Anda di halaman 1dari 41

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Situbondo

Disusun oleh : DINA DWI CAHYANI

Program Kekhususan :
Hukum Pidana

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS


PADANG

2012

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 1
PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA

TINDAK PIDANA KORUPSI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KELAS II A PADANG

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat korupsi yang

sangat tinggi. Banyak kajian yang telah dilakukan1 salah satunya oleh Political

Economic Risk And Consultancy (PERC) pada tahun 2004 memposisikan


2
indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Realitas seperti itu memang

menyakitkan rasa kebangsaan kita, namun kita tidak mampu membantahnya

karena memang demikianlah adanya hingga saat ini.3 Korupsi telah menjadi

masalah serius bagi bangsa Indonesia, yang telah merambah ke seluruh lini

kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis sehingga memunculkan

stigma negatif bagi negara dan bangsa indonesia di dalam pergaulan masyarakat

internasional.

Sungguh sebuah prestasi yang memalukan bagi masa depan bangsa ini
4
yang terkenal hidup bersahaja, ramah dan berbudaya tinggi. Aneh nya,

berbagai upaya telah ditempuh untuk memberantas korupsi, namun belum

1
. Hasil Survei Political Ekonnomi Risk Consultancy (PERC) tahun 2010,
Menempatkan Indoesia Sebagai Negara Terkorup di Asia, www.antikorupsi.com di akses pada
tanggal 28 November 2011
2
. www.bukumizam.com diakses tanggal 1 Desember 2011
3
. Elwi Danil, 2005, Melawan Hukum Sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi,
Disampaikan Dalam Seminar dan Lokakarya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengadaan Barang Dan Jasa, Padang, hal 1
4
. Teguh Sulistya dan Aria Zurnetti, 2005, Konsep Efektif Hukum Dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme di Indonesia, dalam majalah Projustisia,
Padang , hal 27
mampu menurunkan peringkat Indonesia dalam deretan negara terkorup di

dunia. Bahkan korupsi di Indonesia sekarang tak ubahnya seperti cendawan

dimusim hujan,5 kian hari semakin banyak.

Tindak pidana korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar

biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa

pula (extra ordinary measure), untuk itu peran serta seluruh komponen

masyarakat dalam hal pencegahan dan penindakan perkara korupsi sangat

diperlukan. Hal ini dipertegas oleh Basrief Arief, yang menyatakan bahwa

meningkatnya aktivitas tindak pidana korupsi yang tidak terkendali, tidak saja

akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan

berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena itu, tindak pidana

korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah

menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini

digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di

masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar

biasa.6

5
. Sudi Pratiyo.2005, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah, di sampaikan pada diskusi bulanan bertema “ strengthening Regulation Enforcement
Integrity Assurance and Public Participation On Local Budget In West Sumatera” di
selenggarakan oleh PusatKajian Hukum Wilayah Barat UniversitasAndalas, Padang, hal. 2
6
Basrief Arief, 2006, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Jakarta:
PT. Adika Remaja Indonesia, hal. 87.
Sejak beberapa tahun belakangan, korupsi7 telah menjadi permasalahan

yang sangat serius di Indonesia, termasuk beberapa kota di daerah Sumatera

Barat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, menyatakan Kota Bukittinggi

sebagai daerah yang terdapat dugaan kasus korupsi paling tinggi di Sumatera

Barat. Dari hasil monitoring, Kota Bukittinggi menduduki peringkat teratas

terdapatnya dugaan kasus korupsi di Sumbar, kemudian baru disusul Kabupaten

Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok," kata Staf LBH Padang Divisi

Pendampingan Hukum dan Paralegal Deddi Alparesi, di Padang, Jumat 9

Desember 2011. Dia menambahkan, dari monitoring LBH Padang dugaan

kasus korupsi didaerah itu saat ini telah mencapai 17 kasus, sedangkan di

Kabupaten Pesisir Selatan terdapat 16 kasus, dan Kabupaten Solok sebanyak 13

kasus. Hasil monitoring LBH Padang terkait kasus korupsi di provinsi itu

berdasarkan audit dan laporan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPK),

data Kejaksaan, laporan masyarakat, serta hasil dari investigasi media massa

setempat. Munculnya Kota Bukittinggi sebagai daerah paling rawan akan

korupsi di Provinsi Sumbar dari data LBH Padang, terkait dengan banyaknya

proyek pengadaan barang dan jasa di wilayah tersebut, dimana sekor itu juga

merupakan penyumbang peluang terbesar terjadinya korupsi di daerah itu. Dari

19 kota dan kabupaten di Sumbar yang didata LBH Padang, untuk lingkungan

7
. Korupsi Berasal dari kata corruption dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau
kebobrokkan, lihat dalam Elwi Danil, 2011, Korupsi (Konsep, tindak Pidana dan
Pembahasannya), PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal.3. sedangkan Robert Klitgarrd,
mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan seseorang yang dilakukan secara tidak halal dengan
meletakkan kepentingan pribadinya diatas kepentingan rakyat serta cita-cita, menurut sumpah
akan dilayaninya, dengan ,menggunakan instrument-intrument kebijakan atau prosedur-
prosedur sederhana, baik disektor swasta maupun pemerintahan. Lihat dalam Robert Klidgard,
2001, MembasmiKorupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. xix
pemerintahan Provinsi Sumbar juga masuk dalam monitoring, dimana

diwilayah itu tercatat sebanyak deapan kasus dugaan korupsi. Selain Kota

Bukittinggi, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok, yang menduduki

peringkat tiga teratas jumlah dugaan korupsi, berikutnya diikuti oleh Kota

Padang dan Kabupaten 50 Kota dengan 11 kasus, Kabuapaten Sijunjung serta

Kabupaten Pasaman Barat 10 kasus, Kabupaten Agam sembilan kasus,

Kabupaten Dhamasraya delapan kasus. Berikunya diikuti Kabupaten Tanah

Datar, Kabupaten Kabupaten Solok Selatan, Kota Padangpanjang masing-

masing enam kasus, Kota Payakumbuh, Kota Sawahlunto lima kasus,

Kabupaten Mentawai, Kota Pariaman tiga kasus, serta yang terendah adalah

Kota Solok dan Kabupaten Pasaman dengan dua kasus. Total kasus dugaan

korupsi di Sumbar sendiri berdasarkan catatan LBH Padang pada tahun 2011

ini telah mencapai 157 kasus, dan jumlah tersebut didata sejak tahun 2007.8

Melihat hal diatas sungguh ironis, karena korupsi akan menjadi faktor

penghambat pembangunan di segala bidang. Uang yang idealnya digunakan

untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi

masyarakat, membayar gaji guru, dan sebagainya menjadi terhambat karena

anggaran telah dikorupsi oleh pejabat. Dampak lain, korupsi juga memperbesar

tindak pidana pencucian uang. Dampak diataslah yang kita cemaskan bila

8
. http://eksposnews.com/view/6/29476/Bukittinggi-Peringkat-Paling-Atas-Korupsi-di-
Sumbar.html. Diakses pada hari senen tanggal 30 Januari 2012. Jam. 13.00 Wib
kabupaten dan kota melakukan tindak pidana korupsi karena jumlah uang di

daerah jauh lebih kecil.9

Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan

perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu

pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset

recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak

hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja,

tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan

negara akibat dari tindak pidana korupsi. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka dapat mengurangi rasa

jera terhadap para koruptor.

Pada hakikatnya tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi-lah yang menjadi

penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak system hokum dan menghambat

jalannya pemerintahan yang demokritis. Dengan kata lain, korupsi sudah

menggoyakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,

korupsi tidak digolongkan sebagai kejahatan biasa tapi sudah merupakan

kejahatan luar biasa.10 Bahkan sebagian kalangan menilai bahwa saat ini tindak

9
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6140:tingkat
-persepsi-korupsi-kota-padang-relatif-buruk&catid=12:refleksi&Itemid=82 . Diakses tanggal
1Desember 2011
10
.Tim Task Force, 2008, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-undang Pengadilan
Khusus Korupsi, Konsorium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, hal 2
pidana itu telah berubah menjadi kelaziman 11 di dalam praktek kehidupan

bangsa ini.

Bila berdasar pada konsep rasionalitas12 ini, maka kebijakan penetapan

sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai

oleh kebijakan kriminal13 secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat.

Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah

dirumuskan terlebihdahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat

menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk

menetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan dilakukan.

Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebutlah sehingga diperlukan

upaya-upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Salah satu upaya luar

biasa yang dimaksud adalah dengan melakukan pembinaan yang serius di

lembaga pemasyarakatan. Dengan adanya pembinaan serius terhadap

11
. Hasril Hartanto, Proses Recruetment Hakim Pengadilan Khusus Korupsi, Majalah
Hukum dan Keadilan “Teropong”, MAPPI-FHUI, Jakarta, hal. 24
12
. Rasionalitas: Kekuatan Memikir. Lihat juga dalam Tim Prima Pena, 2006, Kamus
ilmiah Populer, Surabaya, Gita Media Press, hal. 400
13
. Kebijakan Kriminal adalah: Usaha-usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan,
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, dengan menggunakan
konsepsi dengan cara Penal dan juga kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral
mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahtan
harus merupakan satu kesatuan yang terpadu, ini berarti menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan sanksi pidana atau dengan cara penal, yang nantinya juga digabungkan dengan
usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang
yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan
utama dari usaha-usaha nan penal ini adalh memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang
secara tidak lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Menurut Radzinowicz
“ kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventive itu dan
mengaturnya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas dan
akhirnya menggkoordinasikan keseluruhnya itu kedalam suatu kegiatan negara yang teratur”
.Lihat dalam Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 34
14
narapidana tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan maka

kedepannya diharapkan dapat memperbaiki narapidana agar tidak lagi

mengulangi perbuatannya dan tidak menularkan prilaku buruk tersebut kepada

orang lain.

Sepanjang 2011, intensitas kasus korupsi di Sumatra Barat meningkat

hampir dua kali lipat dibanding tahun 2010. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Padang mencatat, angka korupsi sepanjang 2011 mencapai 157 kasus, pada

2010 hanya 84 kasus. Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan

(PHP) LBH Padang Roni Saputra kepada Media Indonesia, mengatakan,

sepanjang 2011 ini hanya 64 kasus yang sudah divonis pengadilan. LBH

Padang juga menemukan 12 kasus yang baru ditangani secara khusus.15

Dengan melihat peningkatan kasus korupsi di Sumatera Barat dari tahun

ketahun, hal ini tentu sangat menarik untuk melihat proses pembinaan terhadap

narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A

Padang, mengingat pembinaan terhadap narapidana baik secara lansung

maupun tidak lansung akan berpengaruh terhadap penanggulangan kejahatan,

khususnya terhadap tindak pidana korupsi.

14
. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
pemesayarakatan. Lihat dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
15
.http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/09/282437/126/101/-Korupsi-di-
Sumbar-Mencapai-157-Kasus-Tahun-Ini. Diakses pada hari Kamis, tanggal 1 Desember, Jam.
8.00 Wib
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai sub
16
system dalam peradilan pidana yang mempunyai perangkat struktur yang
17
bekerja secara koheren, koordinatif dan integrative agar dapat mencapai

effisiensi (penghematan) dan efektifitas (ketepatgunaan) yang maksimal

sehingga nantinya mampu mengusahakan agar orang yang pernah melakukan


18
tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya upaya tersebut tentu saja

dengan melakukan serangkaian pembinaan terhadap orang yang pernah

melakukan tindak pidana tersebut.

Dalam tataran ideal, pembinaan yang dilakukan di lembaga

pemasyarakatan tentu harus memperhatikan latar belakang narapidana misalnya

tingkat pendidkan dan pekerjaan yang bersangkutan. Hal tersebut dibutuhkan

dalam pembinaan agar hasil yang dicapai maksimal. Khusus terhadap

narapidana tindak pidana korupsi, harus dipahami umumnya narapidana

tersebut berlatar belakang pendidikan yang tinggi dan memiliki jabatan yang

strategis (pejabat), tentu sangat tidak mungkin pembinaan terhadap narapidana

tindak pidana korupsi dipersamakan dengan narapidana lainnya apabila

lembaga pemasyarakatan hendak mencapai hasil yang maksimal dalam

16
. Muladi, 1998, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hal, 21
17
. Koheren adalah: Bersifat harmonis atau konsisten, atau melekat, berhubungan dan
bersangkut paut. Integrative (Integritas): kesempurnaan kesatuan keterpadauan, ketulusan hati
kejujuran, dan tidak suap. Tim Prima pena, Op Cit hal. 253
18
. Marjono Reksodiporo, 1998, HAM dan Sitem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat
Pelayanan keadilan, sebagaimana dikutip oleh Shinta Agustina, Menuju Proses Hukum yang
Adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu di Indonesia (Kajian terhadap RUU dari
Perspektif HAM), 2001, Makalah dalam Diskusi Publik tentang membangun dukungan dari
masyarakat dalam proses Advocasi RUU KUHAP, Padang, hal, 1s
melakukan pembinaan. Atas dasar latar belakang pemikiran itulah, fenomena

ini menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan pengkajian dalam bentuk

penelitian dengan judul : PELAKSAAN PEMBINAAN TERHADAP

NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KELAS II A PADANG.

RumusanMasalah

Beranjak dari hal di atas maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah

pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak

Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang?

2. Bagaimana Hambatan yang ditemukan oleh Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Padang dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana

tindak pidana korupsi?

3. Bagaimakah Upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam

mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana

Tindak Pidana Korupsi?

TujuanPenelitian

Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Untuk Mengungkapkan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana

Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang?

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
10
2. Untuk mengungkapkan Hambatan yang ditemukan oleh Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam melaksanakan pembinaan

terhadap narapidana tindak pidana korupsi?

3. Untuk melihat Upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang

dalam mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap

Narapidana Tindak Pidana Korupsi?

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah

sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pelaksanaan

pembinaan terhadap narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan

kelas II A Padang, dalam mencapai tujuan pemidanaan.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau manfaat bagi

pihak-pihak, seperti penegak hukum terutama petugas LAPAS dalam

proses pemberian pembinaan terhadap narapidana korupsi.

Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Dalam penulisan penelitian ini adapun teori yang digunakan adalah:

A. Teori tentang Penegakan Hukum


Salah satu sebab kegagalan pemerintah memberantas korupsi adalah karena

tindakan-tindakan yang diambil tidak dilakukan secara sistematis dan terfokus

pada sektor tertentu. Ada dua sektor penting yang harus ditangani secara serius

yakni sektor perijinan dan sektor penegakan hukum. Di Indonesia semua

departemen, instansi dan pemerintahan daerah memiliki peraturan dan jaringan

perijinan masing-masing, sehingga perijinan telah menjadi bagian dari hidup

kita dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta berusaha atau

berbisnis.19

Tindakan pemberantasan korupsi juga harus difokuskan kepada sektor

penegakan hukum, law enforcement harus ditingkatkan. Berarti yang lebih

utama bukan peraturan hukum yang mesti dikuatkan hati nuraninya, ditebalkan

imannya dan dibangkitkan keberaniannya untuk memberantas korupsi.20 Ada

enam instansi atau institusi yang terkait dengan penegakan hukum yakni,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kementrian hukum dan hak asasi manusia,

mahkamah agung dan pengacara yang harus mempunyai komitmen, semangat

dan pemahaman yang sama dalam proses hukum terhadap tindak pidana

korupsi.

Menurut Baharuddin Lopa mencegah kolusi dan korupsi tidak begitu sulit,

apabila setiap manusia secara sadar menempatkan kepentingan umum

(kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sebab

19
. Frans Seda, Memberantas Korupsi didua Sektor Publik, Kompas, hal. 7, edisi hari
Senin tanggal 22 Desember 2003.
20
. Dyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi mencermati
Dinamikanya Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hal. 10.
betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang

memiliki peluang untuk melakuakan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi

akan tetap terjadi dan faktor mentallah yang paling menentukan.21

Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada

tiga pendekatan berdasarkan alur proses korupsi, yaitu: 22

1) Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,

2) Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi, dan

3) Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk

mencegah dan memberantas korupsi yang tepat, yaitu strategi preventif, strategi

detektif dan strategi represif.23 Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan

dengan diarahkannya pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi.

Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga

dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya

yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi, dengan dasar

pemikiran ini banyak hal yang harus digunakan sebagai asal dari strategi

preventif dan melibatkan berbagai pihak.

Strategi detektif, harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan

diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka

perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-


21
. Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Buku
Kompas, hal. 2.
22
. Soedarjono, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang Komprehensif
dan Terintegrasi, Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan korupsi di Indonesia, Jakarta 15
September 1997, hal. 2.
23
. Ibid, hal. 3.
singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan

cepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga

sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup

memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi.

Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan

diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan

tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran

ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan

disegala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan

secara cepat dan tepat.

Komisi Pembernatasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan antara

lain kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, bahkan penyidikan

tanpa memerlukan ijin khusus. KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan

penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejahatan terhadap perkara korupsi

yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggaraan negara dan orang

lain yang ada kaitannya dengan perkara tersebut.24

Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991, terjadi

pergeseran posisi kedudukan kejaksaan Republik Indonesia, tidak lagi sebagai

alat negara penegak hukum, tetapi oleh pasal 2 ayat (1) dinyatakan sebagai

lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan, meskipun di dalam menjalankan fungsinya di bidang penuntutan


24
. Dyatmiko Soemodihardjo, Op.Cit, hal. 7.
tidak mengalami perubahan tetapi menyangkut penyidikan hanya diberi

kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya terhadap tindak pidana

tertentu antara lain penyidikan terhadap tindak pidana korupsi melalui Pasal

284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pelanggaran Hak

Asasi Manusia. Akan tetapi, ketika Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

diberlakukan, fungsi penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi terjadi pergeseran, tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan

Republik Indonesia.25

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu

kesimpulan, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut

mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak

pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:26

1) Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undangnya


saja. Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang
dalam arti materil, berarti peraturan tertulis yang berlaku umum
dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

25
. Chaerudin, dkk, Op.Cit, hal. 75-76
26
. Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 8.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

efektifitas penegakan hukum. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di

Indonesia tentunya akan menjadi objek untuk dianalisa dan dibandingkan

terhadap kelima faktor tersebut di atas. Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Kejaksaan Agung sebagai aparat penegak hukum juga akan terlihat upayanya

dalam meminimalisasi rintangan atau hambatan dari sudut pandang kelima

faktor ini.

B. Teori pemidanaan

Penempatan narapidana pada LAPAS di Indonesia tidak terlepas dari tujuan

yang hendak dicapai dalam pemidanaan. LAPAS melalui sistem

pemasyarakatannya adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana

sehingga pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari konsep umum

pemidanaan.27 Perdebatan mengenai tujuan pemidanaan ini telah berlangsung

sejak lama. Hal ini disebabkan karena perbedaan teori dalam melihat tujuan

pemidanaan tersebut.

Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut melahirkan beberapa

teori tentang tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan acuan dan perbandingan
27
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Rafika
Aditama, Bandung, 2006, hal. 103
dalam memahami tujuan pemidanaan. Secara garis besar dapat dikemukakan

teori tentang pemidanaan sebagai berikut :

a) Teori absolut/ retributif

Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus

dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi Arief

berpendapat bahwa “pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai

suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu

sendiri”.28 Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa

pidana adalah hal yang mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu
29
kejahatan. Teori ini menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada

sipelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian

yang diakibatkannya.

Penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana ini merupakan suatu

hal yang memang sengaja ditimpakan karena diyakini juga mempunyai manfaat
30
yang berbeda-beda. Namun, Andi Hamzah lebih tegas menyatakan bahwa

“pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan dan tidaklah

perlu memikirkan manfaat dijatuhkannya pidana tersebut”. 31 Pendapat ini

28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana,
Bandung : Alumni, hal.10-11.
29
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Pradnya
Paramita, hal. 26.
30
JE.Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali, hal 201.
31
Andi Hamzah, Loc.Cit
terkesan lebih tegas dari pernyataan sebelumnya karena penjatuhan pidana itu

terlepas dari manfaat yang akan ditimbulkannya.

Dari beberapa pandangan terhadap teori retributif di atas terdapat dua

pandangan yaitu, teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Teori

retributif murni beranggapan bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

kesalahan yang diperbuat, sedangkan penganut paham retributif tidak murni

menyatakan harus ada batasan-batasan untuk menentukan sepadannya pidana

dengan kesalahan.

b) Teori relatif/teori tujuan

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief “pidana bukanlah untuk

sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang

bermanfaat”. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian

theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena membuat

kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya jangan melakukan kejahatan). 32

Teori ini mengutamakan terciptanya ketertiban masyarakat melalui tujuan untuk

membuat si pelaku tindak pidana tidak melakukan kejahatan lagi.

Teori relatif ini dalam hukum pidana dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu prevensi umum (generale preventie) dan prevensi khusus (specialle

preventie). Kedua bentuk ini mempunyai fokus perhatian yang berbeda, namun

pada dasarnya keduanya adalah saling melengkapi. Sebagaimana dijelaskan


32
. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16.
E.Utrech bahwa prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang

pada umumnya tidak melanggar, sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan

menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.33

Prevensi umum menekankan bahwa dengan melakukan pemidanaan

terhadap sipelaku, maka anggota masyarakat lainnya tidak melakukan suatu

kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya. Sedangkan teori prevensi khusus

menekankan bahwa tujuan pidana itu adalah terhadap pelaku itu sendiri.

Pemidanaan terhadap sipelaku adalah agar tidak diulanginya lagi kejahatan

tersebut. Dalam hal ini pidana itu mempunyai fungsi untuk mendidik dan

memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan

berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.

c) Teori gabungan

Teori ini menurut Andi Hamzah bervariasi juga, ada yang menitik

beratkan kepada pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur
34
pembalasan seimbang dengan unsur pencegahan. Van Bemmelen sebagai

salah satu tokoh teori gabungan ini mengatakan bahwa “pidana bertujuan

membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud

mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi, pidana dan tindakan keduanya

bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan

masyarakat”.35 Teori gabungan ini mengkombinasikan dua tujuan pemidanaan

33
. Djisman Samosir, hal.12
34
. Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31.
35
. Ibid, hal.32.
yaitu pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku dan sebagai

bentuk perlindungan terhadap masyakat.

Dari ketiga teori pemidanaan tersebut terlihat bahwa pemikiran tentang

tujuan pemidanaan itu bergerak kearah yang lebih baik. Munculnya teori

absolut dengan sifat yang tegas terhadap perilaku jahat dirasa sangat keras dan

tidak memberi peluang terhadap tujuan lebih besar yang ingin dicapai dalam

menjatuhkan pidana. Sehingga melalui teori relatif dimunculkan konsep tujuan

yang ingin dicapai dari pemidanaan. Kemudian disempurnakan lagi dengan

munculnya teori gabungan dengan menekankan tujuan pemidanaan yang

seimbang. Sehingga dengan teori ini akan terangkum semua tujuan yang ada

pada masing-masing teori sebelumnya.

Muladi mengelompokkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi

3 (tiga) kelompok, yaitu, teori absolut (retributif), teori teleologis, dan teori

retributif teleologis.36 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan

pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang sehingga teori ini

berorientasi kepada unsur perbuatan dan terletak pada telah dilakukannya

kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum

pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu

kejahatan. Sanksi ini merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan

untuk memuaskan tuntutan keadilan.


36
. Muladi, 2004, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, : Penerbit PT.Alumni, hal.49-
51.
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi merupakan sarana mencapai tujuan

yang bermanfaat guna melindungi masyarakat. Sanksi ditekankan pada

tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka

sanksi bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Teori yang ketiga yaitu teori retributif-teleologis yang memandang

bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural. Sifat plural dari teori tersebut terlihat

karena teori ini menggabungkan prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan

retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan

mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik

moral dalam menjawab suatu tindakan yang salah dan menyimpang. Sedangkan

karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah

suatu perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori retributif-teleologis menganjurkan adanya kemungkinan untuk

mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan

beberapa fungsi sekaligus. Pencegahan dan sekaligus rehabilitasi kesemuanya

dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana dalam melakukan

pemidanaan.

Di Indonesia, mengenai teori yang menjadi dasar sistem pemasyarakatan

dapat dilihat melalui dua pendapat. Pendapat tersebut yaitu, pendapat yang

menyatakan bahwa teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori


relatif dan pendapat yang menyatakan bahwa teori yang mendasari sistem

pemasyarakatan adalah teori integratif.

Pendapat mengenai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah

teori relatif atau tujuan disampaikan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa

“tidak sulit untuk mengatakan, bahwa sistem itu termasuk teori yang

memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat,

jadi jelas tidak dapat digolongkan kedalam teori pembalasan” 37. Pendapat ini

dapat dibenarkan karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan melalui

pembinaan pada LAPAS tidak terlepas dari maksud untuk mencapai tujuan

sistem pemasyarakatan. Sehingga dengan maksud tersebut, maka diupayakan

perlakuan-perlakuan yang mengarah kepada tujuan yang akan dicapai.

Pendapat berikutnya disampaikan oleh Muladi yang menyebutkan

bahwa di Indonesia tujuan pemidanaan yang tepat diterapkan adalah teori

integratif. Hal ini dengan alasan bahwa pada saat ini masalah pemidanaan

menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan perhatian

yang lebih banyak terhadap hak asasi manusia serta keinginan untuk

menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Sehingga pilihan

terhadap teori integratif ini menghendaki adanya pendekatan multidimensi


38
terhadap dampak pemidanaan. Pendapat ini menekankan kepada suatu

maksud bahwa didalam sistem pemasyarakatan tersebut tidak semata-mata

37
. Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit
PT.Alumni, hal.99.
38
. Muladi, Ibid, hal. 53.
mengutamakan tujuan yang akan dicapai dan melepaskan diri sepenuhnya dari

maksud pengimbalan atas perbuatan pelaku tindak pidana.

Sistem pemasyarakatan merupakan penyempurnaan dari sistem

kepenjaraan yang berangkat dari pemikiran perlunya perlakuan yang lebih baik

terhadap narapidana. Meskipun pada dasarnya pelaksanaan sistem

pemasyarakatan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, namun unsur pembalasan

terhadap perbuatan yang dilakukan oleh narapidana tetap saja tidak dapat

dipisahkan dalam pemikiran tujuan tersebut. Pendapat yang disampaikan oleh

Muladi tersebut lebih tepat dan dapat diterima sebagai teori yang mendasari

sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dimana, teori integratif ini lebih jauh

mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana dari berbagai aspek termasuk

mengenai hak-hak asasi manusia.

Didalam teori integratif tersebut terkandung maksud pembalasan dan

tujuan yang hendak dicapai. Unsur teori retributif terlihat dengan adanya upaya

untuk mengekang kebebasan seseorang yang bersalah dalam jangka waktu

tertentu sebagai balasan atas perbuatannya. Pengekangan kebebasan tersebut

dilakukan pada LAPAS Tertutup atau RUTAN dengan sistem maksimum

security. Namun, pengekangan kebebasan tersebut tidak semata-mata hanya

sebagai bentuk pembalasan terhadap perbuatan narapidana tetapi hal tersebut

diselenggarakan untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah

satu unsur teori relatif. Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori

integratif, hanya saja unsur-unsur teori yang lebih lebih dominan muncul
didalam penerapannya akan tergantung kepada tahap-tahap pembinaan yang

dilaksanakan pada sistem pemasyarakatan.

C. Teori Sistem Pemasyarakatan

Teori ini dikemukakan oleh Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman.

Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara


39
pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan

tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan Konferensi Dinas Para

Pemimpin Kepenjaraan pada ktanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa

“ pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem

pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah dan tujuan, pidana

penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.

Amanat Presiden RI dalam Konferensi Dinas menyampaikan arti penting

terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia. Yaitu mengubah nama

kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini amanat

Presiden tersebut, disusunlah suatu petrnyataan tentang hari lahir

pemasyarakatan RI pada hari senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam

Pemasyarakatan Indonesia.40

39
. Riza Kestra Pernata,2004, Pelaksanaan Pola Binaan melalui Konsep “LABOR
EDUCATION” Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A
Padang, Universitas Andalas, hal. 15
40
. Dwidja Priyatno, Op Cit, hal 97-98
Di dalam teori sistem pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Saharjo

tersebut memuat prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan.41

1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup

sebagai warga yang baik dan berguna bagi masyarakat

2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara

3) Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa mealainkan dengan

membimbing

4) Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk

atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga

5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat

6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tiak boleh bersifat mengisi

waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga dan negara

saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk kemajuan negara

7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila

8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana

bahwa itu penjahat

9) Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

10) Sarana pisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu

hambatan pelaksanaan system pemasyarakatan.

41
. Ibid, hal. 98
D. Teori Tentang Tujuan atau Doelthheorieen

Teori tentang tujuan atau doelthheorieen adalh teori yang berusaha mencari

dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan tetentu,

dimana tujuan tersebut dapat berupa:42

1) Teori pencegahan umum atau Algemenee Preventive Theorieen, yang

ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat

jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahtan-kejahatan.

2) Teori pencegahan khusus atau Bijzondere Preventive Theorieen, yang

ingin mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan

memepertbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri menjadi

tidak mampu untuk melakukan kejahtan lagi.

2. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kerancuan didalam memahami pengertian judul yang

dikemukakan, maka perlu adanya definisi dan beberapa konsep. Konsep yang

penulis maksud tersebut antara lain :

1) Pelaksanaan

Pelaksanaan berasal dari kata dasar “laksana” jika digunakan sebagai

kata sifat, maka mempunyai arti perbuatan. Kemudian awalan “pe” dan

42
. P.A.F. Lumintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 27
akhiran “an” yang melekat pada kata dasar “laksana” menjadi kata kerja

yang berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan.43

2) Pembinaan

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada

Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “pembinaan adalah kegiatan untuk

meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan

rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

3) Narapidana

Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan menyebutkan bahwa “Narapidana adalah seseorang

terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS”.

4) Tindak pidana korupsi

Dalam bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

43
. KBBI Dalam Jaringan, http://pusatbahasa.diknas.go.id, Diakses pada Tanggal 11
Februari 2011.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
27
5) Lembaga Pemasyarakatan

Adapun pengertian Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.44

Metode Penelitian

A. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris),

yaitu suatu penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan atau data

sekunder sebagai data awalnya kemudian dilanjutkan dengan data primer atau

data lapangan.45

Penelitian ini mengkaji Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana

Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dengan pendekatan

kasus, yakni pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.46

44
. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan “ Lembaran
Negara R.I Tahun 1995 Nomor 77, Pasal 1 ayat 3
45
. Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo, Jakarta, hal. 133
46
. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain : Pertama,
pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
menelaah semua undang-undang den regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yng
sedang ditangani, pendekatan ini untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
undang-undang dengan undang-undang lainnya; Kedua, pendekatan historis ialah pendekatan
pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi,; Ketiga, pendekatan komperatif adalah
pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan
undang-undang dari satu atau lebih negara lain menegnai hal yang sama; Keempat, adalah
pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, guna menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
28
B. Sumber Data dan jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari:

1. Penelitian kepustakaan (library research). Di dalam penelitian

kepustakaan data yang diperoleh adalah data sekunder yakni data yang

sudah terolah atau tersusun. Data sekunder mencakup dokumen-

dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujub laporan dan buku-

buku yang relevan dengan penelitian.47

Data sekunder ini diperoleh dari:

a) Bahan hukum Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang

mempunyai kekuatan mengikat yaitu berupa peraturan

perundang-undangan seperti : 48

 Undang-udang Dasar Republik Indonesia tahun

1945

 Peraturan perundang-undangan yang terkait

diantaranya, Undang-undang No.8 tahun 1981

tentang Hukm Acara Pidana, Undang-undang No.

12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan

Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang

Tindak Pidana Korupsi.

dengan isu hukum yang dihadapi; Kelima adalah pendekatan kasus, Lihat dalam Peter Mahmud
Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prada Media Grup, Jakarta, hal. 94-95
47
. Soejono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, penerbit Universitas
indonesia, Jakarta, hal. 12
48
. Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum Edisi II, Ed.1 Cet.5,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 116-117.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terkait dengan

penelitian yang dialkukan, diantaranya adalah:49

 Rancangan Undang-undang

 Hasil Penelitaian Hukum sebelumnya

 Teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana

melalui literatur yang dipakai

Dan juga bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum

primer dan sekunder, minsalnya kamus hukum Seosilo Prajogo,

Ensiklopedia dan sebgainya.50

2. Penelitian Lapangan ( field research). Penelitian dilakukan di Lapangan

guna mendapatkan data primer. Penelitian dilakukan lansung pada

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang.

Jenis data berupa:

a. Data Primer. Data yang diperoleh lansung dari pimpinan

Lembaga Pemasryarakatan Kelas II A Padang dan Narapidana

tindak pidana korupsi.

49
. Ibid hal. 116-117.
50
. Ibid.
b. Data sekunder. Data ini mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan

sebagainya.

C. Populasi dan Sampel

Polpulasi merupakan himpunan variabel yang dijadikan objek penelitian.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi populasi adalah narapidana tindak

pidana korupsi dan pimpinan LAPAS Kelas II A padang. Sedangkan sampel

dalam penelitian nanti adalah 10 narapidana tindak pidana korupsi dan 5

pimpinan LAPAS Kelas II A Padang, yang terdiri dari

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (1 orang)

2. Kepala bagian pembinaan (1 orang)

3. Petugas teknis bagian pembinaan ( 3 Orang)

Penetapan sampel berdasarkan pada pengmbilan data melalui purposive

sampling yaitu peneliti sendiri yang akan menentukan subjek yang akan di

wawancara. Subjek akan diwawancara adalah orang-orang yang dianggap

relevan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam

penelitian ini wawancara dilakukan dengn cara terstruktur dan menggunakan

pedoman wawancara.51

51
. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, wawancara pada umumnya dibagi dalam dua
golongan yaitu: Pertama, wawancara berencana, yaitu suatu wawancara yang disertai dengan
suatu daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya; Kedua, wawancara tak berencana yaitu
suatu wawancara yang tidak disertai dengan suatu daftar pertanyaan, wawancara ini dibagi lagi
menjadi wawancara berstruktur yaitu wawancara walaupun tidak berencana, tapi memiliki
struktur yang rumit seperti wawancara untuk mengumpulkan data pangalaman seseorang. Jenis
wawancara selanjutnya adalah wawancara tak berstruktur, yang kemudian dibagi lagi menjadi
dua yakni wawancara terfokus yaitu wawancara yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi
selalu terpusat pada pokok permasalahan tertentu, dan wawancara bebas yakni wawancara yang
D. Jenis-jenis Alat Pengumpulan Data

Jenis-jenis alat pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Studi Dokumen

Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan

hukum yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, setiap bahan hukum itu harus diperiksa ulang

validitasnya (keabsahan berlakunya) dan reliabilitasnya (hal atau

keadaan yang dapat dipercaya), sebab hal ini sangat menentukan

hasil suatu penelitian.

2. Wawancara

Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka (face

to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada

seseorang.52

E. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan


53
data dilapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisis, dalam

penelitian ini setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka

tidak terpusat artinya pertanyaan yang diajukan tidak terpusat pada suatu permasalahan pokok,
pertanyaannya dapat beralih-alaih dari suatu pokok permasalahan ke pokok permasalahan
lainnya. Lihat dalam Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 84-85.
52
. Ibid
53
. Bambang Waluyo, 1999, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 72
peneliti melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara

editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan,

berkas-berkas, informasi dikumpulakn oleh pencari data yang

diharapkan akan dapat meningkatkan mutu reliabilitas data yang

hendak dianalisis.54

2. Analisa Data

Analisa data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data, untuk

dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti

berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya

teknik analisa bahan hukum. Setelah didapatkan data-data yang


55
diperlukan, maka peneliti melakukan analisis kualitatif, yakni

dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang didapatkan

dilapangan denga bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait

dengan penelitian, kemudian ditarik kesimpulan nyang dijabarkan

dalam penulisan deskriptif.

F. Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan penulis lakukan pada Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Padang. Provinsi Sumatera Barat.

G. Sistematika Penulisan

Sebelumnya telah dikemukakan mengenai latar belakang penulisan,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup penulisan serta metode

54
. Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 168-169
55
. Bambang Waluyo, Op Cit, hal. 77
penelitian untuk menjelaskan arah penulisan ini. Dengan demikian perlu

kiranya dikemukakan sistematika penulisan secara keseluruhan. Adapun

sistematika penulisan ini adalah :

Bab I. Pendahuluan, pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum

tentang pidana penjara dalam lintas sejarah, sistem pemasyarakatan

sebagai sistem pembinaan narapidana,

Bab III. Pembahasan, dalam bab ini penulis akan membahas tentang

pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi, di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II A Padang, kendala-kendala yang dihadapi

dalam pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, dan upaya yang

dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam

mengatasi kendala tersebut.

Bab IV. Penutup, pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran.
LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN

Nama : Anisa. SH

Jurusan : Ilmu Hukum (Pidana)

Universitas : UNAND

Judul : Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Korupsi

Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang

NB: Judul Penelitian sekarang merupakan hasil dari 3 kali perobakan judul
sebelumnya, adapun judul sebelumnya adalah:

1. Penerapan Prinsip Miranda Warning dan Miranda rules, Terhadap


Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik Di Bandingkan dengan
Prinsip “Pretumtion Of Innoncent”.

2. Tinjauan Yuridis terhadap Pemberian Grasi Terhadap terpidana


Korupsi (Studi Khasus di Pengadilan Negeri Kelas I A padang).

3. Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang

Adapun Kendala yang dihadapi Peneliti, sehingga menyebabkan perobahan


judul adalah:

1. Untuk judul pertama.

1. Peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan literatur yang


membahas tetang judul tersebut diatas

2. Hal yang berkaitan dengan Judul tersebut diatas, sebelumnya belum


pernah di tulis oleh pihak lain

3. Belum ada undang-undang tertulis yang mengatur tentang ”Miranda


rule dan Miranda warning” yang menjadi tema utama dalam penelitiann
ini

4. Setelah di lakukan Pra penelitian, ternyata ditemukan minimnya


pengetahuan aparat penegak hukum tentang keberadaan prinsip
“miranda warning dan miranda rule”, hal ini menimbulkan penulis
dalam melakukan penelitian.

5. Komisi pembimbing menyarankan peneliti untuk melakukan reseach di


Luar Negeri, tepatnya di negara-negara yang memakai prinsip “miranda
rule dan miranda warning” contohnya Amerika. Waktu peneliti tidak
memungkinkan ntuk melakukan penelitian ke negara tersebut,
mengingat kontrak yang study yang harus di slesaikan dalam jangka 1
tahun ke depan, dan juga kendala akomodasi dan kemammpuan peneliti
sendiri.

6. Untuk Judul Kedua

1. Kesulitan Penulis untuk masuk ke Institusi yang bersangkutan dengan


judul tersebut diatas, untuk pengambilan data. Ex. Di Lapas Cipinang
dan Mahkahmah Agung. Berkaitan dengan data-data narapidana tindak
pidana korupsi yang mendapatkan grasi, dan pertimbangan yang
diberikan oleh Mahkamah Agung terkait pemberian putusan Grasi
tersebut.

2. Untuk judul ketiga

Untuk judul ketiga ini masih dalam proses, sebelumnya Peneliti


sendiri telah melakukan beberapa kali pra penelitian, dengan
mengunjungi beberapa Lapas –lapas yang ada di Sumatera Barat,
seperti, Lapas Padang, Bukitinggi, Payakumbuh, dan Rutan
Batusangkar.

Anda mungkin juga menyukai