TESIS
JUJUK PRASTYOHADI
NIM. 2019081082
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui ;
Ketua, Direktur,
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D
NIP. 19550815 198103 1 035 NIP. 19550815 198103 1 035
TESIS INI TELAH DI UJI
NOMOR : /H18.4/HK/2015
Data Keluarga :
Anak :-
Riwayat Pendidikan :
Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang
Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah,
tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW.,
beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat
manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum
tidak akan rampung tanpa bantuan, saran, arahan dan petunjuk yang diberikan
kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul
Program Studi Magister Ilmu Hukum, hingga penulisan tesis ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap
kesempatan berdiskusi.
3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum dan sebagai dosen pengajar.
4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana
Hukum Universitas Mataram.
6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengah-
tengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing,
mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah
kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan
penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini.
8. Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua
Dewan Penguji tesis ini.
9. Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum.,
selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar.
10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga
dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka
wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu
pengetahuan yang indah untuk diselami.
Astan Wirya
DAFTAR ISI
183
200
LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................
DAFTAR SINGKATAN
ABSTRACT
The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this
thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry
criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction
institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention,
and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal
law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law.
The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been
direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990
regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999
regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and
elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the
ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal
responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum
which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around
forestry, corporate, and government authorities
An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare
tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry
destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution
element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others,
institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention
deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community
complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction
prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource,
campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to
court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate
supervise a criminal forest lawsuit act.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir
Negara Indonesia adalah negara hukum1. Tujuan politik hukum negara Indonesia
juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun
masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat
1
Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang
Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum.
pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus-menerus dan
untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah satu
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata
maupun hukum administrasi negara dan meliputi pula hukum formil maupun
hukum materiilnya.
sumber daya alam Indonesia termasuk flora dan fauna harus dikelola seoptimal
2
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur-unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Lihat Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, Rineka Cipta,
Jakarta, 1998, hlm. 47.
3
Konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya hutan, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang
Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan
juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang
tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya
mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan,
adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi 4. Dalam
upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum
persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kuwalitas keanekaragaman nilainya. Lihat
Alam Setia4 Zein, Ibid, hlm. 93-94.
Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan
Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 94-
99.
Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan.
pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran
hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari
undangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya
peraturan sebelumnya saja, akan tetapi lebih dari itu seperti bagaimana kebijakan
apakah kepentingan pribadi atau orang lain bahkan keuntungan bagi korporasi.
Dengan kata lain kebijakan hukum pidana sebelumnya tidak mampu menampung
5
Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung
lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang
ditetapkan,6 lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40
Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga
menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagai salah satu tindakan
Selain dari itu reformulasi dari kebijakan hukum pidana sebagai salah satu
secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi negara yang meliputi juga hukum formil maupun hukum
materielnya. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan hukum pidana dibidang
kehutanan, meskipun pada dasarnya kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari
pengerusakan hutan itu, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum oleh
oleh Barda Nawawi Arief” pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut
masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang
7
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 189.
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia.“ 8
Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana,
maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling
berkait yaitu10 :
pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau
tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002
9
, hlm. 28.
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2000, hlm. 23.
10
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 136.
yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses
perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok
kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum
aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan
11
Rodliyah Hj., “Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati” Pokok-
pokok Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011,
hlm. 37.
1. Criminal policy is the science of response (kebijakan hukum
pidana sebagai ilmu pertanggungjawaban)
2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan hukum
pidana sebagai sebagai ilmu pencegahan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime
(kebijakan hukum pidana adalah sebagai kebijakan yang
mempelajari perilaku kejahatan manusia).
4. Criminal policy is a rational total of response to crime (Kebijakan
hukum pidana sebagai keseluruhan pertanggungjawaban pidana).12
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting dan strategis tidak hanya
sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan
hidup14.
kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan
12
Ibid. hlm. 42
13
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet. Ke-2, hlm. 73.
14
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6.
hutan tersebut, telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial
budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar, serta telah meningkatkan
pemanasan global (global warming), perubahan iklim (anomali iklim) yang telah
Perbuatan perusakan hutan terjadi tidak hanya pada hutan dengan fungsi
produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi.
kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai
dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan
sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum
hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan
efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut,
a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya.
b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan
15
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.
pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.
c. Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan
terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan
perusakan hutan
d. Mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka
pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun
multilateral
e. Menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap
menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem
sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera.
optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary),
khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini,
hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung,
tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan.
peradilan yang cepat dan terintegrasi, kewenangan LP3H ini juga adalah
memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar
khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan
atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari
D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian
kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis
1. Secara teoritis
pidana kehutanan.
2. Secara praktis
hutan. Bagi aparat penegak hukum dan seluruh elemen terkait (stake
langsung.
penelitian ini tidak membias dari isu hukum normatif, atau pokok
Hutan.
Permasalahan hukum dalam penanggulahan tindak pidana kehutanan
pemasalahan yaitu :
tampak secara jelas bahwa penelitian ini bergerak pada upaya penggalian
1. Keadilan
besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls,
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita
ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan
16
http://id.wikepedia.org/wiki/ keadilan, John Rawls, A Theory of Justice (revised edn,
Oxford: OUP), 1999, diposting pada 20 Nopember 2014.
politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Adalah “wujud
kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus, untuk memberikan apa
2. Kemanfaatan
orang).18
3. Kepastian
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
17
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), edisi pertama, Cet. Kedua, Kharisma Putra
Utama, Jakarta, 2009, hlm. 221.
18
Ibid., hlm. 272 – 273.
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma
koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan
seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh
merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman
F. KERANGKA TEORITIK
kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai
berikut :
19
Ibid., hlm. 292.
1. Teori Perlindungan Hukum
(rechtszekerheid).
adanya ketertiban dalam pergaulan hidup manusia. Atas dasar itu, maka
20
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi ,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 72.
21
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Uniersitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
atau negara, karena pemerintah atau negara sebagai titik sentralnya. Oleh
sebagai berikut :
22
Ibid, hlm. 20.
membangaun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang
sedang berubah cepat, hukum tidak memiliki fungsi demikian saja. Ia
juga harus membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan
yang konservatif tentang hukum yang menitikberatkan pada fungsi
pemeliharaan ketertibaan dalam arti statis, dan sifat konservatif
hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu
peranan yang berarti dalam proses pembaruan”. 23
kekuatan hukum yang dinamis dalam mengatur tertib hukum bagi suatu
2. Teori Keadilan
manusia dalam konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dengan
25
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat 26
Hukum Indonesia, Cet. Kelima, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 167.
Ibid, hlm 178.
Dari orientasi ide keadilan tersebut, justru mengimplikasikan pada
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral
dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
maknawi kebijakan sosial dapat merupakan bagian dari kebijakan publik dan
Terkait dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik
kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang
group).
27
Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfa Beta, Bandung, 2007,
hlm. 3
Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill
yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam
secara khusus dalam mengatasi salah satu masalah sosial yaitu kejahatan.
mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, untuk itu
28
Lalu Parman, Op.cit, hlm. 71
pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisi-
dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah
kriminal dengan mengatakan bahwa “Politik kriminal” ini dapat diberi arti
sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal itu
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam artian
dijabarkan 32:
32
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Undip, Semarang, 2000.
yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal
dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang politik
kriminal.
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
33
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 8.
2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
diubah; dan
garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan
negara. Dalam pengertian ini, pijakan utama politik hukum nasional adalah
harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu. 35 Lebih lanjut
Mahfud MD., menjelaskan bahwa politik hukum mengandung dua sisi yang
tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy
34
Satjipto Rahardjo, Op Cit, hlm. 352.
35
Mahfud M. D., Membangun Politk Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 15-16.
sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum
yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy
pidana.
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang
36
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. cit, hlm. 18.
37
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hlm. 11.
38
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994, hlm. 61.
a. Tahap kebijakan legislatif yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif yaitu melaksanakan hukum pidana secara
kongkrit, oleh aparat pelaksana pidana.39
dapat dilihat dalam arti sempit atau formal, tetapi juga dapat dilihat dalam
arti luas atau material. Dalam arti sempit atau formal, penjatuhan pidana
(social
39
Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm. 18-19.
defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), perlu
ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat
kejahatan.
teori ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the
pelaku.
40
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 11.
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
disebut :
de maatshappelijke orde).
misdadinger).
.
41
Ibid, hlm. 12.
42
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
3. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif.
kelemahan :
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera
melaksanakan.
atau teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Pokok aliran utilitarian ini
43
Ibid. hlm. 2
44
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 155.
Jeremy Bentham mengungkapkan esensi dari teori aliran
etika, namun secara formal ajaran ini dapat dilihat dari prinsip utilitas,
yaitu : “of all the possible action open to you, perform that action
menyeluruh).46
45
Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The phylosophy of law: An Introduction To
Jurisprudence, Totowa NJ, Rowman & Allenheld, 1984, hlm. 74.
46
Ibid.
kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan
manfaat” (the principle of utility). Salah satu penganut teori ini adalah
pemidanaan, yaitu :
47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 1.
48
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
segi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena objek dari
Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah
(rechtgelling).
49
Pramuji Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,
hlm. 78.
suatu bidang pemerintah dibidang urusan tertentu”. Secara teoritik
akibat hukum.
pemerintahan.
G. Kerangka Konseptual
mendua atau ganda dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga
Kebijakan
negara).50
Kebijakan Hukum
dibangun.
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial
capai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana
50
Barda Nawawi Arif, Op-Cit, hlm. 23-24.
51
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalilia Indonesia, Jakarta,
1986.
52
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Jakarta, 1973.
53
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991.
yang dirasa paling baik yang dipakai dalam mencapai tujuan
berasal dari politiek dari Belanda dan policy dari Inggris, dari
menggunakan sarana penal maupun non penal atau dikenal istilah upaya
54
Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1999, hlm. 10
hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi 55. Kegiatan non penal dengan
dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem
bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai
55
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum
Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project Forest Law Enforcement, (Goverment Ang
Trade) – Kementerian
56
Kehutanan RI, Jakarta, 2010, hlm. 9.
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,
1999, hlm. 78-79.
57
Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran
menyebut penegak hukum itu adalah polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut
lebih luas58.
yang berkaitan dengan hukum pidana, hal ini ditemukan dalam perundang-
istilah hukum pidana itu adalah dikenal “ tindak pidana, delik, perbuatan
Belanda yang terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands
yang berarti suatu perbuatan dan atau peristiwa yang diancam hukuman
sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut atau diatur dalam
58
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, PT. Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995,
hlm. 61.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya59.
undangan.
negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang
59
Anonim, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan , Direktorat Penyidikan dan
Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan,
EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade), 2008.
Perbuatan pidana atau tindak pidana tersebut di kriminalisasi atau
dan Ekosistemnya60.
alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan
hukum melanggarnya".
60
Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan, kerjasama
antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi
Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian
Office, Jakarta, 2013.
61
M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, hhtp//blogmhariyanto. blogspot.com,
diposting pada tanggal, juni 2009, jam 09.00 wita.
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
yang tertulis dalam buku (law is writen in the book) maupun yang
62
Soetandyo Wingyosoebroto, Hukum, Paradigma, Methode dan Dinamika
Masalahnya, HUMA, 2002, Jakarta, hlm. 17.
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is by the
2. Pendekatan Masalah
yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem
hirarkis.63
63
Haryono dalam Jonny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 249
yang khas. Dalam pendekatan konsep (conseptual approach)
masalah itu.
perundang-undangan.
dalam penelitian.64
64
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm . 19
a. Teknik pengumpulan hahan hukum; dilakukan dengan studi pustaka
yang tersedia.
65
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm. 199
5. Analisis Bahan Hukum
66
Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165
BAB II
hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam
dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan
67
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa , Cet. I, Erlangga,
Jakarta, 1995, hlm. 11.
68
Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
69
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1980, hlm. 6.
melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir
maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem peyangga dan
pendukung kehidupan bagi banyak makhluk.”
berikut :
berikut :
70
Mochtar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988,
hlm. 196.
71
Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 12.
Selanjutnya diketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang
dibedakan, perbedaan antara hutan dan kawasan hutan dapat dilihat dari
bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau
dilakukan judicial review yang dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi dan
relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan 72, sehinga definisi kawasan hutan
penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai
kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan
hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses
penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata
2. Jenis-jenis Hutan
72
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU-IX/2011, tanggal 21 Februari 2012
Kehutanan, di dalamnya ditentukan terdapat 4 (empat) jenis hutan yaitu,
denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.
1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
73
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta,
2003, hlm. 43
74
http://ugm.ac.id, Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Hutan Adat, tanggal 21 Februari 2014.
dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri
c. Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam
35/PUU-X/2012).
Fungsi Hutan
Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang
1. Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang
Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu,
penyangga76. Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan cagar alam
Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu
dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
75
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
76
Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
77
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan
2. Hutan Lindung
3. Hutan Produksi
fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan
3. Perlindungan Hutan
perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak
penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem bumi, dan dalam
untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil
daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak
negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
(tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan
atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap
hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut
legalitas hasil hutan mencakup permasalahan yang sangat luas, hal ini dapat
atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau
semua persyaratan baik dari unsur material dan formil dari dokumennya.
sanksi, jika larangan tesebut dilanggar dengan sanksi pidana berupa pidana
penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 5 tahun, serta
dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta
hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat
dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar)
78
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang
merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.
(Pasal 1 angka 12 dan Pasal 1 angka 29 PP Nomor 6 tahun 2007).
sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau
dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil
berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan
a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB
401
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301
c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko
model DKA. 302
d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303
e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402
f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan.81
79
Pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
80
Permenhut RI Nomor : P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Alam dan Permenhut RI Nomor : P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
81
M. Hariyanto, Hukum Kehutanan, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/dokumen
legalitas pengangkutan hasil hutan kayu.html/2013/html, diakses pada tanggal 22 Februari 2015,
jam
20. 30 wita.
Dengan demikian, SKSHH merupakan dokumen milik negara
hutan kayu.
hasil hutan.
3. Menjadi dasar perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 82 dan Dana
Reboisasi (DR)83.
mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Peraturan
Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak. Pada umumnya ketentuan yang
berupa, sertifikat, girik, leter c dan dokumen kepemilikan lain yang sah. Hasil
dokumen legalitas yang disebut Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) 84,
pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan
82
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti
nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
83
Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Lihat
penjelasan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dana untuk
reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Jadi disini jelas pengenaan Dana
Reboisasi (DR) hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu dari hutan alam. Pengenaan Dana
Reboisasi (DR) tidak berlaku untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman dan hasil hutan bukan kayu,
seperti; rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, daun, tanaman obat-obatan, dan lain-lain.
84
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan
yang berasal dari hutan hak/rakyat atau dari tanah milik yang telah di bebani alas hak sesuai
P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak.
hak dengan SKAU beserta turunannya dalam bentuk dokumen NOTA
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada hutan negara dan penatausahaan kayu
Selain itu juga, dokumen perijinan dan legalitas hasil hutan yang ada
terlepas dari bagaimana integritas dan moral serta budaya (culture) dari
85
Dokumen NOTA Angkutan untuk 23 jenis diantaranya ; Rambutan, randu, sawit, sawo,
sukun, trembesi, waru, karet, jabon, sengon, petai, cempedak, dadap, duku, jambu, jengkol,
kelapa, kecapai, kenari, mangga, manggis, melinjo dan nangka.
Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna
dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di
Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan
86
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Berkaitan dengan ketentuan perijinan terhadap tumbuhan dan satwa
species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam
tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya
di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan
“Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat
ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang
dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63,
sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun
yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan
dalam pengusaaan terhadap tumbuhan dan satwa liar harus pada kaedah-
kaedah konservasi, perlindungan dan perizinan. Perlindungan terhadap
tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi guna
perusakan huatan atau tindak pidana kehutanan, dilakukan dengan cara atau
pembalakan liar, sering disebut dalam istilah asing sebagai (illegal logging),
menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada sanksi
pidananya ”nullum dillectum nullapoena legge ponalli” atau adanya
kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder
schuld).
pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin
87
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang
terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu
dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. (Penjelasan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013).
88
Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H.
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan
hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara
sah atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan
para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa
uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun
hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap
oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini
pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan
semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada
oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik
pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau
Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum
ini dikemudian hari dapat dijual untuk benar-benar mencuci harta hasil tindak
yang sama atau mentransfer uang ke-rekening cukong di Bank lain. Rekening-
rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri; sehingga Bank asing
kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan, hotel dan bisnis
berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil
Kegiatan seperti ini juga dilakukan dengan Bank lokal juga menerima simpanan
dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap
dari penyokong dana atau penyandang dana dari usaha bisnis kayu illegal.
Dibawah ini terdapat tabel skema modus operandi pembalakan liar atau
illegal logging yang dilakukan oleh penyandang dana atau cukong sebagai
berikut :
Pembeli kayu
Penebang liar
USS
Rp, barang, Pembeli non kayu
jasa
Cukong Rp
Pemimpin
USS
masyarakat
Rp Pengambil kebijakan
Pejabat Pejabat penegak
pemerintah hukum
Rp
89
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan
Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang
Berkelanjutan Pendekatan Anti Pencucian Uang, Center for International Forestry Research, Jakarta,
2005, hlm. 90
11.
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Op, cit., hlm. 12
Pada seminar dan rapat koodinasi (RAKOR) Perlindungan dan
permasalahan dan berbagai macam cara atau modus operandi dan tiplogi
a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara
menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam
industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT).
b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam
bentuk menjadi produk jadi (meubel).
c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari
hutan negara .
d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin
industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat
Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU).
e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari
Penggunaan Kawasan Hutan.
f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non
kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya.
g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan
sertifikasi dalam kawasan hutan.
h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan
i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan
tanpa ijin yang sah.
j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi.
k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur.
l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi
perbuatan perusakan hutan.
m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan.
hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga
penanganan yang dilakukan dengan upaya yang luar biasa dan terpadu
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah
92
Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang P3H.
kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk
oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 2 (dua) orang atau
lebih dan bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan
secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang
terdapat dalam landasan konstitusional pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
rakyat” .
kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil
dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah
lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta pelaku
dilapangan dan pemodal atau cukong yang akan membeli kayu-kayu hasil
kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya
undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau
hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari
93
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam
kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum
Lingkungan yang diselenggarakan, oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2003.
Penegakan hukum pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, setelah
terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang
dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78
tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat
Pidana (KUHP).
1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi,
pidananya.
Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau
memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang
hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu
yang dianggap sebagai tindak pidana perusakan hutan, syarat apa saja yang
seseorang melakukan perbuatan perusakan hutan dan sanksi atau pidana apa
yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena
dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau
perbuatan pidananya.
Pidana) dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak
kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan”, disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan
istilah bahasa Belanda “geen straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne
subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang
dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik
dan peredaran hasil hutan serta investasi yang ada terdapat di dalamnya.
dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang
hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang
kehidupan.
memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar
dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah
berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan
izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi
secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan
ekosistemnya tersebut.
dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah
untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk
kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan kayu, yang
dalam areal kawasan hutan atau penebangan dalam kawasan hutan yang
penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah
hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan
95
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003), hlm.19
sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang
dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau
dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak
Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya
aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal,
pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap
persetujuan Menteri.
atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di
luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota
Ancaman pidana dalam Pasal 480 KUHP itu adalah paling lama 4
96
Ibid, hlm. 260.
Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan
eksistemnya.
Peraturan perundang-undangan atau Undang-undang yang ada
pidana lainya diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi
taman hutan raya dan taman wisata alam. Kedua perbuatan yang
satwa liar yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam
korporasi.
dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera
bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g,
huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai
ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai
ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat
(6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41
Kehutanan.
meningkatkan
pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat
suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif,
pemberian efek jera bagi pelaku, diperlukan landasan hukum yang kuat
18 Tahun 2013, diatur jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang,
ayat 4 Korporasi;
Pidana denda paling sedikit
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).
’
8. Pasal 90 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan mengangkut 3 tahun dan paling lama 10
dan/atau menerima titipan tahun serta pidana denda
hasil tambang yang berasal paling sedikit
dari kegiatan penambangan Rp.1.500.000.000,- (satu
di dalam kawasan hutan miliar lima ratus juta rupiah)
tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) dan paling banyak
huruf c). Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit
Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah).
10. Pasal 92 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan; 3 tahun dan paling lama 10
a. melakukan kegiatan tahun serta pidana denda
perkebunan tanpa izin paling sedikit
Menteri di dalam kawasan Rp.1.500.000.000,- (satu
hutan. (Pasal 17 ayat (2) miliar lima ratus juta rupiah)
huruf b ) dan/atau dan paling banyak
b. membawa alat-alat berat Rp5.000.000.000,- (lima miliar
dan/atau alat-alat lainnya rupiah).
yang lazim atau patut
diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun
di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (2) huruf a).
11. Pasal 93 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan ; 3 tahun dan paling lama 10
a. mengangkut dan/atau tahun serta pidana denda
menerima titipan hasil paling sedikit
perkebunan yang berasal Rp.1.500.000.000,- (satu
dari kegiatan miliar lima ratus juta rupiah)
perkebunan di dalam dan paling banyak
kawasan hutan tanpa Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
izin. (Pasal 17 ayat rupiah).
(2) huruf c).
b. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau
menyimpan hasil
perkebunan yang berasal
dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa
izin. (Pasal 17 ayat
(2) huruf d ) dan/atau
c. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan
yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf e).
12. Pasal 94 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan ; 8 tahun dan paling lama 15
a. menyuruh, tahun serta pidana denda
mengorganisasi, atau paling sedikit
menggerakkan Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
membalakan liar dan/atau miliar rupiah) dan paling
penggunaan kawasan banyak Rp.100.000.000.000,-
hutan secara tidak sah. (seratus miliar rupiah).
(Pasal 19 huruf a).
b. melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan
embalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf c ).
c. mendanai pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah secara langsung
atau tidak langsung.
(Pasal 19 huruf d )
dan/atau
d. mengubah status kayu
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah,
seolah-olah menjadi kayu
yang sah atau hasil
penggunaan kawasan
hutan yang sah untuk
dijual kepada pihak ketiga,
baik di dalam maupun di
luar negeri. (Pasal 19
huruf f ).
12. Pasal 95 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 8 tahun dan paling lama 15
a. memanfaatkan kayu hasil tahun serta pidana denda
pembalakan liar dengan paling sedikit
mengubah bentuk, ukuran, Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
termasuk pemanfaatan miliar rupiah) dan paling
limbahnya. (Pasal 19 huruf banyak Rp.100.000.000.000,-
g ). (seratus miliar rupiah).
b. menempatkan,
mentransfer,
membayarkan,
membelanjakan,
menghibahkan,
menyumbangkan,
menitipkan, membawa
keluar negeri dan/atau
menukarkan uang atau
surat berharga lainnya
serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya
atau patut diduga
merupakan hasil
pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf h)
dan/atau
c. menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul
harta yang diketahui atau
patut diduga berasal dari
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah
sehingga seolah- olah
menjadi harta kekayaan
yang sah. (Pasal 19 huruf i
).
13. Pasal 96 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 1 tahun dan paling lama 5
a. memalsukan surat izin tahun serta pidana denda
pemanfaatan hasil hutan paling sedikit Rp500.000.000,-
kayu dan/atau (lima ratus juta rupiah) dan
penggunaan kawasan paling banyak
hutan. (Pasal 24huruf a). Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
b. menggunakan surat izin lima ratus juta rupiah).
palsu pemanfaatan
hasil hutan kayu
dan/atau penggunaan
kawasan
hutan. (Pasal 24 huruf b)
dan/atau
c. memindahtangankan atau
menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang kecuali
dengan persetujuan
Menteri (Pasal 24 huruf c)
14. Pasal 97 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan : 1 tahun dan paling lama 3
a. merusak sarana dan tahun serta pidana denda
prasarana pelindungan paling sedikit Rp.200.000.000,-
hutan (Pasal 25 ) dan/atau (dua ratus juta rupiah) dan
b. merusak, memindahkan, paling banyak
atau menghilangkan pal Rp1.500.000.000,- (satu
batas luar kawasan hutan, miliar lima ratus juta rupiah).
batas fungsi kawasan
hutan, atau batas
kawasan hutan yang
berimpit dengan batas
negara yang
mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan
kawasan hutan. (Pasal 26)
16. Pasal 99 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan menggunakan 8 tahun dan paling lama 15
dana yang diduga berasal tahun serta pidana denda
dari hasil pembalakan liar paling sedikit
dan/atau penggunaan Rp.10.000.000.000,-(sepuluh
kawasan hutan secara tidak miliar rupiah)
sah. (Pasal 19 huruf e) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
18.
Pasal 101 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan memanfaatkan 1 tahun dan paling lama 3
kayu hasil pembalakan liar tahun serta pidana denda
dan/atau penggunaan paling sedikit Rp.200.000.000,-
kawasan hutan secara tidak (dua ratus juta rupiah) dan
sah yang berasal dari hutan paling banyak
konservasi. Rp.1.500.000.000,- (satu
(Pasal 21) miliar lima ratus juta rupiah).
19.
Pasal 102 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan menghalang- 1 tahun dan paling lama 10
halangi dan/atau tahun serta pidana denda
menggagalkan paling sedikit Rp.500.000.000,-
penyelidikan, penyidikan, (lima ratus juta rupiah) dan
penuntutan, atau paling banyak
pemeriksaan di sidang Rp.5.000.000.000,00
pengadilan tindak pidana (lima miliar rupiah).
pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah. (Pasal 22)
20. Pasal 103 ayat (1) Orang Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
perseorangan melakukan 1 tahun dan paling lama 10
intimidasi dan/atau ancaman tahun serta pidana denda
terhadap keselamatan paling sedikit Rp.500.000.000,-
petugas yang melakukan (lima ratus juta rupiah) dan
pencegahan dan
paling banyak
pemberantasan pembalakan
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
liar dan penggunaan kawasan
rupiah).
hutan secara tidak
sah. (Pasal 23)
21. Pasal 104 Setiap Pejabat Kesengajaan Pidana penjara paling singkat
yang melakukan pembiaran 6 bulan dan paling lama 15
terjadinya perbuatan tahun serta pidana denda
pembalakan liar sebagaimana paling sedikit
dimaksud dalam Pasal 12 Rp.1.000.000.000,- (satu
sampai dengan Pasal 17 dan miliar rupiah) dan paling
Pasal 19, tetapi tidak banyak Rp.7.500.000.000,-
menjalankan tindakan (tujuh miliar lima ratus juta
sebagaimana dimaksud rupiah).
dalam Pasal 27.
22013, sebagaimana pada tabel di atas, dalam Undang-undang ini juga diatur
denda.
badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan
ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain
itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau
Tahun 2013, disisi lain tindak pidana atau delik pidana ”mengerjakan
ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat
(3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undang-
dapat dipidana jika tidak ada saksi pidana yang mengaturnya” atau dalam
bahasa Belanda dikenal ”nullum dillectum nulla poena sine parapie lege
dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam
setempat.
terdapat kekaburan norma hukum (vage of norm) dalam hal barang bukti
tersebut di atas.
tersebut, hal ini juga diperlukan penafsiran atau petunjuk pelaksana teknis
Ayat (1) dinyatakan bahwa Barang bukti kayu hasil pembalakan liar
Ayat (2) dinyatakan “Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang
Ayat (3) dinyatakan “Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang
undangan”.
Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, apakah barang
bukti sitaan dan/atau temuan yang berasal dari kawasan hutan lindung
dapat dilelang dan apakah barang bukti temuan dari kawasan hutan
konservasi dapat dilelang dan hanya untuk kepentingan umum atau sosial.
6. Dalam hal korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum, apakah
c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf
b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi
c. Pencabutan izin.
itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis”, Asas
ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut dengan asas
Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari
pidana harus ditujukan kepada diri pribadi orang, jika orang yang didakwa
telah meninggal dunia, maka penuntutan atas tindak pidana tersebut terhenti,
bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat
didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah
asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas” atau “geen
tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan asas “Actus non
facit reum, nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens rea”, terjemahan
aslinya ialah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Asas mens rea
ada yang disebut sebagai “ strict liability” yang berarti bahwa pada
pidana tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan tindak pidana, jadi
memenuhi syarat lainnya yaitu orang yang melakukan itu harus mempunyai
1. Mampu bertanggungjawab
pisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian
dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum
pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan
97
Ibid.,
pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi
korporasi asal tindakan yang dilakukan oleh direktur adalah masih dalam
dipimpinnya.
98
Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi,
Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HUkum Universitas
Diponegoro, 1989), hlm. 9.
Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban
pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut 99
:
sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut
99
Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12
fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana
sebagai keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk
aturan umum dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat dalam Buku II
dan Buku III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus yang diatur di
luar KUHP100.
pidana, akan tetapi memuat juga asas-asas hukum pidana, dengan demikian
KUHP sebagai sumber hukum yang berlaku secara umum untuk semua
Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang
mulai
100
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 261-263
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab
Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai
KUHP.
101
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1
c. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa
van Strafrecht sangat sederhana dan berhati-hati, karena pada waktu itu
belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri
sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah
pada suatu tindak pidana tertentu baik secara tunggal ataupun secara
102
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-
PETEHAEM, Jakarta 1986, hlm. 458.
50 bahwa “pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak
a. Jenis-jenis pidana
atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi
Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan
a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
103
Pasal 10 KUHP.
BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan
tindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa
berupa :
1. Perorangan
dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakkan hukum. Hal ini
b. Syarat Pemidanaan
Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu
Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari
berikut :
berwenang.”
104
Rodliyah, Op. Cit, hal. 42
2. Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana adalah setiap
tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan
pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang
yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua yang
adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di
atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat
oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma
terdiri atas105 ;
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.
pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu
tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana
105
Rancangan KUHP Nasional terakhir 2004
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana
paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula
dilaksanakan.
pertimbangan :
a. Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat
kualitasnya;
meresahkan masyarakat;
bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering
terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun
pidana baru masih akan muncul, terhadap jenis tindak pidana baru
tersendiri.
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
106
Rancangan KUHAP Nasional, terakhir 2004.
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian
dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak
hukum yang dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau
dikenakan hukuman disiplin;
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan,
bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen
pada seluruh tingkat peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya;
7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau
penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut
termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan advokat;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan
secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang
(adversarial); dan
11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang
diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua
tingkat peradilan.
tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam
penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik lembaga atau badan, yang
undang lain tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan
negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS, tetap
spesifik.
Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini
penegak hukum lainnya. Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan
benda sitaan negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni
(tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh
melebihi ancaman pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya
bantuan hukum.
bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan
baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga “hakim komisaris”. Lembaga ini
penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim
praperadilan).
Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan
antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi
ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan
dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan atau dari
107
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project, (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) –
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010. hlm. 33
perbuatan perusakan hutan. Lembaga atau instansi yang diberikan
kewewenangan diantaranya :
masyarakat.
dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
108
Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
109
Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN
PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan
Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus
bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum
huruf :
Polisi Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi
kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan secara
cepat, tepat dan akurat.
Sementara dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun
kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan
bersyarat.
berdasarkan Undang-undang.
penyidik.
macam bentuk ancaman yang datangnya baik dari dalam maupun dari
luar negeri, namun khusus dalam hal kejahatan atau tindak pidana
dibidang kehutanan keterlibatan TNI sebagai bagian dari upaya
berikut ;
Republik Indonesia.
tropis Indonesia.
Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum
bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan. Dalam
kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga
(LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa;
dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,
pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam
ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56
110
Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
b. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di
fungsi serta kewenangan. Selain itu lembaga P3H, ini memiliki fungsi koodinasi
Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan
perundang-undangan; dan
melaporkan hasil kerja kepada dewan perwakilan rakyat, hal ini akan
a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
112
pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H
hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang
Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-
Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga
penanganan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, hal ini
113
Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H
tentu akan mempermudah kerja-kerja dan efektifitas dalam mempermudah
mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
undang.
pidana perusakan hutan dengan kondisi kerusakan hutan yang terjadi dan
hutan.
114
Sukardi, Op.cit, hlm. 131.
Dasar yang menjadi kewenangan Lembaga Pencegahan dan
dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas (taks force) sebagai
Pencegahan
dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana
(non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undang-
117
Jimly Asshiddiqi, Penegakan Hukum, Makalah Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional,
VI, LIPI, Jakarta, November 2011.
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Aparat penegak
penyelesaian secepatnya.
Penyeledikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini 118. Berkaitan dengan
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Penyidikan
pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat
118
Pasal 1 angka 5 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
119
Pasal 1 ayat 2 KUHAP.
120
Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H.
121
Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana perusakan hutan
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang
adanya tindakan perusakan hutan
i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain
yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat
perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa
saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
melakukan :
122
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
Kekhususan lain juga terdapat dalam Pasal 35 ayat 1
berlangsung.
umum.
2. Penuntutan
Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
sebagai berikut :
untuk melakukan :
123
Pasal 14 KUHAP
124
Pasal 39 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
a. Penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas
perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak dimulainya penyidikandan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari;
b. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum
wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari;
c. Penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan
paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai
penyidikan;
d. Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan
geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka
penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang
bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai
dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan
e. Instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan
pengukur kayu yang diminta penyidik dengan
mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan.
hutan, hal ini terlihat dari adanya ketentuan mengatur jelas dan satu
tersangka.
c. Meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
perusakan hutan, dalam hal tersangka atau terdakwa dapat meminta data
perusakan hutan.
1. Informasi elektronik
3. Peta.
125
Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
126
Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
127
Alat bukti lain dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013;
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang ukum Acara
Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain dalam UU Nomor 18 Tahun 2013.
Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat
merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum
pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus
ayat 1 dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
ayat (1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh
Mahkamah Agung.
kekhususan, dalam hal ini disebabkan sifat dan karakter dari tindak
dinyatakan bahwa129 :
128
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan sebagai hakim. (lihat Pasal 53 ayat 5), Hakim karier adalah hakim yang masih aktif yang
berada dalam
129
lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Pasal 53 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh
majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari
satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua
orang hakim ad hoc.
2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang
diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara
perusakan hutan.
4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan
kepada masyarakat.
130
Pasal 53 ayat 5
mewujudkan perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan.
tugas fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan
peradilan sebagai saksi pelapor, saksi, saksi ahli sesuai peraturan perundang-
undangan.
timbal balik resiprositas132. Pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 67 ayat
131
Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
132
Resiprositas adalah hubungan bersahabat dengan berpedoman pada kepentingan nasional
dan berdasarkan pada prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Penjelasan Pasal 62 ayat 2 Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2013.
perkara perusakan hutan, pemerintah dapat melakukan kerja sama regional
masing-masing negara.
BAB IV
C. KESIMPULAN
kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian
dimaksud adalah :
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan
diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum
kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55,
kehutanan.
D. S A R A N
berikut :
berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial
Yogyakarta), 1999.
Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta),
2003.
Jakarta), 1996.
1995.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan
Semarang), 2000.
Bandung), 2002.
Semarang), 1996.
1998.
perkara
demi kepentingan umum atas nama Dr. Samad Rianto
2013.
Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik , (Alfa Beta, Bandung),
2007, hlm. 3
IGM. Nurdjana, et. al., Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem
2008.
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum,
Bandung), 19887.
Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya
Bhakti), 2011
Allenheld), 1984.
1999.
Diponegoro), 1989.
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung), 1996.
2012.
Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan
1973.
Anonim, Seri Hukum dan Perudangan KUHAP dan KUHP, (SL Media, Jakarta),
2014.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia.
Indonesia), 2012.
2012.
Andi Pramaria, Makalah bahan seminar dan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan,