Anda di halaman 1dari 4

UAS

LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

Nama : Muchammad Syahrul Hidayat

NIM : 11200430000090

Kelas : PM-1B

SOAL:

1. Ideologi terorisme bisa berawal dari pemahaman Syariah dengan logika dan penalaran
tekstual. Apa maksudnya?. Jelaskan.
2. Sebutkan tiga lapisan logika beserta contoh aplikasinya dalam penegakan hukum.
3. Penalaran argumentum a contrario ada dalam ilmu hukum dan Syariah. Terangkan
dan berikan contoh.
4. Subyektivitas individu dalam penalaran hukum sering menyebabkan penalaran yang
sesat. Perjelas maksudnya dan uraikan dengan contoh dari masind-masing logical
fallacy tersebut.
5. Penalaran ekspansif yang cenderung memahami Syariah secara terkoneksi dengan
cabang-cabang ilmu lain secara terintegrasi berpotensi mampu menghilangkan paham
kekerasan dalam upaya aplikasi Syariah. Apa maksudnya?. Terangkan.

JAWAB:

1. Terorisme umumnya muncul dari penalaran dan logika tekstual. Hal ini terjadi
karena banyaknya dalil yang berkaitan dengan jihad di medan perang pada zaman
Rasulullah Saw. Secara konteks memang Rasulullah memerintahkan umatnya pada
saat itu untuk berperang, jihad di jalan Allah khususnya di medan perang.
Istilah radikalisme belakangan ini kerap kali bukan hanya menghiasi berbagai media
masa di negeri ini, tapi juga telah menjadi diskusi dan konsumsi publik yang renyah.
Umumnya terjadi setelah masa Reformasi. Renyah karena semua bisa keluarkan dan
saling bertukar pendapat, tapi muaranya sama; kekerasan. Memang di media, mula-
mula radikalisme diidentikkan dengan pemahaman agama yang literalistik, namun
belakangan lebih mengarah ke para pelaku teror bom bunuh diri. Sehingga, tidak
mudah menjauhkan kata radikalisme dari kekerasan. Rupanya, radikalisme tidak ada
kaitannya dengan agama manapun, apalagi salah satu agama. Justru agamalah yang
paling keras melawan. Dalam Islam, istilah radikalisme begitu pun ekstrimisme
diartikan tathorruf atau ghuluw; berlebih-lebihan sederhananya. Proporsional
kebalikannya. Memang sesuatu/perilaku yang berlebih-lebihan terkadang jauh lebih
merusak dibanding yang kurang. Makan-minum berlebihan, bisa berakibat sakit/
malas. Senang dan benci berlebihan, beresiko tidak bisa adil dan obyektif. Senangi
dunia berlebihan, beresiko lupa akherat.
Pola pertama, agama berperan utama dalam pembentukan konflik di masyarakat.
Penyebabnya antara lain; adanya doktrin agama mengenai kebenaran yang absolut,
doktrin perang, dan lainnya. Pola kedua, agama hanya berlaku sebagai alat yang
digunakan untuk memicu konflik, di mana sejatinya persoalan lainlah yang menjadi
akar sebenarnya. Pola ketiga, agama bisa meligitimasi kekerasan bila faktor
konstruksi sosial dan politik ikut berperan memberikan dukungan, demikian pula
sebaliknya. Lalu agama pun dapat berperan mendelegitimasikan kekerasan bila
konstruksi sosial dan politik yang ada tidak ikut menyokong.
2. A. Lapisan Logika
Lapisan ini masuk wilayah logika tradisional. Isu utama dalam lapisan ini adalah
apakah alur premis sampai kepada konklusi dari suatu argumentasi itu logis. Langkah
penalaran deduksi, analogi, abduksi, dan induksi menjadi fokus. Dengan langkah
deduksi, pendekatan undang-undang dengan pendekatan preseden berbeda. Dalam
Civil Law System, jelas pertama-tama adalah pendekatan undang-undang. Dengan
pendekatan undang-undang, dalam menghadapi suatu fakta hukum,ditelusuri
ketentuan hukum yang relevan, ketentuan hukum itu berada dalam pasal yang berisi
norma. Norma dalam logika merupakan suatu proposisi. Menjelaskan norma harus
diawali dengan pendekatan konseptual karena norma sebagai suatu bentuk proposisi
tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demikian kesalahan konseop mengakibatkan
alur sesat dan kesimpulan yang menyesatkan.
Contoh: Konsep penyalahgunaan wewenang.
Orang yang tidak memahami hukum administrasi mungkin mengartikan
penyalahgunaan wewenang sama dengan menyalahi prosedur.
B. Lapisan Dialektik
Dengan dialektik, suatu argumentasi tidak monoton. Dalam dilektik, suatu
argumentasi diuji, terutama dengan argumentasi prokontra. Proses dialektik dalam
adu argumentasi menguji kekuatan nalar suatu argumentasi. Kekuatan nalar terletak
dalam kekuatan logika. Dengan demikian dialektik berkaitan dengan logika.
Contoh: Dalam kasus Tata Usaha Negara, pengumuman suatu surat
penolakan program penjaminan oleh BI digugat. (Yang digugat pengumuman, bukan
surat penolakan)
C. Lapisan Prosedur
Hukum acara merupakan aturan main dalam proses argumentasi dalam
penanganan perkara di pengadilan. Dengan demikian prosedur dialektik di
pengadilan diatur oleh hukum acara.
Contoh: Beban pembuktian. Siapa yang harus membuktikan?
Jawabannya: Tergantung ketentuan hukum acara.
3. argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Contoh:
Contoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyatakan bahwa:
Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300
hari sejak saat perceraian.
Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus
tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4. Munculnya Fallacy dalam suatu putusan pengadilan merupakan suatu penalaran
hukum yang tidak tepat, oleh karena penggunaan otoritas yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan Ilmu Hukum, akan berakibat kepada validitas dari amar putusan-yang
merupakan konklusi, yang dapat dibatalkan. Sifat pembatalan amar putusan tersebut
bukanlah disebabkan karena amar putusannya yang tidak tepat, namun dikarenakan
sumber logika yang digunakan adalah tidak tepat.
5. Penalaran ekspansif yang cenderung memahami Syariah secara terkoneksi dengan
cabang-cabang ilmu lain secara terintegrasi berpotensi mampu menghilangkan paham
kekerasan dalam upaya aplikasi Syariah. Hal tersebut dikarenakan penalaran yang
ekspansif menghasilkan toleransi atas perbedaan-perbedaan prinsip setiap individu.
Memahami syariah secara terkoneksi dengan cabang-cabang ilmu yang lain membuat
seseorang tidak kaku. Umumnya orang yang hanya mempelajari syariah dan agama
secara tekstual cenderung menjadi fundamentalis. Tetapi seseorang juga hendaknya
tidak hanya mengacu kepada maqoshidus syari’ah saja karena dapat membuat
seseorang menjadi liberal.

Anda mungkin juga menyukai