Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena
bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang
mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur.
Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata.
Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi
kecil terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi
besar terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki
lebih sering terjadi daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering
didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering
didapatkan fistula rektovestibuler.
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang
terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada
pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak
dengan gangguang sistem eliminasi yaitu atresia ani.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani.
b. Mengetahui etiologi dari atresia ani.
c. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani.
d. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani.
e. Memahami patofisiologi dari atresia ani.

1
f. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.
C. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
b. Apa saja etiologi dari atresia ani?
c. Apa saja manifestasi klinis pada atresia ani?
d. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
e. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
f. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI ATRESIA ANI
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani
yaitu ‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau
nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki
nama lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak
mempunyai lubang keluar. (Walley, 1996) Atresia ani atau anus
imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan
bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum.
(Purwanto, 2001). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan
embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal.
(Suriadi, 2001). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal
sebagai anus imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz,
2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya
lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003). Atresia ani adalah
suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk
didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden
1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung
dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan.

3
B. ETIOLOGI
Etiologi secara pasti atresia ini belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada
kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang
terjadi bawaan gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia
ani(Adele,1996).
Atresia anorectal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses
pemisahan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius
yang terletak di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang
melakukan penetrasi sampai perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra
levator, septum urorectal turun secara tidak sempurna atau berhenti pada
suatu tempat jalan penurunannya (Adele,1996).
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 7
minggu  Adanya gangguan atau berhentinya perkebangan
embriologik di daerah usus, rektum bagian distal serta traktus
urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam
usia kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli

4
masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai
gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua
yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 %
- 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas
kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah
satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan
bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki
saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara
atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome).
Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-
macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau
dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M,
2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan

5
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri
sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae,
Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
C. KLASIFIKASI
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
feses tidak dapat keluar.

2. Inperforata membran adalah terdapat membran pada anus.

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.

6
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum

(Wong,Whaley.1985).

Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:


1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu
rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1
CM.

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan
lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal,
adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001).
Gejala lain yang Nampak di ketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air
besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran

7
abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol
(Adele,1996).
Bayi muntah-muntah pada usia 24–48 jam setelah lahir juga
merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan
dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam
kehijauan karena cairan mekonium.
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.
4. Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
E. KOMPLIKASI
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
 Eversi mukosa anus
 Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
 Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
 Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
 Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)

8
 Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
 Fistula kambuhan
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani, antara lain:
1. Asidosis hiperkloremia.
2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat
konstriksi jaringan perut dianastomosis).
5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
7. Prolaps mukosa anorektal.
8. Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).

F. PATOFISIOLOGI
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan
fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir
tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya
obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi

9
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila
urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi
sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada
perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi,
pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla,
2009).

10
Pathways

Kelainan kogenital

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Feses Tidak Vistel Rektovaginal

Keluar
Feses Menumpuk Feses Masuk Ke

Uretra
Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi ke saluran kemih
Peningkatan Tekanan
sisa
metabolisme
Intraabdominal
Dysuria
Operasi Anoplasti

Gang. Rasa nyaman


Keracunan
Ansietas Perubahan
Defekasi: Gang. Eliminasi
Mual, muntah
Urine

Ketidakseim
bangan
nutrisi Abnormalitas Trauma jaringan
kurang dari Resiko
kebutuhan kerusakan spingter rektal
Tubuh kulit Inkontinensia Perawatan tidak
adekuat
Defekasi
Nyeri

Resiko

Infeksi

11
G. PENATALAKSANAAN
1) Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter
ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses.
Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar
atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa
hari setelah lahir. Kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal
pull-through"
2) PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu
pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan
ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan
bertambah baik status nutrisinya.
 Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa
hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama,
BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.
 Dilakukan dilatasi setiap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar,
atau speculum
 Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian
dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan
tipe dua.
 Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif
melalui anoproktoplasti pada masa neonates.
 Melakukan pembedahan rekonstruktif:
1. Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)
2. Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
3. Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
 Penanganan pasca operasi:
1. Memberikan antibiotic secara iv selama 3 hari

12
2. Memberikan salep antibiotika selama 8-10 hari
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
2. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk
berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan
dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan
lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai
diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui
bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses
yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain.
3. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan
tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan
mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara
pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan
karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil.
Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan
jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang
lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi
mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari dengan
pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi
yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah
anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator
Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita
dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah
dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu
ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat
dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi,
pada tipe III biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia
12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:

13
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan
rekonstruktif dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang
bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung
rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang
lain, kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau
kolon sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif
yang dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu
pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12
bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen setelah
bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10
hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang
tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian
dengan jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan
definitif. Sedangkan pada penanganan tipe IV dilakukan dengan
kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi
abdominal pull-through seperti kasus pada megakolon
congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan
garamicin untuk mencegah infeksi pada pasca operasi.
Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum
yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit,
sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat
foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda
diletakkan pada daerah lekukan anus.

14
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran
urinaria.

I. DAMPAK ATRESIA ANI TERHADAP PEMNEUHAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

Dampak yang terjadi akibat atrsia ani ataupun setelah dilakukan

tindakan operasi antara lain sebagai berikut :

1. Konstipasi
Konstipasi ataupun sembelit merupakan keadaan tertahannya
feses (tinja) dalam usus besar pada waktu yang cukup lama karena
adanya kesulitan dalam pengeluaran. (Akmal, dkk. 2010). Konstipasi
merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi
mengalami stasis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang
jarang atau keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dank eras
(Uliyah, 2008).
Konstipasi merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat
buang air besar, fese (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak
tuntas (ada rasa ingin buang air besar tapi tidak dapat
mengeluarkannya). (Herawati, 2012). Insidensi terjadinya konstipasi
pasca bedah pada penderita atresia ani adalah 8,3 – 28,6 %. Penelitian
lain menunjukkan tingkat konstipasi sebesar 42 %. Konstipasi
mempengaruhi kualitas hidup jangka panjang penderita atresia ani.

15
Atresia ani adalah kelainan congenital (bawaan) yang ditandai
dengan pembentukan anus yang tidak sempurna. Penanganan atresia
ani adalah dengan pembedahan untuk merekontruksi bagian anus
tersebut sehingga memungkinkan pembuangan tinja. Pasca operasi
rekontruksi atresia ani, kelainan fungsional yang cukup sering
ditemukan adalah konstipasi. Konstipasi pada pasien pasaca operasi
atresia ani ini dapat menimbulkan kondisi magarectum atau
megasicmoid (ukuran rectum) dan sigmoid (bagian saluran pencernaan
bawah sebelum anus) yang melebar. Konstipasi pada pasien atresia ani
pasca operasi berhubungan dengan gangguan hipomotilitas usus
(prgerakan usus yang kurang) yang terjadi akibat dilatasi usus kronis
dan sebaliknya.
2. Inkontinensia tinja
Inkontinensia tinja (bowel/fecal incontinence) adalah gangguan
buang air besar (BAB), dimana seseorang kehilangan kemampuan
untuk mengendalikan proses pembuangan lewat anus. Akibatnya
adalah terjadi pembuanngan air besar (BAB) tanpa disadari atau
diinginkan. Variasi penyakit ini berbeda –beda pada tiap individu.ada
yang merasakan hasrat ingin BAB yang sangat intens dan tiba-tiba
terjadi BAB karena tidak sempat pergi ke toilet dan ada yang lansung
BAB ketika hanya buatng angin (kentut).
Atresia ani atau anus imperforate adalah kelainan congenital
yang menyebabkan anus tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya,
penderita tidak dapat mengeluarkan tinja secara normal. Hal ini dapat
menyebabkan keadaan megarectum atau megasigmoid dapat
menimbulkan impaksi massa tinja atau inkontinesia fecal overflow
(tinja leluar tanpa sadar karena sudah terlalu penuh). Inkontinensia
tinja dipengaruhi oleh usus bagian ahkir (rectum), anus (dubur) dan
sistemm saraf yang tidak berfungsi secara normal.
3. Inkontinesia urine
Inkontinesia urine merupakan pengeluaran urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat
jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini dapat menyebabkan masalah
16
fisik, emosional, social dan kebersihan (Kurniasari, 2016). Proses
berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara
fisologis berlangsung dibawah control dan koordinasi system saraf
pusat dansistem saraf tepi didaerah sacrum.
Atrsia ani adalah kondisi serius yang membutuhkan
penanganan sesegera mungkindengan jalan operasi. Pda beberapa
kasus, inkontinensia urine dan inkontinensia feses/ fecal dapat terjadi,
walaupun operasi berjalan dengan baik dan tanpa adanya timbul
komplikasi.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
b. Distensi abdomen
3. Riwayat Kesehatan Sekarang: Muntah, perut kembung dan
membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina
atau meconium terdapat dalam urin
4. Riwayat Kesehatan Dahulu: Klien mengalami muntah-muntah setelah
24-48 jam pertama kelahiran
5. Riwayat Kesehatan Keluarga: Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota
keluarga yang lain
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan: Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
7. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan: Klien belum bisa
mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan
dan apa yang diinginkan

17
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan: Pasien belum bisa melakukan
aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi
c. Pola istirahat/tidur: Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik: Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi: Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada
mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik
pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi; Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan: Belum bisa dikaji karena klien belum
mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan: Belum bisa dikaji karena klien belum
mampu berinteraksi dengan orang lain secara mandiri
k. Pola koping: Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum
mampu berespon terhadap adanya suatu masalah
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
o Nadi : 120 – 140 kali per menit
o Tekanan darah : normal
o Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC
o Pernafasan : 30 – 40 kali per menit
o BB : > 2500 gram
o PB : normal

18
c. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal, Denyut nadi normal (120 – 140 kali per
menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal : Klien tidak mengalami gangguan
sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen: Klien tidak mengalami gangguan sistem
integumen
6) Sistem perkemihan; Terdapat mekonium di dalam urin.

4. Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS: Ketidakseimbanga Kegagalan
Ibu klien mengatakan bahwa n nutrisi intake
ananknya sering muntah kurang dari makanan
DO: kebutuhan (ASI)
Anak menangis, mual, perut tubuh
kembung, menolak
pemberian ASI
DO : Gangguan Feses masuk
Feses keluar bersamaan eliminasi urine ke uretra
dengan urine (dysuria)
DS : Cemas orang tua Kurangnya
Ibu klien mengatakan bahwa pengetahuan
dirinya bingung melihat terkait
kondisi sang anak penyakit
anak
DO: Kerusakan Pemasangan
Terpasang kolostomi pada Integritas Kulit Kolostomi

19
klien
DS: Nyeri akut Trauma
Ibu klien mengatakan bahwa jaringan
anak menangis
DO:
Klien terlihat lemas dan
tidak nyaman
DO: Inkontinensia Abnormalita
BAB klien tidak terkontrol defekasi s sfingter
sebagaimana normalnya rektal
DS: Resiko Infeksi Trauma
Ibu klien mengatakan bahwa jaringan post
luka pada anaknya operasi
memerah dan seperti
terjadi peradangan
DO:
Ada tanda-tanda radang
pada daerah post operasi
antara lain: rubor, dolor,
calor, tumor
Pasien terlihat tidak nyaman

3.2 Diagnosa Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Ditemukan Masalah Selesai


Masalah
Tgl. Para Tgl. Para
f f
1. Ketidakseimbangan nutrisi <
dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan
mencerna makanan
(mual, muntah)
2. Gangguan eliminasi urine

20
b.d. obstruksi anatomik
(atresia ani), dysuria
3. Kecemasan orangtua b.d.
kurangnya pengetahuan
terkait penyakit anak
4. Kerusakan integritas kulit
b.d. pemasangan
kolostomi
5. Nyeri akut b.d trauma
jaringan pasca operasi
6. Inkontinensia defekasi b.d
abnormalitas sfingter
rektal
7. Resiko infeksi b.d trauma
jaringan pasca operasi,
perawatan tidak adekuat

21
22
5. Implementasi Keperawatan
Nama Klien : An. Mawar
No. Register : 0123
Ruang : Teratai
Intervensi
Tujuan Tindakan Rasional
No Dx. Kep
dan Keperawatan/
NOC NIC
1. Ketidakseimban Setelah 1. Memonitor mual 1. Mengetahui
gan nutrisi dilakuk dan muntah berapa
kurang dari an 2. Kaji kemampuan output yang
kebutuhan tindaka klien untuk keluar
b.d. n mendapatkan 2. Memberika
ketidakmam kepera nutrisi yang n makanan
puan watan dibutuhkan sesuai
mencerna selama 3. Memonitor status kemampua
makanan 1x24 gizi n (oral atau
jam 4. Kolaborasi dengan NGT)
diharap dokter 3. Mengetahui
kan status gizi
kebutu dan
han meminimali
nutrisi -sir
klien malnutrisi
terpenu 4. Terkait
hi pemasanga
dengan n NGT
kriteria
hasil:
 Mampu
mengidenti
fikasikan
kebutuhan

23
nutrisi (4)
 Tidak ada
tanda-tanda
malnutrisi
(4)

2 Gangguan Setelah 1. Memantau tanda- 1. Mengetahui


eliminasi dilakuk tanda vital dan tingkat
urine b.d. an tingkat distensi distensi
obstruksi asuhan kandung kemih kandung
anatomik kepera dengan palpasi dan kemih klien
(atresia ani), watan perkusi 2. Mengetahui
dysuria selama 2. Periksa dan jumlah
1x24 timbang popok output
jam klien (urine) dan
diharap 3. Melakukan ada tidaknya
kan penilaian pada feses yang
ganggu fungsi kognitif bercampur
an 4.      3. Memastikan
elimnas apakah
i urine saluran
dapat kemih
teratasi  normal
kriteria
hasil:
 Kandung
kemih
pasien
kosong
secara
penuh (4)
 Intake

24
cairan
dalam
rentang
normal (4)
 Bebas dari
ISK (4)
3 Kecemasan Setelah 1. Kaji status mental 1. Derajat
orang tua dilakukan dan tingkat ansietas akan

berhubunga asuhan ansietas dari klien dipengaruhi


keperawatan bagaimana
n dengan dan keluarga.
1x24 jam informasi
kurang 2. Dengarkan dengan
diharapkan rasa tersebut
pengetahua penuh perhatikan
cemas orangtua diterima.
n tentang 3. Jelaskan dan
dapat hilang 2. Menjadi
penyakit atau berkurang.
persiapkan untuk pendengar
dan Kriteria Hasil: tindakan prosedur yang baik
prosedur 1.) Ansietas sebelum dilakukan dapat
perawatan berkurang operasi. mengurangi
2.) Ibu klien 4. Beri kesempatan rasa cemas
tidak gelisah klien untuk orangtua

mengungkapkan isi 3. Membuat


orang tua
pikiran dan
lebih
bertanya.
mengerti
5. Ciptakan
keadaan
lingkungan yang
anaknya
tenang dan
4. Dapat
nyaman.
meringankan
ansietas
terutama
ketika
tindakan
operasi
tersebut

25
dilakukan.
5. Mengungkap
kan rasa
takut dan
bertanya
secara
terbuka
dimana rasa
takut dapat
ditujukan.
6. Lingkungan
nyaman
dapat
mengurangi
cemas

4 Kerusakan Setelah 1. Hindari kerutan 1. Untuk


integritas dilakuk pada tempat tidur mencegah
kulit b.d. an 2. Jaga kebersihan perlukaan
pemasangan asuhan kulit agar tetap pada kulit
kolostomi kepera bersih dan kering 2. Untuk
watan 3. Monitor kulit akan menjaga
selama adanya kemerahan ketahanan
1x24 4. Oleskan lotion/baby kulit
jam oil pada daerah yang 3. Untuk
diharap tertekan mengetahui
kan 5. Monitor status adanya tanda
kerusak nutrisi klien kerusakan
an jaringan kulit
integrit 4. Untuk
as kulit menjaga
dapat kelembaban
berkura kulit

26
ng 5. Untuk
kriteria menjaga
hasil: keadekuatan
 Integritas nutrisi guna
kullit penyembuha
yang baik n luka
bisa
dipertahan
-kan (4)
 Perfusi
jaringan
baik (3)
 Menunjuk
an
pemaham
an dalam
proses
perbaikan
kulit dan
mencegah
terjadinya
cedera
berulang
(4)
5 Nyeri akut b.d Setelah 1. Observasi reaksi 1. Untuk
trauma dilakuk nonverbal dari mengetahui
jaringan an ketidaknyamanan bagian mana
(post asuhan klien yang nyeri
operasi) kepera 2. Bantu klien dan 2. Dengan
watan keluarga untuk dukungan
selama mencari dan orang tua
1x24 menemukan disekitar

27
jam dukungan klien bisa
diharap 3. Kontrol mengurangi
kan lingkungan yang nyeri
nyeri dapat 3. Lingkungan
akut memengaruhi nyeri yang nyaman
dapat 4. Kolaborasi dengan dapat
berkura dokter terkait mengurangi
ng pemberian rasa nyeri
kriteria analgesik 4. Analgesik
hasil: dapat
 Klien mengurangi
tampak nyeri
nyaman
dan
tenang (4)
6 Inkontinensia Setelah 1. Intruksikan 1. Untuk
defekasi b.d dilakuk keluarga untuk mengetahui
abnormalita an mencatat keluaran bentuk fisik
s sfingter asuhan feses feses yang
rektal kepera 2. Jaga kebersihan keluar
watan baju dan tempat 2. Mencegah
1x24 tidur terjadinya
jam 3. Evaluasi status resiko infeksi
diharap BAB secara rutin 3. Mengetahui
kan perkembanga
pengelu n perubahan
aran defekasi
defekas
i
terkontr
ol
dengan
kriteria
28
hasil:
 Defekasi
lunak,
feses
berbentuk
(4)

7 Resiko infeksi Setelah 1. Monitor tanda dan 1. Untuk


b.d trauma dilakuk gejala infeksi mengetahui
jaringan, an sistemik dan lokal tanda infeksi
perawatan tindaka 2. Batasi pengunjung lebih dini
tidak n 3. Pertahankan teknik 2. Untuk
adekuat kepera cairan asepsis pada menghindari
watan klien yang beresiko kontaminasi
selama 4. Inspeksi kondisi dari
1x24 luka/insisi bedah pengunjung
jam 5. Ajarkan keluarga 3. Untuk
diharap klien tentang tanda mencegah
kan dan gejala infeksi penyebab
klien 6. Laporkan infeksi
bebas kecurigaan infeksi 4. Untuk
dari mengetahui
tanda- kebersihan
tanda luka dan
infeksi tanda infeksi
dengan 5. Agar gejala
kriteria infeksi dapat
hasil: di deteksi
 Klien lebih dini
bebas dari 6. Agar gejala
tanda dan infeksi dapat
gejala segera
teratasi
29
infeksi (4)
 Jumlah
leukosit
dalam
batas
normal (4)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak
rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau berhentinya
perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus
30
urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam
usia  kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down.
Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien
apabila atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan
pemasangan kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin.
B. Saran
Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi.
Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita
harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola hidup
sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan kepada
ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani, maka perawat
harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat
mengatasi masalah yang timbul.

31
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada 09 November


2016)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan
Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang. http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta. EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus. Jakarta. Trans Info
Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta. Trans Info
Media

Anda mungkin juga menyukai