Anda di halaman 1dari 16

RULE OF LAW DAN PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Oleh:
PRASETYA WICAKSONO
180720101058

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JEMBER
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir
yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Hak Asasi
merupakan sebuah bentuk anugerah yang diturunkan oleh Tuhan sebagai sesuatu karunia
yang paling mendasar dalam hidup manusia yang paling berharga. Hak Asasi dilandasi
dengan sebuah kebebasan setiap individu dalam menentukan jalan hidupnya, tentunya
Hak asasi juga tidak lepas dari kontrol bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini berisi
tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku, golongan, keturunanan,
jabatan, agama dan lain sebagainya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-
sama makhluk ciptaan Tuhan. Terkait tentang hakikat hak asasi manusia, maka sangat
penting sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus saling menjaga dan menghormati hak asasi
masing-masing individu. Namun pada kenyataannya, kita melihat perkembangan HAM di
Negara ini masih banyak bentuk pelanggaran HAM yang sering kita temui.
Rule of Law adalah suatu doktrin yang mulai muncul pada abad ke 19, bersamaan
dengan kelahiran Negara konstitusi dan demokrasi. Rule of Law merupakan konsep
tentang common law dimana segenap lapisan masyarakat dan Negara beserta seluruh
kelembagaannya menjungjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip
keadilan dan egalitarian. Ada tidaknya Rule of Law dalam suatu Negara ditentukan oleh
kenyataan apakah rakyatnya benar-benar menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang
adil baik sesama warga Negara maupun pemerintah.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas sebagai
berikut:
a. Apa pengertian dan ruang lingkup Hak Asasi Manusia dan Rule of Law?
b. Bagaimana perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
c. Apa saja pelanggaran Hak Asasi Manusia?

1.3 Tujuan penulisan


Adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, serta mengetahui
ruang lingkup Hak Asasi Manusia dan Rule of Law
b. Untuk mengetahui perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
c. Untuk mengetahui pelanggaran apa sajakah yang sering terjadi terkait dengan Hak
Asasi Manusia maupun Rule of Law

1.4 Manfaat Penulisan


Kami berharap dari penulisan makalah ini dapat membantu kita semua mengenal dan
memahami tentang hak asasi manusia dan rule of law.

1.5 Metodologi Penulisan


Kami menggunakan metode internet untuk mendapatkan data dan informasi yang
diperlukan. Adapun teknik yang dipergunakan dalam makalah ini adalah membaca artikel
yang ada di internet dan literatur yang berhubungan dengan makalah ini.

1.6 Sistematika Penulisan


Makalah ini terdiri dari lima bab, yakni bab I berupa pendahuluan, bab II merupakan bagian
tinjauan teori, bab III berupa kasus, dan bab IV berupa penutup.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun
1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia
mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai
hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki
setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa
sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan
atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan
martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat
dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain.
Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan
tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu
berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.
Ditinjau dari berbagai bidang, HAM meliputi :
a. Hak asasi pribadi (Personal Rights)
Misalnya: hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama.
b. Hak asasi politik (Political Rights) yaitu hak untuk diakui sebagai warga
negara.
Misalnya: memilih dan dipilih, hak berserikat dan hak berkumpul.
c. Hak asasi ekonomi (Property Rights)
Misalnya: hak memiliki sesuatu, hak mengarahkan perjanjian, hak bekerja dan
hak mendapat hidup layak.
d. Hak asasi sosial dan kebuadayaan (Sosial & Cultural Rights).
Misalnya: mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan santunan, hak pensiun,
hak mengembangkan kebudayaan dan hak berkspresi.
e. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan Pemerintah
(Rights Of Legal Equality)
f. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hokum

Tujuan Hak Asasi Manusia


a. HAM adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesewenang-
wenangan.
b. HAM mengenmbangkan saling menghargai antar manusia
c. HAM mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk
menjamin bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar.

2.2 HAM di Indonesia


Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku tiga
undang-undang dalam 4 periode, yaitu :
a. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945,
b. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku Konstitusi Republik
Indonesia Serikat.
c. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, berlaku UUDS 1950.
d. Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku kembali UUD 1945.
Pencantuman pasal-pasal tentang Hak-hak Asasi Manusia dalam tiga UUD tersebut
berbeda satu sama lain. Dalam UUD 1945 butir-butir Hak Asasi Manusia hanya
tercantum beberapa saja. Sementara Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 hampir bula-
bulat mencantumkan isi Deklarasi HAM dari PBB. Hal demikian ini karna memang
situasinya sangat dekat dengan Deklarasi HAM PBB yang masih aktual. Di samping itu
terdapat pula harapan masyarakat dunia agar deklarasi HAM PBB dimasukkan ke dalam
Undang-Undang Dasar atau perundangan lainnya di negara-negara anggota PBB, agar
secara yuridis formal HAM dapat berlaku di negara masing-masing.
Ketika UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Juli 1959, secara yuridis formal, hak-
hak asasi manusia tidak lagi lengkap seperti Deklarasi HAM PBB, karena yang terdapat
di dalam UUD 1945 hanya berisi beberapa pasal saja, khususnya pasal 27, 28, 29, 30 dan
31. Pada awal Orde baru saja tujuan Pemerintah adalah Melaksanakan hak asasi manusia
yang tercantum dalam UUD 1945 serta berupaya melengkapinya. Tugas untuk
melengkapi HAM ini ditanda tangani oleh sebuahh panitia MPRS yang kemudian
menyusun Rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia serta hak-hak dan Kewajiban
warganegara yang dibahas dalam sidang MPRS tahun 1968. Dalam pembahasan ini

5
sidang MPRS menemui jalan buntu, sehingga akhirnya dihentikan. Begitu pila setelah
MPR terbentuk hasil pemilihan umum 1971 persoalan HAM tidak lagi diagendakan,
bahkan dipeti-eskan sampai tumbangnya Orde Baru di tahun 1998 yang berganti dengan
era Reformasi. Pada awal Reformasi itu pula diselenggarakan sidang istimewa MPR
tahun 1998 yang salah satu ketetapannya berisi Piagam HAM.

2.3 Lembaga penegak HAM


Hak asasi manusia merupakan hak yang harus dilindungi, baik oleh individu,
masyarakat maupun oleh Negara. Hal ini dikarenakan Hak Asasi Manusia merupakan hak
paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan.
Oleh sebab itu, HAM harus dijaga, dihormati dan ditegakkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tidak seorangpun berhak untuk melanggar hak asasi yang
dimiliki oleh manusia dengan alasan apapun.
Untuk merealisasikan penegakan HAM di Indonesia, telah dibentuk suatu komisi
mengenai hak asasi manusia. Dasar hukum bagi penegakan HAM di Indonesia sudah
sangat jelas, baik melalui UUD, ketetapan MPR maupun perundang-undangan, baik yang
sudah disahkan, maupun ratifikasi dari konvensi hak asasi manusia yang ada di dunia
Internasional.

2.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia bersifat universal, yang artinya berlaku dimana saja, untuk siapa
saja, dan tidak dapat diambil siapapun. Hak-hak tersebut dibutuhkan individu melindungi
diri dam martabat kemanusiaan, juga seagai landasan moral dlam bergaul dengan sesama
manusia. Meskipun demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat berbuat
sesuka hatinya maupun seenak-enaknya.
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan masal (genosida: setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa)
2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3. Penyiksaan
4. Penghilangan orang secara paksa
5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :


1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
Penindakan terhadap pelanggaran HAM dilakukan melalui proses peradilan HAM
mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran
yang terjadi harus bersifat nondiskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hokum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pengadilan HAM bertugas memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Pengadilan HAM berwewenang juga memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berada dan dilakukan diluar batas territorial
wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga Negara Indonesia.

2.5 Pengertian dan Ruang Lingkup Rule of Law


Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun
penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-
undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-
undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Berdasarkan bentuknya
sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Setiap
organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada
Rule of Law. Dalam hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau
isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
negara.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechsstaat atau Rule Of Law.
Rechsstaat atau Rule Of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan
yuridis dari gagasan konstitusionalisme. Oleh karena itu, konstitusi dan negara hukum
merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan. Friedman (1959) membedakan rule of
law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian
secara hakiki/materill (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai
kekuasaan umum yang terorganisasi( organized public power), misalnya Negara.
Sementara itu secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan rule of law karena

7
menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait
dengan keadilan sehingga rule of law harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat/bangsa.
Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the Law of the Constitution”
memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan suatu keteraturan
hukum. Menurut Dicey, terdapat tiga unsur yang fundamental dalam rule of law yaitu :
1. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan yang sewenang- wenang
dalam arti seseorang Hanya boleh dihukum jikalau memangmelanggar hokum.
2. Kedudukan yang sama di muka hukum, hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa
maupun pejabat Negara
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan UU

2.6 Prinsip-prinsip Rule of Law


Pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian negara hukum
atau rechts staat. Meskipun demikian dalam negara yang menganut sistem Rule of Law
harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi
Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the Law of
The Constitution, memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan
sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat 3 unsur yang fundamental
dalam Rule of Law, yaitu: (1) supremasi aturan aturan hukum,tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang
melanggar hukum; (2) kedudukanmya yang sama dimuka hukum. Hala ini berlaku baik
bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia
oleh Undang-Undang serta keputusan pengadilan.
Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara
hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara hukum
formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian
ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam
konstitusi semata. Dengan kata lain negara tidak hanya sebagai “penjaga malam”
(nachtwachterstaat). Dalam pengertian seperti ini seakan-akan negara tidak berurusan
dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahawa
negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak
hanya sebagai “penjaga malam” saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial
ekonomi.
Gagasan baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingsstaat,
welfare state, social service state, atau “negara hukum materal”. Perkembangan baru
inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau bahkan
melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.
Dalam hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum Internasional,
International Comission of Jurists (ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep
negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa
kali pertemuan ICJ di berbagai negara seperti di Athena (1995), di New Delhi (1956),di
Amerika Serikat (1957), di Rio de Jainero (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan
paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat
bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade disebut
sebagai rule of law is a phenomenon of free society and the mark of it. ICJ dalam
kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terpenting lagi
adalah bagaiman konsep rule of law dapat diimplementasikan sesuai perkembangan
kehidupan dalam masyarakat.
Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi
rule of law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah
digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-
hak sosial-ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial ekonomi. Komisi ini
merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law yang
dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak
individual, konstitusi harus pula menentukan teknis prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang bebas dan tidak
memihak; (3) pemilihan umum yang bebas; (4) kebebasan menyatakan pendapat; (5)
kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan (6) pendidikan kewarganegaraan
(Azhary, 1995: 59).
Gambaran ini mengukuhkan negara hukum sebagai walfare state, karena sebenarnya
mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat
minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberi kekuasaan dan
kemerdekaan bertindak atas dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah
memiliki fries ermessen atau poivoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki
pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi dan keleluasaan untuk tidak
terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dala gagasan walfare state ternyata negara

9
memiliki wewenang yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya
bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah
negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarhkan fungsi dan peran negara bagi
kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan konsep negara hukum, baik
rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan fundamental serta
saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan
kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negar hukum dan rule
of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara
Indonesia.

2.7 Prinsip-prinsip Rule of Law secara formal di Indonesia


Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal
UUD 1945, yaitu sebagai berikut :
a. Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3)
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan peradilan (pasal 24
ayat 1)
c. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)
d. Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat sepuluh pasal antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1)
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2)
Beberapa kasus dan penegakan rule of law antara lain:
a. Kasus korupsi KPU dan KPUD
b. Kasus illegal logging
c. Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA)
d. Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika
e. Kasus perdagangan wanita dan anak.
BAB III
KASUS

3.1 Intisari
Asia Tenggara terkenal dengan keberagaman penghuninya. Kemajemukan
masyarakatnya yang terdiri dari berbagai etnis dan agama baik etnis atau agama asli
negara tersebut maupun etnis atau agama pendatang. Karena hal itulah ada yang disebut
mayoritas dan ada pula yang disebut minoritas. Setiap kelompok-kelompok etnis pastinya
memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri
budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki
kelompok etnis menjadi pedoman kehidupan mereka, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa,
kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah
sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pembeda suatu
kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Dan banyaknya kelompok etnis yang
tinggal di kawasan asia tenggara tersebut menyebabkan terjadinya banyak pergesekan dan
pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat. Pergesekan dan pertentangan tersebut,
disebut sebagai konflik etnis. Bayangkan saja apabila satu negara, memiliki banyak etnis
didalamnya dan harus berusaha untuk hidup rukun dengan para tetangganya, mau tidak
mau akan menimbulkan kesenjangan sosial. Terutama bagi kaum mayoritas yang selalu
ingin mendominasi dalam setiap momen. Bahkan tak segan-segan menindas kaum
minoritas yang ada di negara tersebut.
Dalam makalah ini, kami ingin berbicara mengenai konflik etnis di Myanmar
(Burma) yang menyeret etnis Rohingya dan Rakhine. Konflik Myanmar menyita
perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami etnis Rohingya
membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui.
Pembantaian sampai pengusiran etnis Rohingya terjadi karena Pemerintahan negara
Myanmar sejak dahulu tidak mengakui keberadaan etnis ini. Myanmar telah membatasi
pergerakan mereka, memotong hak atas tanah, pendidikan, dan pelayanan publik mereka.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui keberadaan mereka di Myanmar. Mereka
mengatakan bahwa etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar. Pemerintah juga
mengklasifikasikan Muslim Rohingya sebagai imigran ilegal. Meskipun mereka telah
tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.  Kepedulian terhadap etnis Rohingya oleh
dunia internasional yang kurang, mengakibatkan semakin membabi butanya
pemerintahan Myanmar membunuh dan mengusir muslim rohingya.

11
3.2 Permasalahan
Konflik antara Rohingya dan Rakhine sebenarnya sudah berlangsung sejak lama.
Tetapi kerusuhan yang terjadi Juni 2012 lalu, memicu perhatian dunia internasional. Etnis
Rohingnya yang sudah bermukim di Myanmar sejak ratusan tahun lalu, terus
mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh Pemerintah Myanmar. Presiden Thein Sein
pun tidak ingin mengakui kewarganegaraan dari etnis tersebut dan lebih memilih untuk
mendeportasi mereka serta mengumpulkannya dalam tempat penampungan. Ketegangan
antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang mayoritas Budha semakin diperparah
dengan adanya isu pembunuhan yang dilakukan oleh 3 orang pemuda Rohingya. Kabar
simpang siur yang diberitakan oleh media dengan mudah menyulut konflik dan
menyebabkan balas dendam antar etnis ini. Menurut laporan The New Light of Myanmar
sebuah koran yang terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni 2012, konflik Rohingya
bermula dari sebuah pembunuhan seorang gadis Budha. Ma Thida Htwe adalah anak
perempuan U Hla Tin yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama
Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye. Pada tanggal 28 Mei 2012 sore, Thida
hendak pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sebuah Taylor. Tepat pukul 17:15
waktu setempat, ia ditikam oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau samping jalan
tanggul menuju Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan Chaungwa.
Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa
tersangka. Mereka adalah Htet Htet (a) Rawshi, putra U Kyaw Thaung (Bengali / Islam),
dari Kyauknimaw (selatan bangsal), Rawphi, anak Sweyuktamauk (Bengali / Islam) dari
Kyauknimaw (Thaya bangsal) dan Khochi, anak Akwechay (Bengali / Islam), dari
Kyauknimaw (Thaya bangsal). The New Light of  Myanmar yang terbit pada hari
berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik
bahwa sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda Bengali
Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam beberapa kali dan
organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.
Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama Budha.
sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup,
pada pukul 06:00 tanggal 4 Juni membagi-bagikan selebaran yang berisi foto-foto tadi.
Mereka juga menyerukan bahwa Muslim telah membunuh gadis Arakan secara sadis.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam
sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus
Ayeyeiknyein.Sekitar tiga ratus warga setempat yang telah terprovokasi menghadang laju
bus. Mereka menurunan penumpang bus tersebut di persimpangan Thandwe-Taunggup.
Selanjutnya, mereka membunuh penumpang yang beragama Islam. Sepuluh orang yang
beragama Islam terbunuh di tempat dalam kejadian ini.
Seperti yang banyak diberitakan bahwasannya bentrokan ini sudah menewaskan
ratusan orang dan juga sudah lebih dari ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggalnya.
Konflik yang terus berlangsung inilah yang memicu banyak warga etnis Rohingya
berbondong-bondong keluar dari negaranya untuk mencari suaka ke negara lain seperti ke
Bangladesh, Malaysia, Thailand, Indonesia bahkan Australia. Awalnya, etnis Rohingya ini
berniat untuk pergi mencari suaka ke negara maju seperti Australia dan menjadikan
Indonesia hanya sebagai negara transit saja. Namun faktor kelaparan, kelelahan dan sakit
selama memnempuh perjalanan dari Myanmar ke Indonesia membuat mereka
memutuskan untuk singgah disini. Selain itu, kehangatan yang diberikan Indonesia
sebagai negara yang mayoritas juga beragama muslim membuat beberapa warga etnis
Rohingya berani menggantungkan harapan untuk bisa diterima di negeri ini.
Karena konflik yang tak kunjung usai, warga etnis Rohingya pun semakin banyak
yang meninggalkan negara mereka dan mulai berdatangan ke Indonesia. Seperti yang
saya kutip dari VOA Indonesia, bahwasannya PBB telah mencatat peningkatan
kedatangan warga Rohingya ke Indonesia pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2010. Di
Indonesia, pengungsi dari etnis Rohingya dibagi menjadi 2, yakni mereka yang masih di
tampung di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dan yang sudah dinyatakan sebagai
pengungsi oleh UNHCR berada di luar rudenim. Selama ini para pengungsi dari
Myanmar tersebut ditangani penuh oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for
Refugees). Ini disebabkan karena Indonesia belum menandatangani konvensi Wina 1951
tentang status pengungsi. Padahal, sebagi negara yang saya rasa menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan penghapusan penjajahan diatas dunia seperti yang tertuang dalam isi
pembukaan UUD 1945, seharusnya Indonesia segera merativikasi konvensi tersebut.
Untuk pertama kali, UNHCR membuka kantor cabang di Indonesia pada tahun 1979.
Pada saat itu, UNHCR menangani kedatangan pengungsi korban perang saudara di
Semenanjung Indo-China dari Vietnam dengan kapal dalam jumlah yang sangat besar.
Sejak saat itulah hingga hari ini, UNHCR yang selalu menangani permasalahan
pengungsi di Indonesia tanpa campur tangan pemerintah. Tugas UNHCR adalah
menentukan status pengungsi. Jika sudah teridentifikasi sebagai pengungsi, maka
UNHCR bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan (dari pemulangan kembali

13
secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam
bahaya atau penganiayaan). Selain itu, mereka warga etnis Rohingya yang sudah diberi
status pengungsi mendapat bantuan dari PBB berupa perumahan dasar dan uang bulanan
sebesar 1,25 juta per orang.
Pemberitaan simpang siur yang terjadi mengenai kekerasan yang dialami oleh etnis
Rohingya telah banyak menyita perhatian dunia internasional hingga saat ini.
Kepemerintahan Myanmar yang saat itu cenderung terlihat pasif dan membiarkan
kekerasan tersebut terjadi seolah menjadi bukti nyata bahwa Myanmar sedang melakukan
pembersihan etnis. Melihat banyaknya korban yang tewas, terluka dan banyak lagi yang
harus kehilangan rumah bahkan harus pergi meninggalkan Myanmar, membuat banyak
pihak di Indonesia mendesak pemerintah agar turun tangan menyelesaikan konflik
tersebut. Seperti yang dilakukan oleh aktivis HTI yang berkonvoi demi menggelar aksi
solidaritas muslim Rohingya dari kantor DPP HTI menuju kantor kedutaan Myanmar.
Aktivis HTI juga mendesak presiden SBY untuk mengerahkan tentara ke Myanmar demi
memberikan pelajaran kepada rezim militer yang semena-mena terhadap muslim
Rohingya. Aksi serupa juga dilakukan oleh 3 LSM seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap),
PIARA (Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya – Arakan) dan PKPU (Pos Keadilan
Peduli Umat) yang juga mendatangi gedung DPR RI untuk mendesak pemerintah agar
mempermudah bantuan ke Myanmar. Selain desakan dari banyak pihak seperti yang
diungkapkan oleh Presiden SBY dalam keterangan pers mengenai permasalahan etnis
Rohingya Myanmar, Indonesia dirasa perlu turun tangan karena statusnya sebagai negara
mayoritas Muslim.
BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penulisan makalah yang
berjudul Hak Asasi Manusia ini antara lain :
 Latar belakang sejarah munculnya ide tentang hak asasi manusia yang
berlaku saat ini berakar sejak era Perang Dunia II. Pembunuhan dan
kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu
kebulatan tekad untuk membangun sebuah organisasi internasional yang
sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum
untuk diskusi dan mediasi.
 Sejarah perjuangan hak asasi manusia di Indonesia dimulai dengan
perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, Kebangkitan Nasional 20 Mei
1908, Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia diikuti dengan penetapan
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, dan rumusan
hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara eksplisit
juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
 HAM/Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Pembagian hak asasi
manusia menurut macam dan jenisnya yaitu Hak asasi pribadi, politik,
hukum, ekonomi, peradilan, dan sosial budaya.
 Hak asasi manusia tidak dapat dilaksanakan secara mutlak. Ini berarti
bahwa prlaksanaannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, pada Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangan
yang lainnya. Pelaksanaan yang mutlak akan melanggar hak-hak asasi
orang lain.
 Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi
masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945
memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan
jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia.

15
Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of
law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam
pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara
negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah
fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Kepedulian terhadap etnis Rohingya oleh dunia internasional yang kurang,
mengakibatkan semakin membabi butanya pemerintahan Myanmar
membunuh dan mengusir muslim rohingya.
b. Saran
Penulis berharap makalah tentang Hak Asasi Manusia dan Rule of Law yang
telah disajikan dalam bab pembahasan dapat dijadikan referensi ataupun tambahan
wawasan bagi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai