Anda di halaman 1dari 212

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA

DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN


DI WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Magister Hukum pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Jember

JUJUK PRASTYOHADI
NIM. 2019081082

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2021
Halaman Pengesahan

TESIS INI TELAH DI UJI


Pada tanggal, 01 Juni 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Amiruddin, SH., M.Hum. Dr. Lalu Parman, SH., MH.


NIP.19670710 198503 1 001 NIP.19580408 198602 1 001

Mataram, 01 Juni 2015

Mengetahui ;

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Studi Pascasarjana


Uniersitas Mataram Uniersitas Mataram

Ketua, Direktur,

Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D
NIP. 19550815 198103 1 035 NIP. 19550815 198103 1 035
TESIS INI TELAH DI UJI

PADA TANGGAL, 01 JUNI TAHUN 2015

MAJELIS PENGUJI TESIS BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN

DIREKTUR PRGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM

NOMOR : /H18.4/HK/2015

Ketua : Dr. H. Muhammad Natsir, SH., M.Hum : ..............................

Anggota : Dr. Amiruddin, SH., MH. : ..............................

Anggota : Dr. Lalu Parman, SH., M.Hum : ..............................

Anggota : Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH. : ..............................

Anggota : Dr. Muhammad Sood, SH., MH. : ..............................


CURRICULUM VITAE

Nama : ASTAN WIRYA

Tempat/tanggal lahir : Sukarara/LOTIM, 10 Februari 1983

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama Islam : Islam

Pekerjaan : Polisi Kehutanan

Data Keluarga :

Istri : Dewi Karmila, ST.

Anak :-

Riwayat Pendidikan :

Perguruan Tinggi : 1. Strata Satu (S-1) Konsentarasi Sistem


Peradilan dan Penegakan Hukum Fakultas
Hukum Universitan Mataram

2. Strata Dua (S-2) Konsentrasi Hukum


Pidana Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Hukum Unversitas Mataram.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang

Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah,

rahmat serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan

tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW.,

beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat

manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum

Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan”. Penyelesaian tesis ini,

tidak akan rampung tanpa bantuan, saran, arahan dan petunjuk yang diberikan

kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul

sampai penyusunan tesis.

Perjalanan panjang dalam studi di Program Pascasarjana Universitas Mataram

Program Studi Magister Ilmu Hukum, hingga penulisan tesis ini tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap
kesempatan berdiskusi.
3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum dan sebagai dosen pengajar.
4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana
Hukum Universitas Mataram.
6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengah-
tengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing,
mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah
kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan
penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini.
8. Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua
Dewan Penguji tesis ini.
9. Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum.,
selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar.
10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga
dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka
wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu
pengetahuan yang indah untuk diselami.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapakan terima kasih, khususnya


kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Keluaga Besar Korps Polisi
Kehutanan dan seluruh Rimbawan dimanapun berada yang telah memberikan
dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi. Ucapan terima kasih dan do’a penulis
untuk kedua orang tuaku Menggep dan Rahmin, mertua H. Abdul Karim dan Hj.
Maoizah dan istri tercinta Dewi Karmila, ST., semoga Allah SWT., membalas semua
kebaikan-kebaikanya. Do’a-do’anya selalu mengiringi penulis, sehingga mampu
menghadapi cobaan hidup dan menjadi berkah yang memberikan semangat dari
segala rintangan. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis
ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.
Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Penulis
mengkharapkan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan semua pihak yang telah membacanya.

Mataram, Juni 2015


Hormat Penulis,

Astan Wirya
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN MAJELIS PENGUJI .............................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... vii
RINGKASAN ......................................................................................... x
ABSTRAK .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Permasalahan ......................................................................... 12
c. Tujuan Penelitian .................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 13
E. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 14
F. Kerangka Teoritik .................................................................................... 18
1. Teori Perlindungan Hukum ....................................................................... 18
2. Teori Keadilan ......................................................................................... 20
3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) ...................................... 22
4. Teori Kebijakan Penal (Penal Policy Theory) .............................................. 28
5. Teori Kewenangan (Authority Theory) ....................................................... 38
G. Kerangka Konseptual .............................................................................. 40
H. Metode Penelitian ................................................................................... 48
1. Jenis Penelitian ....................................................................................... 48
2. Pendekatan Masalah ................................................................................ 49
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .............................................................. 50
4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum ............................................................ 51
5. Analisis Bahan Hukum ............................................................................. 53
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI
INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM
PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA
KEHUTANAN

A. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA ... 54

1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan ........................... 54


2. Jenis-jenis hutan .................................................................................. 57
2.1. Status Hutan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI 58
..................
61
2.2. Fungsi Hutan ....................................................................................
63
Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) ........................
Hutan berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro dan
Resapan Air 64
..................................................................................................
64
3. Perlindungan Hutan .............................................................................
66
4. Legalitas Hasil Hutan ...........................................................................
73
5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar ..................................
79
6. Perbuatan Perusakan Hutan ................................................................
80
B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA ...............................................
85
1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana ....................................................
86
a. Ketentuan Pidana umum dalam KUHP yang terkait dengan
Tindak Pidana Kehutanan ................................................................. 87

1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP) 88


..................
89
2. Pencurian (Pasal 362-363 KUHP) ........................................................
89
3. Penyelundupan (Pasal 121 KUHP) ......................................................
91
4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) ......................................................
92
5. Penggelapan (Pasal 372-377 KUHP) ...................................................

6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) ............................................................


b. Ketentuan Tindak Pidana dalam Undang-Undang di Bidang
Kehutanan .......................................................................................
93
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ................................................
94
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ...............
95
3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan ............................................................................
97
2. Kebijakan Formulasi Pertanggung Jawaban Pidana .........................
120
Asas Pertanggungjawaban pidana terbatas atau ketat (stric liability) .....
121
Asas Pertanggungjawaban atas Kesalahan (genn straf zonder schuld) ...
122
Asas pertanggungjawaban vicarious liability ........................................
124
3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punisment Syistem)
126
a. Jenis-jenis pidana
................................................................................. 131

b. Syarat pemidanaan 133


...............................................................................
134
c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan
............................. 135
4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan
KUHAP Nasional ...................................................................................
135
a. Formulasi hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) Nasional ...........................................................
142
b. Formulasi hukum acara pidana dalam Rancangan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional
............................................... 147

c. Lembaga atau Instansi lain yang dapat menangani Tindak Pidana


Kehutanan ........................................................................................

BAB III. KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN


PERUSAKAN HUTAN (P3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KEHUTANAN 155
1. Kedudukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan ...........................................

a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan


(LP3H) ...................................................................................................

b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum ................................................ 155

2. Struktur Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan 157


Perusakan Hutan (LP3H) ........................................................................

a. Struktur dan Kelembagaan Lembaga P3H ................................................. 159

b. Unsur-unsur dalam Lembaga P3H ........................................................ 159


3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan 161
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ............................................

1. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi ...................................................... 162

1.1. Pencegahan .................................................................................... 164


1.2 Penindakan atau Penegakan Hukum .................................................. 164
2. Penyelidikan dan Penyidikan .............................................................. 166

2.1. Penyelidikan .................................................................................... 167


2.2. Penyidikan ...................................................................................... 167
3. Penuntutan .......................................................................................... 168
4. Persidangan di sidang pengadilan 172
.....................................................
176
4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional ...........................
$

183

BAB IV. PENUTUP


186
A. KESIMPULAN ................................................................................
187
B. S A R A N .......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 189

200
LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................
DAFTAR SINGKATAN

1. DHH = Daftar Hasil Hutan


2. DR = Dana Reboisasi
3. HPH = Hak Pengusahaan Hutan
4. IPK = Izin Pemanfaatan Kayu
5. IPHHK = Izin Pengusahaan Hasil Hutan Kayu
6. IPKTM = Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik
7. IUPHHK = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
8. IUPHHA = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam
9. KB = Kayu Bulat
10. LHP = Laporan Hasil Penebangan
11. LHPKB = Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat
12. PSDH = Provisi Sumber Daya Hutan
13. RKL = Rencana Kerja Lima Tahunan
14. P2SKSHH = Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
15. P3KB = Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat
16. P3KG = Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Gergajian
17. RKT = Rencana Kerja Tahunan
18. SATS = Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar
19. SAT-DN = Surat Angkut Tumbuhan Dalam Negeri
20. SAT-LN = Surat Angkut Tumbuhan Luar Negeri
21. SKAU = Surat Keterangan Asal Usul
22. SKSHH = Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
23. TPKT = Tempat Penampungan Kayu Terdatar
24. TPI = Tebang Pilih Indonesia
25. P3H = Pencegahan dan Pembarantasan Perusakan
Hutan
26. KUHP = Kitab Undang Undang Hukum Pidana
27. KUHAP = Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT
PENAL FORESTRY

ABSTRACT
The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this
thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry
criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction
institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention,
and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal
law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law.

Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach,


historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with
deductive and inductive concept as the explanation, logic interpretation and
systematic.

The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been
direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990
regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999
regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and
elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the
ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal
responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum
which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around
forestry, corporate, and government authorities

An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare
tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry
destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution
element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others,
institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention
deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community
complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction
prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource,
campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to
court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate
supervise a criminal forest lawsuit act.

Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir

dari proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan tonggak sejarah

kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara

Republik Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa

Negara Indonesia adalah negara hukum1. Tujuan politik hukum negara Indonesia

juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun

1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :

1. Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

2. Untuk memajukan kesejahteraan umum;

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. Ikut memelihara ketertiban dunia.

Berlandaskan pada hal itu, negara kesatuan Republik Indonesia

membentuk pemerintahan dengan menyelenggarakan pembangunan.

Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan positif, perubahan ini

direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke

masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf

kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat
1
Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang
Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum.
pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus-menerus dan

berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan

atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh

terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan.

Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah bertujuan untuk

mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya

untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan

spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah satu

bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum,

yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan

hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini

dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata

maupun hukum administrasi negara dan meliputi pula hukum formil maupun

hukum materiilnya.

Pengelolaan hutan dalam pelaksanaannya senantiasa harus memperhatikan

fungsi dan peruntukannya, sehingga pengelolaan hutan yang mengabaikan fungsi

dan peruntukannya sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan hutan. Kekayaan

sumber daya alam Indonesia termasuk flora dan fauna harus dikelola seoptimal

mungkin tanpa harus merusak ekosistemnya, 2 antara lain dengan menerapkan

prinsip konservasi3, sehingga hutan tetap terjaga kelestariannya, sebagaimana

2
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur-unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Lihat Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, Rineka Cipta,
Jakarta, 1998, hlm. 47.
3
Konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya hutan, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”.

Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan

transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya

juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang

terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal

logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non prosedural,

pertambangan tanpa izin (illegal mining), perkebunan dalam kawasan hutan

tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan

melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya

mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan,

pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker,

penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha

adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi 4. Dalam

upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum

penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab

terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan dan Hakim telah mempergunakan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kuwalitas keanekaragaman nilainya. Lihat
Alam Setia4 Zein, Ibid, hlm. 93-94.
Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan
Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 94-
99.
Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk penanggulangan tindak pidana

kehutanan.

Kebijakan baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya

berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan (degradation)5 dan menurunnya

fungsi-fungsi hutan (deforestration),6 sebagai akibat dari kebebasan individu-

individu atau korporasi, bahkan potensi keikutsertaan dari komponen personal

pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran

hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari

pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu peraturan perudang-

undangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya

sumber hukum matriel. Dalam pengkualifikasian dari delik-delik pidana yang

terdapat dalam peraturan perundangan-undangan sebelumnya bagi seseorang,

sehingga mereformulasikan kebijakan hukum pidana tidak hanya melihat

peraturan sebelumnya saja, akan tetapi lebih dari itu seperti bagaimana kebijakan

politik dari orang-orang yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan,

apakah kepentingan pribadi atau orang lain bahkan keuntungan bagi korporasi.

Dengan kata lain kebijakan hukum pidana sebelumnya tidak mampu menampung

atau mengakomodir tindakan-tindakan kebaruan tindak pidana perusakan hutan,

dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

5
Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung
lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang
ditetapkan,6 lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40
Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga
menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagai salah satu tindakan

preventif berupa pencegahan terhadap perusakan hutan dan tindakan represif

yakni penegakan hukum dengan konsekuensi pidana yang lebih tegas.

Selain dari itu reformulasi dari kebijakan hukum pidana sebagai salah satu

dari bagian pembangunan nasional adalah pembaharuan dibidang hukum yang

secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun

hukum administrasi negara yang meliputi juga hukum formil maupun hukum

materielnya. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan hukum pidana dibidang

kehutanan, meskipun pada dasarnya kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari

kebijakan dari pembidangan hukum-hukum yang lainya. Seperti bagaimana

norma-norma hukum yang hidup dimasyarakat yang terkena efek dari

pengerusakan hutan itu, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum oleh

pemerintah dalam menjaga perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana

masyarakat sangat bergantung pada hasil hutan dengan cara-cara yang

sederhana dan menjaga dari sumber hasil pendapatan mereka.

Hukum berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi

sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat 7. Dikemukakan

oleh Barda Nawawi Arief” pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut

masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

ada, untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa :

“Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu


upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat

7
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 189.
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia.“ 8

Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman

Sarikat Putra Jaya9 mengatakan bahwa; proses penegakan hukum itu

menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum atau perundang-

undangan. Perumusan pikiran pembuat Undang-undang yang dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan

hukum itu nanti dijalankan.

Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda

Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana,

maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling

berkait yaitu10 :

1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana


2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk
mempersalahkan/mempertanggung-jawabkan seseorang melakukan
perbuatan itu; dan
3. Sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum

negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat

pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau

kewenangan penguasa atau aparat penegak hukum dalam menjalankan

tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum

8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002
9
, hlm. 28.
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2000, hlm. 23.
10
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 136.
yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses

yang terdiri atas tiga tahapan yakni :

a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif

b. Tahap kebijakan yudikatif/aflikatif; dan

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif

Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut

terterkandung di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu

kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan

perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok

dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan hukum,

kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat

dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kekuasaan yudikatif merupakan

kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum

atau pengadilan. Kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan hukum pidana oleh

aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan

G. Peter Hoefnagels dikutif oleh Hj. Rodliyah11 disebutkan “merupakan usaha

rasional dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi

kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari reaksi sosial

terhadap kejahatan” (criminal policy is the rational organization of the social

re- actions to crime).

Mencakup beberapa bagian mengenai kriminal antara lain :

11
Rodliyah Hj., “Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati” Pokok-
pokok Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011,
hlm. 37.
1. Criminal policy is the science of response (kebijakan hukum
pidana sebagai ilmu pertanggungjawaban)
2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan hukum
pidana sebagai sebagai ilmu pencegahan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime
(kebijakan hukum pidana adalah sebagai kebijakan yang
mempelajari perilaku kejahatan manusia).
4. Criminal policy is a rational total of response to crime (Kebijakan
hukum pidana sebagai keseluruhan pertanggungjawaban pidana).12

Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief 13 bahwa kebijakan atau

upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan

bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Seiring dengan

perkembangan kehidupan masyarakat modern, dalam menghadapi globalisasi

serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan

perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi

dan modernisasi, terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada

kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk di dunia.

Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting dan strategis tidak hanya

sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan

hidup14.

Pembangunan hutan berkelanjutan (sustainable forest) memerlukan

upaya yang sungguh-sungguh dalam penanggulangan dan pencegahan

kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan

12
Ibid. hlm. 42
13
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet. Ke-2, hlm. 73.
14
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6.
hutan tersebut, telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial

budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar, serta telah meningkatkan

pemanasan global (global warming), perubahan iklim (anomali iklim) yang telah

menjadi permasalahan dan isu, baik nasional, regional, dan internasional.

Dewasa ini tindakan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang

kehutanan semakin meluas dan mengalami permasalahan yang kompleks.

Perbuatan perusakan hutan terjadi tidak hanya pada hutan dengan fungsi

produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi.

Perusakan hutan demikian, telah berkembang menjadi suatu perbuatan

kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai

kejahatan yang terorganisir (orgenaized crimes), melibatkan multi pihak, baik

nasional, regional maupun internasional.

Dalam melakukan pencegahan perusakan hutan, sunggu telah lama

dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan

perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana

perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi dan kompleksitas kehidupan

sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum

yang konprehensif dan tegas dalam bentuk Undang-undang agar perusakan

hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan

efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut,

telah mencapai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi

keberlangsungan kehidupan berbangsa dan negara. Oleh karena itu, upaya


penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan, juga harus

dilakukan secara luar biasa (esxtra ordinary).

Kebijakan formulasi hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan, lahir sebagai jawaban terhapap adanya kelemahan-kelemahan pengaturan

hukum tindak pidana kehutanan atau ketidak epektifan dari Undang-undang

sebelumnya untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan atau

perbuatan perusakan hutan.

Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan diundangkannya

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dikharapkan dapat dilakukan upaya

penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tentu dengan

mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta

keberlanjutan, tanggungjawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat,

prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi.

Dalam pembentukan Undang-undang ini, memiliki aspek pencegahan dan

pemberantasan atau aspek represif, juga mempertimbangkan aspek restoratif,

yang bertujuan untuk15 :

a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya.
b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan

15
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.
pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.
c. Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan
terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan
perusakan hutan
d. Mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka
pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun
multilateral
e. Menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap
menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem
sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera.

Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang

optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary),

salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan, didalamnya mengamanatkan pembentukan

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga

khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan

dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini,

selain melakukan upaya pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam

melakukan pemberantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan

hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung,

tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan.

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan

kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang

konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses

peradilan yang cepat dan terintegrasi, kewenangan LP3H ini juga adalah

memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani

tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.


Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penelitian ini

menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi

hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan dan

permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan

untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum

yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan.


B. Rumusan Permasalahan

Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar

lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum

khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar

belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan berkaitan dengan penelitian

tesis sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam

penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.?

2. Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan

mengkaji dengan memaparkan landasan konseptual dan teoritis sehingga

dapat memperoleh jawaban dengan permasalahan tindak pidana kehutanan

atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari

penelitian ini adalah :


a. Menganalisis berkaitan Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tindak

Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

b. Mengkaji Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan tindak pidana

kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian

ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berguna dan memberikan

kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis

maupun praktis antara lain manfaat tesebut adalah :

1. Secara teoritis

Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pidana dan

hukum lainya khususnya mengenai ikhwal kebijakan hukum pidana

dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, pemberantasan

perusakan hutan atau penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana

indonesia, selain itu berguna untuk membangun pengembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pidana


pada khususnya, terutama berkaitan dengan penanggulangan tindak

pidana kehutanan.

2. Secara praktis

Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai

bahan masukan bagi lembaga atau instansi, atau pihak-pihak yang

berkepentingan, aparat penegak hukum khususnya (Penyidik, Jaksa dan

Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam

upaya penanganan, mengambil atau menerapkan hukum dalam

penanggulangan tindak pidana kehutanan, atau perbutan perusakan

hutan. Bagi aparat penegak hukum dan seluruh elemen terkait (stake

holders) dapat menjadi masukan, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian ini untuk menjaga agar

penelitian ini tidak membias dari isu hukum normatif, atau pokok

permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan kebijakan hukum dalam

penanggulangan tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan.
Permasalahan hukum dalam penanggulahan tindak pidana kehutanan

atau perusakan hutan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terdapat 2 (dua) pokok

pemasalahan yaitu :

1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak

Pidana Kehutanan dan,

2. Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (LP3H) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.

Berdasarkan dari fokus permasalahan dan tujuan dari penelitian ini,

tampak secara jelas bahwa penelitian ini bergerak pada upaya penggalian

serta pemahaman akan arti tujuan hukum yakni :

1. Keadilan

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai

sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian

besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls,

menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari

institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" .

Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita

tidak hidup di dunia yang adil"16 Kebanyakan orang percaya bahwa

ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan

16
http://id.wikepedia.org/wiki/ keadilan, John Rawls, A Theory of Justice (revised edn,
Oxford: OUP), 1999, diposting pada 20 Nopember 2014.
politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Adalah “wujud

kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus, untuk memberikan apa

yang menjadi hak setip orang”17. Keadilan intinya adalah meletakkan

segala sesuatunya pada tempatnya.

2. Kemanfaatan

Pada prinsipnya tujuan hukum hanyalah untuk menciptakan

kemanfaatan atau kebahagiaan untuk masyarakat. Aliran utilitis

memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya adalah

semata-mata untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang

sebesar-besarnya warga masyarakat. Bahwa negara dan hukum semata-

mata ada untuk memberikan manfaat sejati. Jeremy Bentham kemudian

terkenal dengan motonya “the greatest happinnes of the greetest

numbers” (kebahagiaan yang terbesar, untuk kebahagiaan semua

orang).18

3. Kepastian

Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat

dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis

dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
17
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), edisi pertama, Cet. Kedua, Kharisma Putra
Utama, Jakarta, 2009, hlm. 221.
18
Ibid., hlm. 272 – 273.
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma

ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma,

reduksi norma atau distorsi norma.

Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia,

baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam

koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan

seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh

Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya

(homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang

merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman

untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini

adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari

perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan Adalah “ Scerkeit

des Recht Selbst” (kepastian tetang hukum itu sendiri)19

F. KERANGKA TEORITIK

Teori hukum normatif yang merupakan orientasi dalam studi ini

menggunakan beberapa pemikiran atau konstruksi, kritik dan sistematik

sebagai kerangka teori dalam mengembangkan permasalahan penelitian dan

menjawab setiap permasalahan hukum yang menjadi pokok bahasan dalam

kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai

berikut :
19
Ibid., hlm. 292.
1. Teori Perlindungan Hukum

Kehadiran hukum dalam suatu kekuasaan negara diorientasikan

untuk menjaga tertib kehidupan masyarakat dan melindungi berbagai hak

dan kewajiban yang tumbuh dan berlaku disuatu negara. Dalam

pandangan Jhon Locke bahwa “kekuasaan tersebut justru untuk

melindungi hak-hak kodrat, dari bahaya yang mengancam, baik yang

datang dari dalam maupun dari luar”.20

Sebagai pemegang kedaulatan, maka negara harus mampu

memberikan perlindungan bagi kehidupan warga negaranya, baik dalam

hukum publik maupun hukum privat. Bukan sebaliknya, negara bardaulat

dapat bertindak sewenang-wenang atas warga negaranya. Sehingga

kedaulatan negara dengan hukumnya dapat mewujudkan keadilan

(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutilitiet) dan kepastian hukum

(rechtszekerheid).

Menurut muchsin21, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan

adanya ketertiban dalam pergaulan hidup manusia. Atas dasar itu, maka

perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek

20
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi ,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 72.
21
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Uniersitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaanya melalui sanksi.

Konsep teori perlindungan hukum sangat terkait dengan pemerintah

atau negara, karena pemerintah atau negara sebagai titik sentralnya. Oleh

karena itu, terbentuklah 2 (dua) bentuk perlindungan hukum, yaitu :

a. Perlindungan hukum preventif


perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan
untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-
rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan hukum reresif
perlindungan hukum refresif merupakan perlindungan hukum
akhir yang berupa sanksi, seperti denda penjara dan hukuman
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau
telah dilakukan suatu pelanggaran. 22

Berdasarkan itu, perlindungan hukum preventif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa atau permasalahan. Sementara

perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Seperti halnya perlindungan hukum dalam peradilan umum dan peradilan

administrasi ke dalam perlindungan hukum represif.

Konsep perlindungan hukum pun sangat terkait erat dengan fungsi

hukum sendiri. Mochtar Kusuma Atmaja menguraikan fungsi hukum

sebagai berikut :

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam


masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasanya adalah
konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan
memepertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan
dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang yang

22
Ibid, hlm. 20.
membangaun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang
sedang berubah cepat, hukum tidak memiliki fungsi demikian saja. Ia
juga harus membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan
yang konservatif tentang hukum yang menitikberatkan pada fungsi
pemeliharaan ketertibaan dalam arti statis, dan sifat konservatif
hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu
peranan yang berarti dalam proses pembaruan”. 23

Pandangan atau konsepsi yang lebih luas di atas menunjukkan

kekuatan hukum yang dinamis dalam mengatur tertib hukum bagi suatu

masyarakat. Hukum tidak saja mengedepankan aspek-aspek represif

dalam penegakannya, tetapi peka dan sensitif atas perkembangan yang

sedang berlaku dalam masyarakat sehingga tindakan preventifnya dapat

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pada

akhirnya, hukum dapat menjadi penyangga kehidupan manusia.

2. Teori Keadilan

Keadilan menurut Plato, seperti dikutif Herman Bakir24,

mengemban fungsi “menyelaraskan” dan “menyeimbangkan” hal itu

berbunyi sebagai berikut :

Keadilan merupakan besaran-besaran atau aset-aset (virtues)


tertentu yang akan membuat kondisi kemasyarakatan menjadi
selaras (mengharmonikan) dan seimbang. Keadilan yang
dimaksudkan adalah besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiap-
tiap masyarakat manusia itu sendiri, yang pada dirinya tidak dapat
di pahami, dikreteriakan atau tidak dapat diekspesitkan
(dijabarkan) melalui argumentasi-argumentasi (dirasionalkan).
Kita tidak dapat berkharap banyak dengan tercapainya keadilan bila
hanya mengandalkan kebijaksanaan dari para pilsuf dan doktrin-
doktrin mereka, sebab dalam memahami keadilan mereka kerapkali
23
Hasan Basri, Op.cit., hlm. 83
24
Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Cet.
Pertama, Bandung, 2007, hlm. 177.
terjebak dalam keadaan dimana mereka memandang hukum
hanyalah sekedar materi bertempramen spritual (mistik).

Bahwa untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya

keadilan dalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat

manusia dalam konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dengan

sebuah “Negara Kota” 25


disebutkan :

1. Di dalam suatu masyarakat yang adil, tiap warganya harus dapat


memainkan perannya (fungsi kemasyarakatannya) yang paling
sesuai dengan dirinya demikian juga halnya, dalam aset-aset
ekonomi perorangan.
2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang ketika akal (naluri) juga
menang dan selera serta nafsu binatang semestinya diletakkan
(dikendalikan) sedemikian rupa pada tempat sesuai tatanan
masyarakat yang berkeadilan hanya akan dapat tercapai
sepanjang akal manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsip
rasional lainnya dapat memandu penyelenggaraan dari elemen-
elemen masyarakat, selain itu yang tidak kalah penting.

Masih dalam kaitanya dengan keadilan, dalam teori keadilan

yang dikemukakan oleh Aristoteles”26.

“Keadilan akan terjadi apabila kepada seseorang diberikan apa


yang menjadi miliknya. Seseorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang yang mengambil lebih dari bagian semestinya.
Orang yang tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang
tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat
dianggap adil. Jadi keadilan adalah penilaian dengan
memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi
haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak
melanggar hukum”.

25
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat 26
Hukum Indonesia, Cet. Kelima, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 167.
Ibid, hlm 178.
Dari orientasi ide keadilan tersebut, justru mengimplikasikan pada

setiap permasalahan apapun yang timbul harus diselesaikan dengan

berorientasi pada ide keadilan bukan paksaan. Permasalahan tindak pidana

kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan merupakan permasalahan

keadilan yang harus diselesaikan berdasarkan ide keadilan yang bertumpu

kepada tujuan hukum yaitu; keadilan hukum, kepastian hukum dan

kemanfaatan yang akan mencapai tujuan pada perlindungan masyarakat

(soscial deffence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada

hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral

dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

"kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".

3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory)

Kebijakan yang merupakan terjemahan dari kata policy atau beleid

adalah merupakan sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti

government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan

governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan

pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan tindakan

yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian

sumberdaya alam, keuangan dan sumberdaya manusia untuk kepentingan

publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.


Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi bahkan kompetisi

antara berbagai gagasan, teori, idiologi dan kepentingan-kepentingan yang

mewakili sistem politik suatu Negara27.

Kata kebijakan seringkali digunakan dalam istilah kebijakan publik dan

kebijakan sosial. Kedua istilah tersebut sering diartikan sama, namun

sebenarnya kebijakan publik dan kebijakan sosial secara kontekstual adalah

berbeda. Kebijakan publik berorientasi pada penyusunan kebijakan,

sedangkan kebijakan sosial berorientasi pada bidang telaah kebijakan. Secara

maknawi kebijakan sosial dapat merupakan bagian dari kebijakan publik dan

sebaliknya kebijakan publik merupakan bagian dari kebijakan sosial.

Terkait dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik

secara generik pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor

pembangunan yang mencakup aspek manusia dalam kontek masyarakat atau

kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang

pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti

spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial

sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau

kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan

manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak

beruntung (disad pantaged group) dan kelompok rentan (fuel merable

group).

27
Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfa Beta, Bandung, 2007,
hlm. 3
Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill

yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam

kaitannya dengan kesejahteraan sosial yakni 28:

1. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public


policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintah seperti kebijakan ekonomi, transportasi,
komunikasi, dan pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-
fasilitas umum lainnya serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (magil
1986).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap
kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial
atau bantuan keuangan (Marshal, 1965)
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya
sosial, peningkatan pemerataan dan pendistribusian pelayanan dan
bantuan sosial (Rein, 1970)
4. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan atau,
5. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan
kesejahteraan (welfare) baik dalam arti luas yang menyangkut
kualitas hidup manusia, maupun dalam dalam arti sempit yang
menunjuk pada beberapa jenias pemberian pelayanan kolektif
tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (specker, 1995)
6. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam
kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996)

Berkenaan dengan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan

masalah sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial, maka istilah

kebijakan digunakan sebagai suatu istilah yang bermakna dan berorientasi

secara khusus dalam mengatasi salah satu masalah sosial yaitu kejahatan.

Kejahatan sebagai problem sosial dapat merintangi kemajuan untuk

mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, untuk itu

28
Lalu Parman, Op.cit, hlm. 71
pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisi-

kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau dikenal

dengan istilah politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral

dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu,

dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah

perlindungan masyarakat untuk mencapai kebahagiaan masyarakat

(happines of the citizen), kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan

(a whole some and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social

welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality).29

Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief 30

adalah menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah

sentral yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam klasifikasi

masalah yang demikian antara lain masalah kebijakan dalam menetapkan

atau merumuskan suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana dan

sanksi yang dapat dikenakan.

Kebijakan kriminal menurut Marc Ancel 31 adalah sebagai “The

rational organization of the control of crime by society”, sedangkan G.

Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa, “Criminal policy is the rational


29
Ibid, hlm. 81
30
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Balai Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hlm. 3.
31
Barda Nawawi Arief., Op.cit,. hlm. 27
organization of the social reactions to crime ”. terdapat tiga arti kebijakan

kriminal dengan mengatakan bahwa “Politik kriminal” ini dapat diberi arti

sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal itu

digamabarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam artian

yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan, jaksa dan

penyidik, dalam artian yang paling luas ia merupakan keseluruhan

kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan

resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari

masyarakat”. Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari

masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap

kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuwensi logis, sebagai

masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum

pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada

kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam

masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian

dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.


Kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian

integral dari politik sosial. Usaha penanggulangan kejahatan, dapat

dijabarkan 32:

1. Pencegahan penanggulangan kejahatan, harus menunjang


tujuan (goal), social welfare, dan social defence. Dimana
aspek social welfare dan social defence yang sangat
penting adalah aspek kesejahteraan dan perlindungan
masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai
kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan.
2. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan
“pendekatan integral” ada keseimbangan sarana “penal”
dan “non penal”.
3. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal atau “penal law enforcement policy” yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap
: (1) Formulasi (kebijakan legislatif). (2) Aplikasi (kebijakan
yudikatif). (3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Melaksanakan politik kriminal antara lain berarti membuat

perencanaan untuk masa yang akan datang dalam menghadapi atau

menanggulangi masalah yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk

dalam perencanaan itu ialah di samping merumuskan perbuatan-perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, juga menetapkan sanksi-

sanksi apa yang diterapkan terhadap si pelanggar atau pelaku yang

melekukan perbuatan pidana.

Kebijakan integral penanggulangan kejahatan terlihat bahwa untuk

mencapai tujuan akhir tersebut ditempuh dengan dua kebijakan yaitu;

kebijakan sosial (social policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy)

32
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Undip, Semarang, 2000.
yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal

penaggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan pula dua

kebijakan, yaitu dengan menggunakan kebijakan penal, dengan

menggunakan sanksi pidana dan kebijakan non penal 33


. Apabila berbagai

cara tidak mampu mengendalikan perbuatan negatif masyarakat, baru

sarana penal difungsikan menjadi “ultimum remidium” untuk

menanggulangi kejahatan, melalui kriminalisasi dan dekriminalisasi.

4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy Theory)

Istilah kebijakan hukum pidana disebut juga dengan istilah politik

hukum pidana. Dalam kepustakaan asing juga digunakan istilah penal

policy, criminal law policy atau strafrechtpolitiek. Untuk mengartikan

istilah kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana dapat

dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang politik

kriminal.

Menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktifitas memilih dan

cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum

tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum ada beberapa

pertanyaan mendasar yaitu :

1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

33
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 8.
2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam

mencapai tujuan tersebut;

3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu

diubah; dan

4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk

membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara

untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik34.

Mahfud M.D., mengartikan politik hukum sebagai arahan atau

garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan

melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.

Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan

hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Selain itu politik

hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan

hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan

negara. Dalam pengertian ini, pijakan utama politik hukum nasional adalah

tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang

harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu. 35 Lebih lanjut

Mahfud MD., menjelaskan bahwa politik hukum mengandung dua sisi yang

tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy

lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus

34
Satjipto Rahardjo, Op Cit, hlm. 352.
35
Mahfud M. D., Membangun Politk Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 15-16.
sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum

yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy

tersebut untuk mencapai tujuan negara.

Berdasarkan pengertian-pengertian politik hukum tersebut, maka

sebagai bagian dari politik hukum, kebijakan hukum pidana adalah

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

peraturan perundang-undangan hukum pidana yang baik yang sesuai

dengan kebutuhan dan keadaan di masa yang akan datang.

Secara substansi penyusunan kebijakan hukum pidana dimulai

dengan proses kriminalisasi dan/atau proses dekriminalisasi. Dilihat dari

perspektif kebijakan hukum pidana, kriminalisasi hakikatnya adalah

merupakan kebijakan untuk “mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu

perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu

tindak pidana. Peter G. Hoefnagels menyatakan bahwa “criminal policy is

a policy of designating human behavior as crime ” kebijakan dalam

menetapkan perilaku manusia sebagai suatu kejahatan atau tindak

pidana.

Untuk melakukan kriminalisasi haruslah didahului oleh

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan


nasional;
b. Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulagi harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan
tersebut mendatangkan kerugian bagi masyarakat;
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil (cost and benefid principale).36

Kebijakan formulasi perbuatan yang hendak dilarang dapat

dirumuskan dalam rumusan undang-undang pidana dengan

menjadikannya suatu perbuatan pidana. Konsep perbuatan pidana

atau tindak pidana yang diparalelkan dengan pengertian criminal act,

mengalami pergeseran baik secara substansi maupun prosedur

penetapannya. Kebijakan hukum pidana merupakan usaha untuk

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang

akan datang. Kata “sesuai” dalam pengertian tersebut mengandung

makna “baik” dalam memenuhi syarat keadilan dan dayaguna37.

Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait

antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang

rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang

berorientasi pada nilai.38

Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian

proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :

36
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. cit, hlm. 18.
37
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hlm. 11.
38
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994, hlm. 61.
a. Tahap kebijakan legislatif yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif yaitu melaksanakan hukum pidana secara
kongkrit, oleh aparat pelaksana pidana.39

Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan,

maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem

kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya

dapat dilihat dalam arti sempit atau formal, tetapi juga dapat dilihat dalam

arti luas atau material. Dalam arti sempit atau formal, penjatuhan pidana

berarti kewenangan menjatuhkan atau mengenakan sanksi pidana

menurut Undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).

Sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana

merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang

berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada

putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat

pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan

hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan

sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus

terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

Mengingat pentingnya pemidanaan sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat

(social

39
Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm. 18-19.
defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), perlu

diperhatikan juga berkaitan denngan teori-teori penjatuhan pidana atau

teori pemidanaan, yakni :

1. Teori absolut atau “vergeldings theorie” adalah teori yang mempunyai

ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat

“pembalasan” (vergelding or vergeltung). Diantara penganut teori ini

adalah Immanuel Kant yang memandang pidana sebagai

“kattegorische imperatief” yakni; seseorang harus dipidana oleh hakim

karena ia telah melakukan kejahatan, sedangkan Hegel berpendapat

bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi adanya

kejahatan.

Menurut Andeanes bahwa tujuan utama (primair) menurut

teori ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the

clims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang

menguntungkan adalah sekunder.40 Aliran ini berpendapat bahwa

pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan,

karena telah menjadi suatu kehajahatan yang telah menggoncangkan

masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang telah menimbulkan

penderitaan anggota masyarakat lainnya, sehingga untuk

mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus

dibalas dengan penderitaan pula yaitu pidana (nestapa) terhadap

pelaku.

40
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 11.
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)

Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan

kejahatan. Penjatuhan pidana dimaksudkan tidak untuk memuaskan

tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu

disebut :

a. Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence)


b. Teori reduktif ( untuk mengurangi frekuensi kejahatan); atau
c. Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai
tujuan tertentu yang bermanfaat.41

Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari

pemidanaan, adalah untuk :

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van

de maatshappelijke orde).

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai

akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de

misdaad onstance maatshappelijke nadeed).

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader).

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijke maken van de

misdadinger).

5. Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoMing van de misdaad).42

.
41
Ibid, hlm. 12.
42
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
3. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif.

Teori ini menggunakan kedua teori di atas atau gabungan dari

teori absolut dan relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan

pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-

kelemahan :

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena

dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti

yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera

melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan

karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat,

kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki

masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit

dilaksanakan43. Dalam teori ini diperhitungkan adanya pembalasan,

prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana.

Dalam penelitian ini akan lebih ditekankan mengenai teori relatif

atau teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Pokok aliran utilitarian ini

mangatakan bahwa “suatu tindakan mempunyai nilai moral apabila

tindakan tersebut memberikan konsekuensi yang baik pada orang-orang

lain sebanyak banyaknya”.44

43
Ibid. hlm. 2
44
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 155.
Jeremy Bentham mengungkapkan esensi dari teori aliran

utilitarianisme ini dengan semboyan : “the greatest happiness for the

greatest number”.45 Pemikiran yang mendasari aliran ini adalah bahwa

pada akhirnya setiap perbuatan manusia itu haruslah dievaluasi guna

meningkatkan kesejahteraan umum atau taraf sosial (sebagai

konsekuensi dari kebahagiaan/kemapanan/kepuasan yang telah dicapai

oleh masyarakat mayoritas). Look to the future and promote human

welfare (melihat ke masa depan dan meraih kesejahteraan masyarakat),

merupakan ajaran dari aliran utilitarianisme yang berhubungan dengan

etika, namun secara formal ajaran ini dapat dilihat dari prinsip utilitas,

yaitu : “of all the possible action open to you, perform that action

with the greatest tendency to bring about the balance of happiness

over misery for mankind as a whole” (dari segala kemungkinan

perbuatan yang akan dilakukan, lakukanlah perbuatan tersebut dengan

mengutamakan keseimbangan dari kebahagiaan dengan

mengesampingkan penderitaan bagi umat manusia secara

menyeluruh).46

Ajaran utilitarianisme terkadang disebut dengan teori kebahagiaan

terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan

(kenikmatan) terbesar untuk orang banyak, karena kenikmatan adalah

satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan adalah satu-satunya

45
Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The phylosophy of law: An Introduction To
Jurisprudence, Totowa NJ, Rowman & Allenheld, 1984, hlm. 74.
46
Ibid.
kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan

menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan

abstrak, melainkan adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin

kebahagiaan di dunia. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan

prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan “asas kegunaan atau

manfaat” (the principle of utility). Salah satu penganut teori ini adalah

Seneca yang terkenal dengan ucapannya ;

“nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne pecceter”


(artinya : no reasonable man punishes because there has been a
wrong doing, but in order that there should be no wrong doing =
tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan suatu
perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat).
Johanes Andenaes menyebut teori ini juga sebagai teori pelindung
masyarakat.47

Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari

pemidanaan, yaitu :

1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat;

2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai

akibat dari terjadinya kejahatan;

3) Untuk memperbaiki si penjahat;

4) Untuk membinasakan si penjahat;

5) Untuk mencegah kejahatan.48

Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap pelaku tindak

pidana kehutanan atau tindakan perusakan hutan sebagaimana dalam

47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 1.
48
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan adalah untuk menanggulangi kejahatan

kehutanan dan mencapai tujuan pemidanaan atau politik kriminal pada

masa-masa yang akan datang.

5. Teori Kewenangan (Authority Theory)

Wewenang merupakan bagian penting dari aspek hukum, terutama

segi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena objek dari

Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah

berkaitan erat dengan wewenang atau kewenangan pemerintah dalam

mengelola dan melaksanakan kekuasaan negara sehingga ruang lingkup

wewenang pemerintah meliputi wewenang keputusan (beschikking) dan

juga wewenang dalam rangka melaksanakan tugas serta pengaturan

(rechtgelling).

Kewenangan (authority) berbeda dengan wewenang

(competence) kewenangan merupakan kekuasaan formal, yang berasal

dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan eksekutif. Dalam hal

kewenangan terdapat wewenang untuk melakukan kewenangan publik.

Prajudi Admosudirjo49 memberikan pengertian wewenang adalah

“kekuasaan terhadap golongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap

49
Pramuji Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,
hlm. 78.
suatu bidang pemerintah dibidang urusan tertentu”. Secara teoritik

kewenangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yakni sebagai berikut :

1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh


pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.

2. Delegasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu


pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan dari satu


pemerintahan mengizinkan kewenangannya di jalankan oleh
organ lain atas namanya.

Kewenangan atributif dalam arti yuridis wewenang kamampuan

bertindak yang diberikan oleh Undang-undang untuk melakukan

hubungan-hubungan hukum, yakni hubungan yang dapat menimbulkan

akibat hukum.

Kewenangan delegasi adalah wewenang yang merupakan hak dan

kekuasaan untuk pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan kewenangan mandat (mandate) adalah suatu kekuasaan

untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan adanya

hubungan atasan dan bawahan dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan.

G. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan landasan konsep yang akan

menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang di gunakan oleh


peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian penting dari

rumusan teori. Kegunaan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah

menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.

Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan

abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang yang khusus yang

lazim disebut dengan definisi opersional. Pentingnya definisi operasional

adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran

mendua atau ganda dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga

dipergunakan untuk memeberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam

penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel pokok yaitu; Kebijakan Formulasi

Hukum Pidana dan Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.

1. Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan

Dalam bukunya Barda Nawawi Arief” istilah kebijakan yang

dalam bahasa Inggris “policy ” atau “politiek” dalam bahasa

Belanda sering disebut sebagai politik yang berarti kebijakan.

Secara umum politik atau kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip-

prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah

(dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam

mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,

masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan

peraturan perunndang-undangan dan pengaplikasian hukum atau


peraturan, dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya

mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga

negara).50

Kebijakan Hukum

Terdapat banyak definisi menegenai kebijakan hukum atau

politik hukum. Padmo Wahjono” mengatakan bahwa politik hukum

adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi

hukum yang akan dibentuk51. Sedangkan Teuku Mohammad

Radhie52” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan

kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di

wilayahnya dan menegenai arah perkembangan hukum yang akan

dibangun.

Menurut ahli lain berpendapat Satjipto Raharjo 53 yang di kutif

dari tesis Muhammad Aziz Hakim” medefinisikan politik hukum

sebagai aktifitas memilih cara yang hendak dipakai untuk memilih

dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial

dengan hukum tertentu yang cakupannya meliputi jawaban atas

beberapa pertanyaan dasar, yaitu ; 1) tujuan apa yang hendak di

capai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana

50
Barda Nawawi Arif, Op-Cit, hlm. 23-24.
51
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalilia Indonesia, Jakarta,
1986.
52
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Jakarta, 1973.
53
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991.
yang dirasa paling baik yang dipakai dalam mencapai tujuan

tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu

perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan

dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan

tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana

Kebijakan formulasi hukum pidana merupakan istilah yang

berasal dari politiek dari Belanda dan policy dari Inggris, dari

istilah asing tersebut, maka istilah “politik hukum pidana” atau

sering juga disebut dengan istilah “kebijakan hukum pidana” dalam

kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal

dengan berbagai istilah, antara lain; “ penal policy” atau “criminal

law policy” atau “strafrechtspolitiek”.54 Sedangakan istilah

formulasi atau formula merupakan pembentukan, penyusunan atau

perumusan yang berkaitan erat dengan pengaturan atau disebut

sebagai kebijakan legislatif atau formulatif.

2. Penanggulangan tindak pidana

Penanggulangan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana penal maupun non penal atau dikenal istilah upaya

54
Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1999, hlm. 10
hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi 55. Kegiatan non penal dengan

melakukan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan

kejahatan (criminal policy) atau penanggulangan tindak pidana dengan

penggunaan sarana penal dilakukan dengan menggunakan sarana hukum

pidana melalui penegakan hukum (law enforcement). istilah penegakan

hukum dapat dipergunakan terjemahan dari echtshandhaving, yang

dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem

peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan56. Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan

bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai

kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanya melalui proses

pengadilan. Adapula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum

adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. penegakan

hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu

pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak.

Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi

masyarakat berperan dalam penegakan hukum57. Andi Hamzah

menyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalan Bahasa Indonesia,

selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa

55
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum
Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project Forest Law Enforcement, (Goverment Ang
Trade) – Kementerian
56
Kehutanan RI, Jakarta, 2010, hlm. 9.
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,
1999, hlm. 78-79.
57
Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran

seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan

menyebut penegak hukum itu adalah polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut

pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang

lebih luas58.

3. Tindak Pidana Kehutanan (TIPIHUT)

Dalam hukum kehutanan terdapat berapa peggunaan istilah-istilah

yang berkaitan dengan hukum pidana, hal ini ditemukan dalam perundang-

undangan maupun dalam berbagai literatur hukum atau sumber hukum.

istilah hukum pidana itu adalah dikenal “ tindak pidana, delik, perbuatan

pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan

yang dapat dihukum, peristiwa pidana” atau dalam bahasa asalnya

dikenal dengan “strafbaar feit” yang merupakan istilah dari bahasa

Belanda yang terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands

Indie (WvSNI). Terjemahan dari istilah “strafbaar feit” merupakan istilah

yang berarti suatu perbuatan dan atau peristiwa yang diancam hukuman

sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut atau diatur dalam

58
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, PT. Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995,
hlm. 61.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan

perundang-undangan lainnya59.

Hukum pidana atau perbuatan pidana dibidang kehutanan dalam

peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur ditemukan

beberapa istilah diantarannya, penebangan liar atau pembalakan liar

(illegal logging), perusakan hutan adalah perbuatan pidana yang dalam

peraturan perundangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya. Jenis-jenis perbuatan pidana ini ditemukan

seperti; pembalakan liar atau penebangan tanpa izin (illegal Logging),

pertambangan tanpa izin (illegal mining), perkebunan dalam kawasan

hutan tanpa izin, perambahan (ocuvasi) kawasan hutan, pendudukan,

penguasaan hutan tanpa izin, penggunaan kawasan hutan non prosedural

dan perbuatan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan.

Perbuatan pidana berupa perusakan hutan menimbulkan kerugian

negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang

sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global (global

warming), perubahan iklim (climeted iklim), banjir, tanah longsor dan

sebagainya, hal ini telah menjadi kekawatiran dan menjadi permasalahan

ditingkat nasional, regional, dan internasional.

59
Anonim, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan , Direktorat Penyidikan dan
Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan,
EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade), 2008.
Perbuatan pidana atau tindak pidana tersebut di kriminalisasi atau

diformulasikan dalam ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan. Berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut dan

literatur lainya ditemukan istilah Tindak Pidana Kehutanan yang lazim

disebut (TIPIHUT) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana

sebagai kejahatan atau pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-

undang dibidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya60.

Dalam buku hukum kehutanan yang dikemukakan oleh M.

Hariyanto61 mendefinisikan Tindak Pidana Kehutanan sebagai “Suatu

peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar

larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam peraturan

perundang-undangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan

hukum melanggarnya".

Dari berbagai ketentuan dan pendapat ahli tersebut, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa, perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan

pidana seperti perusakan hutan, pembalakan liar atau illegal logging

merupakan merupakan tindak pidana dibidang kehutanan dan konservasi

60
Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan, kerjasama
antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi
Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian
Office, Jakarta, 2013.
61
M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, hhtp//blogmhariyanto. blogspot.com,
diposting pada tanggal, juni 2009, jam 09.00 wita.
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum

pidana atau sering disebut sebagai tindak pidana kehutanan (TIPIHUT).

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum dalam studi ini adalah penelitian hukum

normatif atau doktrinal. Jenis penelitian hukum ini memfokuskan untuk

menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum,

falsafah (dogma atau doktrin) hukum. Penelitian hukum doktrinal juga

dapat berupa usaha untuk menemukan hukum in concerto yang dapat

diterapkan untuk menyelesaikan perkara hukum tertentu.62

Dalam penelitian hukum normatif atau doktrinal juga

menggunakan buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih

dahulu, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah

sebagai bahan perbandingan, maupun sebagai petunjuk dalam

menguraikan bahasan yang selanjutnya, peneliti mengumpulkan dan

mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Sebagimana dikemukakan oleh Rinal Dwokin” penelitian hukum

normatif sering disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal

(doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik

yang tertulis dalam buku (law is writen in the book) maupun yang

62
Soetandyo Wingyosoebroto, Hukum, Paradigma, Methode dan Dinamika
Masalahnya, HUMA, 2002, Jakarta, hlm. 17.
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is by the

judge thorough judicial process ).

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah sebagai berikut :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu

pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau

tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain

yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem

tertutup yang mempunyai sifat komprehensif, norma-norma hukum

yang terdapat di dalamnya berkaitan antara satu dengan yang

lainnya secara logis dan sistematik. Bahwa di samping bertautan

antara satu dengan lainnya, norma hukum juga tersusun secara

hirarkis.63

b. Pendekatan konsep (conseptual approach), yaitu pendekatan ini

digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat

dalam pikiran. Menurut Ayn Rand” secara pilsafat konsep

merupakan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang

diisolasikan menurut ciri khas dan yang disatukan dengan definisi

63
Haryono dalam Jonny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 249
yang khas. Dalam pendekatan konsep (conseptual approach)

penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan

dengan konsep pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan

atau tindak pidana kehutanan serta konsep yang terkait dengan

masalah itu.

c. Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan

yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji

bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu

perundang-undangan.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian hukum ini

adalah bahan hukum sekunder yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder dan tersier. Bahan hukum dimaksud adalah sesuai dengan

penelitian hukum, mencakup :

1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terkait dengan

peraturan perundang-undangan, yang berkaitan penanggulangan

tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan.

Khususnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


kehutanan sebagaimanan diubah dengan Undang-undang 19 Tahun

2004 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

serta peraturan hukum yang terkait lainnya.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang meberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil

penelitian, rancangan undang-undang, bahan-bahan lain yang

berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana kehutanan.

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,

kamus hukum kehutanan, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar

serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat

dipergunakan untuk melengkapi bahan hukum yang diperlukan

dalam penelitian.64

4. Teknik dan Penelusuran Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh bahan hukum dan

bahan terkait lainnya yang diperlukan, maka digunakan teknik dan

penelusuran bahan hukum sebagai berikut :

64
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm . 19
a. Teknik pengumpulan hahan hukum; dilakukan dengan studi pustaka

dan dokumentasi dalam studi ini dilakukan pengumpulan,

menginventarisir dan mempelajari bahan hukum, baik bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier atau

bahan-bahan non hukum atau bahan-bahan dokumen penting yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Penelusuran bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan

yaitu dengan cara menginventarisir dan mengkaji peraturan asas-

asas hukum dalam perundang-undangan, serta berbagai dokumen,

maupun jurnal hukum serta hasil penelitian-penelitian terdahulu

yang terkait dengan permasalahan yang di teliti.

Penelusuran bahan hukum secara normatif ini

menggambarkan ketentuan dari pendekatan penelitian yang

digunakan. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian hukum

normatif sepenuhnya menggunakan bahan hukum sekunder, dari

bahan kepustakaan sehingga penyusunan kerangka

konsepsionalnya mutlak diperlukan. 65 Hal ini dilakukan untuk

menemukan asas-asas yang tersirat dan termaktub dalam pasal

perundang-undangan yang terdapat dalam ragam dan kepustakaan

yang tersedia.

65
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm. 199
5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dilakukan

dengan analisis penelitian hukum normatif, analisis penelitian hukum

normatif dilakukan dengan cara penafsiran berkaitan dengan asas-asas

hukum yang terkait dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam

penanggulangan tindak pidana kehutanan. Dengan tujuan untuk

memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap

penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni,

penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran memperluas,

dan penafsiran yang mempertentangkan 66. Semua tipe penafsiran di

atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir

deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara

logis dan sistematis. Penjelasan secara logis sintesis menunjukkan cara

berfikir deduktif-induktif, yaitu cara berfikir deduktif adalah berangkat

dari umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan cara berfikir

induktif merupakan cara berfikir yang berangkat dari hal-hal khusus

kemudian dicari generalisnya yang bersifat umum. Setelah analisis

bahan hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif

yaitu dengan cara menuturkan dan menggambarkan sesuai

permasalahan yang diteliti.

66
Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA


DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

A. Tinjauan Umum Mengenai Pengelolaan Hutan Indonesia

1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan “hutan”, misalnya

hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam

bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut

dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan

adalah penuh dengan pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan.67

Dalam Black Law’s Dictionary hutan di definisikan “Forrest is a tract of

land, not necessarily wooded, reserved to the king or a grantee, for

hunting deer and other game” 68.

“Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang dipesan

oleh raja untuk berburu rusa dan permainan lain”.

Menurut pendapat dari salah satu ahli kehutanan Herman Haeruman


69
J.S. menyatakan bahwa :

“Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya

67
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa , Cet. I, Erlangga,
Jakarta, 1995, hlm. 11.
68
Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
69
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1980, hlm. 6.
melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir
maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem peyangga dan
pendukung kehidupan bagi banyak makhluk.”

Sementara itu Mochtar Lubis70 mengemukakan pengertian hutan sebagai

berikut :

“Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbuh-tumbuhan


berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet,
kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai
hutan”.

Adapun pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh

Sukardi71 adalah sebagai berikut :

“Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,


sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi
menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-
tumbuhan pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup
luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”.

Sedangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1

Udang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, bahwa Hutan didefinisikan adalah sebagai

berikut :

“Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dan yang lainnya “.

70
Mochtar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988,
hlm. 196.
71
Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 12.
Selanjutnya diketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan, Kehutanan adalah sistem pengurusan yang

bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang

diselenggarakan secara terpadu.

Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan meliputi; kegiatan penyelenggaraan, perencanaan

kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan hutan. Perencanaan

kehutanan menurut ketentuan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi; inventarisasi hutan, pengukuhan

kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah

pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan.

Dalam pengelolaan hutan, konsep hutan dengan kawasan hutan dapat

dibedakan, perbedaan antara hutan dan kawasan hutan dapat dilihat dari

pengertian terhadap kawasan hutan sebagai mana terdapat dalam ketentuan

Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap. Dalam perkembangannya bahwa definisi kawasan hutan tersebut

menimbulkan polemik dan multitafsir sehingga dilakukan permohnan

pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau
dilakukan judicial review yang dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi dan

hasil pemeriksaan tersebut telah diputuskan dengan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, dalam putusan mahkamah tersebut

mengabulkan permohonan pemohon terhadap prase kata “ditunjuk” tidak

relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan 72, sehinga definisi kawasan hutan

tersebut untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan. Kawasan Hutan sebagaimana terdapat

dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan hutan adalah

“wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka

penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai

kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan

hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses

penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata

batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.

2. Jenis-jenis Hutan

Berdasarkan jenis-jenis hutan, dilakukan pengelompokan jenis-jenis

hutan berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

72
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU-IX/2011, tanggal 21 Februari 2012
Kehutanan, di dalamnya ditentukan terdapat 4 (empat) jenis hutan yaitu,

hutan berdasarkan pada, Status Hutan, Fungsi Hutan, Kawasan Hutan

denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.

Berdasarkan pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut :

Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI

Pembagian hutan hutan menurut statusnya adalah suatu

pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara

orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan,

pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut 73. Hutan

menurut statusnya pasca putusan judicial review Mahkamah Kontitusi

terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor :

35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan

negara, sehingga Hutan Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari

Hutan Negara74, harus dimaknai sebagai Hutan Hak.

Berdasarkan pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua)

jenis, yakni sebagai berikut :

1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak

dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya

73
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta,
2003, hlm. 43
74
http://ugm.ac.id, Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Hutan Adat, tanggal 21 Februari 2014.
dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri

(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya

diberikan pemerintah yang diserahkan pengelolaannya kepada

masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke person),

koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson).

Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk

kesejahteraan masyarakat desa disekitar kawasan hutan disebut

hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat berbentuk :

a. Hutan Taman Industri (HTI), ialah hutan negara yang dikelola

oleh badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi

kebutuhan suatu industri dan masyarakat.

b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan negara yang dikelola

oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha.

c. Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa

d. Hutan Kemasyarakatan (HKm), ialah hutan negara yang

pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan

masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan.

Berbagai bentuk pengelolaan hutan negara yang dilakukan

dengan berbagai program pengelolaan ataupun pemanaatan dengan

tujuan adalah untuk meningkatkan kualitas mutu kehidupan,

kesejahteraan masyarakat, memaksimalkan potensi sumber daya


alam, dengan partisipasi, pengelolaan, pemanfaatan demi kelestarian

hutan dan kesejahteran masyarakat.

2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan yang dibebani alas

hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara komunal/penguasaan

bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara personal

dapat dibedakan sebagai berikut ;

1. Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Pembedaan

perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan

pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan

negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat.

Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh

untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan dan hubungan-

hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap

hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang

yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam

cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan

wilayah) masyarakat hukum adat.

Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak

membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan

tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya.


Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu

ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam

cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti

dimaksud pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Hakim Mahkamah

Konstitusi M. Alim pada saat membacakan pertimbangan

hukumnya (putusan sidang Mahkamah Konstitusi RI Nomor :

35/PUU-X/2012).

2. Hutan hak/hutan milik adalah hutan yang berada pada tanah

yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ). Hutan yang berada

pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami maupun yang

tumbuh alami pada lahan hak/milik.

Berkaitan dengan hasil hutan yang bersal dari hutan

hak/milik, pengaturan pengusahaan hasil hutan atau

penatausahaan hasil hutan dari hutan hak diatur dalam ketentuan

tersendiri didalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik

Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan

Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Pembedaan pengaturan

atau penatausahaan hasil hutan tersebut bertujuan untuk

menjamin kepastian hukun antara hak masyarakat/milik (private)

dengan hak negara.

Fungsi Hutan
Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang

didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan

Lindung dan, (3) Hutan Produksi.

1. Hutan Konservasi

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang

mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya75. Hutan konservasi ini terdiri atas :

Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu,

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah

penyangga76. Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan cagar alam

dan suaka margasatwa77.

Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu

yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,

serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor

41 tentang Kehutanan, dinyatakan kawasan pelestarian alam ini terdiri

dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam

dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.

75
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
76
Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
77
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan

sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2. Hutan Lindung

Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan

untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah

sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan.

3. Hutan Produksi

Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai

fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan

menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)

Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan

Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan


umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,

religi dan budaya.

Hutan Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika


dan Resapan Air

Hutan jenis ini, disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu

sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika

dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3. Perlindungan Hutan

Kegiatan perlindunggan hutan atau usaha perlindungan hutan

merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar

kelestarian hutan dapat tetap terjaga. Dalam melakukan kegiatan

perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak

terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global (global

ecosystem). Rumusan perlindungan hutan menurut Pasal 47 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa perlidungan

hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh

perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta

penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan

perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi

serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Sedangkan dalam Deklarasi Rio de Jenairo Tahun 1992 telah ditetapkan

prinsip perlindungan lingkungan dalam skala global diantaranya :

In order to archeve sustainable develoement, enviromental


proptection shall constitue an integral part of the developement
proses and cannot be concidered in issolation prom it (article 4).
States shall coperate in a spirit of global patnership to conserve,
protect and restore the health and integrity of the earth ecosystem...
(article 7) States shall enacts efektife envioromental legislation,
envioromental standards, management objektifes and priorities
should reflect the envioromental and developmental context to
which they apply... (article 11).

Artikel (prinsip) 4 merumuskan bahwa perlindungan lingkungan harus

diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan tidak

dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. Dalam artikel 7 dirumuskan

tiap negara mempunyai tanggungjawab global untuk memelihara, melindungi

dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem bumi, dan dalam

artikel 11 dijelaskan bahwa tiap negara menetapkan pemberlakuan ketentuan

lingkungan secara efektif, standar (baku mutu) lingkungan, sasaran

manajemen dan standar lainnya yang mencerminkan konteks keseimbangan

antara pembangunan dan lingkunagan sesuai dengan kondisi setempat.


Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada ketentuan yang

terdapat dalam pasal 1 ayat 1 bahwa, Perlindungan Hutan adalah usaha

untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-

daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak

negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,

investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Menurut pendapat peneliti, pada intinya perlidungan hutan terdapat 3

(tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan

atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap

hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut

merupakan inti dari kegiatan atau upaya dalam penanggulangan pencegahan

dan pemberantasan perusakan hutan. Kegiatan perlindungan tersebut

dilakukan melalui; upaya persuasif dengan melakukan kegiatan pencegahan

dan kegiatan dilakukan dengan melakukann tindakan represif atau penindakan

dengan proses penegakan hukum (law enforcement proces).

4. Legalitas Hasil Hutan Kayu

Pada umumnya keabsahan hasil hutan kayu atau disebut dengan

legalitas hasil hutan mencakup permasalahan yang sangat luas, hal ini dapat

ditinjau dari dimulai proses perizinan, persiapan operasi areal, kegiatan

produksi, pengangkutan, penatausahaan, pengolahan, hingga pada


pemasaran. Legalitas hasil hutan kayu dapat dilihat dari keabsahan asal-usul

atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau

prosedur dari izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan,

dokumentasi pengangkutan dan administrasi. Proses pemasaran, perdagangan

atau pengangkutannya telah teruji memenuhi persyaratan dan telah terpenuhi

semua persyaratan baik dari unsur material dan formil dari dokumennya.

Sistem penatausahaan hasil hutan kayu dalam ketentuan Pasal 16

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan disebutkan bahwa "Setiap orang yang

melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang

merupakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)78, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan", pada ketentuan ini terdapat

sanksi, jika larangan tesebut dilanggar dengan sanksi pidana berupa pidana

penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 5 tahun, serta

dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta

rupiah), apabila perbuatan tersebut, yang melakukan kejahatan adalah badan

hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat

dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama

15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar)

dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar). Ketentuan

78
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang
merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.
(Pasal 1 angka 12 dan Pasal 1 angka 29 PP Nomor 6 tahun 2007).
sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau

orang yang memalsukan atau menggunakan SKSHH palsu79.

Penggunaan istilah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 atau

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bukan merupakan nama dokumen

tetapi merupakan terminologi umum (general term) yang di dalamnya terdiri

dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil

hutan. Dokumen legalitas atau dokumen keabsahan hasil hutan yang

digunakan dalam penguasaan ataupun pengangkutan hasil hutan baik yang

berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan

negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia 80.

Dokumen yang termasuk Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

adalah sebagai berikut:

a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB
401
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301
c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko
model DKA. 302
d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303
e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402
f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan.81

79
Pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
80
Permenhut RI Nomor : P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Alam dan Permenhut RI Nomor : P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
81
M. Hariyanto, Hukum Kehutanan, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/dokumen
legalitas pengangkutan hasil hutan kayu.html/2013/html, diakses pada tanggal 22 Februari 2015,
jam
20. 30 wita.
Dengan demikian, SKSHH merupakan dokumen milik negara

(Kementerian Kehutanan) yang berfungsi sebagai :

1. Sebagai bukti legalitas, pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil

hutan kayu.

2. Dapat digunakan untuk pengangkutan, penguasaan atau pemilikan selain

hasil hutan.

3. Menjadi dasar perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 82 dan Dana

Reboisasi (DR)83.

Sedangkan dokumen legalitas dalam penguasaan ataupun untuk

mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Peraturan

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang

Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak. Pada umumnya ketentuan yang

berkaitan dengan penguasaan atau keabsahan dari hak atau kepemilikan

berupa, sertifikat, girik, leter c dan dokumen kepemilikan lain yang sah. Hasil

hutan dari hutan hak dalam pengusaan atau pengangkutannya digunakan

dokumen legalitas yang disebut Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) 84,

pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan
82
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti
nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
83
Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Lihat
penjelasan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dana untuk
reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Jadi disini jelas pengenaan Dana
Reboisasi (DR) hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu dari hutan alam. Pengenaan Dana
Reboisasi (DR) tidak berlaku untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman dan hasil hutan bukan kayu,
seperti; rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, daun, tanaman obat-obatan, dan lain-lain.
84
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan
yang berasal dari hutan hak/rakyat atau dari tanah milik yang telah di bebani alas hak sesuai
P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak.
hak dengan SKAU beserta turunannya dalam bentuk dokumen NOTA

Angkutan, khusus untuk 23 jenis kayu diantaranya 85 dan NOTA angkutan

penggunaan sendiri tidak diperdagangkan hanya dipakai sendiri.

Menurut pendapat peneliti, penatausahaan hasil hutan kayu maupun

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada hutan negara dan penatausahaan kayu

pada hutan hak/milik, keabsahan atau legalitasnya dalam penguasaan

maupun dalam pengangkutan harus sesuai dengan ketentuan dan tatacara

sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen

keabsahan atau legalitas hasil hutan tersebut merupakan pengaturan atau

sarana atau control berupa pengawasan dan pengendalian dalam upaya

pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan, kerugian negara serta

untuk membedakan hak negara dan masyarakat terhadap hasil hutan.

Selain itu juga, dokumen perijinan dan legalitas hasil hutan yang ada

juga tentu memiliki potensi untuk disalahgunakan ataupun dijadikan sebagai

modus operandi timbulnya kejahatan baru. Penggunaan dokumen atau

adanya legalitas hasil hutan, perijinan penggunaan kawasan hutan dan

pemanfaatan hasil hutan sebagai pengawasan, namun hal demikaian tidak

terlepas dari bagaimana integritas dan moral serta budaya (culture) dari

aparatur pemerintah, para pelaku usaha dan masyarakat dalam pengusahaan

hasil hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

85
Dokumen NOTA Angkutan untuk 23 jenis diantaranya ; Rambutan, randu, sawit, sawo,
sukun, trembesi, waru, karet, jabon, sengon, petai, cempedak, dadap, duku, jambu, jengkol,
kelapa, kecapai, kenari, mangga, manggis, melinjo dan nangka.
Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna

yang terdapat dalam hutan, karena keunikan dan kelangkaannya dilakukan

upaya konservasi untuk mempertahankan jenis dilakukan perlindungan

terhadap tumbuhan dan satwa liar. Berkaitan dengan dokumen perizinan

legalitas atau keabsahan dan upaya perlindungannya, dalam hal pemindahan

atau pengangkutannya terdapat dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa

Liar (SATS) yang dilindungi, Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan

dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di

Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan

dokumen pengiriman atau pengangkutan 86, baik dokumen perizinan

penangkararan dan pengangkutan tumbuhan dan atau satwa liar.

Dokumen pengiriman atau pengangkutan, tumbuhan dan satwa untuk

dalam negeri menggunakan Surat Angkut Dalam Negeri (SAT-DN), sedangkan

untuk pengangkutan tumbuhan dan satwa keluar negeri menggunakan Surat

Angkut Luar Negeri (SAT-LN), karena tanpa menggunakan perijinan tersebut

dikatakan sebagai perbutan penyelundupan dan atau pencurian dan atau

percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya”.

86
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Berkaitan dengan ketentuan perijinan terhadap tumbuhan dan satwa

liar yang dilindungi baik oleh center of international trade on endanger

species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam

ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsenvasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 2008 tentang Pengankutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.

Ketentuan terkait legalitas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tidak

dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah

sebagai berikut: a) Pasal 42 ayat (1) “Pengiriman atau pengangkutan jenis

tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya

di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan

dokumen pengiriman atau pengangkutan” berikut Pasal 63 ayat (2)

“Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat

dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,- (dua

ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang

bersangkutan”; b) Pasal 64 ayat (2) “Pelanggaran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63,

sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun

yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan

sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara”.

Berdasarkan pada ketentuan peraturan yang berkaitan dengan

konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, menurut pendapat peneliti

dalam pengusaaan terhadap tumbuhan dan satwa liar harus pada kaedah-
kaedah konservasi, perlindungan dan perizinan. Perlindungan terhadap

tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi guna

menjaga keutuhan habitat dan ekosistemnya.

5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar

Berbagai macam perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan

perusakan huatan atau tindak pidana kehutanan, dilakukan dengan cara atau

modus operandi diantaranya adalah penebangan pohon tanpa izin atau

pembalakan liar, sering disebut dalam istilah asing sebagai (illegal logging),

perambahan dan kegiatan perusakan hutan lainya. Dalam ketentuan Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013, istilah pembalakan liar didefinisikan dalam

ketentuan pasal 1 ayat 4 bahwa pembalakan liar adalah semua kegiatan

pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Sementara itu, istilah perambahan hutan terdapat dalam Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan diundangkannya

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, sebagian ketentuan pidana dan saksi

dicabut, termasuk ketentuan sanksi pidana perambahan hutan berupa

mengerjakan atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah

sebagaimana diatur pasal 50 ayat 3 huruf a Undang-undang nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan di nyatakan tidak berlaku dan di cabut sesuai

ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang nomor 18 Tahun 2013, sehinga

penerapannya menjadi bertentangan dengan asas hukum pidana yang

menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada sanksi
pidananya ”nullum dillectum nullapoena legge ponalli” atau adanya

kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder

schuld).

Permaslahan norma tesebut di atas, tentu saja menimbulkan

kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum terhadap penanganan

penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan

kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Perambahan hutan dalam rumusan Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tetang P3H tidak ditemukan, rumusan perambahan yang kulifikasikan

dalam perbuatan terorganisasi.87 Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah

yang dimaksudkan sebagai kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam

kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin

Menteri88. Sedangkan istilah perusakan hutan dijelaskan dalam ketentuan

yang terdapat dalam pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa perusakan hutan

adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan

pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin

yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam

87
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang
terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu
dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. (Penjelasan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013).
88
Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H.
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang

sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.

Dalam perbuatan perusakan hutan, terdapat tipologi dalam

pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan

istilah cukong (penyokong dana) memiliki peranan penting dibalik kejahatan

pembalakan liar tersebut. Kegiatan pembalakan liar dilakukan dengan

merencanakan semua langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kayu

hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara

sah atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan

mencucinya, penyokong dana pertama-tama membayar sejumlah uang untuk

para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa

uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun

jasa lainya. Sebagai balasannya, penyokong dana memperoleh akses kepada

hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap

oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini

pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan

semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada

oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik

pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi kayu illegal kepada

pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau

pedagang kayu asing.

Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum

pejabat pemerintah dan penegak hukum digunakan untuk membeli barang-


barang konsumsi seperti televisi, sepeda motor dan mobil. Barang-barang

ini dikemudian hari dapat dijual untuk benar-benar mencuci harta hasil tindak

kejahatan di hutan. Sebagian uang korupsi akan digunakan untuk investasi

pada bisnis yang leggal, seperti transportasi, perumahan dan perdagangan,

sementara sebagian lainnya akan diinvestasikan kembali pada bisnis

pembalakan liar, seperti membangun pabrik industri pengolahan kayu illegal.

Sebagian harta hasil kejahatan juga akan dimasukkan ke Bank di kabupaten

ataupun Bank di luar negeri.

Setelah menerima kayu bulat yang sudah “dicuci”, pembeli kayu

memerintahkan Bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di Bank

yang sama atau mentransfer uang ke-rekening cukong di Bank lain. Rekening-

rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri; sehingga Bank asing

dapat terlibat dalam transaksi pembayaran pembelian kayu illegal. Untuk

benar-benar menyembunyikan jejak bisnis kayu illegal, cukong dapat

mengintegrasikan dana dari bisnis nonkayu legal ke dalam rekening bisnis

kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan, hotel dan bisnis

hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari

kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang, untuk

berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil

kejahatan non kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan

pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu.

Pemodal atau penyandang dana juga menjaga hubungan baik dengan

oknum pengambil keputusan dalam pemerintahan atau instansi terkait yang


menangani urusan kehutanan, termasuk aparat penegak hukum, militer dan

legislatif89. Pemodal atau cukong ini, biasanya melakukan transfer uang

pertemanan (goodwill) ke rekening Bank yang dimiliki oleh oknum pengambil

keputusan tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri.

Kegiatan seperti ini juga dilakukan dengan Bank lokal juga menerima simpanan

dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap

dari penyokong dana atau penyandang dana dari usaha bisnis kayu illegal.

Dibawah ini terdapat tabel skema modus operandi pembalakan liar atau

illegal logging yang dilakukan oleh penyandang dana atau cukong sebagai

berikut :

Gambar : Skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging


dilakukan oleh cukong atau penyandang dana90.

Pembeli kayu
Penebang liar

USS
Rp, barang, Pembeli non kayu
jasa
Cukong Rp
Pemimpin
USS
masyarakat
Rp Pengambil kebijakan
Pejabat Pejabat penegak
pemerintah hukum
Rp

Barang konsumen, bisnis legal


dan illegal,bank

Transaksi bank (non tunai)


Transaksi tunai (tunai)

89
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan
Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang
Berkelanjutan Pendekatan Anti Pencucian Uang, Center for International Forestry Research, Jakarta,
2005, hlm. 90
11.
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Op, cit., hlm. 12
Pada seminar dan rapat koodinasi (RAKOR) Perlindungan dan

Pengamanan Hutan, di identifikasi/ditemukan dan dikemukakan berbagai

permasalahan dan berbagai macam cara atau modus operandi dan tiplogi

pembalakan liar dari tindak pidana kehutanan. Kegiatan tesebut dilakukan

berbagai permaslahan yang kompleks dalam penaggulangan tindak pidana

kehutanan atau berkaitan dengan permasalahan perbutan perusakan hutan,

diataranya adalah sebagai berikut 91


:

a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara
menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam
industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT).
b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam
bentuk menjadi produk jadi (meubel).
c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari
hutan negara .
d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin
industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat
Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU).
e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari
Penggunaan Kawasan Hutan.
f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non
kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya.
g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan
sertifikasi dalam kawasan hutan.
h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan
i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan
tanpa ijin yang sah.
j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi.
k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur.
l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi
perbuatan perusakan hutan.
m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan.

Berdasarkan pada uraian permaslahan tersebut di atas, terjadinya


91
Makalah bahan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan
di NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram, 2015.
kerusakan hutan disebabkan karena dari berbagai cara modus operandi dan

berbagai tipologi pembalakan liar. Perbuatan atau tindak pidana perusakan

hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga

disebabkan adanya kelemahan-kelemahan pada norma hukum yang ada dan

aparat penegak hukum dan budaya masyarakat. Dalam upaya

penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan diperlukan

penanganan yang dilakukan dengan upaya yang luar biasa dan terpadu

secara terukur, sturuktur dan kelembagaan yang terintegrasi.

6. Perbuatan Perusakan Hutan

Perbuatan perusakan hutan merupakan suatu perbuatan yang

dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan dalam ketentuan Pasal 1 ayat

3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, didefinisikan bahwa perusakan hutan

adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan

pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan

izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam

kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang

sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.

Sedangkan pembalakan liar 92


dalam pasal 1 ayat 4 adalah semua

kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah

92
Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang P3H.
kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk

perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Selanjutnya di

dalam pasal 1 ayat 6 kegiatan terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan

oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 2 (dua) orang atau

lebih dan bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan

melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang

tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan

tradisional atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan

tidak untuk tujuan komersial.

B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA

Kebijakan formulasi hukum pidana didasarkan pada ketentuan-

ketentuan dalam konsideran yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-

undangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam

menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang

secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang

kemudian ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan hukum

pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak

pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber daya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga

kehidupan harus dijaga kelestariannya dengan dilakukan pengelolaan,

perlindungan dan pemanfaatanya secara baik berkelanjutan. Sebagaimana

terdapat dalam landasan konstitusional pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat” .

Kawasan hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang

terbuka, sehingga akses bagi masyarakat untuk masuk dan memanfaatkannya

sangat besar dan dapat memicu permasalahan dalam pengelolaannya.

Kegiatan perusakan hutan berupa, aktifitas penebangan liar, penggunaan

kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil

dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah

kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana kehutanan atau dikenal

dengan istilah illegal logging.

Beberapa hasil temuan modus yang biasa dilakukan dalam

penebangan liar adalah pengusaha melakukan penebangan dibekas areal

lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta pelaku

usaha melakukan manipulasi terhadap isi dokumen SKSHH ataupun dengan

membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek

penebangan liar. Praktek penebangan liar yang terjadi disebabkan karena

adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana

dilapangan dan pemodal atau cukong yang akan membeli kayu-kayu hasil

tebangan tersebut, adakalanya tidak hanya menampung dan membeli kayu-

kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya

kepada masyarakat untuk kebutuhan penebangan ataupun pengangkutan.

Penanggulangan terhadap maraknya tindak pidana kehutanan,

dilakukanlah reformulasi kebijakan hukum pidana, dari jajaran aparat penegak


hukum dari penyidik Polri maupun penyidik PPNS Kehutanan sesuai lingkup

tugasnya yang bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan

maupun pengadilan/hakim, yang sebelumnya mempergunakan Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan sarana

menjadi instrumen hukum dalam menanggulangi pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana kehutanan. Dalam Undang-undang tersebut

tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging yang dimaksud dengan

illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Penebangan Kayu illegal ( Illegal Logging) dan Peredaran Hasil

hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung

Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah.

Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo93, illegal logging merupakan

penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-

undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau

hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari

jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

93
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam
kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum
Lingkungan yang diselenggarakan, oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2003.
Penegakan hukum pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, setelah

diberlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang

berwenang, hal tersebut dikenakan ancaman pidana sebagaimana tercantum

dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78

mengatur sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat

dibandingkan dengan dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Dalam Ketentuan penjelasan pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi,

badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan

lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana

terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama sanksi

pidananya.

Dalam rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang sebelumnya baik,

dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masih banyak kelemahan sehingga

tidak mampu atau tidak efektif untuk mengakomodir tindakan kebaharuan

perusakan hutan dan memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau

badan hukum berupa korporasi dengan permasalahan tersebut

diundangkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan


dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai solusi untuk melakukan

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan dengan kebijakan

formulasi hukum pidana yang lebih ketat dan tegas.

Adanya berbagai kasus diberbagai daerah dimana seseorang karena

sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil membawa dan

memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang

dikenakan tindak pidana kehutanan, apabila dikaitkan dengan tujuan

pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan

penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan

masyarakat (social deffence) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan

masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukuplah mereka yang

karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi atau perut diancam dengan

hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu

hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam mengantisipasi tindak pidana kehutanan, menjadi sangat

penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan

legislatif atau formulatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan

yang dianggap sebagai tindak pidana perusakan hutan, syarat apa saja yang

harus dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan bagi

seseorang melakukan perbuatan perusakan hutan dan sanksi atau pidana apa

yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan

legislatif tersebut oleh badan yudikatif.


1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana

Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada

kerusakan hutan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan

ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang

yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena

sebelum menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan

dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau

bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak

perbuatan pidananya.

Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan

pada asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana) dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak

ada aturan pidananya”, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan

menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas

kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana

jika tidak ada kesalahan”, disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan

istilah bahasa Belanda “geen straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne

schuld” dalam bahasa Jerman.

Asas legalitas yang berkaitan dengan tindak pidana atau aturan

pidana sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat

pidana atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, termasuk juga

hukum pidana berkaitan dengan prosedur dan sitem pemidanaan. Dalam


kasus tindak pidana kehutanan terdapat kriteria yang dapat menunjukan

hukum pidana khusus itu, yaitu pertama adalah menyangkut dengan

orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya

yang khusus (bijzonder lijk feiten).

Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah

subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang

hanya untuk golongan militer, kedua hukum pidana yang perbuatannya

yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus

dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik

fiskal. Perbuatan yang merupakan tindak pidana kehutan merupakan

tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang

perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik atau tindak pidana yang

terkait dengan penggunaan kawasan hutan, pengelolaan hasil hutan kayu

dan peredaran hasil hutan serta investasi yang ada terdapat di dalamnya.

a. Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang terkait Tindak


Pidana Kehutanan

Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang

dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung

dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang

Undang Hukum Pidana (KUHP)94. Perbuatan pidana pada Buku II KUHP

tentang Kejahatan, berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana


94
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara

umum sebagai berikut :

1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412 KUHP)

Perbutan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406

sampai Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana perusakan

hutan atau dalam tindak pidana kehutanan, berkaitan dengan

pengerusakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa “setiap orang

dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau

merusak, memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan

hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang

berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk

dan atau luasan kawasan hutan”.

Dari ketentuan tersebut konsep pemikiran tentang pengerusakan

yang terdapat dalam KUHP tersebut di atas, pengerusakan dalam sistem

pengelolaan hutan yang mengandung fungsi perlindungan dan

pengawasan terhadap kawasan hutan untuk tetap menjamin keutuhan

kawasan dan kelestarian fungsi hutan yang berdaya guna bagi

kehidupan.

Umumnya tindak pidana kehutanan hakekatnya merupakan

kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak

memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar

dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah
berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan

terhadap hasil hutan, contohnya pemanfaatan hasil hutan yang diberikan

izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi

over atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki termasuk

penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang

menyalahi prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian

secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan

ekosistemnya tersebut.

2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP)

Kegiatan penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut

dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan pidana pencurian

dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah

untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk

dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan “barang siapa mengmabil

barang sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki

secara melawan hukum dapat dipidana”, perbuatan tersebut dalam

ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal

12 huruf a, b dan c, “menebang pohon dalam kawasan hutan tidak

sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah.

Dalam ketentuan perundangan yang mangatur tentang hak dan

kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan kayu, yang

bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan


berarti kegiatan kegiatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan

melawan hukum atau bertentangan dengan hukum baik yang dilakukan

dengan adanya unsur kesengajaan ataupun dengan unsur kelalaian.

Perbuatan perusakan hutan yang dilakukan berupa penebangan kayu di

dalam areal kawasan hutan atau penebangan dalam kawasan hutan yang

bukan menjadi haknya menurut hukum. 95 Perbutan demikian merupakan

mengambil suatu yang bertentangan dengan hukum atau pencurian

karena bukan menjadi haknya yang seharusnya menjadi hak negara.

3. Penyelundupan Pasal 121 KUHP

Perbuatan penyelundupan hingga saat ini, belum ada peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang

penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang

merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur

tentang penyelundupan. Kegiatan selama ini berkaitan dengan

penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak pidana

pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak

mengambil barang milik orang lain.

Berdasarkan pada pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha

penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah

atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat

dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penyelundupan hasil

hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan

95
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003), hlm.19
sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf e,

f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan

dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau

dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak

sesuai dengan dokumen terhadap penguasaan hasil hutan. ketentuan

penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan,

diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan pada

Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana

perkebunan dalam kawasan hutan dan Pasal 17 ayat 2 huruf a, b, c, d,

e, Pasal 19 huruf f “mengubah status kayu hasil pembalakan liar

dan/atau hasil penggunaan kawasan huttan secara tidak sah. Pada

umumnya ketentuan pasal tersebut terdapat kesamaan unsu-unsur

pencurian atau penggelapan yang terdapat dalam KUHP.

4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan

Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya

atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti

aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal,

suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai

sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana. Ancaman


pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah

pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.

Dalam praktek tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana

dibidang kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan

oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah dengan melakukan

pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan

tanda tangan, pembuatan stempel palsu, atau keterangan Palsu dalam

SKSHH, artinya tidak terdapat kesesuaian yang terdapat dalam dokumen

SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap

penggunaan kawasan hutan terlebih lagi terhadap hasil hutan kayu.

Perbuatan pidana Pemalsuan dalam KUHP direformulasikan

kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam

ketentuan Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin

pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan,

menggunakan izin palsu dan/atau memindahtangankan atau menjual izin

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan

persetujuan Menteri.

5. Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP)

Unsur-unsur penggelapan dalam tindak pidana dibidang kehutanan

atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di

luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota

yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang


habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,

pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan Sahnya Hasil

Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya,

penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus

dalam ketetuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

6. Penadahan (Pasal 480 KUHP)

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) penadahan

yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan

persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan

dalam bahasa asingnya “heling “ (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih

lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo96 sebagai berikut :

“Bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau


menyewa barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari
kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan
barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan”.

Ancaman pidana dalam Pasal 480 KUHP itu adalah paling lama 4

tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- (sembilan ratus

rupiah), modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu

illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu

hasil pembalakan liar illegal logging yang nyata-nyata diketahui oleh

pelaku baik penjual maupun pembeli.

96
Ibid, hlm. 260.
Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan

jahat dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun

2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di

persamakan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d,

f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, menyuruh,

mengorganisasi atau menggerakkan penebangan liar dan/atau

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan

jahat, mendanai, mengubah status pembalakan liar dan/atau

penggunaan kawasan hutan, bahkan pesekongkolan dalam

menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menitipkan

dan/atau menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan

lainnya dan/atau menyembunyikan atau menyamarkan yang

diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari pembalakan liar

dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

b. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang


dibidang Kehutanan

Dalam rangka untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan atau

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perusakan hutan, terdapat

berapa peraturan perudang-undangan yang mengatur ketentuan pidana

kaitannya dengan perlindungan hutan, penggunaan kawasan hutan,

pemanfatan hasil hutan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan

eksistemnya.
Peraturan perundang-undangan atau Undang-undang yang ada

dibidang kehutanan sampai saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di

dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan

Undang-undang ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan

dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara,

pidana kurungan dan pidana denda.

Perbutan pidana atau tindak pidana dalam undang-undang ini,

ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 dan sistem

pemidanaan atau ketentuan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3

dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan unsur-unsur perbuatan

pidana lainya diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi

pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE.

Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan

unsur kesengajaan atau disebabkan karena adanya kelalaian,

mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan hutan dan

ekosistemnya. Pertama pada ketentuan di dalam Undang-undang Nomor


5 Tahun 1990 tetang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, hanya khusus pada kawasan suaka alam, taman nasional,

taman hutan raya dan taman wisata alam. Kedua perbuatan yang

dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian

mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,

mengangkut, memperniagakan, dan menyelundupkan hasil hutan.

Ketentuan khusus berkaitan dengan hasil hutan berupa tumbuhan dan

satwa liar yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam

kepunahan diatur lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Penanggulangan tindak pidana kehutanan atau perbuatan

perusakan hutan, selama ini telah dilakukan dengan instrumen hukum

pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan telah diubah peraturan pemerintah pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-

undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, belum berjalan

secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal dalam

penanganan serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.

Belum oftimalnya penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau

perusakan hutan adalah salah satunya disebabkan oleh peraturan


perundang-undangan yang ada sebelumnya, belum secara tegas sanksi

pidana bagi pelakau tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan

secara terorganisasi atau yang dilakukan oleh badan hukum atau

korporasi.

Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,

merupakan payung hukum dalam bentuk undang-undang merupakan

landasan hukum dasar agar kejahatan perusakan hutan terorganisasi

dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera

kepada pelakunya baik, yang dilakukan oleh orang perseorangan, badan

hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah yang tidak menjalankan

tugas sesuai dengan kewenangannya.

Kegiatan penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan

dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada

ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai dengan huruf m dan

ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian

besar dicabut dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan

bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g,

huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai

ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai

ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat
(6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, berdampak pada

penangan terhadap perkara-perkara tindak pidana kehutanan atau

perbuatan perusakan hutan. Penanganan tindak pidana kehutanan

beralih dan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, terkeculi pada ketentuan pasal-pasal

yang tidak dicabut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang


Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan

Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, bahwa perbuatan

perusakan seperti; pembalakan liar (illegal logging), pertambangan

tanpa izin dalam kawasan hutan, perkebunan tanpa izin, penggunaan

ataupun pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan tanpa izin.

Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara, baik kerugian materil

dan inmateril berupa kerusakan lingkungan, terjadinya banjir, longsor

yang berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi serta

meningkatkan
pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat

nasional, regional, dan internasional.

Perbuatan perusakan hutan tersebut telah menjelma menjadi

suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif,

terorganisir, melintasi batas-batas wilayah dan lintas negara. Kejahatan

ini dilakukan dengan berbagai modus operandi, dengan kebaharuan

modus yang canggih sesuai perkembangan teknologi informasi, sarana

dan prasarana. Kejahatan ini tentu mengancam keberlangsungan

kehidupan mahluk hidup, sumber daya alam hayati beserta

ekosistemnya, kehidupan bermasyarakat dan bangsa. Dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan

pemberian efek jera bagi pelaku, diperlukan landasan hukum yang kuat

dan mampu menjamin efektivitas pencegahan dan penegakan hukum.

Kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak

pidana kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasa

Perusakan Hutan di dalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-

jenis tindak pidana kehutanan, ketentuan undang-undang ini juga diatur

subjek hukum pertanggungjawaban hukum pidana, terhadap tindak

pidana kehutanan adalah orang/manusia alamiah (naturlijke person) dan

badan hukum atau korporasi (rechtsperson), serta pejabat pemerintah

yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya.


Dalam penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, sering kali terjadi disvaritas pidana dan dirasakan

tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karena itu Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, dianut sistem pemidanaan dengan sanksi pidana

minimum khusus dan maksimum khusus. Dalam undang-undang Nomor

18 Tahun 2013, diatur jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang,

subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau

sanksi. Pengaturan sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh

orang perseorangan dengan orang perseorangan yang bertempat tinggal

di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi atau badan

hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang

menyeluruh dari sitsem pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel : Formulasi Tindak Pidana Kehutanan


Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

No. Jenis Tindak Pidana Kesalahan Sanksi Pidana

1. Pasal 82 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan ; 1 tahun dan paling lama 5
a. melakukan penebangan tahun serta pidana denda
pohon dalam kawasan paling sedikit Rp.
hutan tidak sesuai izin. 500.000.000,-
(Pasal 12 huruf a). (lima ratus juta rupiah) dan
b. melakukan penebang paling banyak Rp.
pohon dalam kawasan 2.500.000.000,- (dua miliar
hutan tanpa memiliki izin lima ratus juta rupiah).
dari pejabat yang
berwenang. (Pasal 12
huruf b ).
c. melakukan penebang
pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah
(Pasal 12 huruf c ).

ayat (2) Orang perseorangan Pidana penjara paling singkat


bertempat tinggal di dalam 3 bulan dan paling lama 2
dan/atau sekitar kawasan tahun dan/atau pidana denda
hutan paling sedikit Rp.500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah).

2. Pasal 83 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


Perseorangan ; 1 tahun dan paling lama 5
a. memuat, membongkar, tahun serta pidana denda
mengeluarkan, paling sedikit Rp.500.000.000,-
mengangkut, menguasai, (lima ratus juta rupiah) dan
dan/atau memiliki hasil paling banyak
penebangan di kawasan Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
hutan tanpa izin. (Pasal lima ratus juta rupiah).
12 huruf d )
b. mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama
surat keterangan sahnya
hasil hutan. (Pasal 12
huruf e)
c. memanfaatkan hasil
hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil
pembalakan liar. (Pasal 12
huryf h ). Kelalaian Pidana penjara paling singkat
8 bulan dan paling lama 3
ayat 2 orang perseorangan tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,-
sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

Pidana penjara paling singkat


3 bulan dan paling lama 2
ayat 3 orang perseorangan
tahun dan/atau pidana denda
bertempat tinggal di dalam
paling sedikit Rp.500.000,- dan
dan/atau sekitar kawasan
hutan, melakukan pada ayat
(1) c) dan ayat (2) c )
paling banyak
Rp.500.000.000,-

ayat 4 Korporasi;
Pidana denda paling sedikit
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

3. Pasal 84 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan membawa alat- 1 tahun dan paling lama 5
alat yang lazim digunakan tahun serta pidana denda
untuk menebang, memotong, paling sedikit Rp.250.000.000,-
atau membelah pohon di (dua ratus lima puluh juta
dalam kawasan hutan tanpa rupiah) dan paling banyak
izin pejabat yang berwenang. Rp.5.000.000.000,- (lima
(Pasal 12 huruf f ) miliar rupiah).

Pasal 84 ayat (2) Orang


Kelalaian Pidana penjara paling singkat
perseorangan membawa alat-
8 bulan dan paling lama 2
alat yang lazim digunakan
(dua) tahun serta pidana
untuk menebang, memotong,
denda paling sedikit
atau membelah pohon di
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta
dalam kawasan hutan tanpa
rupiah) dan paling banyak
izin pejabat yang berwenang.
Rp.1.000.000.000,- (satu
(Pasal 12 huruf f ) miliar rupiah).
Pasal 84 ayat 3 Orang Pidana penjara paling singkat
perseorangan bertempat 3 bulan serta paling lama 2
tinggal di dalam dan/atau tahun dan/atau pidana denda
disekitar kawasan, pada ayat paling sedikit Rp.500.000-,
(1) dan ayat (2) (lima ratus ribu rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah)

Pasal 84 ayat 4 Korporasi Pidana denda paling sedikit


membawa alat-alat yang Rp. 2.000.000.000-, (dua
lazim digunakan untuk miliar rupiah) dan paling
menebang, memotong, atau banyak
membelah pohon di dalam Rp.15.000.000.000,- (lima
kawasan hutan tanpa izin belas miliar rupiah).
pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )

4. Pasal 85 ayat 1 Orang Kesegajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan membawa alat- 2 tahun dan paling lama 10
alat berat dan/atau alat-alat tahun dan pidana denda paling
lainnya yang lazim atau patut sedikit
diduga akan digunakan untuk Rp.2.000.000.000,- (dua miliar
mengangkut hasil hutan di rupiah) dan paling banyak
dalam kawasan hutan tanpa Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
izin pejabat yang berwenang. miliar rupiah).
(Pasal 12 huruf g ).

Pasal 85 ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


yang membawa alat-alat Rp. 5.000.000.000,- (lima
berat dan/atau alat-alat miliar rupiah) dan paling
lainnya yang lazim atau patut banyak Rp.15.000.000.000,-
diduga akan digunakan untuk (lima belas miliar rupiah).
mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
(Pasal huruf 12 g ).

5. Pasal 86 ayat 1 Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perorangan ; 1 tahun dan paling lama 5
a. mengedarkan kayu tahun serta pidana denda
hasil pembalakan liar paling sedikit Rp.500.000.000,-
melalui darat, perairan, (lima ratus juta rupiah) dan
atau udara. paling banyak Rp.
(Pasal 12 huruf i ). 2.500.000.000,- (dua miliar
b. menyelundupkan kayu lima ratus juta rupiah).
yang berasal dari atau
masuk ke wilayah
Negara Kesatuan
Republik Indonesia
melalui sungai, darat,
laut, atau udara. (Pasal
12 huruf j ).

Pasal 86 ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

6. Pasal 87 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan ; 1 (satu) tahun dan paling lama
a. menerima, membeli, 5 (lima) tahun dan pidana
menjual, menerima tukar, denda paling sedikit
menerima titipan, dan/atau Rp.500.000.000,-
memiliki hasil hutan yang (lima ratus juta rupiah) dan
diketahui berasal dari paling banyak
pembalakan liar. (Pasal 12 Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
k ). lima ratus juta
b. membeli, memasarkan, rupiah).
dan/atau mengolah hasil
hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut
secara tidak sah. (Pasal 12
huruf l ).
c. menerima, menjual,
menerima tukar,
menerima
titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil
hutan kayu yang berasal
dari
kawasan hutan yang
diambil atau dipungut
secara tidak sah. (Pasal 12
m)

Pasal 87 ayat (2) Orang Kelalaian Pidana penjara paling singkat


perseorangan 8 bulan dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

Pasal 87 ayat 3 Orang Pidana penjara paling singkat


perorangan yang bertempat 3 bulan dan paling lama 2
tinggal di dalam dan/atau tahun dan/atau pidana denda
disekitar kawasan hutan, paling sedikit Rp.500.000,00
melakukan pada ayat (1) dan (lima ratus ribu rupiah) dan
ayat (2) paling
banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 87 ayat (4) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

7. Pasal 88 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan ; 1 tahun dan paling lama 5
a. melakukan tahun serta pidana denda
pengangkutan kayu hasil paling sedikit Rp.500.000.000,-
hutan tanpa memiliki (lima ratus juta rupiah) dan
dokumen yang paling banyak
merupakan surat Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
keterangan sahnya hasil lima ratus juta rupiah).
hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan.
(Pasal 16)
b. memalsukan surat
keterangan sahnya
hasil hutan kayu
dan/atau menggunakan
surat keterangan
sahnya hasil hutan kayu
yang palsu. (Pasal 14 )
c. melakukan
penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu
yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang.
(Pasal 15 )

Pasal 88 ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

7. Pasal 89 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


Perseorangan : 3 tahun dan paling lama 15
a. melakukan kegiatan tahun serta pidana denda
penambangan di dalam paling sedikit
kawasan hutan tanpa Rp.1.500.000.000,- (satu
izin Menteri. (Pasal 17 miliar lima ratus juta rupiah)
ayat dan paling banyak
(1) huruf b) dan/atau Rp.10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah).
b. membawa alat-alat berat
dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut
diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang
di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (1) huruf a).

Ayat (2) Korporasi ; Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah)
dan paling banyak
Rp.50.000.000.000,- (lima
puluh miliar rupiah).


8. Pasal 90 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan mengangkut 3 tahun dan paling lama 10
dan/atau menerima titipan tahun serta pidana denda
hasil tambang yang berasal paling sedikit
dari kegiatan penambangan Rp.1.500.000.000,- (satu
di dalam kawasan hutan miliar lima ratus juta rupiah)
tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) dan paling banyak
huruf c). Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit
Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah).

9. Pasal 91 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat


perseorangan : 3 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
a. menjual, menguasai,
paling sedikit
memiliki, dan/atau
Rp.1.500.000.000,- (satu
enyimpan hasil tambang
miliar lima ratus juta rupiah)
yang berasal dari kegiatan
dan paling banyak
penambangan di dalam
Rp.5.000.000.000,- (lima
kawasan hutan tanpa izin.
miliar rupiah).
(Pasal 17 ayat (1) huruf d)
dan/atau
b. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
tambang dari kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
(Pasal 17 ayat (1) huruf
e).

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

10. Pasal 92 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan; 3 tahun dan paling lama 10
a. melakukan kegiatan tahun serta pidana denda
perkebunan tanpa izin paling sedikit
Menteri di dalam kawasan Rp.1.500.000.000,- (satu
hutan. (Pasal 17 ayat (2) miliar lima ratus juta rupiah)
huruf b ) dan/atau dan paling banyak
b. membawa alat-alat berat Rp5.000.000.000,- (lima miliar
dan/atau alat-alat lainnya rupiah).
yang lazim atau patut
diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun
di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (2) huruf a).

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000.000,-
(lima puluh miliar rupiah).

11. Pasal 93 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan ; 3 tahun dan paling lama 10
a. mengangkut dan/atau tahun serta pidana denda
menerima titipan hasil paling sedikit
perkebunan yang berasal Rp.1.500.000.000,- (satu
dari kegiatan miliar lima ratus juta rupiah)
perkebunan di dalam dan paling banyak
kawasan hutan tanpa Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
izin. (Pasal 17 ayat rupiah).
(2) huruf c).
b. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau
menyimpan hasil
perkebunan yang berasal
dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa
izin. (Pasal 17 ayat
(2) huruf d ) dan/atau
c. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan
yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf e).

ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

12. Pasal 94 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan ; 8 tahun dan paling lama 15
a. menyuruh, tahun serta pidana denda
mengorganisasi, atau paling sedikit
menggerakkan Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
membalakan liar dan/atau miliar rupiah) dan paling
penggunaan kawasan banyak Rp.100.000.000.000,-
hutan secara tidak sah. (seratus miliar rupiah).
(Pasal 19 huruf a).
b. melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan
embalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf c ).
c. mendanai pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah secara langsung
atau tidak langsung.
(Pasal 19 huruf d )
dan/atau
d. mengubah status kayu
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah,
seolah-olah menjadi kayu
yang sah atau hasil
penggunaan kawasan
hutan yang sah untuk
dijual kepada pihak ketiga,
baik di dalam maupun di
luar negeri. (Pasal 19
huruf f ).

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah).

12. Pasal 95 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 8 tahun dan paling lama 15
a. memanfaatkan kayu hasil tahun serta pidana denda
pembalakan liar dengan paling sedikit
mengubah bentuk, ukuran, Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
termasuk pemanfaatan miliar rupiah) dan paling
limbahnya. (Pasal 19 huruf banyak Rp.100.000.000.000,-
g ). (seratus miliar rupiah).
b. menempatkan,
mentransfer,
membayarkan,
membelanjakan,
menghibahkan,
menyumbangkan,
menitipkan, membawa
keluar negeri dan/atau
menukarkan uang atau
surat berharga lainnya
serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya
atau patut diduga
merupakan hasil
pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf h)
dan/atau
c. menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul
harta yang diketahui atau
patut diduga berasal dari
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah
sehingga seolah- olah
menjadi harta kekayaan
yang sah. (Pasal 19 huruf i
).

ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat


2 tahun dan paling lama 5
serta pidana denda paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah).

13. Pasal 96 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 1 tahun dan paling lama 5
a. memalsukan surat izin tahun serta pidana denda
pemanfaatan hasil hutan paling sedikit Rp500.000.000,-
kayu dan/atau (lima ratus juta rupiah) dan
penggunaan kawasan paling banyak
hutan. (Pasal 24huruf a). Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
b. menggunakan surat izin lima ratus juta rupiah).
palsu pemanfaatan
hasil hutan kayu
dan/atau penggunaan
kawasan
hutan. (Pasal 24 huruf b)
dan/atau
c. memindahtangankan atau
menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang kecuali
dengan persetujuan
Menteri (Pasal 24 huruf c)

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,-(lima
belas miliar rupiah).

14. Pasal 97 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 1 tahun dan paling lama 3
a. merusak sarana dan tahun serta pidana denda
prasarana pelindungan paling sedikit Rp.200.000.000,-
hutan (Pasal 25 ) dan/atau (dua ratus juta rupiah) dan
b. merusak, memindahkan, paling banyak
atau menghilangkan pal Rp1.500.000.000,- (satu
batas luar kawasan hutan, miliar lima ratus juta rupiah).
batas fungsi kawasan
hutan, atau batas
kawasan hutan yang
berimpit dengan batas
negara yang
mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan
kawasan hutan. (Pasal 26)

ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 2
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.4.000.000.000,- (empat
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).
15. Pasal 98 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan turut 1 tahun dan paling lama 3
serta melakukan atau tahun serta pidana denda
membantu terjadinya paling
pembalakan liar dan/atau sedikit Rp.500.000.000,- (lima
penggunaan kawasan ratus juta rupiah) dan paling
hutan secara tidak sah. banyak Rp.1.500.000.000,-
(Pasal 19 huruf b) (satu miliar lima ratus juta
rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 2
tahun
serta pidana denda paling
sedikit Rp.200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

16. Pasal 99 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan menggunakan 8 tahun dan paling lama 15
dana yang diduga berasal tahun serta pidana denda
dari hasil pembalakan liar paling sedikit
dan/atau penggunaan Rp.10.000.000.000,-(sepuluh
kawasan hutan secara tidak miliar rupiah)
sah. (Pasal 19 huruf e) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah).
17. Pasal 100 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan mencegah, 1 tahun dan paling lama 10
merintangi, dan/atau tahun dan pidana denda paling
menggagalkan secara sedikit Rp.500.000.000,- (lima
langsung maupun tidak ratus juta rupiah) dan paling
langsung upaya banyak Rp.5.000.000.000,-
pemberantasan pembalakan (lima miliar rupiah).
liar dan penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 20).

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

18.
Pasal 101 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan memanfaatkan 1 tahun dan paling lama 3
kayu hasil pembalakan liar tahun serta pidana denda
dan/atau penggunaan paling sedikit Rp.200.000.000,-
kawasan hutan secara tidak (dua ratus juta rupiah) dan
sah yang berasal dari hutan paling banyak
konservasi. Rp.1.500.000.000,- (satu
(Pasal 21) miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan Pidana penjara paling singkat


yang bertempat tinggal di 3 bulan serta paling lama 1
dalam dan/atau disekitar tahun dan/atau pidana denda
kawasan hutan paling
sedikit Rp.500.000,- (lima
ratus ribu rupiah) paling
banyak Rp500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

19.
Pasal 102 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan menghalang- 1 tahun dan paling lama 10
halangi dan/atau tahun serta pidana denda
menggagalkan paling sedikit Rp.500.000.000,-
penyelidikan, penyidikan, (lima ratus juta rupiah) dan
penuntutan, atau paling banyak
pemeriksaan di sidang Rp.5.000.000.000,00
pengadilan tindak pidana (lima miliar rupiah).
pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah. (Pasal 22)

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).

20. Pasal 103 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan melakukan 1 tahun dan paling lama 10
intimidasi dan/atau ancaman tahun serta pidana denda
terhadap keselamatan paling sedikit Rp.500.000.000,-
petugas yang melakukan (lima ratus juta rupiah) dan
pencegahan dan
paling banyak
pemberantasan pembalakan
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
liar dan penggunaan kawasan
rupiah).
hutan secara tidak
sah. (Pasal 23)

ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah).

21. Pasal 104 Setiap Pejabat Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
yang melakukan pembiaran 6 bulan dan paling lama 15
terjadinya perbuatan tahun serta pidana denda
pembalakan liar sebagaimana paling sedikit
dimaksud dalam Pasal 12 Rp.1.000.000.000,- (satu
sampai dengan Pasal 17 dan miliar rupiah) dan paling
Pasal 19, tetapi tidak banyak Rp.7.500.000.000,-
menjalankan tindakan (tujuh miliar lima ratus juta
sebagaimana dimaksud rupiah).
dalam Pasal 27.

22. Pasal 105 Setiap pejabat Pidana penjara paling singkat


yang ; 1 tahun dan paling lama 10
a. menerbitkan izin tahun serta pidana denda
pemanfaatan hasil hutan paling sedikit
kayu dan/atau Rp.1.000.000.000,- (satu
penggunaan kawasan miliar rupiah) dan paling
hutan di dalam kawasan banyak Rp.10.000.000.000,00
hutan yang tidak sesuai (sepuluh miliar rupiah).
dengan kewenangannya.
(Pasal 28 huruf a).
b. menerbitkan izin
pemanfaatan hasil hutan
kayu dan/atau izin
penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan. (Pasal 28 huruf
b).
c. melindungi pelaku
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah
(Pasal 28 huruf c)
d. ikut serta atau
membantu kegiatan
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 28 huruf d).
e. melakukan permufakatan
untuk terjadinya
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 28 huruf e).
f. menerbitkan surat
keterangan sahnya hasil
hutan tanpa hak. (Pasal
28 huruf f) dan/atau
g. dengan sengaja melakukan
pembiaran dalam
melaksanakan tugas
sehingga terjadi tindak
pidana pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah. (Pasal 28 huruf
g)

Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan

Formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun

22013, sebagaimana pada tabel di atas, dalam Undang-undang ini juga diatur

berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak

menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana Pasal 104, dan setiap


pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki

kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana

dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan

pidana tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman

sanksi pidana penjara minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau

denda.

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur

pertanggungjawaban pidana adalah subjek hukum adalah korporasi atau

badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan

dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109

ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah

pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain

itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau

sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran

sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan

hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan

pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin.

Dalam penelitian hukum ini peneliti menemukan dalam Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat adanya permasalahan norma hukum,

permasalahan norma hukum di dalamnya berkaitan dengan adanya

kekosongan hukum (blank of norm), adanya kekaburan norma hukum (vage

of norm) dan permasalahan konflik norma hukum (conflict of norm).

Permasalahan norma hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut :


1. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 dinyatakan bahwa ”Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah

adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan

untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri”.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 5 tersebut di atas, bahwa

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, hanya untuk perkebunan

dan/atau pertambangan. Sedangkan untuk kegiatan perambahan

/pengerjaan/pendudukan kawasan hutan sebagaimana Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, jo. Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kawasan Hutan,

sebagian penggunaan kawasan hutan tidak termasuk dalam unsur-unsur

tindak pidana/delik pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013, disisi lain tindak pidana atau delik pidana ”mengerjakan

dan/atau menggunakan dan/atau menggunakan kawasan hutan secara

tidak sah” sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan tidak

berlaku dan dicabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013, dalam hal kondisi demikian seperti tersebut di

atas, tentu saja menimbulkan kekosongan norma hukum dan

ketidakpastian hukum sehingga akan berdampak terhadap penanganan

pencegahan dan penindakan terhadap permasalahan atau kasus-kasus

penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan


kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

2. Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana kehutanan (strrafbar fait)

berupa merambah kawasan hutan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf b Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tidak termasuk yang

dicabut sebagaimana ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor

18 tahun 2013, akan tetapi ketentuan sanksi pidana atau ancaman

pidananya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana

ditentukan dalam ketentuan Pasal 112 huruf b yang menyatakan bahwa

ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50

ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat

(3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undang-

undang Nomor 41 tentang Kehutanan.

Menurut pendapat peneliti, dari ketentuan rumusan perbuatan

pidana tersebut di atas, terdapat permasalahan inkonsistensi hukum atau

adanya konflik norma hukum, sehingga tidak dapat diterapkan unsur

perbuatan pidana atau tidak terjeratnya para pelaku perambahan,

pendudukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan asas

legalitas hukum pidana dinyatakan bahwa ”tiada suatu perbuatan yang

dapat dipidana jika tidak ada saksi pidana yang mengaturnya” atau dalam

bahasa Belanda dikenal ”nullum dillectum nulla poena sine parapie lege

ponalli” atau tidak ada undang-undang yang mengatur.


3. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 ayat 3 dikemukakan bahwa

Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 wajib untuk :

a. Melaporkan dan meminta izin sita,

b. Meminta izin peruntukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat

dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam

sejak dilakukan penyitaan.

c. Menyampaikan tembusan kepada kepala Kejaksaan Negeri

setempat.

Dari ketentuan tersebut di atas terkait dalam hal Penyidik

melakukan penyitaan kepada siapa untuk barang temuan tersebut disita.?,

dari ketentuan Pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

terdapat kekaburan norma hukum (vage of norm) dalam hal barang bukti

temuan terhadap tindak pidana kehutanan, sehingga diperlukan penafsiran

hukum dalam hal kekaburan norma hukum sebagaimana permasalahan

tersebut di atas.

4. Dalam ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 41 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan, dinyatakan bahwa ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu

paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik


sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013, wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti.

Dari ketentuan tersebut setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan

Negeri yang menetapkan barang bukti untuk kepentingan publik atau

sosial, siapa yang berwenang untuk menentukan peruntukan barang bukti

tersebut, hal ini juga diperlukan penafsiran atau petunjuk pelaksana teknis

terhadap permasalahan norma di atas.

5. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

Ayat (1) dinyatakan bahwa Barang bukti kayu hasil pembalakan liar

dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah

yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk

kepentingan pembuktian perkara dan penelitian”.

Ayat (2) dinyatakan “Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang

berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk

kepentingan publik atau kepentingan sosial”.

Ayat (3) dinyatakan “Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang

berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat

cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang

pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.
Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, apakah barang

bukti sitaan dan/atau temuan yang berasal dari kawasan hutan lindung

dapat dilelang dan apakah barang bukti temuan dari kawasan hutan

konservasi dapat dilelang dan hanya untuk kepentingan umum atau sosial.

Dalam hal ketentuan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana

dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menurut analisa dan

penelitian dari peneliti, bahwa terdapat kelemahan-kelemahan dalam

norma yang ada di dalamnya, permasalahan norma hukum tersebut, tentu

akan berdampak pada upaya penanggulangan pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan.

6. Dalam hal korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum, apakah

apakah korporasi dapat dikenakan sanksi pidana penjara? dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, tidak diatur secara khusus

berkaitan dengan korporasi sebagai subjek hukum, sehingga terdapat

adanya kekaburan norma (vage of norm) di dalamnya, dalam hal tersebut

diperlukan adanya penafsiran hukum.

Pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi diatur dalam Pasal

18 ayat (1), bahwa selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf

c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf

b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi

dikenai sanksi administratif berupa :


a. Paksaan pemerintah

b. Uang paksa; dan/atau

c. Pencabutan izin.

Pada umumnya permasalahan norma hukum seperti yang

ditemukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, seperti diuraikan di

atas solusi permasalahan norma seperti; adanaya kekosongan norma

hukum, dapat dilakukan upaya penemuan humum, sedangkan berkaitan

dengan adanya permasalahan konflik norma hukum adalah dengan melihat

kepada asas-asas hukum untuk meyelesaikan permasalahan konflik

tersebut selanjutnya dalam hal terdapat adanya kekaburan dalam norma

hukum, dapat dilakukan adalah dilakukan penafsiran hukum berkaitan

dengan kekaburan norma.

2. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana

Kebijakan (policy) pengaturan pertanggungjawaban pidana memiliki

kriteria, bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban

pidana yang bersifat pribadi. Dalam hukum pidana Indonesia mengenai

perbuatan pidana terdapat asas hukum pidana yang terdapat dalam

Kitab Undang-undang Hukkum Pidana (KUHP) mengatur ketentuan yang

mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan

itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis”, Asas
ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut dengan asas

legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum. Untuk itu dalam

menjatuhkan atau menerapkan suatu pemidanaan terhadap seorang

pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku.

Pertanggungjawaban pidana dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa “Kewenangan

menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia” dari ketentuan

dalam Pasal 77 KUHP tersebut terkandung suatu prinsip, bahwa penuntutan

pidana harus ditujukan kepada diri pribadi orang, jika orang yang didakwa

telah meninggal dunia, maka penuntutan atas tindak pidana tersebut terhenti,

artinya penuntutan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya.

Dalam teori hukum pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa asas-

asas pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :

Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability)

Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability

bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat

dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana

dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap

batinnya. Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat

sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul).


Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld)

Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat

dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana, terlebih

dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa

merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak

pidana maka didasarkan pada asas legalitas sebagaimana disebutkan di

atas, sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana

didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah

asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas” atau “geen

straf zonder schuld”

Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana,

sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau

berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban

pidana ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “,

“criminal responsibility” atau “criminal liability”, pertanggungjawaban

pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersangka atau terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau

tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan asas “Actus non

facit reum, nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens rea”, terjemahan

aslinya ialah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Asas mens rea

merupakan subjective guilt yang melekat pada si pembuat. Subjective

guilt ini berupa intent (kesengajaan) atau setidak-


tidaknya negligence (kelalaian). Hanya perlu diketahui bahwa di Inggris

ada yang disebut sebagai “ strict liability” yang berarti bahwa pada

beberapa tindak pidana tertentu atau mengenai unsur tertentu pada

sesuatu tindak pidana, tidak diperlukan adanya mens rea.

Pemisahan antara asas legalitas dan asas culpabilitas tetapi asas

tersebut saling berhubungan. Konsekuensi dipisahkannya tindak pidana

dengan orang yang melakukan tindak pidana adalah untuk penjatuhan

pidana tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan tindak pidana, jadi

meskipun perbuatannya merupakan tindak pidana namun belum tentu

orang tersebut dijatuhi pidana, orang tersebut dapat dipidana apabila

memenuhi syarat lainnya yaitu orang yang melakukan itu harus mempunyai

kesalahan, dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau perbuatannya baru dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Unsur-unsur dari kesalahan

artinya yang membentuk kesalahan dalam arti ungkapan dasar “tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan” tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mampu bertanggungjawab

2. Mempunyai unsur kesengajaan atau kealpaan dalam hubungan dengan

dilakukannya tindak pidana.

3. Tidak adanya alasan-alasan yang memaafkan bagi pembuat atau pelaku

dalam melakukan tindak pidana.


Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-

pisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian

pula urut-urutan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan

terlebih dahulu, pengertian dan sekaligus perbedaan antara unsur

kesengajaan dan kealpaan menurut Roeslan Saleh yaitu ;

“Unsur kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak


melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh aturan
perundang-undangan. Baik unsur cognitif maupun unsur volitif
merupakan ciri unsur kesengajaanan. Jadi baik kehendak maupun
pengetahuan, sedangkan Kealpaan adalah tidak hati-hati atau kurang
memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang adalah terlarang”. 97

Perumusan pertanggungjawaban pidana ini tidak ada di dalam KUHP

dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum

pidana. Dalam rancangan Konsep KUHP Tahun 2004, pertanggungjawaban

pidana dirumuskan dalam Pasal 34 yang berbunyi “pertanggungjawaban

pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan

secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat

dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.

Asas pertanggungjawaban vicarious liability

Asas pertanggunjawaban vicarious liability diartikan sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang

dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai

97
Ibid.,
pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi

adalah sebagai berikut :

1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict


liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya.
2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi,
dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi,
dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini
menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga
merupakan tindakan kehendak dari korporasi.98

Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal

pertanggungjawaban pidana, sehingga korporasi tidak dapat disamakan

dengan model pertanggungjawaban vicarious liability. Perbedaan per-

tanggungjawaban korporasi enterprise liability dengan vicarious liability

dapat dilihat pada direktur adalah identik dengan korporasi sehingga

dikatakan bahwa tindakan direktur itu juga merupakan tindakan dari

korporasi asal tindakan yang dilakukan oleh direktur adalah masih dalam

ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan korporasi yang

dipimpinnya.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna

pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana

yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di

dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif.

98
Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi,
Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HUkum Universitas
Diponegoro, 1989), hlm. 9.
Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban

pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut 99
:

a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan


kehendak.
a. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang
mampu, tidak mampu.
b. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu
bertanggung jawab

Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah

masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan

menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur

kehilangan atau kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang

karenanya pemidanaan bukan merupakan balas dendam dari korban

terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punishment Syistem)

Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem pemidanaan

terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan

dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau

sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut

fungsional dan dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut

99
Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12
fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana

atau keseluruhan sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan

atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi

pidana. Dilihat dari sudut norma-substantif merupakan sistem pemidanaan

sebagai keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk

pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana

materiel untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Pengertian demikian, keseluruhan peraturan perundang-undangan rules

hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari

aturan umum dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat dalam Buku II

dan Buku III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus yang diatur di

luar KUHP100.

Sumber hukum yang disusun melalui sistem kodifikasi dalam KUHP

tidak hanya kumpulan peraturan hukum pidana atau norma-norma hukum

pidana, akan tetapi memuat juga asas-asas hukum pidana, dengan demikian

KUHP sebagai sumber hukum yang berlaku secara umum untuk semua

perbuatan yang diatur dalam perundang-undangan lain, sepanjang tidak

ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan lain tertentu.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di

Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang

Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda

yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang

mulai

100
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 261-263
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2

Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai

dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64101. Wetbook

van Strafrecht voor Nederlandsch Indie berlaku berdasarkan asas

konkordansi kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau penambahan sesuai

dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka

berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana

Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana, setelah diadakan perubahan dan/atau

penambahan yang disesuaikan dengan kedudukan dan keadaan Indonesia

yang sudah merdeka sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor

1 Tahun 1946 sebagai berikut :

a. Pasal V menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya

atau sebagian yang sekarang idak dapat dijalankan atau

bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka

atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.

b. Pasal VI menentukan bahwa Nama Undang-Undang Hukum Pidana

Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, Strafrecht yang

kemudian disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dikenal

KUHP.

101
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1
c. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa

pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai salah satu

sumber hukum pidana di Indonesia, memiliki sifat yang statis jika

dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Artinya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP

seringkali tidak dapat diterapkan pada peristiwa atau perbuatan tertentu

dalam perkembangan masyarakat.

Sistem pemidanaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

van Strafrecht sangat sederhana dan berhati-hati, karena pada waktu itu

belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri

Kehakiman Modderman mengatakan bahwa asas darimana pembuat

Undang-undang bertolak adalah bahwa hanya boleh dipidana terutama

sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah

dengan syarat bahwa pelanggaran hukum terjadi, apabila menurut

pengalaman mengingat keadaan tertentu dalam masyarakat, perbuatan itu

tidak dapat ditahan sepantasnya dengan sarana lain. Ancaman dengan

pidana harus tetap sebagai suatu “ultimatum remidium” .

Dalam memilih pidana pembuat Undang-undanag membatasi diri,

dan memilih sistem pemidanaan yang sangat sederhana dengan

menganggap hal ini sebagai keuntungan besar. Dalam memori penjelasan

dikatakan lebih sedikit pidana, lebih mudah untuk membuat perbandingan


dari pidana dan tanpa perbandingan seperti itu tidak mungkin

menjatuhkan pidana yang sesuai dengan beratnya kejahatan yang

dilakukan. Dalam hal sebab-sebab dalam individu dan masyarakat yang

mengakibatkan terjadinya berbagai macam kejahatan.

Keuntungan dari sistem pemidanaan yang sederhana seperti yang

dianut dalam KUHP adalah Pertama, sebagai keluwesan bagi pembuat

Undang-undang untuk mengancamkan jenis pidana yang telah ditentukan

pada suatu tindak pidana tertentu baik secara tunggal ataupun secara

alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan

dalam pasal yang bersangkutan. Kedua, dalam pidana diancamkan secara

alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan pidana

yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara

maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan 102.

Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti yakni penetapan sanksi

pidana dalam Undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau

pemberatan yang beruhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku,

kejahatan terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan kejahatan

yang dilakukan, dengan demikian, tidak dipakai sistem individualisasi

pidana. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan dalam pasal

102
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-
PETEHAEM, Jakarta 1986, hlm. 458.
50 bahwa “pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak

menghapus pidana pelaku perusakan hutan”.

a. Jenis-jenis pidana

Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana

atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi

pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan

pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang

Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan

pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP

dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas 103 :

a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda

b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.

Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara

tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang

dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan

sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam

103
Pasal 10 KUHP.
BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan

dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaian, melingkupi tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa

manusia alamiah (naturlijke person) ataupun sebagai badan hukum atau

korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, diantaranya

berupa :

1. Perorangan

2. Korporasi atau Pejabat Pemerintah

Kesemua ketentutuan pidana ini tidak terlepas dari aturan hukum

pidana pada umum (KUHP), bahwa ketentuan pidana lebih khusus

diberlakukan sebagai cara untuk menanggulagi tindak pidana dalam

kehutanan, melingkupi kebijakan hukum administrasi, hukum perdata

atau keperdataan berkaitan dengan korporasi.

Kebijakan menanggulangi kejahatan merupakan organisasi

rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan merupakan bagian

dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakkan hukum. Hal ini

memudahkan bahwa hukum perdata dan administrasi menduduki tempat

yang sama sebagai instrumen pencegahan kejahatan yang tidak bersifat

pidana (non crimininal legal crime prevention). Dalam hubungan ini

pembagian dalam ragam ilmu pengetahuan mengikuti sifat kriminologi.

Kebijakan kriminal berwujud baik pengetahuan maupun sebagai


penerapan (aplikatif). Kebijakan penegakan hukum dan legislatif

merupakan bagian dari kebijakan sosial.104

b. Syarat Pemidanaan

Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang

digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan.

Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu

bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara

pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of

inosance), kesalahan diartikan sebagai telah melakukan tindak pidana.

Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari

segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin

melakukan perbuatan tersebut.

Menurut pendapat peneliti, kebijakan hukum pidana merupakan

syarat pemidanaan sebagai bentuk kebijakan reformulasi tindak pidana

dimasa yang akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai

berikut :

1. Sebaiknya dirumuskan secara tegas dalam pasal-pasal mengenai

tindak pidana kehutanan kehutanan, seyogyanya rumusan mengenai

tindak pidana kehutanan tersebut adalah ”serangkaian perbuatan atau

kegiatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi yang berpotensi

menimbulkan kerusakan hutan tanpa adanya ijin dari pejabat yang

berwenang.”
104
Rodliyah, Op. Cit, hal. 42
2. Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana adalah setiap

perbuatan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan

hutan baik langsung maupun tidak langsung.

c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan

Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak pidana kehutanan

dibedakan terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada

disekitar kawasan hutan, badan hukum atau korporasi dan pejabat

pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas sesuai kewenangannya.

Dengan dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum

tindak pidana kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya

berorientasi pada korporasi, ini berarti harus ada ketentuan khusus

terkait dengan permasalahan :

a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana.

b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan.

d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orang-

perorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan

tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan

pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang

berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar

kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman


sanksi pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana

minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum atau sistem relatif

sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan


KUHAP Nasional

a. Formulasi hukum pidana dalam racangan Kitab Undang-undang


Hukum Pidana (KUHP) Nasional

Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional

untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan

pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan

salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional.

Penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi

dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran,

ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan

nasional, masyarakat, dan individu dalam negara Republik Indonesia

berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab

Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 :

732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van


Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan

Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik

Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-

Indie disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan

dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk

daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden.

Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU

KUHP) Nasional dilakukan adalah :

1. Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana

(delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk

keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab

Undang-undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku

yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua yang

memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab

Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik

pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam Buku

Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diakui pula

adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang

hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di


beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan

hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di

daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran

atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat

menetapkan sanksi berupa “Kewajiban Adat” yang harus dipenuhi

oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma

yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi.

Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin

pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan

perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya

pada manusia alamiah (naturlijke person) tetapi mencakup pula

manusia hukum atau badan hukum (rechtsperson) yang lazim

disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula

dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi

adalah subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha

harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di

samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul

bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja.

3. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU KUHP)

ini diatur mengenai jenis pidana yang berupa : 1) pidana pokok, 2)


pidana mati, dan 3) pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok

terdiri atas105 ;

a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.

Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana

pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu

dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan

kemerdekaan, sebab dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini

terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.

Demikian pula masyarakat dapat berperan serta secara aktif

membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara

wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat

ringannya pidana. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana yang akan

dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku

Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan

tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana

mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan

pidana kerja sosial merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai

alternatif pidana penjara.

105
Rancangan KUHP Nasional terakhir 2004
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana

mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa

jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati

adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara

alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula

secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga

dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana

diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu

dilaksanakan.

4. Di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-undang

Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan. Dalam hal ini

hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan

tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu

mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena

menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau degradasi mental.

5. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, dianut sistem

pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana minimum khusus.

Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan

pertimbangan :
a. Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat

mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda

kualitasnya;

b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya

bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan

meresahkan masyarakat;

c. Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat,

sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum

pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat.

Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu

pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang

dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan

masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau

diperberat oleh akibatnya.

6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ancaman pidana

denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini

dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu

disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan

menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan

dalam Buku Kesatu.


Dasar pemikiran menggunakan sistem kategori ini adalah

bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering

berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian,

apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan

lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang

diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam

perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang

mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.

7. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur pula

mengenai jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus

terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun

psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, pengaturan

mengenai jenis pidana dan pemidanaan secara khusus terhadap

anak dikaitkan karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi

Internasional tentang Hak-hak Anak.

Dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini

terdapat beberapa jenis tindak pidana baru yang disesuaikan

dengan perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat, antara

lain mengenai tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan

peradilan (contempt of court), pencucian uang (money

laundering), dan mengenai terorisme. Mengenai penghinaan

terhadap penyelenggaraan peradilan (Contempt of Court) tidak

dikelompokkan dalam satu bab tersendiri, melainkan pengaturannya


tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus

yang merumuskan tindak pidana tersebut.

Seirama dengan lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak

pidana baru masih akan muncul, terhadap jenis tindak pidana baru

yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang

tersendiri.

b. Formulasi Hukum Acara Pidana dalam Rancangan Kitab Undang-


undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional

Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih

maju, terutama demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat

seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan

tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diinginkan harus

mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang

terkandung sebelumnya, misalnya asas106 :

1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah

106
Rancangan KUHAP Nasional, terakhir 2004.
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian
dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak
hukum yang dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau
dikenakan hukuman disiplin;
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan,
bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen
pada seluruh tingkat peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya;
7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau
penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut
termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan advokat;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan
secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang
(adversarial); dan
11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang
diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua
tingkat peradilan.

Dalam KUHAP ini dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya

kepastian hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum

tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam

lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula bahwa ruang lingkup

hukum acara pidana untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam

lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, kaitannya

dengan pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya


hukum acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada

dalam lingkungan peradilan umum.

Ketentuan mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan

perkembangan hukum, terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara

atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan tidak

hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri

atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia. Selain perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga

diperluas tidak hanya pejabat kepolisian, melainkan antara lain Pejabat

penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik lembaga atau badan, yang

ditetapkan dalam rancangan KUHAP yang diberikan kewenangan

menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa

penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, undang-

undang lain tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan

pejabat penyidik tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk kepastian hukum

dan menghindari tumpang tindih kewenangan penyidikan dikemudian

hari oleh suatu undang-undang yang mengaturnya. Keberadaan pegawai

negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS, tetap

diberikan kewenangan sesuai dengan undang-undang yang

mengaturnya, tetapi dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas

dan fungsi yang secara teknis memerlukan keahlian tertentu atau

spesifik.
Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini

penyidik pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di

jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan

penegak hukum lainnya. Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ditiadakan, misalnya,

kewenangan prapenuntutan penuntut umum; kewenangan penangkapan

dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan penahanan kota

(konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa

perpanjangan penahanan karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan

benda sitaan negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni

dengan memberikan kewenangan masing-masing instansi yang

melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Keberadaan

Rupbasan tersebut pada awalnya dikehendaki untuk secepatnya

melaksanakan KUHAP, namun dalam perjalanannya banyak mengalami

kendala, di samping juga belum tersedianya sarana dan prasarana.

Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, dengan ketentuan

bahwa waktu penangkapan diperhitungkan setelah yang bersangkutan

berada dalam tempat pemeriksaan, bukan pada saat ditangkap. Waktu

penahanan pada semua tingkat peradilan diubah menjadi 30 (tiga puluh)

hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sehingga

keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh penyidik

sampai tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300

(tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh
melebihi ancaman pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya

dijamin dengan uang dan syarat serta besarnya jaminan ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai rujukan atau acuan terhadap

peraturan perundang-undangan lainnya, KUHAP ini secara umum

mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor, pengadu, saksi,

dan korban sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.

Bantuan hukum dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan

Undang-Undang tentang Advokat. Penasihat hukum sesuai dengan

tingkat pemeriksaan dalam berhubungan dengan tersangka atau

terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, dan petugas rutan.

Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk menolak

bantuan hukum.

Ditentukan pula mengenai terdakwa yang berhak untuk banding

terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan

bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan

dalam acara cepat). Untuk menggantikan lembaga praperadilan yang

selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, ditentukan lembaga

baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga “hakim komisaris”. Lembaga ini

pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan

penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim

komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga

praperadilan).
Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan

antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi

ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan

keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer menentukan

lain. Demikian secara ringkas ketentuan-ketentuan dan pembaharuan

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional

dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Nasional dimasa mendatang.

c. Lembaga atau Instansi lain yang berwenang menangani Tindak Pidana


dibidang Kehutanan

Dalam penanganan tindak pidana dibidang kehutanan, terdapat

berapa instansi/lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan dalam

penegakan hukum dibidang kehutanan. Beberapa institusi/lembaga yang

ada dan diakui oleh Undang-undang diantaranya adalah Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Polisi Kehutanan/PPNS, Kejaksaan, Pengadilan dan

Satuan Pengamanan Kehutanan (SPK)107 pada badan usaha milik negara

(BUMN) atau swasta yang mengelola kehutanan dan termasuk juga

Tentara Nasional Indonesia (TNI), khusus dalam melakukan pencegahan

dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan atau dari

107
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project, (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) –
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010. hlm. 33
perbuatan perusakan hutan. Lembaga atau instansi yang diberikan

kewewenangan diantaranya :

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)

Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ;

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum dan,

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan

oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana

umum atau kejahatan, termasuk penanganan tindak pidana

khusus/tertentu. Penegakan hukum dilakukan meliputi upaya

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana

tertentu atau khusus yang diatur dalam Undang-undang Khusus.

b. Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)


dan PPNS Kehutanan

Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan

kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat

strategis dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya

alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya

hal ini melahirkan fungsi-fungsi dalam usaha pengelolaan,

perlindungan hutan dan konservasi alam. Kebutuhan akan sumber daya

alam bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat mutlak

dibutuhkan, upaya untuk melestarikan sumber daya alam, mencegah

dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang

disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya

alam, hama, serta penyakit. Usaha untuk mempertahankan dan

menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan,

kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang

berhubungan dengan pengelolaan hutan menjadi tugas khusus108.

Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus

Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) 109 sebagai

108
Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
109
Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN
PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan
Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus
bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum

kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai

Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tetang Kehutanan. Pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini

kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi

Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan

pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya

menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan

yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian

khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.

Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), pada ketentuan Pasal 6 ayat 1 Penyidik adalah dimaksud

huruf :

a. Pejabat Penyidik Polri dan,

b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Polisi Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi
kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan secara
cepat, tepat dan akurat.
Sementara dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pasal

1 ayat 17 Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya

disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam

lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang

diberi wewenang khusus dalam penyidikan dibidang kehutanan dan

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Penegakan hukum seyogyanya dapat dilakukan maksimal

dengan adanya komitmen yang sama, adanya sinergitas dan koordinasi

antar lembaga penegak hukum. Upaya penanggulangan tindak pidana

kehutanan dengan penegakan hukum melalui kegiatan persuasif dan

represif. Kegiatan represif melalui penegakan hukum dengan

penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan persidangan merupakan

sistem peradilan pidana yang terpadu (Integreted Criminal Justice

Syistem) dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

c. Kejaksaan Republik Indonesia

Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan

kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan

juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undang-undang Nomor 16

Tahun 2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1

kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ;


a. Melakukan penuntutan,

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas

bersyarat.

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan Undang-undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan

penyidik.

Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan

penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004

tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.

d. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Meskipun tugas utama TNI adalah sebagai institusi yang berfungsi

sebagai lembaga pertahanan yang menjaga kedaulatan negara dari segala

macam bentuk ancaman yang datangnya baik dari dalam maupun dari

luar negeri, namun khusus dalam hal kejahatan atau tindak pidana
dibidang kehutanan keterlibatan TNI sebagai bagian dari upaya

pencegahan dan pemberantasan tentu dapat dilakukan.

Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam

penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai

berikut ;

a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-

RI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang

pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic Mission.

b. Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005

tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk

melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap terjadinya

penebangan liar illegal logging diseluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

c. Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan

Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan

tropis Indonesia.

Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya

pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan

dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk

dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat


penyidik pegawai negeri sipil, peyidik kejaksaan terkait dengan tindak

pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan

Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-

undang yang menjadi dasar kewenangannya.


BAB III
KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN (LP3H) DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN

1. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan


Hutan (P3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan

Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak

pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum

(law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan asas-asas hukum

yaitu, dengan memperhatikan keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan

(zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum

bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan. Dalam

penggulangan pencegahan dan penegakan hukum, masyarakat mengharapkan

kemanfaatan, dan adanya kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan semaunya, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan

lebih tertib dan tercapainya keadilan.

Amanat yang ada dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan

dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak pidana dibidang

kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga

oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan

baru yang disebut Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

(LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa;
dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,

Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan


(LP3H)

Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak

memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana

perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan

pembentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan

dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam

ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

pemberantasan Perusakan Hutan, lembaga dimaksud dibentuk dan

berkedudukan sebagai berikut110 :

a. Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan

hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan

dan pemberantasan perusakan hutan.

110
Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
b. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di

bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam rangka penanggulangan tindak pidana perusakan hutan,

pembentukan lembaga pemberantasan perusakan hutan memiliki peranan

yang strategis dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan karena

lembaga ini berkedudukan di bawah presiden, memiliki struktur, tugas dan

fungsi serta kewenangan. Selain itu lembaga P3H, ini memiliki fungsi koodinasi

dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana perusakan hutan.

b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum

Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan, kerjasama dan

koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga

penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a

antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik

Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan.

Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan

terintegrasi111. Upaya untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan perusakan

hutan yang terorganisir yang memiliki karakter berbagai kepentingan ekonomi,

sosial budaya dan politik.

Peran strategis lembaga pencegahan pemberantasan perusakan hutan

sebagai institusi atau lembaga dalam penanggulangan perusakan hutan


111
Terintegrasi adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses
secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung
satu sama lain, penjelsan Pasal 57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang P3H.
dengan tugas dan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang

dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan termasuk

melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penaganan perkara tindak

pidana perusakan hutan. sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 56

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, lembaga Pencegahan dan

Pemeberantasan Perusakan Hutan (P3H) memiliki tugas, fungsi dan

kewenangan adalah sebagai berikut ;

a. Melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum

dalam pemberantasan perusakan hutan.

b. Mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara

berkala kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

c. Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil

operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan

hutan konservasi untuk kepentingan sosial.

Pelaksanaan tugas dan pertanggujawaban terhadap tugas serta

kewenangan lembaga pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan,

ditentukan sesuai ketentuan dalam Pasal 57 dalam Undang-undang Nomor

18 Tahun 2013 dinyatakan bahwa lembaga/badan P3H dalam melaksanakan

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga dimaksud

melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR RI) paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.


Selanjutnya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan

di dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan, terdapat pengawasan

melekat yang dilakukan oleh deputi bidang pengawasan internal dan

pengaduan masyarakat, selain itu bertanggungjawab kepada presiden dan

melaporkan hasil kerja kepada dewan perwakilan rakyat, hal ini akan

menjamin pengawasan, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas kerja

pemberantasan perusakan hutan.

2. Struktur Kelembagaan dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan (LP3H)

a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan P3H

Struktur pelaksanaan tugas kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang

Sekretaris Jenderal dan beberapa orang Deputi. Dalam ketentuan yang

terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas

menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan

tanggungjawab lembaga dimaksud.

Selanjutnya pada ketentuan Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013, lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan dengan


bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut 112 :

a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur

atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau

penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau

penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan. Kelembagaan Lembaga

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dengan organ

dalam organisasi tersebut dapat melakukan kegiatan pencegahan, penindakan

atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan, melakukan

kerjasama antar lembaga penegak hukum dan melakukan pengawasan internal

untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat.

Keberadaan lembaga P3H dan kewenangan yang diamanahkan Undang-

undang kepada lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan

menjadi harapan untuk dapat melakukan upaya pencegahan dan

penanggulangan perusakan hutan secara sistematis dan konprehensif.

Kegiatan penanggulangan perbuatan perusakan hutan tentu dapat dilakukan

dengan maksimal jika didukung perangkat sumber daya manusia, budaya

112
pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H
hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang

responsif dan progresif.

b. Unsur-unsur dalam kelembagaan P3H

Dalam penanganan penanggulangan dan pencegahan tindak pidana

perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-

unsur antara lain :

a. Unsur Kementerian Kehutanan Republik Indonesia


b. Unsur Kepolisian Republik Indonesia
c. Unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
d. Unsur lain yang terkait. 113

Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam

Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam

lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi

kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan tugas

dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Selanjutnya struktur dalam lembaga pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan, dengan komposisi yang konprehensif dalam pelaksanaan

penanganan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, hal ini

113
Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H
tentu akan mempermudah kerja-kerja dan efektifitas dalam mempermudah

koordinasi dan supervisi dalam penanganan tindak pidana kehutanan.

3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan


Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)

Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan

yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagimana disebut sebagai

kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang

didasarkan atau diberikan oleh Undang Undang Dasar atau Undang-Undang

kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan

mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan

kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat

bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undang-

undang.

Undang-undang yang memberikan amanat kewenangan pada Lembaga

Pencegahan dan Pemberantasan Pesusakan (LP3H) merupakan kewenangan

bersumber langsung dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, untuk melaksanakan tugas

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dari berbagai pola tindak

pidana perusakan hutan dengan kondisi kerusakan hutan yang terjadi dan

lemahnya penegakan hukum114 terhadap tindakan atau perbuatan perusakan

hutan.

114
Sukardi, Op.cit, hlm. 131.
Dasar yang menjadi kewenangan Lembaga Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) adalah memiliki tugas, fungsi dan

kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas (taks force) sebagai

unsur pelaksana, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1, bahwa lembaga yang

menangani Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 54 ayat 1 bertugas sebagai berikut :

a. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan;

b. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap

perkara perusakan hutan;

c. Melaksanakan kampanye anti perusakan hutan;

d. Membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi;

e. Memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan

Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantsan

Perusakan Hutan diberikan kewenangan berdasarkan ketentuan yang

diberikan langsung oleh Undang-undang. Amanat yang diberikan untuk

melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,

terhadap tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

ditentukan pada ketentuan Pasal 55 ayat 4 Undang-undang Nomor 18 Tahun


2013, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat

membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana.

Dalam pelaksanaan tugas, unsur pelaksana dalam ketentuan di

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaksana satuan tugas 115 yang dilakukan

satuan tugas (taks force) dalam melaksanakan pemberantasan perusakan

hutan yang bersifat strategis memiliki kewenangan dari penyelidikan sampai

dengan penuntutan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga dan/atau deputi.

1. Ruang lingkup Tugas dan Fungsi

Pencegahan

Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik

oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi

dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang

dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana

(non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban

membuat kebijakan berupa116 :

a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan


perusakan hutan;
b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
115
Pasal 55 ayat 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.
116
Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2013
c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian
hutan;
d. Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis
sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.

Sesuai pada ketentuan terkait pencegahan perusakan hutan pada

Pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan “Pencegahan

perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan

korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan. Bahwa partisipasi

seluruh komponen masyarakat memiliki hak dalam melakukan usaha

pencegahan terhadap kerusakan hutan.

Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang

dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif ataupun

kebutuhan lainnya adalah dengan mendorong pengembangan hutan

tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan termasuk melakukan

kampanye anti perusakan hutan. Selain membuat kebijakan

sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan

dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan

peran serta masyarakat melalui kegiatan partisipasi dalam pengelolaan

dan pelestarian hutan.

Kegiatan atau upaya pencegahan perusakan hutan yang

dilakukan seperti tersebut di atas, adalah temasuk juga upaya

pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana diantaranya


juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum

administrasi negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan

pemanaatan hasil hutan, guna untuk pencegahan perusakan hutan.

Penindakan atau Penegakan Hukum

Dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan

atau perusakan hutan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan hutan

yang dilakukan dengan cara menindak secara hukum atau penegakan

hukum terhadap pelaku perusakan hutan. Menurut Prof. Dr. Jimly

Asshiddiqie, SH. Menyatakan bahwa117 ;

“Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk


tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”.

Penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana

kehutanan, dalam hal melakukan 3 (tiga) unsur yang selalu harus

diperhatikan yaitu; Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan

terhadap Perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana yang dilakukan

terhadap hutan, kawasan hutan dan peredaran hasil hutan baik

langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.

Penindakan atau penegakan hukum (law enforcement) terhadap

pelaku melalui tindakan secara hukum meliputi rangkaian proses

penegakan hukum yang meliputi penyelidikan dan penyidikan,

117
Jimly Asshiddiqi, Penegakan Hukum, Makalah Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional,
VI, LIPI, Jakarta, November 2011.
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Aparat penegak

hukum yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak

pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana

yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Proses hukum terhadap tindak pidana kehutanan atau perkara

perusakan hutan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013, dinyatakan bahwa perkara perusakan hutan harus

didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna

penyelesaian secepatnya.

1. Penyelidikan dan Penyidikan

Penyeledikan

Rangkaian proses penyelidikan merupakan tahapan awal proses

perkara pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan penyidikan, dengan

penyelidikan penyelidik dapat memberikan informasi data dan fakta yang

akurat kepada penyidik sehingga penyidik dapat segera menentukan

sikap apakah dapat dilakukan penyidikan, ditunda atau tidak perlu

dilakukan penyidikan, kemudian dari hasil penyelidikan penyidik telah

memiliki persiapan yang matang untuk melakukan tindakan penyidikan,

sehingga semaksimal mungkin akan dapat dihindari kesalahan dalam

penggunaan tindakan upaya paksa yang berakibat proses praperadilan.


Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini 118. Berkaitan dengan

tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Proses penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap

perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari

peyelidikan, penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di

sidang pengadilan, proses hukum tersebut merupakan satu kesatuan

dalam sistem peradilan pidana terpadu yang dikenal dengan istilah

(integreted criminal justice syistem), tahapan-tahapan dalam proses

hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ;

Penyidikan

Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation)

tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau

tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang

berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa

pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat

bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan.

Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa,

118
Pasal 1 angka 5 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 119

Dalam ketentuan Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang

dapat melakukan Penyidikan120 adalah pejabat Penyidik Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang khusus

sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, sementara dalam ketentuan yang terdapat dalam

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam ketentuan Pasal

30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang untuk

sebagai berikut 121


:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan


berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana perusakan hutan
f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan.

119
Pasal 1 ayat 2 KUHAP.
120
Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H.
121
Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana perusakan hutan
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang
adanya tindakan perusakan hutan
i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain
yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat
perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa
saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya pada

Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan wilayah

hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Wilayah Kepabeanan.

Berdasarkan pada jenis, karakter dan sifat kekhususan dari tindak

pidana perusakan hutan, seluruh penyidik PPNS memilki

kewenangan yang sangat luas, hal ini diharapkan dapat

memaksimalkan upaya penanggulangan dalam melakukan

pencegahan maupun pemberantasan terhadap perusakan hutan.

Rangakaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang

dilakukan berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 dinyatakan bahwa

“Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat

menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi

terkait”. Selanjunya pada ketentuan lain yang terdapat dalam Pasal


34 ayat 1 menyatakan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang

cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013, bahwa penyidik berwenang untuk meminta

kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk dalam hal

melakukan :

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos

serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan

pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau

b. Meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,

merencanakan, dan melakukan perusakan hutan.

Dalam proses penegakan hukum (law enforcement proces)

dan pembuktian suatu tindak pidana kehutanan terhadap tidak

terlepas dari alat bukti yang cukup untuk menentukan perbuatan

perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan ditentukan dalam

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, alat bukti lain ditentukan sebagai

alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi 122 :

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain berupa :
1. Informasi elektronik
2. Dokumen elektronik; dan/atau
3. Peta.

122
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
Kekhususan lain juga terdapat dalam Pasal 35 ayat 1

dinyatakan bahwa; untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau

pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Pada ayat 4 dalam hal

permintaan keterangan kepada Bank terkait keuangan tersangka

atau terdakwa; penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang

meminta kepada Bank untuk memblokir rekening simpanan milik

tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar

selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan

berlangsung.

Selanjutnya tindakan penyidik yang melakukan penyidikan

terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan, sesuai dengan

tahapan ketentuan beracara dan memenuhi telah memenuhi syarat

formil dan materil dalam peraturan perundangan. Sedangkan upaya

paksa yang dilakukan dalam penyidikan dilakukan dimulai dengan

penangkapan, penahanan penyitaan dan penggeledahan sampai

dengan pelimpahan perkara beruapa pelimpahan tersangka dan

barang bukti tindak pidana kehutanan kepada jaksa selaku penuntut

umum.

2. Penuntutan
Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai

penuntut terhadap perkara tindak pidana kehutanan berdasarkan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam

penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu

pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus

juga dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa, penuntutan adalah

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya di ketentuan Pasal

137 dijelaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan

terhadap siapapun yang didakwa melakukan delik atau tindak pidana

dalam daerah hukumnya dengan melimpakan perkara pada Pengadilan

Negeri yang berwenang mengadili.

Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain

jaksa diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan


putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(incrahts) sebagai eksekutor.

Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Kitab Undang Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang penuntut umum 123 adalah

sebagai berikut :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari


penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini.
j. Melaksanakan penetapan hakim.

Sementara itu, di dalam ketentuan yang terdapat pada Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan

Perusakan Hutan, diatur bahwa untuk mempercepat penyelesaian tindak

pidana perkara perusakan hutan 124. penyidik, penuntut umum wajib

untuk melakukan :

123
Pasal 14 KUHAP
124
Pasal 39 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
a. Penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas
perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak dimulainya penyidikandan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari;
b. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum
wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari;
c. Penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan
paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai
penyidikan;
d. Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan
geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka
penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang
bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai
dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan
e. Instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan
pengukur kayu yang diminta penyidik dengan
mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan.

Berdasarkan dari ketentuan tersebut di atas dalam proses

penyidikan dan penuntutan terdapat proses percepatan terhadap

penanganan perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan

hutan, hal ini terlihat dari adanya ketentuan mengatur jelas dan satu

kesatuan yang konprehensif dalam penanganan perkara perusakan

hutan. Bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau

pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik penuntut umum atau hakim

pada Pasal 36 berwenang untuk :

a. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada unit kerja terkait.

b. Meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan

tersangka.
c. Meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang

berpergian ke luar negeri.

d. Menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam

daftar pencarian orang dan/atau

e. Meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Dari kewenangan tersebut di atas diatur dengan tegas dan jelas,

bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim dalam penanganan perkara

perusakan hutan, dalam hal tersangka atau terdakwa dapat meminta data

kekayaan, perpajakan dan keuangan kepada lembaga terkait dan kepada

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), melarang seseorang

untuk berpergian ke luar negeri, menetapkan sebagai tersangka dan

meminta pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya kepada

pimpinan atau atasanya dalam hal berkaitan dengan adanya dugaan

melakukan tindak pidana kehutanan atau telah melakukan perbutan

perusakan hutan.

3. Persidangan di Sidang Pengadilan

Proses persidangan merupakan proses pemeriksaan dan pembuktian

yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam penanganan perkara

pidana secara hukum (litigasi). Tahapan pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses peradilan,


karena sebagai institusi lembaga pengadilan merupakan institusi/lembaga

kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk

menyatakan dan memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak

bersalah melakukan suatu tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana

sesuai dengan kesalahannya berdasarkan hukum dan sesuai dengan

peraturan-perundangan yang belaku. Dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk

membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa atau

penuntut umum adalah :

a. Apakah benar suatu peristiwa telah terjadi

b. Apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana

c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi

d. Siapakah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Dalam proses persidangan pembuktian merupakan penentu berhasil

tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut

umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan

semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak

pidana atau terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana

atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan keputusannya

pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam


ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)125 ditentukan alat bukti sebagai berikut :

a. Alat bukti Keterangan Saksi


b. Alat bukti Keterangan Ahli
c. Alat bukti Surat
d. Alat bukti Petunjuk
e. Alat bukti Keterangan Terdakwa

Berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan

bahwa terdakwa bersalah, telah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya126. Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam

memutuskan suatu perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan

keyakinan hakim. Dalam ketentuan lain Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,

ditentukan Alat bukti lain127 dalam perkara perbuatan perusakan hutan

ditentukan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013, ditentukan alat bukti lain adalah sebagai berikut :

1. Informasi elektronik

2. Dokumen elektronik, dan/atau

3. Peta.

125
Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
126
Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
127
Alat bukti lain dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013;
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang ukum Acara
Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain dalam UU Nomor 18 Tahun 2013.
Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat

bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), ditentukan juga alat bukti dalam Undang-undang Nomor

18 Tahun 2013, dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak

pidana perusakan hutan. Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas

merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum

dengan tindak pidana kehutanan.

1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Mekanisme pemeriksaan terhadap perkara perusakan hutan di

sidang pengadilan pada Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa “Dalam hal

terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus

tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan pada ayat 2 Putusan yang

dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum

pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah,

dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau kuasanya.

Selanjutnya pada ayat 3 terdakwa atau kuasanya dapat

mengajukan upaya hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak

putusan dijatuhkan, diumumkan, atau diberitahukan kepada terdakwa

yang tidak hadir. Dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan dinyatakan dalam Pasal 52 bahwa pemeriksaan

terhadap perkara perusakan hutan ditentukan pada :

ayat (1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 45

(empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal

penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.

ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam hal, dimohonkan banding, perkara perusakan

hutan wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak

tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.

Ayat (3) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi,

perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan diputus dalam

jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh

Mahkamah Agung.

Menurut pendapat peneliti, dalam penanganan perkara tindak

pidana perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dengan dengan

telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

mereformulasikan perbutanan pidana yang dikategorikan sebagai

tindak pidana perusakan hutan dan mengamanhkan pembentukan

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H),


terdapat upaya konprehensif dan percepatan dalam penanganan tindak

pidana perusakan yang terintegrasi, sehingga menjamin adanya

kepastian hukum, tercapainya kemanfaatan dan keadilan.

2. Hakim Pemeriksa Perkara Perusakan Hutan

Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara perusakan hutan,

komposisi hakim dalam pemeriksaan perkara perusakan hutan memiliki

kekhususan, dalam hal ini disebabkan sifat dan karakter dari tindak

pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan yang

teroganisir, menimbulkan kerugian negara dan berdampak luas tehadap

berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan.

Dalam pemeriksaan di persidangan hakim pemeriksa terdiri dari

hakim karier dan hakim ad hoc128, sebagai pemeriksa yang mengadili

tindakan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang

kehutanan harus benar-benar memiliki profesionalisme dan integritas,

pemeriksaan perkara tindak pidana perusakan hutan sebagaimana yang

terdapat dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,

dinyatakan bahwa129 :

128
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan sebagai hakim. (lihat Pasal 53 ayat 5), Hakim karier adalah hakim yang masih aktif yang
berada dalam
129
lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Pasal 53 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh
majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari
satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua
orang hakim ad hoc.
2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang
diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara
perusakan hutan.
4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan
kepada masyarakat.

Penanganan perkara dan hakim pemeriksa dalam proses

peradilan dalam penanganan perkara perusakan hutan berbeda dengan

penanganan perkara pada pemeriksaan perkara umum lainnya.

Pemeriksaan perkara pidana perusakan hutan atau tindak pidana

dibidang kehutanan dilakukan oleh hakim karier dan hakim ad hoc.

Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara di sidang

peradilan, pemeriksaan perkaranya dilakukan dengan komposisi hakim

pemeriksa 1 (satu) orang hakim karier dan 2 (dua) orang hakim ad

hoc. Ketentuan dalam pengangkatan hakim ad hoc diajukan oleh

Mahkamah Agung ke Presiden setelah diumumkan kepada masyarakat.

Pengaturan berkaitan dengan persyaratan untuk dapat diangkat

menjadi hakim ad hoc dalam penanganan perkara perusakan hutan,

berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, harus

terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut 130


:

1. Warga Negara Indonesia.


2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan.
4. Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun dalam bidang kehutanan.
5. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5
(lima) tahun atau lebih.
6. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
7. Cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan
memiliki reputasi yang baik.
8. Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
9. Melepaskan jabatan struktural dan jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.

Proses penanganan perkara di pengadilan merupakan benteng

terakhir keadilan, maka dalam proses mengadili perkara tindak pidana

kehutanan atau perkara perusakan hutan para hakim harus memiliki

keahlian, berpengalaman dibidang kehutanan dan tidak melakukan

kolusi dan korupsi. Profesionalisme aparat penegak hukum baik;

penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Lembaga Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H).

Hakim yang akan dibentuk untuk memeriksa perkara tindak pidana

perusakan hutan di persidangan, yang berasal dari hakim karier

maupun hakim ad hoc, menjadi harapan dalam upaya untuk

130
Pasal 53 ayat 5
mewujudkan perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang

berkeadilan.

4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional

Peran serta masyarakat diatur juga dalam Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan,

tugas fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan

Pemberantasan Perusakan Hutan meliputi; kewenangan Pencegahan dan

Penindakan atau Penegakan Hukum serta kewenangan lainya. Pada BAB VI

diatur juga peran serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan

Pemberantasan perusakan hutan, dimana mengatur hak dan kewajiban,

termasuk perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, perlindungan

hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses

peradilan sebagai saksi pelapor, saksi, saksi ahli sesuai peraturan perundang-

undangan.

Lembaga P3H ini, memiki tugas dan fungsi sebagaimana yang

ditentukan pada BAB VII, Lembaga P3H dapat melakukan kerjasama

internasional dengan negara lain dalam rangka pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga

kepentingan nasional. Kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan, dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun


2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat

dilakukan dalam bentuk 131


:

a. Kerja sama bilateral


b. Kerja sama regional atau
b. Kerja sama multilateral.

Dalam melakukan kerjasama pemerintah atau lembaga P3H, dapat

dilakukan dengan melakukan suatu perjanjian. Dalam hal perjanjian belum

ada, kerjasama dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip

timbal balik resiprositas132. Pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 67 ayat

2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, kerja sama internasional dalam

rangka pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan dalam hal :

a. Manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan;

b. Kerja sama konservasi dan restorasi kawasan hutan;

c. Pemberdayaan masyarakat; dan

d. Pemerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi legalitas kayu yang

diakui secara internasional.

Kerjasama internasional tersebut dalam rangka mencegah perdagangan

dan/atau pencuian kayu tidak sah, kerjasama internasional dalam pengelolaan

hutan. Kerjasama internasional yang dilakukan dalam rangka penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

131
Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
132
Resiprositas adalah hubungan bersahabat dengan berpedoman pada kepentingan nasional
dan berdasarkan pada prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Penjelasan Pasal 62 ayat 2 Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2013.
perkara perusakan hutan, pemerintah dapat melakukan kerja sama regional

dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kerjasama internasional

dalam rangka penyelidikan dilakukan melalui kerjasama interpol negara

masing-masing negara.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

C. KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat diajukan

kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian

dimaksud adalah :

1. Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana

kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya

diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum

pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang

diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang

bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan,

korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan


sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai

dengan maksimum khusus.

2. Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (P3H) adalah bersumber dari kewenangan yang

diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk, kedudukan, ruang lingkup

kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55,

56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan tindak

pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan

pemberantasan atau penindakan.

Tugas dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber

kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan

hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan

penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat,

partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye

anti perusakan hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan

lembaga P3H, melalui penegakan hukum (law enforcement) melalui

penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di

persidangan, diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga,

memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana

kehutanan.
D. S A R A N

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai

berikut :

1. Dari kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana

kehutanan baik, pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Ketentuan norma berupa jenis tindak pidana, subjek hukum

pertanggungjawaban pidana, sistem pemidanaan dan hukum acara sendiri

dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diperlukan adanya

penyempurnaan dan harmonisasi, sehingga menjadi norma yang efektif,

responsif dan sesuai dengan semangat pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan

khusunya kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan

pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan diharapkan dapat

mengakomudir kepentingan negara dan masyarakat dalam hal perlindungan

masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social

welfare) bagi masyarakat.

2. Kewenangan yang diamanahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

untuk pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (LP3H), dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan. Lembaga P3H memiliki fungsi koordinasi

dan supervisi terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan, bahwa

konflik antar lembaga atau instansi yang berwenang dapat dilakukan


harmonisasi antar peraturan perundang-undangan terkait kewenangan

dan/atau koordinasi antar pimpinan dan dapat dilakukan kesepahaman

bersama memoradum of understanding (MOU) antar pimpinan lembaga-

lembaga terkait untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga yang

berwenang.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan ,

(Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 2006.

Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial

prudence) termasuk interpretasi Undanag-undang (legis

prudence), Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Kharisma Putra

Utama, Jakarta), 2009.

Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan

Penyalahgunaan Komputer, (Universitas Atmajaya

Yogyakarta), 1999.

Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta),

2003.

, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (PT. Rineka Cipta,

Jakarta), 1996.

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Raja

Grafindo Persada, Jakarta), 2012.

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Arikha Media Cipta, Jakarta),

1995.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro,

Semarang), 2000.

, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya

Bakti, Bandung), 2002.

, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, (PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung), 2002.

, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, (Balai Penerbitan Undip,

Semarang), 1996.

, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, ( Citra Aditya

Bakti, Bandung), 2005.

Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Ghalia indonesia, Jakarta),

1998.

Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan

Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk

Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan

Pendekatan Anti Pencucian Uang, (Center for

International Forestry Research CIFOR, Jakarta), 2005.

Darmono, Pengenyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan

Hukum, Studi kasus ketetapan mengesampingkan

perkara
demi kepentingan umum atas nama Dr. Samad Rianto

dan Chandra M. Hamzah, (Solusi Publishing, Jakarta),

2013.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, cet., Kelima,

(Gramedia Pustaka Utama), Jakarta,

Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik , (Alfa Beta, Bandung),

2007, hlm. 3

Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan

Hukum Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support

Project (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) –

Kementerian Kehutanan RI, Jakarta), 2010.

Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence

Dalam Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan

Dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan

yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan

Mahkamah Agung RI, Jakarta), 2003.

H.B Sutopo, Metode Penelitian Hukum Kualitatif II, (Universitas Negeri

Semarang Press, Surakarta), 1998.

IGM. Nurdjana, et. al., Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem

Desentralisasi, cet. III, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta),

2008.

J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum,

Terjemahan HASNAN, cetakan kedua, (Binacipta,

Bandung), 19887.
Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,

(Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia), Jakarta, 2006.

J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya

Bhakti), 2011

Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The Phylosophy of Law an

Introduction To Jurisprudence, (Totowa NJ, Rowman &

Allenheld), 1984.

Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II,

Edisi I, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 1999

Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum ,

(Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta),

1999.

, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana

Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan

Korporasi, (Semarang, Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro), 1989.

Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang), 2005.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Ghalilia

Indonesia, Jakarta), 1986.


Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati

Pokok- pokok pikiran Revis Undang-undang Nomor

2/Pnps/1964, (CV. Arti Bumi Intara Yogyakarata), 2011.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung), 1996.

, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, (Genta Publishing, Yogyakarta), 2010.

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(Alumni AHAEM - PETEHAEM, Jakarta), 1986.

Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

edisi 1., cet. 10 (PT. Raja Grafindo, Jakarta), 2011.

Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Aditya

Bakti, Bandung), 1996.

, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi

Penyelesaian Sengketa, (Rineka Cipta, Jakarta), 2005.

Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di

Bidang Kehutanan, cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta)

2012.

Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan

Hutan di Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan Kalimantan-Indonesia), 2005.

Sukaradi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus

Papua), Universitas Atmajaya, Yogyakarta), 2005.


Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka

Pembangunan Nasional, (Ghalilia Indonesia, Jakarta),

1973.

Anonim, Seri Hukum dan Perudangan KUHAP dan KUHP, (SL Media, Jakarta),

2014.

_, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan , Direktorat

Penyidikan dan Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal

Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen

Kehutanan, EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law

Enforcement, Goverment and Trade), 2008.

, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi

Kehutanan, (Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan

Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan

dengan United Nations Office on Drugs and Crime

(UNODC) Indonesian Office, Jakarta), 2013.

B. Peraturan Perundang-undangan

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen I, II, III dan IV.

b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional, terakhir Tahun 2013


d. Udang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan diubah Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19

Tahun 2004 tentang Kehutanan.

g. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara

h. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

i. Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan

Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

c. Desertasi, Thesis, Jurnal dan Makalah

Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum

Khusus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi

Program Studi Doktoral Universitas Brawijaya), Mei 2014.


Dila Romi Aprilia, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanganan Tindak

Pidana Illegal Loging, (Tesis Magister Hukum Universitas

Indonesia), 2012.

I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani, Penegakan Hukum Kehutanan dalam

Rangka Antisipasi Dampak Climate Change di Indonesia ,

(Seminar Nasional Program Studi Strata dua (S-2) Ilmu

Lingkungan Universitas Negeri Semarang), September 2008.

Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan Kegiatan Polisi Kehutanan

Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat Penyidikan

dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan Dan Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta,

2012.

Andi Pramaria, Makalah bahan seminar dan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan,

Perlindungan dan Pengaman Hutan di NTB, Bidang Planolgi

dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB,

Mataram, Maret 2015.

d. Internet dan Media

M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto. blogspot.com,

diposting pada tanggal, 18 juni 2009 jam 10.00 wita


,Hukum Kehutanan dan Tata Usaha Kayu, http://blogmhariyanto.

blogspot.com, diposting pada tanggal 5 Desember 2014.

http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia, diakses pada

tanggal 10 Januari 2015, jam 11.00 wita.

, Ketentuan legaliatas pengangkutan tumbuhan dan satwa

liar, http://blogkonservasi.blogspot.com., diposting pada

tanggal 20 Desember 2013, jam 15. 00 wita.

http://ugm.ac.id, Pemerintah segera menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi

tentang Hutan Adat, diposting pada tanggal, 21 Februari

2014, jam 12.40 wita.

Romli Atmasasmita, Pengertian dan tujuan hukum, http://statushukum.com,

diposting pada tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.

Anda mungkin juga menyukai