari obat-obatan yang biasa digunakan.3

3
2.2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.3 Insiden PPOK sangat bervariasi antar negara, dalam sebagian besar
penelitian, kejadian PPOK lebih besar pada pria dari pada wanita. Insiden COPD
juga lebih besar pada individu yang lebih tua, terutama pada mereka yang berusia
75 tahun dan lebih tua.5 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko,
Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%,
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11,3%.7 Pada
studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8%
dan 8,5% pada perempuan.8 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki
(4,2%) dibanding perempuan (3,3%).6

2.3. Faktor Resiko


1. Asap merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru sehingga kebiasaan merokok menjadi
penyebab terpenting pada PPOK. Risiko PPOK pada perokok tergantung pada
jumlah rokok yang dihisap, usia mulai merokok, dan lamanya merokok. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan: 1
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-200

4
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
c. 10 pack years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

jumlah pack years = jumlah pak (bungkus) rokok yg dihisap sehari x


jumlah tahun merokok

1 pak (bungkus) rokok = 20 batang rokok.

2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:1,6

1. Polusi di dalam ruangan


a. Asap rokok
b. Asap dapur ( kompor,kayu,arang,dll)
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).

3. Infeksi saluran nafas bawah berulang


Patogenesis dan progesivitas PPOK dipengaruhi oleh infeksi virus dan
bakteri, yang mana kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas yang
berperan dalam menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada anak
akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada
saat dewasa. Hal tersebut dikarenakan oleh seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hipereaktivitas bronkus yang merupakan
faktor risiko PPOK.

5
4. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi sebagai faktor resiko terjadinya PPOK belum dapat


dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman
yang padat, nutrisi yang buruk dan fsktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi, kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Kemajuan ekonomi
menyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak peningkatan
polusi udara.1

5. Tumbuh kembang paru

Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan,


kelahiran, dan pajanan sewaktu kecil. kecepatan maksimal penurunan fungsi paru
seseorang adalah resiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisa menyatakan
bahwa berat lahir dapat mempengaruhi nilai VEP1 pada anak.1

6. Faktor Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi gen
Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor
dari protease serin. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emfisema
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau
bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitrypsin yang berat. Meskipun
kekurangan alpha-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia,
hal ini menggambarkan adanya interaksi antar gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK.1,3
6. Jenis kelamin
Hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK masih belum
jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar beberapa
biomarker plasma pada laki laki dan perempuan perokok dengan PPOK yang
berimplikasi pada emfisema (IL-6, IL16, VEGF), pada perempuan biasanya lebih
berat.

6
2.4 Patofisiologi
Secara umum patofisiologi yang mendasari terjadinya PPOK adalah
peradangan dan penyempitan saluran napas perifer menyebabkan transfer oksigen
menurun, terjadilah penurunan VEP. Pada bronkhitis kronis perubahan awal
terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru
disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema), yang menyebabkan hilangnya
elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk
bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan
akibat peningkatan pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di
bagian luar saluran napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas.
Lumen saluran napas kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel
radang yang meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara
pada PPOK disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos
pada bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO 2
meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO 2 ke hipoksemia, dorongan
pernapasan juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas. 1,7
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.

7
Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal

Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK terjadi akibat peradangan


dan penyempitan saluran nafas perifer sehingga bermanifestasi sebagai penurunan
VEP1, sementara kerusakan parenkim paru pada emfisema akan menurunkan
proses transfer gas pada paru, sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.3
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama
ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru.
Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan
jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan air trapping pada alveoli dan
hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami obstruksi dan destruksi karena
proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup oleh sekresi mukus
yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna.

8
Gambar 2. Konsep patofisiologi PPOK

2.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflamasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini:1,3
1. Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama semakin
bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan aktivitas. Sesak yang
dirasakan bersifat persisten atau menetap sepanjang hari. “perlu usaha untuk
bernapas”, pasien juga merasakan susah bernapas atau terengah-engah.
2. Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul dan bisa
berdahak ataupun tidak berdahak.
3. Batuk kronik berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK.

9
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu terutama
asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap dapur.

Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti: 1,8
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga, yaitu:1,8
1. Tipe I (eksaserbasi berat), terdapat peningkatan gejala sesak nafas,
peningkatan produksi sputum, dan peningkatan purulensi sputum.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) hanya memiliki 2 gejala diatas.
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi
saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai
dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

2.6 Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. PPOK klinis didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan diagnosis derajat PPOK
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,5
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala, riwayat pajanan dengan faktor risiko (merokok, zat iritan),
Riwayat faktor predisposisi (BBLR, ISPA berulang , lingkungan asap rokok atau
polusi udara) riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat
eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas (jantung,
osteoporosis, muskulskeletal, keganasan) , dan dampak penyakit terhadap
aktivitas.

10
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang dapat
terlihat pada pasien PPOK adalah:
 Inspeksi : cara bernafas pursed-lips breathing, bentuk dada barrel-chest,
diameter antero-posterior dan transversal sama besar. penggunaan otot bantu
napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, adanya
penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
 Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah, hepar
terdorong kebawah.
 Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah atau normal, terdapat ronkhi
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, suara jantung terdengar jauh.

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat obstruksi dan
merupakan parameter yang paling umum yang digunakan dalam penilaian
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit, berdasarkan penilaian VEP 1,
VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat diagnosis
ditegakkan): Obstruksi jika %VEP1 (VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1 % <75%.
VEP1 diukur sebelum diberikan bronkodilator dan pada pasien dengan PPOK
stabil.1,3
 Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin. Peningkatan
kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder) dan defisiensi kadar alfa-1
antitripsin (kongenital).1,3
 Foto toraks

11
Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen, diagframa
mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal melebar dan jantung menggantung
(jantung pendulum/eye drop appearance). Sedangkan pada bronkitis kronis akan
terlihat gambaran paru normal, namun terlihat corakan bronkovaskular
meningkat.1

 Kultur dan sensitivitas kuman


Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada
respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan
penyakit. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.1,3,6

2.7 Diagnosis Banding


Tabel 4. PPOK dan diagnosis banding1,3,4

Diagnosis Gambaran klinis

PPOK 1. Onset pada usia pertengahan


2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh
polusi yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri

12
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Tabel 5. Perbedaan PPOK dan asma3
Perbedaan PPOK Asma
Onset Biasanya > 40 tahun Semua umur, biasanya anak-
anak
Riwayat Biasanya > 20 bungkus/tahun Biasanya tidak merokok
merokok
Riwayat Biasanya tidak ada, kecuali Biasanya ada
keluarga kekurangan α-1 antitrypsin
Reversible Tidak reversible penuh, hanya Sangat reversible.
saluran napas reversible sebagian dengan Biasanya fungsi paru hamper
bronkodilator. normal
Berhenti merokok dapat
mengurangi penurunan fungsi
paru.
Pola gejala Biasanya kronik progresif Bervariasi dari hari ke hari
lambat tidak spesifik (malam/menjelang pagi)
Batuk (paling Dini hari Malam/setelah latihan
menonjol)
Sputum Khas Jarang
purulen
Peningkatan Jarang Sering
Ig E
Eosinofil Jarang Sering

2.8 Penatalaksanaan PPOK


Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu
mengurangi gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi
latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,

13
mencegah dan menangani eksaserbasi serta menurunkan angka kematian. Adapun
penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik dan terapi nutrisi.1

2.8.1 Terapi PPOK Stabil


Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksasebasi.1,3,4
a. Terapi Non - Farmakologis:
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
- Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)
- Edukasi-motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,
rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) untuk PPOK stadium III,
AGD :
- PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia
- PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <88% disertai hipertensi pulmonal,
edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.
b. Terapi Farmakologis:1,4
1. Bronkodilator
- Diutamakan secara inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat atau obat berefek panjang (long acting).
- 3 golongan :
 Agonis ß-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol. Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai oabat pemeliharaan digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang.

14
 Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lender
 Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid
belum memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.

2.8.2 Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya yang mengakibatkan perubahan terapi. Eksaserbasi
dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti:3,7
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi dibagi menjadi tiga, antara lain :3,7
1. Ringan (memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi saluran nafas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi
nadi > 20% nilai dasar); terapi hanya menggunakan SABDs(short-acting
bronchodilators).
2. Sedang (hanya memiliki 2 gejala diatas) ; terapi dengan menggunakan SABDs
ditambah dengan antibiotik dan atau kortikosteroid oral.
3. Berat (terdapat peningkatan gejala sesak nafas, peningkatan produksi sputum,
dan peningkatan purulensi sputum) pasien membutuhkan perawatan rumah
sakit atau perawatan emergensi. Eksaserbasi berat juga dapat berhubungan
dengan gagal nafas akut.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah: bronkodilator seperti
pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan

15
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk
S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).3,7
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:8
 Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
 Bronkodilator: inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +
antikolinergik
 Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam). Aminofilin bolus
5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) untuk
menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol
cairan perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%, NaCl 0,9%
atau ringer laktat.
 Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
 Steroid intravena : pada keadaan berat.

Indikasi rawat inap pada PPOK:1


- Eksaserbasi sedang-berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran nafas berat
- Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
- Gagal jantung kanan
Berhenti merokok adalah satu-satunya usaha intervensi yang paling efektif
dalam memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi risiko
berkembangnya PPOK.1 Adapun strategi untuk membantu pasien bisa berhenti
merokok meliputi 5A:1
a. Ask (tanyakan) yaitu mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (nasihati) yaitu memberikan dorongan kuat pada semua perokok untuk
berhenti merokok.
c. Assess (nilai) yaitu keinginan untuk berusaha berhenti merokok (misal: dalam
30 hari ke depan).
d. Assist (bimbing) yaitu bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,

16
menyediakan konseling praktis, serta merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut

2.9 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran nafas.
Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi
dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat akan memperburuk
prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal, dengan penghentian merokok
akan dapat mengurangi laju perkembangan PPOK.9

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:1
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi

17
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

2.11 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan program
promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini yaitu:3,9
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan penyakit,
mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien misalnya
berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.

BAB III

Ilustrasi Kasus

Identitas pasien

18
Nama : Tn. I

Umur : 60 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani Sawit

Tanggal masuk RS : 4 Januari 2019

Anamnesis

Keluhan utama

Sesak nafas yang memberat sejak 3 minggu SMRS

Riwayat Penyakit sekarang

3 bulan SMRS, pasien merasakan sesak nafas pertama kali. Sesak napas
hilang timbul dan diperberat saat melakukan aktivitas. Sesak juga disertai dengan
batuk (+). Batuk yang dialami batuk kering hingga ada dahak sedikit berwarna
putih. Sesak tidak dipegaruhi oleh cuaca, emosi, makanan, dan debu. Demam juga
dikeluhkan naik turun, mengigil (-), keringat dingin (-), BAK dan BAB tidak ada
keluhan.

3 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak napas terus menerus yang


semakin memberat. Sesak juga disertai dengan batuk yang semakin hebat. Batuk
disertai dahak berwarna kuning kehijauan yang keluar terus menerus. Pada pasien
ditemukan mual (-), Muntah (-), nyeri ulu hati (-), kembung(-), nyeri
menelan(-),dan rasa panas didada (-).Selain itu, pasien juga mengeluhkan demam
(+), menggigil (-), Keringat malam hari (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan BB dalam waktu 3
bulan dari 64 kg menjadi 46 kg.

Riwayat penyakit dahulu:

- Pasien belum pernah mengeluhkan hal seperti ini.

19
- Riwayat minum OAT(-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat asma dan alergi (-)

Riwayat Penyakit keluarga:

- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama


- Riwayat Asma dan alergi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat minum OAT (-)

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, dan kebiasaan :

- Pasien seorang petani sawit ( bagian dodos)


- Riwayat merokok (+)
o Merokok 20 btg/hari selama 44 tahun. (IB= 880 (perokok
Berat))
- Riwayat terpapar debu dan asap rokok (+).

Pemeriksaan fisik:

• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


• Kesadaran : CM E4V5M6
• Tekanan darah : 110/70 mmHg
• HR : 82 x/menit
• RR : 30 kali/menit
• Suhu : 36,1° C
• SpO2 : 98%
• Tinggi badan : 170 cm
• Berat badan : 46 kg
• IMT : 15,9 (underweight)
Kepala dan leher:
Konjungtiva : anemis (-/-)

20
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : Bulat, isokor diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
Mulut : Pursed-lip breathing (+)
Leher : Pembesaran KGB leher (-), JVP 5-2 cmH2O

Paru :
Inspeksi : Barrel chest (-), Otot bantu napas (+), Sela iga melebar, pergerakan
dinding dada simetris kiri dan kanan

Palpasi : Vokal fremitus melemah disebelah kiri dibandingkan kanan.


Perkusi : redup di lapangan paru kiri, sonor pada lapangan paru kanan.
Auskultasi : Vesikuler(+/+) ronki (+/+), wheezing (+/+).

Jantung :
Inspeksi : IC tidak terlihat.
Palpasi : IC teraba di SIK V linea midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan : Sulit dinilai
Batas jantung kiri : SIK V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Datar, venektasi (-), kaput medusa (-)
Auskultasi : BU (+) 8x/ menit
Palpasi : Supel pada seluruh regio abdomen, hepatomegali (-), splenomegali
(-).
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah rutin (Tanggal 4-1-2019)

21
Hb : 11,9 g/dl
Leukosit : 8960 /uL
Ht : 37,6 %
PLT : 373.000/uL

Kimia darah (Tanggal 4-1-2019)


Ureum : 51 mg/dl
Kreatinin : 0,59 mg/dl
AST : 363 /ul
ALT : 329 /ul

GDS : 144 mg/dl

Elektrolit

Na+ : 143 mmol/L

K+ : 4,1 mmol/ L

Cl : 103 mmol/L

Foto toraks (4-1-2019)


Hasil foto toraks didapatkan:
• Identitas sesuai
• Proyeksi AP
• Marker R
• Kekerasan foto keras
• Trakea berada di midline
• Tulang intak
• Infiltrat (+) di apeks paru
bilateral
• Sudut kostofrenikus kanan
lancip dan kiri tumpul, sela iga
22
melebar
• Atelektasis ke sebelah kiri
• Pada hemitoraks kiri: terdapat
Resume :

Tn. I 60 tahun dirawat di RSUD Arifin ahmad dengan keluhan sesak napas
yang memberat sejak 3 minggu SMRS, sesak yang dirasakan pasien sangat berat
dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca dingin, makanan, dan debu. Sesak
nafas tidak berkurang jika pasien istirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk
kering sejak 3 bulan SMRS, 3 minggu SMRS batuk yang dikeluhkan berdahak
berwarna kuning kehijauan. Pasien sekali-sekali mengeluhkan nyeri dada yang
hilang timbul tetapi tidak terlalu berat dan tidak menjalar. Demam yang
dirasakan pasien naik turun, terjadi penurunan berat badan 18 kg dalam 3 bulan
terakhir. Keringat malam (+), penurunan nafsu makan (+), mual muntah
(+). Riwayat merokok sudah 44 tahun dan kurang lebih 20 batang perhari
dengan indeks brinkman 880 (perokok berat). Dari pemeriksaan fisik umum
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, TD
110/70, Hr 82x/menit, RR 30 kali/ menit, suhu 36,1o C, saturasi O2 98%. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bunyi napas vesikuler (+/menurun), wheezing
(+/+), ronki (+/+). Pada perkusi didapatkan redup dilapangan paru kiri. Pada
pemeriksaan penunjang, foto toraks didapatkan tampak atelektasis pada paru
kiri, sela iga melebar, dan terdapat perselubungan inhomogen pada bagian atas
hemitoraks bagian kiri.
Diagnosis

- PPOK eksaserbasi akut sedang ( tipe II)

23
- Terduga TB paru kasus baru
- Peningkatan enzime transminase

Rencana pemeriksaan

- Spirometri bila pasien stabil


- Sputum BTA dan GE
- Kultur sputum dan MO gram

Rencana penatalaksanaan

Non farmakologi

- Istirahat (bed rest)


- O2 nasal kanul 3L
- Hindari aktivitas berlebihan
- Hindari pemicu serangan sesak (merokok)
- Diet makanan bergizi

Farmakologi

- IVFD Nacl 0,9% 500cc/8jam


- Inj. Ceftizoxime 2x1 gr
- Inj ranitidine 2x1
- Tab salbutamol 3x2mg
- Cap N-Asetilsistein 3x 20mg
- Tab curcuma 3x1
- Tab paracetamol 3x500mg
- Inhalasi combiven / 8 jam

24
BAB IV
Pembahasan

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang semakin hari semakin berat dimana menunjukkan bahwa sesak yang
dialami pasien mengalami progresifitas dan bersifat kronik. Berdasarkan dari tipe
dari gejala eksaserbasi akut pasien ini diklasifikasikan tipe sedang. Pasien ini

25
memiliki riwayat merokok selama 44 tahun sebanyak 20 batang/ hari. Didapatkan
indeks brinkman (IB)= 880 yang termasuk dalam kategori perokok berat. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi terjadinya Obstruksi pada paru
nya yang kronik karena dimana pada dasarnya pemicu PPOK terbanyak (95%
kasus) di Negara berkembang adalah karena merokok. Batuk disertai dengan
peningkatan jumlah sputum merupakan satu proses dari adanya bronkitis kronis
pada pasien. Faktor etiologi peradangan bronkus ini bisa diakibatkan oleh
terpajannya paru dengan asap rokok yang lama.
Merokok merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan suatu proses
hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus sehingga
menyebabkan batuk produktif. Batuk berdahak yang berwarna kehijauan
menandai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.

Dari pemeriksaan RR 30x/menit, dan otot bantu napas (+), ronkhi (+/+),
wheezing (+/+), perkusi lapangan paru kiri redup. Dan pada pemeriksaan
penunjang foto thoraks didapatkan tampak atelektasis pada lapangan paru kiri,
perselubungan inhomogen pada bagian atas paru kiri, dan sela iga melebar. Pada
pasien ini diberikan O2 3 L/menit untuk mencegah terjadinya hipoksemia
progresif dan berkepanjangan yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan
jaringan. Pemberian oksigen sangat penting untuk mempertahankan kebutuhan
oksigen dalam tubuh sehingga dapat mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
diorgan-organ lainnya.

Pemberian terapi golongan agonis ß-2 kerja singkat (combivent /8 jam)


digunakan untuk mengatasi sesak dengan cara melebarkan saluran nafas bawah
(bronkus). Diberikan dalam bentuk inhaler (Nebulizer) agar dapat mempermudah
pasien pada pasien dengan kondisi lemah. Penggunaan bronkodilator kerja singkat
secara regular dan saat diperlukan dapat memperbaiki VEP1 dan gejala pada
pasien ini.

Antibiotik diberikan pada pasien ini karena ditemukan adanya tanda-tanda


infeksi seperti batuk berdahak yang berwarna kehijauan dan disertai demam.

26
Pemilihan antibiotik disesuaikan berdasarkan jenis bakteri yang menginfeksi,
pada pasien ini belum dilakukan kultur, jadi pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan pola kuman dirumah sakit, sehingga dipilih golongan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ke 3. Antipiretik dapat diberikan jika terdapat kenaikan suhu
tubuh. Pasien disarankan untuk istirahat, berhenti merokok dan makan-makanan
yang bergizi untuk mempercepat pemulihan pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK ; Diagnosis dan


penatalaksanaan. Jakarta. Ed 2016.

2. WHO. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Available at:


https://www.who.int/respiratory/copd/en/

27
3. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease.National Institutes of Health. National heart, Lung and blood Institute.
Update 2018.

4. Regional COPD Working Group. COPD prevalence in 12 Asia-Pacific


countries and regions: projections based on the COPD prevalence estimation
model.

5. Rycoroft, CE. Heyes, A. Lanza, L. Becker, K. Epidemiology of chronic


obstructive pulmonary disease: a literature review. International Journal of
COPD. 2012

6. Indonesia KKR. Riset kesehatan dasar 2013. Ed. 2013.

7. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevantion.


Di unduh dari URL:
http://www.goldcopd.it/materiale/2015/GOLD_Pocket_2015.pdf

8. Arto Y, Hendarsyah S. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Divisi


Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr
Hasan Sadikin – FK Unpad. 2015.

9. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha Masyarakata
Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai