Anda di halaman 1dari 29

1

Nama : Finka Safitry


NIM : 2014201110067
MK : KD 1
Dosen : Ibu Dewi Nurhanifah Ns., M.Kep
TUGAS PERTEMUAN PERTAMA!

1. Konsep dan Prinsip Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman


a. Pengertian
Kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari nyeri
dan hipo/hipertermia mengingat nyeri dan hipo/ hipertermia merupakan keadaan
yang dapat memengaruhi perasaan tidak nyaman bagi tubuh.
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subjektif karena perasaan nyeri berada pada setiap orang dalam hal skala
atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Berikut beberapa pendapat mengenai
pengertian nyeri:

1. Muenurut LONG,1996 ,Nyeri adalah perasaan yang tidk nyaman,sngt subjektif


,dan hanya orang yang mengalami yang dapt mengungkapkan dan menjelaskanya
perasaan tersebut.
2. Menurut PRIHARJO,1992, perasaan tidak nyaman baik ringan maupun berat.
3. Menurut koziar (2010), mengatakan bahwa keamanan adalah keadaan bebas dari
segalah fisik fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus
dipenuhi, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sedangkan kenyamanan
sebagai suatu keadaan terpenuhi kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan
akan ketentraman, kepuasan, kelegaan dan tersedia.
4. Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2005) mengungkapkan kenyamanan/rasa
nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan
sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan
tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri). Kenyamanan mesti dipandang
secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu:
1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh,
2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial,
3. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
2
4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia  seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya.

b. Faktor yang mempengaruhi


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rasa Aman dan Nyaman diantanya yaitu:
 Emosi : Emosi menyebabkan marah depresi, dan kecemasan yang akan
mempengaruhi keselamatan dan kenyaman seseorang.

 Status Mobilisasi : Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan


kesadaran menurun memudahkan terjadinya resiko injury yang
mempengaruhi keamanan dan kenyamanan seseorang.

 Gangguan Persepsi Sensori : Mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan


yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.

 Keadaan Imunits : Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh


kurang sehinggamudah terserang penyakit

 Status nutrisi : Keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan


mudah menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat beresiko
terhadap penyakit tertentu.

 Jenis kelamin : Secara umum pria dan wanita berbeda dalam menangapi
seseuatu yang menggangu keamanan dan kenyamanan mereka.

 Usia : Perbedaan usia mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan.

c. Fisiologi Nyeri
Fisiologi nyeri merupakan alur terjadinya nyeri dalam tubuh. Rasa nyeri
merupakan sebuah mekanisme yang terjadi dalam tubuh, yang melibatkan fungsi
organ tubuh, terutama sistem saraf sebagai reseptor rasa nyeri.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin
dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
3
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
 Reseptor A delta : merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-
30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
 Serabut C : merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat
sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
 Proses Terjadinya Nyeri
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat
kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian
ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf tidak bermielin
C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks serebri. Impuls listrik
tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas
nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan disusun saraf
pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan
mekanik, suhu (panas atau dingin) dan agen kimiawi yang dilepaskan karena
trauma/inflamasi.
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk
mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial
aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat.
 Tahapan Fisiologi Nyeri
1. Tahap Trasduksi
 Stimulus akan memicu sel yang terkena nyeri utk melepaskan mediator
kimia (prostaglandin, bradikinin, histamin, dan substansi P) yg
mensensitisasi nosiseptor
  Mediator kimia akan berkonversi mjd impuls2 nyeri elektrik
2. Tahap Transmisi
Terdiri atas 3 bagian :
 Nyeri merambat dari serabut saraf perifer (serabut A-delta dan serabut
C) ke medula spinalis
4
 Transmisi nyeri dari medula spinalis ke batang otak dan thalamus
melalui jaras spinotalamikus (STT) -> mengenal sifat dan lokasi nyeri
 Impuls nyeri diteruskan ke korteks sensorik motorik, tempat nyeri di
persepsikan
3. Tahap Persepsi
 Tahap kesadaran individu akan adanya nyeri
 Memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif utk mengurangi
kompenen sensorik dan afektif nyeri
4. Tahap Modulasi
 Disebut juga tahap desenden
 Fase ini neuron di batang otak mengirim sinyal-sinyal kembali ke medula
spinalis
 Serabut desenden itu melepaskan substansi (opioid, serotonin, dan
norepinefrin) yg akan menghambat impuls asenden yg membahayakan di
bag dorsal medula spinalis.

d. Faktor Penyebab Nyeri


1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan
memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan
nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam
mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang
berusia lanjut, memiliki risiko tinggi mengalami situasi yang membuat
mereka merasakan nyeri akibat adanya komplikasi penyakit dan
degenerative.
2) Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang
sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam berespons terhadap nyeri.
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah
suatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku
yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya menentukan perilaku
psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat mempengaruhi
pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga terjadilah presepsi nyeri.
5
4) Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi presepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan
(distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun.
5) Makna nyeri
Individu akan mempresepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan
tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

6) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan presepsi nyeri tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak
mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan
nyeri yang serius.

7) Gaya koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempresepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka
dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya, individu yang
memiliki lokus kendali eksternal mempresepsikan faktor lain di dalam
lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung
jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa.
8) Keletihan
Rasa keletihan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan prespsi nyeri.
9) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun
tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan
lebih mudah di masa datang.
10) Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien dapat memengaruhi respons nyeri. Pasien dengan nyeri
memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun nyeri tetap
dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
6

e. Klasisifikasi Nyeri
a. Berdasarkan sumbernya
1) Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan.
Biasanya bersifat burning (seperti terbakar). (contoh: terkena ujung pisau atau
gunting)
2) Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh
Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama daripada cutaneous.
(contoh: sprain sendi)
3) Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen,
cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan
jaringan
b.  Berdasarkan penyebab:
1) Fisik. Bisa terjadi karena stimulus fisik (contoh: fraktur femur)
2) Psycogenic. Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (contoh: orang yang
marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)
Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut
c. Berdasarkan lama/durasinya
1) Nyeri akut.
Nyeri akut biasanya awitannya tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera
telah terjadi. Hal ini menarik perhatian pada kenyataan bahwa nyeri ini benar
terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang
secara potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan
tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan
terjadi penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan
biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam
bulan.
2) Nyeri kronik.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan
yang ditetapkan dengan tetap dan sering sulit untuk diobati karena biasanya
nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi signal yang sangat penting
7
bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya
menjadi masalah dengan sendirinya.
d. Berdasarkan lokasi/letak
1) Radiating pain. Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya
(contoh: cardiac pain)
2)  Referred pain. Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan
berasal dari  jaringan penyebab
3) Intractable pain. Nyeri yg sangat susah dihilangkan (contoh: nyeri kanker
maligna)
4) Phantom pain. Sensasi nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang (contoh:
bagian tubuh yang diamputasi)  atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri
medulla spinalis

Nyeri secara esensial dapat dibagi atas dua tipe yaitu nyeri adaptif dan
nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan melindungi
organisme dari cedera atau sebagai petanda adanya proses penyembuhan dari
cedera. Nyeri maladaptif terjadi jika ada proses patologis pada sistem saraf atau
akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Kondisi ini merupakan suatu
penyakit (pain as a disease). 
Pada praktek klinis sehari-hari kita mengenal 4 jenis nyeri: 
 Nyeri Nosiseptif
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan
jaringan. Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena
perlangsungannya yang singkat. Nyeri ini dapat timbul jika ada stimulus yang
cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus
berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis vital. Intensitas stimulus sebanding
dengan intensitas nyeri. Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum,
dll. 
 Nyeri Inflamatorik
Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan atau lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan
pasien dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan. Contoh:
nyeri pada rheumatoid artritis.
  Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer
(seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll)
8
atau sentral (seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke,
dan nyeri pada sklerosis multipel).
 Nyeri Fungsional
Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya
abnomalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon
abnormal sistem saraf terutama hipersensitifitas aparatus sensorik. Beberapa
kondisi umum memiliki gambaran nyeri tipe ini yaitu fibromialgia, iritable bowel
syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.
Tidak diketahui mengapa pada nyeri fungsional susunan saraf menunjukkan
sensitivitas abnormal atau hiper-responsifitas (Woolf, 2004).
Nyeri nosiseptif dan nyeri inflamatorik termasuk ke dalam nyeri adaptif,
artinya proses yang terjadi merupakan upaya tubuh untuk melindungi atau
memperbaiki diri dari kerusakan. Nyeri neuropatik dan nyeri fungsional
merupakan nyeri maladaptif, artinya proses patologis terjadi pada saraf itu sendiri
sehingga impuls nyeri timbul meski tanpa adanya kerusakan jaringan lain. Nyeri
ini biasanya kronis atau rekuren, dan hingga saat ini pendekatan terapi
farmakologis belum memberikan hasil yang memuaskan ().

f. Pengkajian Nyeri (Data Subjektif dan Data Objektif, PQRST)


Pengkajian pada Tn. M tanggal 30 Mei 2016 di Ruang Cempaka RSUD
Dr.Soedirman Kebumen didapatkan data klien mengatakan nyeri dada sebelah
kiri, nyeri seperti diremas-remas, skala 5, nyeri hilang timbul. Tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 54 kali/menit, respirasi 28 o kali/menit, suhu 36,5 C.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, intervensi yang
sudah dibuat yaitu pengkajian nyeri secara komprehensif (PQRST), observasi
nonverbal dari ketidaknyamanan, ajarkan teknik nonfarmakologi (distraksi
relaksasi dan nafas dalam), evaluasi nyeri, tingkatkan istirahat, kolaborasi dan
berikan analgetik untuk mengurangi nyeri, monitor vital sign, dan imlementasi
sudah dilakukan semua sesuai intervensi. Evaluasi yang dilakukan selama 2 hari,
masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
teratasi.
Rekomendasi dari berbagai penelitian tentang pemenuhan kebutuhan rasa
aman dan nyaman khususnya nyeri akut didapatkan hasil bahwa teknik distraksi
relaksasi dan terapi musik efektif, mampu, dan memberikan pengaruh terhadap
penurunan intensitas nyeri.
Sifat Nyeri
1. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi 
9
2. Nyeri bersifat subyektif dan individual 
3. Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah 
4. Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan
fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien 
5. Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya 
6. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis 
7. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan 
8.  Nyeri mengawali ketidakmampuan 
9. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak
optimal 
Secara ringkas, Mahon mengemukakan atribut nyeri sebagai berikut:
1. Nyeri bersifat individu 
2. Nyeri tidak menyenangkan 
3. Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi 
4. Bersifat tidak berkesudahan
Karakteristik Nyeri (PQRST)
P (Pemacu) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri
Q (Quality) : seperti apa-> tajam, tumpul, atau tersayat
R (Region) : daerah perjalanan nyeri
S (Severity/Skala Neri) : keparahan / intensitas nyeri
T (Time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.

g. Asuhan Keperawatan ( Diagnosa NYERI Untuk Intervensi Nyeri )


Tinjauan Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian nyeri yang faktual dan tepat dibutuhkan untuk
menetapkan data dasar, menegakkan diagnosis keperawatan yang tepat,
menyeleksi terapi yang cocok, dan mengevaluasi respons klien terhadap
terapi. Keuntungan pengkajian nyeri bagi klien adalah nyeri dapat
diidentifikasi, dikenali sebagai suatu yang nyata, dapat diukur, dan dapat
dijelaskan serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan (Andarmoyo,
2017).
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
b. Alasan masuk rumah sakit
Yaitu keluhan utama pasien saat masuk rumah sakit dan saat
dikaji. Pasien mengeluh nyeri, dilanjutkan dengan riwayat kesehatan
sekarang, dan kesehatan sebelum (Wahyudi & Wahid, 2016).
c. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran, salah satunya nyeri
(Muttaqin, 2011).
d. Riwayat kesehatan sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konklusi, muntah, takipnea/dispnea, sakit kepala, wajah
simetris/tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi sekret pada
saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang (Muttaqin, 2011).
e. Riwayat kesehatan dahulu
Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi
pengaruh pada penyakit yang diderita sekarang, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2011).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai
adanya penyakit keturunan yang menular dalam keluarga (Muttaqin,
2011).
g. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai proses emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat (Muttaqin, 2011).
h. Pengkajian nyeri
Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif. Data yang
terkumpul secara komprehensif dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menentukan manajemen nyeri yang tepat.
Tabel 2.4 Komponen Pengkajian Nyeri JCAHO
P (provoking incident) 1. Faktor pencetus atau penyebab
2. Faktor yang meringankan: teknik atau
keadaan yang dapat menurunkan nyeri
3. Faktor yang memperberat: teknik atau
keadaan yang dapat meningkatkan nyeri
Q (Quality/Quantity) Deskripsi nyeri yang dirasakan seseorang,
karakteristik nyeri.
R (Region/Relief) Regio yang mengalami nyeri, dapat
ditunjukkan dengan gambar.
S (Severity) Kekuatan dari nyeri dengan menggunakan
skala nyeri.
T (Time) Waktu timbul nyeri, periode (durasi) nyeri
dirasakan.
Penatalaksanaan nyeri saat ini Penatalaksanaan yang digunakan untuk
mengontrol nyeri, hasil, dan keefektifan.
Riwayat penatalaksanaan Riwayat penatalaksanaan nyeri, baik
nyeri sebelumnya intervensi medis maupun nonmedis.
Dampak nyeri Perubahan gaya hidup seperti tidur, nutrisi,
dan sebagainya.
Tujuan mengontrol nyeri Harapan tentang tingkat nyeri, toleransi, dan
pemulihan.
Sumber : (Zakiyah, 2015)
i. Riwayat nyeri
Saat mengkaji nyeri, perawat harus memberikan pasien
kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap
nyeri dan situasi tersebut dengan cara atau kata-kata mereka sendiri.
Langkah ini akan membantu perawat memahami makna nyeri pada
pasien, pengkajian riwayat nyeri meliputi beberapa aspek, antara
lain:
1) Lokasi: untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, perawat
bisa memberikan bantuan dengan gambar tubuh untuk pasien
agar bisa menandai bagian mana yang dirasakan nyeri.
2) Intensitas nyeri: cara menentukan intensitas nyeri pasien,
biasanya paling banyak menggunakan skala nyeri biasanya
dalam rentang 0-5 atau 0-10. Angka „0‟ menandakan tidak
adanya nyeri dan angka tertinggi adalah nyeri „terhebat‟ yang
dirasakan pasien.
3) Kualitas nyeri: terkadang nyeri yang dirasakan bisa seperti,
tertusuk-tusuk, teriris benda tajam, disetrum dan rasa terbakar.
Perawat dapat mencatat kata-kata yang digunakan pasien dalam
menggambarkan nyerinya.
4) Pola: pola nyeri meliputi, waktu, durasi, dan kekambuhan
interval nyeri. Maka, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang,
dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5) Faktor presipitasi: terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Seperti, aktivitas berlebih yang mengkibatkan
timbulnya nyeri dada, selain itu faktor lingkungan, suhu
lingkungan dapat berpengaruh terhadap nyeri, stresor fisik dan
emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.
6) Gejala yang menyertai: nyeri juga bisa menimbulkan gejala
yang menyertai, seperti mual, muntah, dan pusing.
7) Pengaruh pada aktivitas sehari-hari: dengan mengetahui sejauh
mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian pasien akan
membantu perawat dalam memahami prespektif pasien tentang
nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri,
yaitu pola tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan dan
aktivitas diwaktu senggang.
8) Sumber koping: setiap individu memiliki strategi koping
berbeda-beda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat
dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya, atau pengaruh
agama dan budaya.
9) Respon afektif: respon afektif pasien terhadap nyeri bervariasi,
bergantung pada situasi, derjat dan durasi nyeri, dan faktor
lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut,
lelah, depresi, atau perasaan gagal pada diri pasien (Mubarak &
Chayatin, 2008).
j. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara lengkap dan
menyeluruh.
1) Ukur suhu tubuh, tekanan darah, nadi, serta tinggi dan berat
badan pada setiap pemeriksaan.
2) Amati seluruh tubuh pasien untuk melihat keberadaan lesi kulit,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas tusukan jarum, perubahan
warna dan ada tidaknya oedema.
3) Lakukan pemeriksaan status mental untuk mengetahui orientasi
pasien, memori, komprehensi, kognisi dan emosi pasien
terutama sebagai akibat dari nyeri.
4) Pemeriksaan sendi selalu lakukan pemeriksaan di kedua sisi
pasien apabila kemungkinan untuk mendeteksi adanya asimetri.
Lakukan palpasi untuk mengetahui area spesifik dari nyeri.
5) Pemeriksaan sensorik, menggunakan diagram tubuh sebagai alat
bantu dalam menilai nyeri terutama untuk menentukan letak dan
etiologi nyeri.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Menurut SDKI (2016), diagnosa keperawatan yang muncul
berhubungan dengan gangguan rasa nyaman nyeri adalah :
1) Nyeri dan Kenyamanan: Nyeri Akut berhubungan dengan agen
pencedera fisik: Trauma
Nyeri akut: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual/fungsional, dengan onset
mendadak/lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
b. Berdasarkan diagnosa NANDA NIC NOC 2016 masalah yang
muncul pada gangguan rasa nyaman nyeri adalah:
1) Gangguan rasa nyaman nyeri: Nyeri akut berhubungan dengan
Agen cedera fisik (trauma pada kepala).

3. Perencanaan/Intervensi Keperawatan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain:
a. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu.
b. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktivitas
fisik yang diperlukan untuk penyembuhan (misal: batuk dan napas
dalam, ambulasi).
c. Mencegah timbulnya gangguan tidur (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
Tabel 2.5 Intervensi Nyeri Akut Menurut SIKI 2018
Diagnosis Intervensi Utama Intervensi
keperawatan Pendukung
1. Nyeri akut , Manajemen nyeri, yaitu 1) Dukungan
intervensi mengidentifikasi dan mengelola pengungkapan
utama: pengalaman sensorik atau emosional kebutuhan.
a. Manajemen yang berkaitan dengan kerusakan 2) Edukasi efek
nyeri jaringan atau fungsional dengan onset samping obat.
b. Pemberian mendadak atau lambat dan berintensitas 3) Edukasi
analgesik ringan hingga berat dan konstan. manajemen nyeri.
Observasi: 4) Edukasi proses
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, penyakit.
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas 5) Edukasi teknik
nyeri. napas
2) Identifikasi skala nyeri.
3) Identifikasi respons nyeri non verbal. 6) Manajemen
4) Identifikasi faktor yang memperberat kenyamanan
dan memperingan nyeri. lingkungan.
5) Identifikasi pengetahuan dan 7) Pemantauan nyeri.
keyakinan tentang nyeri. 8) Pemberian obat.
6) Identifikasi pengaruh budaya 9) Pengaturan posisi.
terhadap respon nyeri. 10) Teknik distraksi
7) Identifikasi pengaruh nyeri pada 11) Teknik relaksasi
kualitas hidup. 12) Teknik imajinasi
8) Monitor keberhasilan terapi terbimbing.
komplementer yang sudah diberikan.
9) Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Terapeutik:
1) Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri ( mis:
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain), teknik distraksi dan
teknik relaksasi.
2) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat & tidur.
4) Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
1) Jelaskan penyebab, metode, dan
pemicu nyeri.
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5) Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018.


Tabel 2.6 Intervensi Nyeri Akut Menurut NIC NOC 2016
No Diagnosis Tujuan / kriteria Rencana keperawatan
keperawatan
1 a) Nyeri akut Tujuan 1) Kaji nyeri secara
berhubungan Pain level komprehensif
dengan agen Pain control termasuk lokasi,
cedera fisik Comfort level karakteristik, durasi,
(trauma pada Kriteria hasil: frekuensi, dan
kepala ) 1) Secara subyektif kulitas.
melaporkan/ mengatakan 2) Kaji faktor-faktor
nyeri berkurang dengan yang meningkatkan
skala nyeri 1-2 dan dan meringankan
menyatakan rasa nyaman nyeri.
setelah nyerinya 3) Kaji pengalaman
berkurang nyeri klien dimasa
2) Mampu mengontrol nyeri lampau.
(tahu penyebab nyeri, 4) Kaji tindakan
mampu menggunakan penanganan yang
teknik nonfarmakologi diupayakan untuk
untuk mengurangi nyeri, menurunkan nyeri.
mencari bantuan). 5) Kaji tanda-tanda
3) Mengatakan bahwa nyeri vital (TD, N, R, S)
berkurang dengan 6) Berikan informasi
menggunakan manajemen yang akurat
nyeri. mengenai nyeri klien
4) Mampu mengenali nyeri (penyebab,
(skala, intensitas, penanganan, dsb.)
frekuensi dan tanda 7) Ajarkan tindakan
nyeri). peredaan nyeri
5) Menyatakan rasa nyaman nonfarmakologi
setelah nyeri berkurang. (misal: stimulasi
6) Tanda vital dalam rentang kutaneus, kompres
normal. hangat, kompres
7) Tidak mengalami dingin, masase
gangguan tidur kutaneus, distraksi,
relaksasi dsb).
8) Libatkan keluarga
dalam perawatan
klien.
9) Kolaborasi dengan
dokter, pemberian
analgesik
Sumber: ( NANDA NIC - NOC, 2016
4. Pelaksanaan/Implementasi Nyeri
Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan di
mana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.
Pengertian tersebut menekankan bahwa implementasi adalah melakukan
atau menyelesaikan suatu tindakan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Terdapat berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi
rasa nyeri. Implementasi lebih ditunjukkan pada:
a. Upaya perawatan dalam meningkatkan kenyamanan,
b. Upaya pemberian informasi yang akurat,
c. Upaya mempertahankan kesejahteraan,
d. Upaya tindakan peredaan nyeri nonfarmakologis, dan
e. Pemberian terapi nyeri farmakologis (Andarmoyo, 2017).

5. Evaluasi Nyeri
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses
keperawatan untuk mengukur respons klien terhadap tindakan
keperawatan dan kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan.
Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan masalah nyeri
dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespons rangsangan
nyeri, diantaranya:
a. Klien menyatakan adanya penurunan rasa nyeri,
b. Mendapatkan pemahaman yang akurat mengenai nyeri,
c. Mampu mempertahankan kesejahteraan dan meningkatkan
kemampuan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki,
d. Mampu menggunakan tindakan-tindakan peredaan nyeri
nonfarmakologis,
e. Mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri (Andarmoyo, 2017
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala yang disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif dan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain
Injury Assosiation of America, 2006).
Trauma kepala/cedera kepala merupakan trauma yang mengenai
tengkorak yang menyebabkan kerusakan otak mulai dari ringan sampai
berat (Ikhya Ulya dkk, 2017). Menurut berat-ringannya trauma, cedera
kepala dibagi sebagai berikut (Krisanty, et al., 2016):
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13-15.
2) Amnesia kurang dari 30 menit.
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada.
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari.
b. Cedera kepala sedang
1) Nilai GCS 9-12.
2) Penurunan kesadaran 30 menit-24 jam.
3) Terdapat trauma sekunder.
4) Gangguan neurologis sedang.
c. Cedera kepala berat
1) Nilai GCS 3-8.
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari.
3) Terdapat cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan
dan atau hematoma intracranial.
Perdarahan yang sering ditemukan pada kasus cedera kepala yaitu:

a. Epidural hematoma (EDH)


Perdarahan duramater dan skull. Frekuensi kejadian epidural
hematoma (EDH) sekitar 1-2% dari insiden cedera kepala. Tanda dan
gejala yang terjadi pada pasien dengan EDH adalah:
1) Sakit kepala
2) Penurunan kesadaran secara mendadak
Pola penurunan kesadaran disertai dengan fase lucid interval (pada
tahap awal tidak sadar, kemudian pasien sadar kembali sekitar lima
menit sampai enam jam yang disebut sebagai fase lucid interval, dan
secara cepat pasien akan mengalami penurunan kesadaran kembali).
3) Adanya hemiparese kontralateral
4) Dilatasi pupil ipsilateral
5) Brakikardia
6) TIK meningkat
7) Tekanan darah meningkat
8) Pola pernapasan abnormal

b. Subdural hematoma (SDH)


Perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
mengakibatkan akumulasi darah antara duramater dan arachnoid mater
atau disebut sebagai rongga subdural. Sumber perdarahan berasal dari
sinus vena dan korteks serebral. Perdarahan pada subdural ini memiliki
angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
perdarahan intrakranial lainnya. Subdural hemtoma (SDH) lebih sering
dibandingkan dengan epidural hematoma (EDH) yaitu sekitar 10-20 %
dari jumlah trauma kepala. Tanda dan gejala pada pasien dengan SDH
adalah sebagai berikut:
1) Sakit kepala dan memberat seiring dengan meningkatnya perdarahan
2) Diameter pupil tidak sama antara kanan dan kiri yang
mengindikasikan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
3) Penurunan tingkat kesadaran (akut) atau progresif
4) Kebingungan (confuse)
5) Kelemahan di salah satu sisi tubuh secara akut (hemiparese)
6) Dilatasi pupil secara akut
7) Refleks babinski positif
8) Peningkatan suhu tubuh
9) Mual dan atau muntah
10) Peningkatan TIK

c. Subarachnoid hemorrhage (SAH)


Perdarahan subaraknoid (subaraknoid hemoragik/SAH) merupakan
perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah subaraknoid
sehingga menimbulkan akumulasi darah di antara membran araknoid
dan piamater yang mengelilingi jaringan otak atau disebut sebagai
ruang subaraknoid. Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan
perdarahan subaraknoid atau SAH adalah sebagai berikut:
1) Biasanya tanpa gejala
2) Sakit kepala hebat
3) Penurunan tingkat keasadaran
4) Muntah
5) Kejang
6) Kaku leher
7) Mengantuk (drowsiness)
8) Koma
9) Kebingungan (confusion)
10) Perdarahan pada bola mata (perdarahan intraokular)
11) Fotofobia (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).
2. Anatomi Fisiologi
Struktur kepala terdiri atas bagian berikut.
a. Skalp (kulit kepala)
b. Skull (tengkorak)
c. Jaringan ikat yang melindungi otak (meningen: duramater, arachnoid
mater, piamater)
d. Jaringan otak
e. Cairan serebrospinal
f. Kompartmen vaskular
Skalp atau kulit kepala merupakan bagian yang melindungi tengkorak
dan memiliki jaringan vaskular yang banyak dan rawan terjadi perdarahan
saat terjadi laserasi. Tengkorak merupakan bagian tulang yang kaku dan
keras serta berfungsi melindungi otak dari mekanisme trauma kepala. Jika
mengalami cedera, maka dapat menyebabkan pembengkakan pada otak. Di
dalam rongga kepala, otak mengapung pada cairan serebrospinal sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan pada saat terjadi mekanisme cedera
atau mengelami benturan.
Otak diselimuti oleh jaringan fibrosa yang terdiri dari atas duramater
(tough mother), kemudian lapisan yang lebih tipis yaitu arakhnoid yang
terletak di bawah duramater dan mengandung pembuluh darah arteri dan
vena, serta lapisan yang lebih tipis lagi yaitu piamater (soft mother), yang
terletak di bawah arakhnoid dan melekat pada permukaan otak langsung.
Cairan serebrospinal (CSS) berada di bawah arakhnoid dan piamater.
Otak, cairan serebrospinal (CSS), dan darah yang berada dalam
pembuluh darah, merupakan komponen yang mengisi rongga kepala. Jika
terjadi peningkatan salah satunya, maka akan berpengaruh pada dua
komponen lainnya. Hal ini sangat berperan penting dalam patofisiologi
trauma kepala. Jika terjadi trauma, seperti halnya jaringan lainnya, otak
akan mengalami pembengkakan. Oleh karena kapasitas ruang yang tidak
berubah, jika terjadi pembengkakan atau bertambahnya cairan dalam
rongga tengkorak, maka akan menyebabkan peningkatan tekanan.
Cairan serebrospinal berisi nutrisi yang membasahi otak dan spinal
cord atau sumsum tulang belakang. Cairan spinalis diproduksi di ventrikel
otak secara terus-menerus rata-rata 0,33 ml/menit. Jumlah normal cairan
serenrospinal 125-150 ml. Cairan serebrospinal bersirkulasi di arakhnoid
dan subaraknoid kemudian cairan serebrospinal akan diabsorbsi kembali.
Jika ada yang menghambat aliran cairan serebrospinal dapat menyebabkan
akumulasi cairan spinal dalam otak (hidrosefalus) dan meningkatkan
tekanan intrakranial (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).

3. Etiologi Cedera Kepala


Trauma kepala/cedera kepala secara umum disebabkan oleh beberapa
hal berikut ini kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan
pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau
cedera saat lahir (NANDA NIC NOC 2015-2017). Mekanisme cedera
kepala meliputi :
a. Cedera akselerasi, terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (mis: alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
b. Cedera deselerasi, terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
c. Cedera coup-countre coup, terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukuli dibagian
belakang kepala
d. Cedera rotasional, terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar neuron dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan
peregangan atau robeknya memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak (Nurarif & Kusuma, 2016).
4. Patofisiologi Cedera Kepala
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan sekunder.
a. Cedera primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan,
karena tenaga kinetik mengenai kranium atau otak. Cedera primer
dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur tengkorak,
laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral. Sedangkan cedera difus
menyebabkan cedera mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axonal injury (Diagnosis NANDA NIC NOC 2015-2017).
b. Cedera kepala sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,
pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi IntraKranial),
hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanisme nya, kerusakan
ini dapat dikelompokkan atas dua yaitu: kerusakan hipoksik-
iskemik menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh
(Japardi, 2004).
32

Gambar 2.2 pathway cedera kepala

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Jaringan otak rusak (kontusio,


Terputusnya kontinuitas Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot & vaskuler Resiko perdarahan laserasi)
jaringan tulang

- Perubahan autoregulasi
- Oedema serebral
Perdarahan hemastoma Gangguan suplai darah Nyeri akut
Resiko infeksi
kejang
Kerusakan memori
Iskemia
Perubahan sirkulasi CSS

Gangguan neurologis
Hipoksia Resiko ketidakefektifan
Peningkatan TIK vokal
perfusi jaringan otak - Bersihan jalan nafas
- Obstruksi jalan nafas

Defisit neurologis - Disepnea

Gilus medialis lobus - Mual muntah Resiko kekurangan - Henti nafas

temporalis tergeser - Papilodema volume cairan - Perubahan pola nafas


Gangguan presepsi
- Pandangan kabur
sensori
- Penurunan fungsi Kompresi medullaoblongata
Herniasi ulkus
pendengaran Ketidak efektifan bersihan jalan
nafas

Mesen falon tertekan Resiko cedera Tonsil cerebrum


bergeser
Gangguan kesadaran
imobilisasi Kerusakan mobilitas
fisik
Sumber : (Nanda NIC-NOC, 2016
Ansietas
33
5. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Gejala klinis dari trauma kepala ditentukan oleh derajat cedera dan
lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat
gangguan, kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada
penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit saja.
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1) Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, alternatif dan orientatif).
2) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
6) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1) Skor skala koma glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)
2) Konfusi
3) Amnesia pasca trauma
4) Muntah
5) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battel, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal)
6) Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1) Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)
2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3) Tanda neurologis fokal
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
(Manurung, 2018).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) GDA untuk menentukan adanya masalah vantilasi atau oksigenisasi
dan peningakatan tekanan intrakranial (TIK).
2) Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolisme dan
diaforesis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hipernatremia)
b. Pencitraan
1) CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma,
kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan
otak.
2) MRI lebih sensitif untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak
terdeteksi oleh CT scan. (Diagnosis NANDA NIC NOC, 2015-
2017).

7. Penatalaksanaan Medis
Penanganan cedera kepala: (Nurarif & Kusuma, 2016).
a. Stabilisasi koardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-
Breathing-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.
c. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok).
d. Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
e. Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti: sken tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
8. Komplikasi Cedera Kepala
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan trauma kepala ada dua,
yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang.
a. Komplikasi jangka pendek: terjadinya perdarahan serebral,
hematom, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), infeksi, dan
kejang.
b. Komplikasi jangka panjang: terjadinya perubahan perilaku,
gangguan fungsi saraf kranial, dan kecacatan sesuai area otak
yang mengalami kerusakan (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).
a. Pengumpulan Data
b. Keluhan utama
1) Keluhan yang paling dirasakan klien
2) Klien mengatakan nyeri
a) P (Paliatif) : Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya
nyeri
b) Q (Qualitatif) : Seperti apa, tajam, tumpul, atau tersayat
c) R (Regio) : Daerah perjalan nyeri
d) S (Severe) : Keparahan atau intensitas nyeri
e) T (Time) : Lama waktu serangan atau frequensi nyeri
1. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital    : Tekanan darah, nadi, pernafasan
b. Perilaku                   : Meletakkan tangan di paha, tungkai, dan paha flexi
c. Expresi wajah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan stres
c. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan penyempitan pembuluh
daraH
3. Rencana Tindakan
Diagnosa 1 : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan
kerusakan jaringan
Defenisi : Suatu perasaan yang tidak menyenangkan atau disebabkan oleh
stimulus spesifik seperti mekanik atau elektrik pada ujung
syaraf.
Tujuan : Penurunan tingkat nyerI
Perubahan dalam rasa nyaman
Intervensi :
1. Lakukan pendekatan dengan pasien dan keluarga
Rasional : Agar pasien dan keluarganya lebih kooperatif dalam tindakan
keperawatan
2. Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui tingkat nyeri
3. Menciptakan lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk memberikan ketenangan kepada pasien
4. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasI
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyerI
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan analgesik
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
4. Implementasi
Merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan
dilaksananakan: melaksanakan intervensi/aktivitas yang telagh ditentukan, pada tahap
ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya,
pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila
perawtan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap
intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedian perawatan
lainnya.kemudian dengan menggunakan data dapat mengevaluasi dan merevisi
rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya.
5. Evaluasi
Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam
merespon rangsangan nyeri diantaranya:
1. Hilangnya perasaan nyeri
2. Menurunnya intensitas nyeri
3. Adanya respon fisiologis yang baik
4. Pasien mampu melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
H.Alimul, A. Aziz. 2011. Pengantar Konsep Dasar Manusia 1. Jakarta: Salemba Medika
Hidayat A. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1. Salemba Medika,
Jakarta.
Price, Sylvia Anderson dan Loraine MW, Patofisiologi Vol. I Edisi 6, Jakarta : EGC,
2009
Sudoyo WA, Setyo Hadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit dalam Edisi Ke-5, Jakarta Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam 2009
Tamsuri A. 2010. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Koziar, (2010). FundalmentalOf Nursing Concepts and Process7. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai