Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL MEDAH

HIV/AIDS

DOSEN PENGAMPU : SUPARDI,S.Kep.,Ns.,M.sc

Disusun Oleh :
FAJAR DWI NUGROHO

1902086

DIII KEPERAWATAN 2C

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

Tahun Ajaran 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan. Ringkasan materi ini
bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam pemahaman tentang “HIV/AIDS”. Saya
sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyusun materi
ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi
kesempurnaan materi ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak atas ide dan sarannya,
serta menilai dan memeriksa makalah ini. Dan pada akhirnya, semoga materi ini mendapatkan
keridhaan dari Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi saya dan kepada semua
pembaca.

Klaten 12 Oktober 2020

Penulis

ii
Daftar Isi
Kata pengantar
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tujuan
C. Prinsip
D. Manfaat
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Epidemiologi
C. Etiologi
D. Pathogenesis
E. Patofisiologi
F. Siklus hidup HIV
BAB 3
A. Kesimpulan
Daftar pustaka

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat di artikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi
oleh Virus HIV (Human Immunodeviciency Virus) yang termasuk family Retroviridae.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS merupakan satu satunya jenis
penyakit yang paling menakutkan hingga saat ini. Penyakit ini bukanlah terdiri dari
penyakit jenis tertentu, melainkan merupakan penyakit yang menyerang zat kekebalan
tubuh (antibody) manusia sehingga berbagai macam bakteri dan virus penyakit bisa
dengan mudahnya masuk kedalam tubuh manusia karena hilangnya zat antibody tadi.
Akhirnya bisa dibayangkan, segala jenis penyakit bisa hinggap dalam tubuh kita.
AIDS berasal dari virus HIV (Human Immunodeviciency Virus). Konon virus ini
berasal dari simpanse Afrika yang tertular kepada tubuh seorang gay yang berprofesi
sebagai pramugara dan sering berganti ganti pasangan seks. Hal ini terjadi karena
kemiripan DNA antara manusia dan simpanse sebesar 98%. Namun hingga saat ini, ini
masih menjadi pembicaraan para ahli di dunia. Yang pasti perkembangan AIDS ini
sendiri hingga saat ini terus mengalami peningkatan serius termasuk Indonesia sendiri. Ini
membuat badan kesehatan dunia WHO semakin gencar melakukan kampanye anti AIDS.
Masalah AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara diseluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta
orang. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan
berbagi klinis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan
Negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan
perawatan untuk individu yang terinveksi HIV.

iv
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian,
dari beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi
surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan
potong beku dan serum dari seseorang pria berusia 15 tahun di St. Louis, Amerika
Serikat, yang dirawat dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminati dan agresif pada
1968, menunjukkan antibody HIV positif dengan Western Blot dan antigen HTV positif
dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi keluar negeri sebelumnya, sehingga diduga
penularan berasal dari orang lain yang juga tinggal di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an atau lebih awal.
Virus penyebab AIDS didentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang
pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo
menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III.
Sedangkan tes untuk memeriksa antibody terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia
pada tahun 1985. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan
HIV/AIDS) lebih tidak dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi,
sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.
Kasus pertama AIDS di Indonesia di laporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali. Sebenarnya
sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat
sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan positif.
Hanya, hasil tes Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya
negative sehingga tidak dilaporkan sebagai kasusu AIDS. Kasus kedua inveksi HIV
ditemukan pada bulan maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia
dan termasuk jenis non progessor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup
baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah di konfirmasi dengan Western Blot,
serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hamper sama
dengan infeksi virus lainnya. Namun, berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke
rumah sakit menunjukkan adanya perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkn terdapat factor lain yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat
berpengaruh dalam stress. Stress yang dialami pasien HIV menurut konsep

v
psikoneuroimunologis, stimulus akan melalui sel astrosit pada kortikal dan amigdala pada
system limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF
(corticotrophin releasing factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (adrenal
corticotropic hormone) untuk mempengaruhi kelenjar korteks adrenal agar menghasilkan
kortisol. Kortisol ini bersifat immunoeppressive terutama pada sel zona fasikulata.
Apabila stress yang dialami pasien sangat tinggi maka kelenjar adrenal akan
menghasulkan korisol dalam jumlah besar sehingga dapat menekan system imun (Apasou
dan Sitkorsky, 1999), yang meliputi aktivitas APC (Makrofag); Th-1 (CD4); sel plasma;
IFN; IL-2; IgM-IgG, dan Antibodi HIV.

B.   Tujuan
Untuk mengetahui Anti-HIV pada darah Seseorang

C. Prinsip
Suatu campuran HIV-antigen menggabungkan enzim horsaedish peroxidase (HRP) yang
bertindak sebagai pengubung antara tetrabenzidin metal (TMB) dengan peroxidase
sebagai sitrat. Setelah penyelesaian Assay, perubahan warna yang menandai adanya
antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1 grup O. Jika kelak ada perubahan warna yang terjadi
berarti tidak ada antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1 grup O. sumur sumur ELISA yang di
tempeli dengan campuran HIV antigen antara lain HIV-1 p24, HIV-1 gp 160, HIV-1 p27
70 peptida dan HIV-2 260 peptida) asam amino 592-603.

D. Manfaat
Manfaat dari laporan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Menambah referensi tentang pentingnya pengetauan mengenai HIV/AIDS dalam
pembentukan sikap mereka terhadap pengidap HIV/AIDS.
2.    Menjadi dasar utnuk menentukan penanganan yang tepat dalam menciptakan
lingkungan konsdusif bagi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) termasuk
sikap  masyarakat terhadap mereka.

vi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala yang
menyerang tubuh manusia sesudah system
kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita
AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang
bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering kali menderita keganasan
khususnya sarcoma Kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus. Retrovirus
mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus
DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV
menginveksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik laten), dan terutama
menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan
system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi denan menggunakan DNA dari
CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi. Dalam prose situ, virus tersebut menghancurkan
CD4+ dan limfosit.
Secara structural, morfologi bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi
pembungkus lemak yang melingkar melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA.
HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan structural. 3 gen tersebut
adalah gag, pol dan env. Gag berarti group antigen, pol mewakili polymerase,
dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffman, Rockhstroh, Kamps, 2006).
Gen gag mengkode proten inti. Gen pol mengode komponen structural HIV yang dikenal
dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus yaitu, rev,
nef, vif, vpu, dan vpr.

B. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntuk pada
pengguna narkotika, tranfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi
yang dilahirkan. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi terhadap HIVAIDS misalnya
pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana.

vii
Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat,
baik kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar
odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana
persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat.
Beberapa bai yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut
dari tahap penularan heteroseksual.
Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian
jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai
terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika
suntik. Sampao dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.
Jumla itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara
90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun
menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu
dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu
survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan ngka infeksi HIV cukup tinggi di
lingkungan pekerja seks komersial (PSK) di Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta
Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adla bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin
nyata pada pengguna narkotika. Adalah sebagian besar odha yang merupakan pengguna
narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya
juga tampaknya seakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih
menonjol.
Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau
bibit bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim digunakan oleh
sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntuk dipakai bersama antara 2 sampai 15
orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di
Jakarta menunjukan peningkatan kasus indeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang

viii
menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada
tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey disebuah kelurahan di
Jakarta Pusat yang idlakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna
narkotika terinfeksi HTV.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indicator untuk
menggambarkan infeksi HTV/AIDS pada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990 belum
ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada
periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya semakin lama semakin
meningkat. Presentasi kantung darah yang dinyatakan tercear HIV adalah 0,002% pada
periode 1992/1993; 0,003% pada periode 1994/1995; 0.004% pada periode 1998/1999 dan
0,16% pada tahun 2000.
Prevalensi ini tentu perlu di tafsirkan dengan hati hati, karena sebagian donor darah
berasal dari tahanan di lembaga permasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di
rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HTV. Saat ini, tidak
ada lagi darah donor yang berasal dari penjara. Survey yang dilakukan pada tahun 1999-
2000 pada beberapa klinik Keluarga Berencana, Puskesmas, dan Rumah Sakit di Jakarta
yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil 547 orang bersedia
menjalani tes HIV tenyata positif terinfeksi HIV.

C. Etiologi
 

HIV ialah retrovirus yang disebut lymphadenophaty associated virus (LAV)


atau human T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang juga disebut human T-cell
lymphotrophic virus (retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier dkk pada tahun 1983 di
Prancis, sedangkan HTLV-111 ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada tahun
berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah
penelitian pada 200 monyet hijau afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut
tanpa menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut adalah HIV.
HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas dua untaian
RNA dalam inti protein yang dilindungi envelope lipid asal sel hospes. Virus AIDS
bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel darah putih
spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa factor T4 (CD4). Virus ini
dapat mengakibatkan penurunan jumlah limfosit T-helper secara progresif dan

ix
menimbulkan imunodefisiensi, yang selanjutnya terjadi infeksi sekuder atau oportunistik
oleh kuman, jamur,

Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, virus tersebut akan berada dalam tubuh korban
selama seumur hidup. Badan penderita akan mengalami reaksi terhadap invasi virus AIDS
dengan jalannya membentuk antibody spesifik, yaitu antibody HIV yang agaknya tidak
dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara yang biasa sehingga penderita tetap akan
merupakan individu yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya
pada orang lain disekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya
sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan tetapi hanya pada beberapa
orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.

D. Pathogenesis
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekuk permukaan CD4. Limfodit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respons imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada
mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen – presenting cells ke kelenjar getah bening
regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah kuning maka dalam 5 hari
setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang menekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Koinsiden dengan menghilangkan viremia adakah peningkatan sel limfosit CD8+
menyebabkan control optimal terhadap replikasi HTV. Replikasi HIV berapa pada
keadaan “ready-state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil
selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi
tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga pejalanan kekebalan tubuh pejamu
adalah heterogenitas kapasitas repika virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.

x
Antibody muncul di sirkulas dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama setelah replikasi virus telah menurun sampai ke
level “steady state”. Walaupun antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang
kuat infeksi virus, namun ternyata dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya
berubah sehingga netralisasi yang diperantai antibody tidak dapat terjadi.
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah
fungsi imunlogis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons
imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada
mukosa vagina. Virus dibawa olrh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening
regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari
setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang menekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Konsoiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8+
menyebabkan control optimal terhadap replikasi HTV. Replikasi HIV berada pada
keadaaan “steady-state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil
selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi
tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu
adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.
Antibody muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke
level “steady-state”. Walaupun antibodu ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang
kuat melawan infeksi virus, namun tenyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat
menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada amplopnya,
termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensi
berubaj sehingga netralisasi yang diperantarai antibody tidak dapat terjadi.

xi
Setelah infeksi, terdapat periode waktu yang disebut fase eklips (7-10 hari), selama
waktu itu komplemen virus tidak mudah dideteksi. Studi telah menunjukkan bahwa sebuah
virus dapat memulai infeksi da bahwa infeksi yang telah terjadi dapat muncul dari sebuah
focus pada sel T CD4+ mukosa yang terinfeksi. Setelah fase eklips, sel yang terinfeksi virus
berseta virus bebas sampai di kelenjar getah bening. Pada kelenjar getah bening, terjadi
interaksi sel sel imun, sel T CD4 + yang telah terinfeksi virus atau dengan sel penyaji
antigen seperti sel dendritik, yang telah mengambil dan menginternalisasi virus. Sel B juga
dapat berpartisipasi dalam interaksi interaksi ini. Setelah masuk ke dalam system limfoid,
virus dengan cepat dapat menyebar keseluruh tubuh melalui jaringan limfoid.
Tingkat infeksi sel T CD4+ bergantung pada jumlah sel sel ini didalam suaru area
limfoid: misalnya, pada jaringan limfoid terkait usus, yang kaya sel-sel CD4+, 80% sel sel
ini dapat dihabisi dalam 20 hari pertama infeksi HIV. Dan meskipun pada tingkat viremia
tertinggi, jumlah sel T CD4+ rendah, jumlahnya kemudian kembali ke tingkat normal.
Sayangnya, virus yang meloloskan diri dari system imun menciptakan wadah seluler virus
di banyak sel berbeda, tidak hanya pada sel T CD4+, melainkan juga pada monosit
makrofag, sel dendritikm dan sel otak mikrogliam yang juga merupakan CD4+.
Virus dapat tetap dorman di wadah ini dalam periode waktu yang lama, seingga lolos
dari deteksi imun. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan situasi ketika virus dapat
menyebabkan infeksi persisten yang pada akhirnya mendeplesi sel sel yang terindeksi
virus. Penyebab deplesi tersebut beragam; sel sel yang terinfeksi dieleminasi oleh sel T
sitotoksik yang dirancang untuk mengelminasi setiap sel yang terinfeksi oleh virus. Proses
penonjolan virus juga dapat menghancurkan sebuah sel, dan apoptosis yang diinduksi oleh
virus turut menyebabkan deplesi selm sehingga ketika deplesi meluas, sel yang terdeplesi
tidak dapat digantikan dengan cukup cepat.
Meskipun beragam sel CD4+ terkena oleh onfeksi, sel yang paing banyak terkena
adalah limfosit T helper; deplesi sel T helper pada akhirnya  menciptakan defisiensi imun
berat yang khas yang terkait dengan infeksi HIV. Peran sel T helper dalam respons imun,
baik humoral maupun yang di perantarai oleh sel, sangat penting, dan deplesi populasi sel
ini mempengaruhi kedua cabang system imun. Produlsi antibody terhadap banyak antigen
menjadi terganggu karena tidak adanya bantuan sel T dalam mengirimkan sinyal ke sel B;
imunitas yang diperantarai oleh sel juga terganggu oleh kurangnya sel T helper dan sitokin

xii
yang di sekresikannya dalam mengarahkan respons imun. Deplesi sel
T helper menciptakan tentara imun yang kekurangan semua petugas yang memerintah dan
yang berpengalaman, membuat tentara imun beberapa dalam kekacauan.

E. Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup dia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua orang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system
kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas
pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam,
nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non progressor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunitik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, dan herpes.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun sekama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS.
Jadi disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari
sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan system kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di
jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi.

xiii
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih terasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat in disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten.
Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya
tubuh masih bias mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 sel setiap
hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus Hepatitis C. infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika an biasanya tidak ditemukan pada
odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus
dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Makin lama seseorang menggunakan
narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberculosis. Infeksi secara
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reaktivasi virus didalam Limvosit T. akibatnya perjalanan penyakit biasanya lebih
progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga
tercermin dari hasil penelitian di RS dr Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV
asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika dengan kadar CD4 lebih dari 200
sel/mm3. Ternyat 56,24% mempunyai jumlah virus dalam darah (virus load) yang melebihi
55.000 kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif
masih cukup baik.
      
1.         Mekanisme Sistem Imun Normal
          System imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri atau virus yang
masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya, ketika system imun melemah atau rusak
oleh virus seperti virus HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik. System
imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, timus,
nodus limfa, tonsil, adenoid, apendiks, darah.
a.    Sel B. fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antibody humoral. Masing masing sel
B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemampuan untuk menyekresi

xiv
antibodu spesifik. Antibody bekerja dengan cara membungkus antigen, membuat
antigen lebih mudah untuk difagositosis (proses penelanan dan pencernaan antigen oleh
leukosit dan makrofag) atau dengan membungkus antigen dan memicu system
komplemen (yang berhubungan dengan respons inflamasi).
b.    Limfosit T. Limfosit T aatau sel T mempunyai 2 fungsi utama, yaitu regulasi system
imun dan membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus. Masing masing sel
T mempunyai marker permukaan seperti CD4+, CD8+, dn CD3+ yang membedakannya
dengan sel lain. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktifasi sel B, sel killer, dan
makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi
oleh virus atau bakteri seperti kanker
c.    Fagosit
d.   Komplemen

F. Siklus Hidup HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat pendek atau
singkat. Hal ini berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel pejamu baru untuk
mereplikasi diri. Sebanyak 10 miliar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama
HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membrane mukosa dan kulit selama 24 jam
pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa
dan kadang kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, ketika
replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1.         Masuk dan Mengikat
2.         Reverse transkripstase
3.         Replikasi
4.         Budding
Maturasi
   

Tipe HIV
Ada dua tipe HIV yang menyebabkan AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi
lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari HIV-1 telah
ditemukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok spesifik resiko tinggi.

xv
Individu dapat terinfeksi oleh subtype yang berbeda. Berikut adalah subtype HIV-1 dan
distribusi geografisnya:
1.         Subtype A     : Afrika Tengah
2.         Subtype B     : Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Thailand
3.         Subtype C     : Brazil, India, Afrika Selatan
4.         Subtype D     : Afrika Tengah
5.         Subtype E     : Thailand, Afrika Tengah
6.         Subtype F     : Brazil, Rumania, Zaire
7.         Subtype G     : Zaire, Gabon, Thailand
8.         Subtype H     : Zaire, Gabon
9.         Subtype O     : Kamerun, Gabon.

Subtype C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dar seua infeksi HIV baru di seluruh
dunia.

H.       Cara Penularan HIVAIDS


Virus HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:
1.         Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Hubungan seksual secara vaginal,
anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan dapat menularkan HIV. Selama
hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput
lender vagina, penis, dubur, atau mulut ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama
berhubungan juga dapat terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang
dapat menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000)
2.         Ibu pada janinnya. Penularan HIB dari ibu pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01%-0,7%.
Jika ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi
sebanyak 20-35%, sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinan
mencapai 505 (PELKESI, 1995). Penukaran juga terjadi selama proses persalinan melalui
transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V., 2004).

xvi
3.         Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. Sangat cepat menularkan HIV
karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh.
4.         Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan kandungan seperti
speculum, tenakulum, dan alat alat lain yang darah, cairan vagina atau air mani yang
terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bias
menularkan HIV (PELKESI, 1995)
5.         Alat alat untuk menorah kulit. Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet,
menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya dapat menularkan
HIV karena alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6.         Menggunakan jarum suntuk secara bergantian. Jarum suntik yang digunakan di
asilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh pengguna narkoba (injecting drug user,
IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntuk, para pemakai IDU
umumnya secara bersama sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan
gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan. HIV tidak menulai
melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara
bersama sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan social lainnya.

I.          Gejala dan Karakteristik Klinis


Gejala awal infeksi HIV bervariasu dari satu individu ke individu yang lain. Beberapa
orang tidak mengalami gejala apapun ketika mereka pertama kali terinfeksi oleh HIV.
Namun, yang lebih umum, gejala seperti flu termasuk sakit kepala, mual, nyeri
tenggorok, demam, diare, dan pembesaran kelenjar getah bening muncul. Penyakit ini
disebut sindrom HIV akut, dapat disalahartikan dengan infeksi virus sederhana lain dan
biasnya berlangsung dari 1 minggu hingga 1 bulan. Pada stadium ini, viremia sangat
tinggi. Ketika virus menyebar melalui system limfatik; terjadi juga penurunan jumlah sel
T CD4+ secara cepat.
Respons imun pejamu terhadap virus secara drastic menurunkan jumah virus tersebut,
dan individu yang terkena memasuki stadium latensi klinis. Sayangnya, virus tidak
seluruhnya di eleminasi dan virus masih ada, meskipun dalam jumlah yang lebih rendah,
di plasma dan jaringan limfoid. Selama periode ini, pasien dapat tidak bergejala, dan

xvii
jumlah sel T CD4+ kembali mendekati nilai normal; namun, transmisi virus dari satu
orang ke orang lain masih terjadi selama false latensi klinis, dan virus masih aktif
menginfeksi sel pejamu. Fase latensi klinis dapat berlangsung selama beberapa tahun
setelah infeksi awal; selama periode ini, beberapa orang masih tetap tak bergejala,
sementara orang lainnya dapat mengalami infeksi rinfan atau gejala kronis ringan. Pada
akhirnya, ketika virus terus bermultiplikasi dan menghancurkan sel imun, seperto pada
bentuk defisiensi imun yang lain, terjai infeksi oportunistik, dan individu penderitanya
dapat mengalami kondisi yang didefinisikan sebagai AIDS. Kandidiasis oral (sariawan)
adalah infeksi oportunistik yang biasa terjadi pada pasien AIDS.
Ketika pasien mengalami perkembangandari infeksi HIV menjadi gelaja klinis yang
mendefinisikan AIDS, viremia juga meningkat secara drastic; kejadian bentuk kanker
tertentu seperti sarcoma Kaposi, dan limfoma juga meningkat. Sistem imun bukan satu
satunya system yang diserang oleh HIV; virus HIV juga dapat menginfeksi system saraf,
terutama otak. Misalnya, ensefalopati metabolic yang disebut dimensia kompleks AIDS
dapat diindukasi oleh infeksi HIV pada miroglia otak dan makrofag. Kondisi ini
bermanifestasi setelah beberapa tahun psien terinfeksi HIV dan dicirikan oleh berbagai
gangguan neurologis termasuk gangguan fungsi motorik, abnormalitas kognitif,
perubahan perilaku, lupa, kelelahan, kebingungan, disorientasi, dan pada akhirnya,
dimensia, kelemahan ekstremitas bawah dan kehilangan control pergerakan tubuh total.
Gejala dini yang sering di jumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupaii
flu biasa. Sebelumnya tes serologi positif, gejala dini lainnya berupa penurunan berat
badan lebih dari 10% dari berat badan semula, keringat malam, diare kronis, kelelahan,
limfadenopati. Beberapa alhi klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV, yaitu:
1.         Infeksi HIV stadium pertama. Pada fase pertama terjadi pembentukan antibody dan
memungkinkan juga terjadi gejala yang mirip influenza atau terjadi pembekalan kelenjar
getah bening.
2.         Persisten generalized limphadenopati. Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di
leher, ketiak, inguinal, dan keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa
penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.         AIDS relative complex  (ARC). Virus sudah menimbulkan kemunduran pada system
kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah

xviii
oleh kekebalan tubuh. Di sini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare,
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang kadang lebih dari
satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4.         Full blown AIDS. Pada fase ini system kekebalan tubuh sudah rusak, penderita
sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu waktu. Sering terjadi
radang paru pneumonistik, dan gangguan pada system saraf pusat sehingga penderita
pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya
meninggal sebelum waktunya.

J.          Komplikasi
1.         Lesi Oral
Lesi oral terjadi karena kandidia, herpes simpleks, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
heridonitis human immunodeficiency virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.
2.         Neurologic
a.         Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung human immunodeficiency
virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
b.         Ensefalopati akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis. Dengan efek sakit kepala, malaise,
demam, paralise total/parsial.
c.         Infark serebral kornea sifilis meningovaskular, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d.        Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV.
3.         Gastrointestinal
a.         Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi,
dan dehidrasi.
b.         Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.

xix
c.         Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal gatal serta diare.
4.         Repirasi
Infeksi karena pneumokistik Carinii, sitomegalovirus, virus influenza, pneumokokus, dan
strongiloides dengan efek napas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan dan gagal nafas.
5.         Dermatologic
Lesi kulit stafilokokus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi
otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder, dan sepsis.
6.         Sensorik
Pada penglihatan, sarcoma Kaposi pada kongjugativa berefek kebutaan. Pada
pendengaran, terjadi otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.

Pemeriksaan Penunjang
1.         Konfirmsi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadapa antigen virus
structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi
2.         Untuk penularan vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody HIV
negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis berdasarkan
pada amflikasi asam nukleat.
3.         Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa
secara teratur (setiap 8-12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan menentikan
kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan pasca pengobatan (didefinisikan sebagai VL
<50 cd4="" dan="" kemungkinan="" komplikasi="" kopi="" menentukan=""
menghitung="" ml="">200 sel/mm3 menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun
pemeriksaan penunjang dasar yang diindkasikan oleh sebagai berikut.
Semua pasien                                    CD4 <200 mm="" sel="" sup="">3
Antigen permukaan HBV*               Rontgen toraks
Antibody ini HBV+                          RNA HCV
Antibodi HCV                                  Antigen kriptokokus
Antibody IgG HAV                         OCP tinja

xx
Antibody toksoplasma
Antibody IgG sitomegalovirus         CD4 <100 mm="" sel="" sup="">3
Serologi treponema                           PCR sitomegalovirus
Rontgen toraks                                 Funduskopi dilatasi
Skrining GUM                                  EKG
Sitologi serviks (wanita)                   kultur darah mikrobakterium
Keterangan: HAV, hepatitis A; HBV, hepatitis B; HCV, hepatitis C; *Antigen/antibody e
HBV dan DNA HBV jika positif; *Antibodi permukaan HBV jika negative dan riwayat
imuniasi.
Jika terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat suntik dan pasien
dari daerah endemic tuberculosis.
4.         ELISA (encyme-linked immunosorbent assay) adalah metode ang digunakan
menegakkan diagnosis HIV dengan sensitifitasnya tinggi, yaitu sebesar 98,1 -100%.
Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
5.         Western blot adalah metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV
dengan sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit,
mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
6.         PCR (polumerase chain reaction) digunakan untuk:
a.         Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih dapat menghambat pemeriksaan
secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat ekebalan untuk
melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itu lah yang diturunkan kepada bayi melalui
plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah olah sudah ada infeksi pada
bayi tersebut. (Catatan: HIV seing merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan HIVnya
sendiri).
b.         Menetapkn status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi
c.         Tes pada kelompok beresiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
d.        Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitifitas rendah untuk
HIV-2
7.         Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok beresiko, dilaksanakan 2
kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8.         Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

xxi
L.        Tata Laksana HIV
Belum ada penyembuhan untuk AIDS. Jadi perlu dilakukan pencegahan human
immunodeficiency virus (HIV) untuk mencegah terpajannya, dapat dilakukan dengan:
1.         Melakukan abstinesnsi seks atau melakukan hubungan kelamin dengan pasangn
yang tidak terinfeksi
2.         Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi
3.         Menggunakan pelindung jika berhubungan denan orang yang tidak jelas status HIV-
nya
4.         Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
5.         Mencegah infeksi ke janin/bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi HIV maka pengendaliannya, yatu:


1.         Pengendalian infeksi oportunistik, bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan
memulihkan infeksi oportunistik, noscokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi  bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien d lingkungan perawatan kritis.
2.         Terapi AZT (azidotimidin), disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral
AZT yang efektif terhadapAIDS. Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan
menghambat enzim pembalik transcriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya ≥3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien HIV posititd asimtomatik dan
sel T4>500.
3.         Terapi antiviral baru. Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imun dengan menghambat replikasi virus/memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat obat ini adalah:
a.         Didanosine
b.         Ribavirin
c.         Diedoxyxytidine
d.        Recombinant C4 dapat larut

xxii
4.         Vaksin dan rekonstruksi virus. Upaya rekostruksi imun dan vaksin dengan agens
tersebut seperti interferon.
5.         Penyuluhan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan makanan sehat,
menghindari stress, gizi yang kurang, alcohol, dan obat obatan yang mengganggu fungsi
imun.
6.         Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.

xxiii
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan mengenai makalah ini adalah:
1.    HIV (Human ImmunoDevesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam tubuh manusia,
yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acguired ImmunoDeviensi
Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan tubuh terhadap
serangan penyakit dari luar.
2.    Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV pada awal
permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas,  penderita hanya
mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat
mendapat kontak virus HIV tersebut.
3.    Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang
dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab  penyakit AIDS yang ada
hanyalah pencegahannya saja.

xxiv
DAFTAR PUSTAKA

United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health Organizations


(WHO). AIDS Epidemic Update. 2009. Diakses pada 2012
Olson. Rittenhouse. Kate., Nardin. De. Ernesto., 2014. Imunologi dan Serologi Klinis
Modern untuk Kedokteran dan Analis Kesehatan  (MTL/CLT). Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Irianto Koes. 2014. Bakteriologi Medis, Mikologi Medias, dan Virologi Medis (Medical
Bacteriology, Medical Micology, and Medical Virology). Bandung. Penerbit Alfabeta.
Jean Pierre Attain. 1988. Laboratory Diagnosis of HIV Infections, First Asia-Pasific
Congress of Medical Virology, Singapore.
Kuswiyanto. 2015. Buku Ajar Virology untuk Analis Kesehatan. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nurachmah. Elly. Mustikasari., 2009. Factor Pencegahan HIV/AIDS Akibat Perilaku
Bersiko Tertular pada Siswa SLTP

xxv

Anda mungkin juga menyukai