Oleh:
PRASETYA WICAKSONO
180720101058
1
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
5
sidang MPRS menemui jalan buntu, sehingga akhirnya dihentikan. Begitu pila setelah
MPR terbentuk hasil pemilihan umum 1971 persoalan HAM tidak lagi diagendakan,
bahkan dipeti-eskan sampai tumbangnya Orde Baru di tahun 1998 yang berganti dengan
era Reformasi. Pada awal Reformasi itu pula diselenggarakan sidang istimewa MPR
tahun 1998 yang salah satu ketetapannya berisi Piagam HAM.
7
menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait
dengan keadilan sehingga rule of law harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat/bangsa.
Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the Law of the Constitution”
memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan suatu keteraturan
hukum. Menurut Dicey, terdapat tiga unsur yang fundamental dalam rule of law yaitu :
1. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan yang sewenang- wenang
dalam arti seseorang Hanya boleh dihukum jikalau memangmelanggar hokum.
2. Kedudukan yang sama di muka hukum, hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa
maupun pejabat Negara
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan UU
9
memiliki wewenang yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya
bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah
negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarhkan fungsi dan peran negara bagi
kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan konsep negara hukum, baik
rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan fundamental serta
saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan
kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negar hukum dan rule
of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara
Indonesia.
3.1 Intisari
Asia Tenggara terkenal dengan keberagaman penghuninya. Kemajemukan
masyarakatnya yang terdiri dari berbagai etnis dan agama baik etnis atau agama asli
negara tersebut maupun etnis atau agama pendatang. Karena hal itulah ada yang disebut
mayoritas dan ada pula yang disebut minoritas. Setiap kelompok-kelompok etnis pastinya
memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri
budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki
kelompok etnis menjadi pedoman kehidupan mereka, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa,
kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah
sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pembeda suatu
kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Dan banyaknya kelompok etnis yang
tinggal di kawasan asia tenggara tersebut menyebabkan terjadinya banyak pergesekan dan
pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat. Pergesekan dan pertentangan tersebut,
disebut sebagai konflik etnis. Bayangkan saja apabila satu negara, memiliki banyak etnis
didalamnya dan harus berusaha untuk hidup rukun dengan para tetangganya, mau tidak
mau akan menimbulkan kesenjangan sosial. Terutama bagi kaum mayoritas yang selalu
ingin mendominasi dalam setiap momen. Bahkan tak segan-segan menindas kaum
minoritas yang ada di negara tersebut.
Dalam makalah ini, kami ingin berbicara mengenai konflik etnis di Myanmar
(Burma) yang menyeret etnis Rohingya dan Rakhine. Konflik Myanmar menyita
perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami etnis Rohingya
membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui.
Pembantaian sampai pengusiran etnis Rohingya terjadi karena Pemerintahan negara
Myanmar sejak dahulu tidak mengakui keberadaan etnis ini. Myanmar telah membatasi
pergerakan mereka, memotong hak atas tanah, pendidikan, dan pelayanan publik mereka.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui keberadaan mereka di Myanmar. Mereka
mengatakan bahwa etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar. Pemerintah juga
mengklasifikasikan Muslim Rohingya sebagai imigran ilegal. Meskipun mereka telah
tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Kepedulian terhadap etnis Rohingya oleh
dunia internasional yang kurang, mengakibatkan semakin membabi butanya
pemerintahan Myanmar membunuh dan mengusir muslim rohingya.
11
3.2 Permasalahan
Konflik antara Rohingya dan Rakhine sebenarnya sudah berlangsung sejak lama.
Tetapi kerusuhan yang terjadi Juni 2012 lalu, memicu perhatian dunia internasional. Etnis
Rohingnya yang sudah bermukim di Myanmar sejak ratusan tahun lalu, terus
mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh Pemerintah Myanmar. Presiden Thein Sein
pun tidak ingin mengakui kewarganegaraan dari etnis tersebut dan lebih memilih untuk
mendeportasi mereka serta mengumpulkannya dalam tempat penampungan. Ketegangan
antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang mayoritas Budha semakin diperparah
dengan adanya isu pembunuhan yang dilakukan oleh 3 orang pemuda Rohingya. Kabar
simpang siur yang diberitakan oleh media dengan mudah menyulut konflik dan
menyebabkan balas dendam antar etnis ini. Menurut laporan The New Light of Myanmar
sebuah koran yang terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni 2012, konflik Rohingya
bermula dari sebuah pembunuhan seorang gadis Budha. Ma Thida Htwe adalah anak
perempuan U Hla Tin yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama
Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye. Pada tanggal 28 Mei 2012 sore, Thida
hendak pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sebuah Taylor. Tepat pukul 17:15
waktu setempat, ia ditikam oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau samping jalan
tanggul menuju Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan Chaungwa.
Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa
tersangka. Mereka adalah Htet Htet (a) Rawshi, putra U Kyaw Thaung (Bengali / Islam),
dari Kyauknimaw (selatan bangsal), Rawphi, anak Sweyuktamauk (Bengali / Islam) dari
Kyauknimaw (Thaya bangsal) dan Khochi, anak Akwechay (Bengali / Islam), dari
Kyauknimaw (Thaya bangsal). The New Light of Myanmar yang terbit pada hari
berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik
bahwa sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda Bengali
Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam beberapa kali dan
organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.
Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama Budha.
sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup,
pada pukul 06:00 tanggal 4 Juni membagi-bagikan selebaran yang berisi foto-foto tadi.
Mereka juga menyerukan bahwa Muslim telah membunuh gadis Arakan secara sadis.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam
sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus
Ayeyeiknyein.Sekitar tiga ratus warga setempat yang telah terprovokasi menghadang laju
bus. Mereka menurunan penumpang bus tersebut di persimpangan Thandwe-Taunggup.
Selanjutnya, mereka membunuh penumpang yang beragama Islam. Sepuluh orang yang
beragama Islam terbunuh di tempat dalam kejadian ini.
Seperti yang banyak diberitakan bahwasannya bentrokan ini sudah menewaskan
ratusan orang dan juga sudah lebih dari ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggalnya.
Konflik yang terus berlangsung inilah yang memicu banyak warga etnis Rohingya
berbondong-bondong keluar dari negaranya untuk mencari suaka ke negara lain seperti ke
Bangladesh, Malaysia, Thailand, Indonesia bahkan Australia. Awalnya, etnis Rohingya ini
berniat untuk pergi mencari suaka ke negara maju seperti Australia dan menjadikan
Indonesia hanya sebagai negara transit saja. Namun faktor kelaparan, kelelahan dan sakit
selama memnempuh perjalanan dari Myanmar ke Indonesia membuat mereka
memutuskan untuk singgah disini. Selain itu, kehangatan yang diberikan Indonesia
sebagai negara yang mayoritas juga beragama muslim membuat beberapa warga etnis
Rohingya berani menggantungkan harapan untuk bisa diterima di negeri ini.
Karena konflik yang tak kunjung usai, warga etnis Rohingya pun semakin banyak
yang meninggalkan negara mereka dan mulai berdatangan ke Indonesia. Seperti yang
saya kutip dari VOA Indonesia, bahwasannya PBB telah mencatat peningkatan
kedatangan warga Rohingya ke Indonesia pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2010. Di
Indonesia, pengungsi dari etnis Rohingya dibagi menjadi 2, yakni mereka yang masih di
tampung di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dan yang sudah dinyatakan sebagai
pengungsi oleh UNHCR berada di luar rudenim. Selama ini para pengungsi dari
Myanmar tersebut ditangani penuh oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for
Refugees). Ini disebabkan karena Indonesia belum menandatangani konvensi Wina 1951
tentang status pengungsi. Padahal, sebagi negara yang saya rasa menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan penghapusan penjajahan diatas dunia seperti yang tertuang dalam isi
pembukaan UUD 1945, seharusnya Indonesia segera merativikasi konvensi tersebut.
Untuk pertama kali, UNHCR membuka kantor cabang di Indonesia pada tahun 1979.
Pada saat itu, UNHCR menangani kedatangan pengungsi korban perang saudara di
Semenanjung Indo-China dari Vietnam dengan kapal dalam jumlah yang sangat besar.
Sejak saat itulah hingga hari ini, UNHCR yang selalu menangani permasalahan
pengungsi di Indonesia tanpa campur tangan pemerintah. Tugas UNHCR adalah
menentukan status pengungsi. Jika sudah teridentifikasi sebagai pengungsi, maka
UNHCR bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan (dari pemulangan kembali
13
secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam
bahaya atau penganiayaan). Selain itu, mereka warga etnis Rohingya yang sudah diberi
status pengungsi mendapat bantuan dari PBB berupa perumahan dasar dan uang bulanan
sebesar 1,25 juta per orang.
Pemberitaan simpang siur yang terjadi mengenai kekerasan yang dialami oleh etnis
Rohingya telah banyak menyita perhatian dunia internasional hingga saat ini.
Kepemerintahan Myanmar yang saat itu cenderung terlihat pasif dan membiarkan
kekerasan tersebut terjadi seolah menjadi bukti nyata bahwa Myanmar sedang melakukan
pembersihan etnis. Melihat banyaknya korban yang tewas, terluka dan banyak lagi yang
harus kehilangan rumah bahkan harus pergi meninggalkan Myanmar, membuat banyak
pihak di Indonesia mendesak pemerintah agar turun tangan menyelesaikan konflik
tersebut. Seperti yang dilakukan oleh aktivis HTI yang berkonvoi demi menggelar aksi
solidaritas muslim Rohingya dari kantor DPP HTI menuju kantor kedutaan Myanmar.
Aktivis HTI juga mendesak presiden SBY untuk mengerahkan tentara ke Myanmar demi
memberikan pelajaran kepada rezim militer yang semena-mena terhadap muslim
Rohingya. Aksi serupa juga dilakukan oleh 3 LSM seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap),
PIARA (Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya – Arakan) dan PKPU (Pos Keadilan
Peduli Umat) yang juga mendatangi gedung DPR RI untuk mendesak pemerintah agar
mempermudah bantuan ke Myanmar. Selain desakan dari banyak pihak seperti yang
diungkapkan oleh Presiden SBY dalam keterangan pers mengenai permasalahan etnis
Rohingya Myanmar, Indonesia dirasa perlu turun tangan karena statusnya sebagai negara
mayoritas Muslim.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penulisan makalah yang
berjudul Hak Asasi Manusia ini antara lain :
Latar belakang sejarah munculnya ide tentang hak asasi manusia yang
berlaku saat ini berakar sejak era Perang Dunia II. Pembunuhan dan
kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu
kebulatan tekad untuk membangun sebuah organisasi internasional yang
sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum
untuk diskusi dan mediasi.
Sejarah perjuangan hak asasi manusia di Indonesia dimulai dengan
perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, Kebangkitan Nasional 20 Mei
1908, Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia diikuti dengan penetapan
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, dan rumusan
hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara eksplisit
juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
HAM/Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Pembagian hak asasi
manusia menurut macam dan jenisnya yaitu Hak asasi pribadi, politik,
hukum, ekonomi, peradilan, dan sosial budaya.
Hak asasi manusia tidak dapat dilaksanakan secara mutlak. Ini berarti
bahwa prlaksanaannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, pada Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangan
yang lainnya. Pelaksanaan yang mutlak akan melanggar hak-hak asasi
orang lain.
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi
masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945
memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan
jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia.
15
Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of
law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam
pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara
negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah
fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepedulian terhadap etnis Rohingya oleh dunia internasional yang kurang,
mengakibatkan semakin membabi butanya pemerintahan Myanmar
membunuh dan mengusir muslim rohingya.
b. Saran
Penulis berharap makalah tentang Hak Asasi Manusia dan Rule of Law yang
telah disajikan dalam bab pembahasan dapat dijadikan referensi ataupun tambahan
wawasan bagi pembaca.