Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL MEDAH

FILARIASIS DAN MALARIA


DOSEN PENGAMPU : SUPARDI,S.Kep.,Ns.,M.sc

Disusun Oleh :

FAJAR DWI NUGROHO

1902086

DIII KEPERAWATAN 2C

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

Tahun Ajaran 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu pengetahuan. Ringkasan materi ini
bertujuan untuk melengkapi tugas mahasiswa dalam pemahaman tentang “Filariasis dan
Malaria”. Saya sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
menyusun materi ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat saya
harapkan demi kesempurnaan materi ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak atas
ide dan sarannya, serta menilai dan memeriksa makalah ini. Dan pada akhirnya, semoga
materi ini mendapatkan keridhaan dari Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi saya
dan kepada semua pembaca.

Klaten 12 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

A. BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
B. BAB 2 PEMBAHASAN
 Malaria
a. Pengertian
b. Etiologi
c. Pathogenesis
d. Gejala klinis
e. Diagnosis
f. Cara penularan
g. Factor resiko
h. Prognosis
i. Pengobatan
j. Pencegahan
k. Progam
l. Tantangan

 Filariasis
a. Pengertian
b. Etiologi
c. Pathogenesis
d. Gejala klinis
e. Diagnosis
f. Cara penularanm
g. Factor resiko
h. Prognosis
i. Pengobatan
j. Pencegahan
k. Progam pemberantasan
l. Tantangan-tantangan
C. BAB 3 Penutupan
1. Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia. Iklim tropis menjadi penyebab
berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk, seperti malaria, filaria, demam
berdarah, dan kaki gajah, bahkan menimbulkan epidemi yang berlangsung dalam spektrum
yang luas dalam masyarakat (Kadarohman, 2010). Penyakit malaria merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, angka kesakitan penyakit ini masih tinggi terutama di
kawasan Indonesia bagian timur (Hiswani, 2004). Penyakit ini yang berpengaruh terhadap
angka kesehatan masyarakat serta dapat menurunkan produktivitas kerja (Simpson, et al.,
2009) yang disebabkan infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan ditularkan dari orang ke
orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Luckman & Metcalft, 1982).

Nyamuk merupakan vektor penting dalam penyebaran penyakit malaria (Govindarajan et al.,
2012). Beberapa vektor malaria yaitu Anopheles aconitus dan Anopheles maculatus.
Anopheles aconitus aktif menggigit pada malam hari di rumah-rumah penduduk. Tempat
perindukan Anopheles aconitus terdapat di persawahan dan saluran irigasi. Nyamuk
Anopheles aconitus merupakan vektor penyakit malaria yang banyak ditemui di Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Bali. Selain itu nyamuk Anopheles maculatus juga merupakan vektor yang
banyak terdapat di Jawa. Nyamuk ini berkembang biak di daerah pegunungan dan perindukan
nyamuk ini terdapat di daerah sungai kecil, mata air yang jernih dan tempat-tempat yang
terkena sinar matahari langsung (Hiswani, 2004).

Salah satu pencegahan penyebaran malaria yaitu dengan cara pengendalian larva nyamuk
Anopheles. Selama ini pengendalian larva nyamuk masih menggunakan larvasida kimia.
Penggunaan larvasida kimia yang berlebihan dapat berdampak negatif karena larvasida kimia
tidak ramah lingkungan dan berisiko terhadap resistensi nyamuk (Tiwary, et al., 2007).

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Malaria

1. Pengertian
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus
plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah malaria
diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk
karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk.
Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam rawa, demam
tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme (Prabowo, 2008).
Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh protozoa terdiri dari
empat jenis spesies yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium
malariae menyebabkan malaria quartana, Plasmodium falciparum menyebabkan malaria
tropika dan Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

2. Etiologi
Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa Plasmodium yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk anopheles akan
menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada beberapa jenis nyamuk puncak
gigitannya adalah tengah malam sampai fajar (Widoyono, 2008).
Pada manusia plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Akan tetapi jenis
spesies Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat
menimbulkan kematian (Harijanto, dkk, 2010).
3. Patogenesis
Sporozoit yang infektif dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles melalui gigitannya
masuk ke dalam tubuh vertebrata. Sporozoit ini mengikuti aliran darah menuju organ
hati kemudian masuk ke dalam sel parenkim hati untuk memulai stadium eksoeritrositik.
Dalam sel parenkim hati, sporozoit berkembang menjadi schizon cryptozoit lalu
melakukan pembelahan yang menghasilkan merozoit cryptozoit. Sel parenkim hati
tersebut kemudian pecah karena banyaknya merozoit yang terus dihasilkan dari
pembelahan, hal ini menyebabkan merozoit keluar bebas dari sel tersebut. Sebagian
merozoit yang keluar difagosit oleh makrofag, sebagian lagi dapat memasuki sel
parenkim hati lainnya untuk mengulang siklus reproduksinya dan ada sebagian yang
mengikuti aliran darah lalu masuk ke dalam sel darah merah untuk memulai stadium
eritrositik.
Dalam sel darah merah, parasit tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi sedikit
sitoplasma berbentuk cincin dan disebut sebagai trofozoit. Pada trofozoit yang sedang
tumbuh, sitoplasmanya membesar, bentuknya menjadi tidak teratur dan mulai
membentuk pigmen. Trofozoit tumbuh menjadi schizon muda kemudian menjadi
schizon matang dan melakukan pembelahan yang menghasilkan banyak merozoit. Sel
darah merah kemudian pecah karena terlalu banyaknya merozoit sehingga merozoit
pigmen dan sisa sel keluar bebas ke plasma darah.
Sebagian merozoit difagosit dalam plasma darah dan sebagian lainnya dapat
menghindari fagositosis lalu memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus
schizogoni. Beberapa merozoit yang kini memasuki sel darah merah baru tidak
membentuk schizon tetapi membentuk gametosit yaitu mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina) untuk perkembangan pada siklus seksual.
Siklus seksual terjadi di tubuh nyamuk anopheles dimana darah dari vertebra yang
mengandung gametosit dihisap masuk ke dalam tubuh nyamuk tersebut. Mikrogametosit
dan makrogametosit dalam tubuh nyamuk kemudian berkembang menjadi mikrogamet
dan makrogamet. Dalam lambung nyamuk, mikrogamet dan makrogamet mengadakan
fertilisasi yang menghasilkan zigot. Zigot kemudian berkembang menjadi ookinet yang
dapat menembus dinding lambung nyamuk. Ookinet kemudian tumbuh menjadi ookista
yang mengandung ribuan sporozoit dan dengan pecahnya ookista maka sporozoit akan
dilepas ke dalam rongga badan dan bergerak ke seluruh jaringan nyamuk. Beberapa
sporozoit bermigrasi sampai pada kelenjar air liur nyamuk dan siap untuk ditularkan
kepada hospes vertebrata melalui gigitannya (Jerry, 2010)
4. Gejala Klinis
Gejala malaria yang umum terdiri dari tiga stadium (trias malaria) yaitu:
a. Periode dingin. Mulai menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus diri dengan selimut atau sarung dan saat menggigil seluruh tubuh sering
bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan.
Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan peningkatan
temperatur.
b. Periode panas. Penderita berwajah merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat mencapai 40o C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri
kepala, terkadang muntah-muntah, dan syok. Periode ini lebih lama dari fase dingin,
dapat sampai dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat. Mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, lelah, dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat
dan dapat melaksanakan pekerjaan seperti biasa (Harijanto, dkk, 2010).
Menurut Anis (2006), gejala malaria komplikasi sama seperti gejala malaria ringan,
akan tetapi disertai dengan salah satu gejala dibawah ini:
a. Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit).
b. Kejang
c. Panas tinggi disertai diikuti gangguan kesadaran
d. Mata kuning dan tubuh kuning
e. Pendarahan dihidung, gusi atau saluran pencernaan
f. Jumlah kencing kurang (oliguri)
g. Warna air kencing (urine) seperti air teh
h. Kelemahan umum
i. Nafas pendek.
5. Diagnosis
Menurut Soedarto (2011), diagnosis malaria ditegakkan setelah dilakukan
wawancara (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Akan tetapi
diagnosis pasti malaria dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan sediaan darah
menunjukakan hasil yang positif secara mikroskopis atau Uji Diagnosis Cepat (Rapid
Diagnostic Test = RDT).
a. Wawancara (anamnesis)
Anamnesis atau wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
penderita malaria yakni, keluhan utama: demam, menggigil, dan berkeringat yang
dapat disertai sakit kepala, mual muntah, diare, nyeri otot, pegal-pegal, dan riwayat
pernah tinggal di daerah endemis malaria, serta riwayat pernah sakit malaria atau
minum obat anti malaria satu bulan terakhir, maupun riwayat pernah mendapat
tranfusi darah.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terhadap penderita dapat ditemukan mengalami demam
dengan suhu tubuh dari 37,5o C sampai 40o C, serta anemia yang dibuktikan dengan
konjungtiva palpebra yang pucat, pambesaran limpa (splenomegali) dan pembesaran
hati (hepatomegali).
c. Pemerikasaan laboratorium
Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah yang
menurut teknis pembuatannya dibagi menjadi preparat darah (SDr, sediaan darah)
tebal dan preparat darah tipis, untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria dalam
darah. Tes diagnostik cepat Rapid Diagnostic Test (RDT) adalah pemeriksaan yang
dilakukan bedasarkan antigen parasit malaria dengan imunokromatografi dalam
bentuk dipstick. Test ini digunakan pada waktu terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa)
atau untuk memeriksa malaria pada daerah terpencil yang tidak ada tersedia sarana
laboratorium. Dibandingkan uji mikroskopis, tes ini mempunyai kelebihan yaitu hasil
pengujian cepat diperoleh, akan tetapi Rapid Diagnostic Test (RDT) sebaiknya
menggunakan tingkat sentitivity dan specificity lebih dari 95% (Soedarto, 2011).
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum penderita, meliputi
pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit.
Bisa juga dilakukan pemeriksaan kimia darah (gula darah, SGOT, SGPT, tes fungsi
ginjal), serta pemeriksaan foto toraks, EKG, dan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi
(Widoyono, 2008).
6. Cara Penularan
Menurut Bruce-Chwatt dalam Maulana (2004), penyakit malaria ditularkan
melalui dua cara, yaitu alamiah dan non alamiah. Penularan secara alamiah adalah
melalui gigitan nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria, sedangkan non
alamiah penularan yang tidak melalui gigitan nyamuk Anopheles.
a. Penularan secara alamiah (natural infection)
Penularan secara alamiah yaitu infeksi terjadi melalui paparan gigitan nyamuk
Anopheles betina yang infektif. Sumber infeksi malaria pada manusia selalu sangat
dekat dengan seseorang, apakah sebagai penderita malaria atau karier.
b. Penularan bukan alamiah
1) Malaria bawaan (konginetal), malaria pada bayi yang baru lahir disebabkan ibunya
menderita malaria. Penularan ini diakibatkan adanya kelainan pada sawar plasenta
(selaput yang menghalangi plasenta), sehingga tidak ada penghalang infeksi dari
ibu kepada janinnya. Selain melalui plasenta, penularan juga bisa melalui tali
pusat.
2) Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Infeksi
malaria melalui tranfusi darah menghasilkan siklus eritrositer karena tidak malalui
sporozoit (siklus hati) sehingga dapat dengan mudah diobati .
7. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang terbukti merupakan faktor risiko terjadinya malaria berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Babba, dkk (2006) ialah :
a. Dinding rumah yang terbuat dari kayu/papan yang tidak rapat serangga (berlubang)
mempunyai risiko 3,14 kali untuk terkena malaria dibandingkan dinding rumah yang
dari tembok (rapat serangga).
b. Keberadaan kandang ternak besar disekitar rumah mempunyai risiko 2,44 kali untuk
terkena malaria daripada rumah yang tidak memiliki kandang ternak di sekita rumah.
c. Kasa tidak terpasang pada semua ventilasi mempunyai risiko 2,14 kali untuk terkena
malaria daripada kasa terpasang pada semua ventilasi.
d. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko untuk terkena malaria
5,54 kali dibandingakn dengan orang yang tidak keluar rumah pada malam hari.
e. Pendidikan yang rendah (≤ SMP) mempunyai risiko untuk terkena malaria 3,56
dibandingkan dengan yang pendidkan > SMP.
Menurut Depkes RI (2005), terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi
kerentanan pejamu terhadap agent malaria diantaranya faktor usia, jenis kelamin, ras,
sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit sebelumnya, cara hidup, keturunan,
status gizi dan imunitas. Faktor risiko tersebut penting diketahui karena akan
mempengaruhi risiko terpapar oleh sumber penyakit malaria.
8. Prognosis
Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi. Malaria tanpa
komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan,
infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan
relaps sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama daripada
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale.
Infeksi Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria serebral yang
selanjutnya dapat mengakibatkan kebingungan mental, kejang dan koma. Prognosis
untuk infeksi Plasmodium falciparum lebih buruk dan dapat berakhir dengan kematian
dalam 24 jam sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan tepat (Medical Disability
Guidelines, 2009).
Mortalitas sangat jarang pada infeksi P.vivax, P. ovale, dan P. malariae. Untuk
pasien dengan infeksi P. falciparum tanpa komplikasi, mortalitas mendekati 10 – 20%.
Pada pasien yang bertahan pada malaria serebral, sekitar 5% orang dewasa dan 10%
anak-anak memiliki sekuele neurologis (Mandal, dkk., 2008).
9. Pengobatan
Jenis obat yang digunakan menurut Depkes RI (2005) ada dua jenis, yaitu
Klorokuin dan Sulfadoksin atau Pirimetamin. Klorokuin diberikan satu minggu sekali,
dimulai satu minggu sebelum masuk daerah malaria dan diteruskan sampai 4 minggu
setelah meninggalkan daerah tersebut. Dosis yang diberikan yaitu 1/4 tablet/hari untuk
umur 15 tahun. 1 tablet klorokuin mengandung 150 mg basa. Klorokuin tidak boleh
diberikan dalam keadaan perut kosong. Sulfadoksin atau Pirimetamin diberikan apabila
memasuki daerah resisten klorokuin. Obat ini diberikan satu minggu sekali. Dosis yang
diberikan yaitu 1/4 tablet/hari untuk umur 1-4 tahun, 1/2 tablet/hari untuk umur 5-9
tahun, 3/4 tablet/hari untuk umur 10-14 tahun, dan 1 tablet/hari untuk umur >15 tahun. 1
tablet sulfadoksin/pirimetamin mengandung 500 mg/25 mg. Klorokuin tetap diberikan
untuk mencegah infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae.
10.Pencegahan
Pada umunya pencegahan dan pemberantasan malaria dilakukan dengan cara
mengobati penderita malaria atau yang diduga menderita malaria atau memberikan
pengobatan pencegahan malaria yang ditujukan pada orang-orang yang berasal dari
daerah non-endemik malaria yang akan berkunjung ke daerah endemik malaria. Selain
itu harus dilakukan pemberantasan nyamuk Anopheles yang menjadi vektor malaria dan
memusnahkan sarang-sarang nyamuk Anopheles serta mencegah gigitan nyamuk dengan
menggunakan Repellent dan menggunakan kelambu atau kasa pada jendela kamar tidur
(Soedarto, 2003).
Pencegahan juga dapat dibagi ke dalam 3 level yaitu :
a. Pencegahan Primer, adalah upaya untuk mempertahankan orang yang sehat tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Kegiatannya sederhana dan
dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, seperti :
1) Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria dengan cara tidur
menggunakan kelambu pada malam hari, tidak berada di luar rumah, mengolesi
badan dengan obat anti gigitan nyamuk (repelen), memakai obat nyamuk bakar,
memasang kawat kasa pada jendela, dan menjauhkan kendang ternak dari rumah.
2) Membersihkan tempat sarang nyamuk dengan cara membersihkan semak-semak di
sekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, dan mengalirkan atau
menimbun genangan-genangan air serta tempat-tempat yang dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk Anopheles.
3) Membunuh nyamuk dewasa dengan penyemprotan insektisida.
4) Membunuh jentik-jentik dengan menebarkan ikan pemakan jentik.
5) Membunuh jentik dengan menyemprot larvasida. Selain itu, pencegahan primer
juga dilakukan terhadap parasit yaitu dengan pengobatan profilaksis. Pengobatan
profilaksis diberikan dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya
gejala.
b. Pencegahan Sekunder, adalah upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar
sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindarkan komplikasi.
Kegiatannya meliputi: pencarian penderita secara aktif melalui skrining dan secara
pasif dengan melakukan pencatatan dan pelaporan kunjungan penderita malaria,
diagnosa dini dan pengobatan yang adekuat, dan memperbaiki status gizi guna
membantu proses penyembuhan.
c. Pencegahan Tertier, adalah upaya untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rahabilitasi. Kegiatannya meliputi: penanganan lanjut akibat komplikasi
malaria, dan rehabilitasi mental/psikologi (Mutia, 2016).
11. Program Pemberantasan
Menurut Depkes RI. (2008a), strategi program eliminasi malaria dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Diagnosis Malaria
Semua kasus malaria dikonfirmasi dengan mikroskop atau Rapid Diagnostic Test
(RDT).
b. Pengobatan Artemisinin-based Combination Therapy (ACT).
c. Pencegahan
Pendistribusian kelambu (Long-Lasting Insecticidal Net - LLin), Indoor Residual
Spraying/IRS, dan lain-lain. Kelambu LLiN efektif sampai 3-5 tahun dan dapat dicuci
secara teratur 3 bulan sekali.
d. Kemitraan dalam Menuju Eliminasi Malaria
1) DPRD
a) Legislasi, bersama eksekutif, contoh penyusunan Perda Pengawasan
Lingkungan dari Tempat Perindukan Nyamuk pada sektor Wisata.
b) Penganggaran, dll.
2) BAPPEDA
a) Perencanaan program
b) Penganggaran, dll.
3) Sektor Pariwisata
Penggerakan “resort”, hotel dan institusi disektor pariwisata untuk meniadakan
tempat perindukan nyamuk di lingkungan sekitar masingmasing, dll.
4) Sektor Informasi/ Humas
a) Penyebar luasan upaya penghindaran diri dari gigitan nyamuk.
b) Penyebar luasan upaya pencarian pengobatan, dll.
5) Sektor Kimpraswil
a) Penyediaan air bersih dan pembangunan MCK.
b) Program sungai bersih, dll.
6) Sektor Peternakan
Penyuluhan penempatan kandang yang berfungsi sebagai “cattle barier”, dll.
7) Sektor Pertanian
Dalam rangka tanam padi serempak dan sanitasi kebun, dll.
8) Sektor Perikanan dan Kelautan
a) Budi daya ikan (ikan pemakan jentik) untuk ditebarkan di kolam, badan air.
b) Penanaman kembali pohon bakau, dll.
9) Sektor Pendidikan Nasional
Menjadikan pengetahuan upaya pengendalian malaria sebagai materi pelajaran
Muatan Lokal (MULOK), dll.
10) PKK
Penggerakan ibu rumah tangga dalam pencegahan gigitan nyamuk dan upaya
pencarian pengobatan, dll.
11) LSM
a) Penggerakan masyarakat dalam pencegahan dan KIE.
b) Penemuan dan pengobatan malaria, dll.
12) Lintas Sektor/Lintas Program dan Lembaga Swadaya Masyarakat
Berperan sesuai TUPOKSI/peran masing-masing yang berdampak poisitif
terhadap pengendalian malaria, dll.
e. Pos Malaria Desa
Pos Malaria Desa adalah wadah pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian
malaria yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat secara mandiri dan
berkelanjutan. Ini bertujuan untuk meningkatkan jangkauan penemuan kasus malaria
melalui peran aktif masyarakat dan dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan malaria.
12. Tantangan Program Pengendalian Malaria
a. Hubungan dengan Kemiskinan.
Malaria dapat dicegah, tingginya prevalensi malaria merefleksikan adanya
hambatan finansial dan budaya untuk mencegah dan mengobati malaria secara tepat
dan efektif. Malaria dihubungkan dengan kemiskinan sekaligus sebagai penyebab dan
akibat. Malaria sangat mempengaruhi kondisi penduduk miskin di daerah terpencil
yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan.
b. Ketidakstabilan politik, Bencana alam, dan Perpindahan Penduduk
Bencana akibat ulah manusia juga berkontribusi pada memburuknya malaria di
antara komunitas pengungsi. Tingginya mobilitas penduduk menyebabkan tingginya
wabah malaria di daerah-daerah yang sebelumnya telah dideklarasikan sebagai daerah
bebas malaria. Tingginya kepadatan penduduk ikut mendorong penduduk berpindah
ke hutan atau tepian hutan di mana di daerah itu malaria adalah endemik.
Kecenderungan tekanan ekonomi dan gejolak sosial akan berpengaruh terhadap
upaya pemberantasan malaria.
c. Sumber Daya Manusia secara Jumlah dan Kualitas Terbatas
Di Jawa dan Bali, jumlah Juru Malaria Desa (JMD) menurun. Hal ini
mengkhawatirkan karena peran mereka sangat penting dalam deteksi dini dan
pengobatan malaria. Di daerah-daerah dengan kejadian malaria yang tinggi yang
merupakan sentra-sentra pembangunan ekonomi, tambahan jumlah JMD diperlukan
untuk direkrut untuk mengintensifkan deteksi dan pengobatan malaria. Pelatihan
penyegaran kembali pun menjadi kegiatan yang sangat penting untuk dilanjutkan.
d. Dana Terbatas
Perubahan dalam peran dan tanggung jawab yang diasosiasikan dengan
desentralisasi dapat menghambat kegiatan pemberantasan malaria. Lebih lagi untuk
kegiatan kesehatan masyarakat seperti kegiatan pengawasan penyakit dan
pemberantasan nyamuk di mana kelambu dan insektisida untuk penyemprotan rumah
secara relatif masih mahal.
e. Resistensi
Resistensi dilaporkan terjadi di seluruh provinsi, baik untuk obat malaria yang
tersedia, maupun insektisida. Galur (strain) malaria yang resisten terhadap klorokuin
pertama kali diidentifikasi di Indonesia pada 1974 dan saat ini sudah meluas ke
seluruh Indonesia. Kepatuhan terhadap pengobatan malaria yang tidak memadai,
pengobatan yang tidak tepat, dan tingginya mobilitas penduduk bersamaan dengan
transmisi dinamis yang intensif turut pula berperan di balik tingginya resistensi ini.
Resistensi obat mengakibatkan pengobatan malaria menjadi semakin kurang efektif
dan di masa mendatang diperlukan obat-obat yang lebih mahal (Kementerian PPN,
2011).
B. Filariasis
1. Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan
oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa
pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan
atau kronik (Depkes RI, 2005).
Menurut Chin, J. (2006) Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening
dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran
kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin.
2. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar
getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria hidup dalam darah. Mikrofilaria
ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh
tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori
(Gandahusada, 2006).
3. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap
parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke
dalam tubuh adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum
perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase
dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi
oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran dan kerusakan
kelenjar, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang
terdapat dikulit (Depkes RI, 2005).
Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing
filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi),
sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik:
a. Penimbunan cairan limfe.
b. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kuiit atau jaringan melalui saluran limfe ke
kelenjer limfe.
c. Kelenjer limfe tidak dapat menyerang bakteri yang masuk dalam kulit.
d. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurren tacute
attack).
e. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit,
menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan
jaringan ke kelenjer limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
f. Pada penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan
menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
peningkatan pembentukkan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi
penigkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang
timbul akan menjadi pembengkakan menetap (Depkes RI., 2005).
4. Gejala Klinis
Penderita filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis), hal ini
disebabkan oleh kadar mikrofilaria yang terlalu sedikit dan tidak terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak terdapat mikrofilaria dalam darah.
Apabila menimbulkan gejala, maka yang sering ditemukan adalah gejala akibat
manifestasi perjalanan kronik penyakit. Gejala penyakit pada tahap awal (fase akut)
bersifat tidak khas seperti demam selama 3-4 hari yang dapat hilang tanpa diobati,
demam berulang lagi 1-2 bulan kemudian, atau gejala lebih sering timbul bila pasien
bekerja terlalu berat. Dapat timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau ketiak
dengan tidak ada luka di badan. Dapat teraba garis seperti urat dan berwarna merah,
serta terasa sakit dari benjolan menuju ke arah ujung kaki atau tangan.
Gejala terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, mulai dari yang ringan sampai
yang berat. Cacing akan menyebabkan fibrosis dan penyumbatan pembuluh limfe.
Penyumbatan ini akan mengakibatkan pembengkakan pada daerah yang bersangkutan.
Tanda klinis yang sering ditemukan adalah pembengkakan skrotum (hidrokel) dan
pembengkakan anggota gerak terutama kaki (elefantiasis) (Widoyono, 2008).
5. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya rnikrofilaria dalam darah tepi,
kiluria, eksudat, varises limfe, dan cairan limfe dan cairan hidrokel, atau ditemukannya
cacing dewasa pada biopsi kelenjer limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang
sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan darah
menunjukkan adanya eosinofili antara 5 - 15%. Selain itu juga melalui tes intradermal
dan tes fiksasi komplemen dapat rnembantu rnenegakkan diagnosis (Nasrin, 2008).
Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah pada puncak masa periodik, misalanya
antara jam 10 malam sampai tengah malam (nocturnal periodik Wuchereria bancrofti
dan Brugia malayi) (Soedarto, 2009). Diagnosis filariasis hasilnya lebih tepat bila
didasarkan pada anamnesis yang berhubungan dengan vektor di daerah endemis dan di
konfirmasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Bahan pemeriksaan adalah darah
yang diambil pada malam hari yang kemudian dibuat sediaan darah tetes tebal lalu
diperiksa dengan mikroskop untuk melihat adanya mikrofilaria yang masih bergerak
aktif, sedangkan untuk menetapkan spesies filaria dilakukan dengan membuat sediaan
darah tetes tebal yang diwarnai dengan larutan Giemsa atau Wright. (Onggowaluyo,
2002).
Dalam darah penderita dengan gejala filariasis tidak selalu ditemukan mikrofilaria.
Kira – kira setelah satu tahun pascainfeksi. Larva menjadi cacing dewasa dan
mengeluarkan mikrofilaria. Pada bulan pertama terjadi gejala filariasis yang disertai
peradangan. Pada gejala ini tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah (Onggowaluyo,
2002).
6. Cara Penularan
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular (manusia dan
hewan), parasit, vektor, manusia yang rentan, lingkungan (fisik, biologik dan sosial-
ekonomi-budaya) (Natadisastra, dkk, 2009). Filariasis tidak langsung menular orang ke
orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk pada saat mikrofilaria berada pada
darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi awal.
Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang
terinfeksi (Arsin, 2016).
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria,
mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan
selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi
larva stadium I (L1) setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut
larva preinfektif setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan.
Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang tampak panjang dan
ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan
10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva
infektif (Depkes RI, 2005).
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko
tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan
keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian
menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing
dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
7. Faktor Risiko
a. Manusia
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung
larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2006a). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kadarusman (2003) variabel umur merupakan salah satu variabel yang
berhubungan dengan terjadinya filariasis.
2) Jenis Kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis pada laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan karena pada umumnya laki-laki lebih sering
terpapar dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2006b).
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis
filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis.
Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis
biasanya terjadi perubahan patologis dalam tubuhnya (Depkes RI, 2006b).
4) Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan pada saat nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk
terkena filariasis. Menurut Nasrin (2008), terdapat hubungan pekerjaan dengan
kejadian filariasis. Orang yang memiliki pekerjaan petani. buruh tani, buruh
pabrik, dan nelayan berisiko tertular penyakit filariasis.
5) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non-endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2006b).
b. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah sungai,
hutan, rawa-rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air.
Daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah
perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai
habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama
dengan derah endemis Brugia malayi (Depkes RI, 2007).
c. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial, yaitu :
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria (Nematode :
Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama
sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan
mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Sebanyak 32
varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik
Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko
penularan filarial (Masrizal, 2013).
8. Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria dalam
tubuh penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan untuk infeksi ulang
dan aktivitas RES. Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila
pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus
lanjut terutama dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk (Herdiman, 2004).
9. Pengobatan
Semua kasus klinis penyakit filariasis baik stadium dini, stadium lanjut dengan
gejala akut yang berupa demam berulang dan gejala peradangan yang lainnya diberi
obat-obatan yaitu antipiretik, analgetik, antibiotik sampai gejala akut teratasi.
Selanjutnya diberi pengobatan Dietyl Carbamazine Citrate (DEC) 3 x 1 tablet selama 10
hari serta parasetamol 3 x 1 tablet dalam 3 hari pertama. Penderita klinis tersebut diikut
sertakan dalam program pengobatan massal di daerah endemis dengan menggunakan
obat DEC 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari dan Albendazole 400 mg sekali setahun
selama 5-10 tahun. Dietilkarbamazin adalah efektif tetapi dapat mencetuskan reaksi
alergi yang dapat diatasi dengan antihistamin (Sutanto, dkk, 2008 ; Bell, dkk, 1995).
Hasil penelitian yang dilakukan Burkot, dkk (2006) didapatkan hasil bahwa
pengobatan filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC dan Albendazole lebih
efektif jika dibandingkan pengobatan hanya menggunakan DEC. Hal ini dibuktikan
dengan terjadinya pengurangan level antigen cacing dewasa dan pengurangan reaksi
klinis dalam menginfeksi manusia. Kombinasi DEC dan Albendazole lebih efektif
mengurangi prevalensi filariasis dan kepadatan mikrofilaria untuk waktu lebih lama.
10. Pencegahan
Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang
dapat dilakukan adalah:
a. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki,
tangan, kantong buah zakar, atau payudara.
b. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas
kesehatan.
c. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
d. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
e. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat
tidur.
11. Program Pemberantasan
Menyusul kesepakatan global pada tahun 1997, WHO yang menetapkan filariasis
sebagai masalah kesehatan masyarakat dan diperkuat dengan keputusan WHO pada
tahun 2000 untuk mengeliminasi fiariasis pada tahun 2020, Indonesia sepakat untuk
melakukan program eliminasi filariasis yang dimulai pada tahun 2002.
Strategi yang dilakukan dalam mendukung program Eliminasi Filariasis Tahun 2020
adalah:
a. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah
endemis filariasis.
b. Mencegah dan membatasasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis
filariasis.
c. Pengendalian vektor secara terpadu.
d. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.
e. Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian (Depkes RI, 2008b).
12. Tantangan dalam Program Pemberantasan Filariasis
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengeliminasi penyakit yang cukup
mengganggu dan merugikan masyarakat ini. Pemerintah telah mencanangkan program
eliminasi (pemberantasan) tahun 2020, upaya maksimal dan melibatkan banyak pihak
telah dijalankan, namun kompleksnya permasalahan penyakit ini dan luasnya jangkauan
geografis membuat upaya eliminasi mengalami hambatan dalam penuntasannya.
Perilaku masyarakat dan pelayanan kesehatan sampai ke pelosok ‘pedalaman’
merupakan tantangan tersendiri dalam mengeliminasi penyakit ini, ditambah keberadaan
berbagai jenis nyamuk sebagai vektor pembawa cacing filaria turut memberikan
kontribusi ‘significant’ nyata terhadap endemisitas filariasis di berbagai kawasan di
Indonesia (Arsun, 2016).
BAB 3

PENUTUP
Kesimpulan
A. Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa dari
genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles.
Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu buruk dan area udara
atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang
mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti
demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges,
demam kura dan paludisme.
B. Filariasis
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk
Daftar Pustaka
"Malaria Fact sheet N°94". WHO. March 2014. Diakses tanggal 28 August 2014.

Caraballo H (2014). "Emergency department management of mosquito-borne illness:


Malaria, dengue, and west nile virus". Emergency Medicine Practice. 16 (5).

Nadjm B, Behrens RH (2012). "Malaria: An update for physicians". Infectious Disease


Clinics of North America. 26 (2): 243–59. doi:10.1016/j.idc.2012.03.010. PMID 22632637.

Organization, World Health (2010). Guidelines for the treatment of malaria (edisi ke-2nd).


Geneva: World Health Organization. hlm. ix. ISBN 9789241547925.

"Malaria Fact sheet N°94". WHO. Diakses tanggal 2 February2016.

WHO (2014). World Malaria Report 2014. Geneva, Switzerland: World Health


Organization. hlm. 32–42. ISBN 978-92-4156483-0.

Gollin D, Zimmermann C (August 2007). Malaria: Disease Impacts and Long-Run


Income Differences (PDF) (Laporan). Institute for the Study of Labor.

Worrall E, Basu S, Hanson K (2005). "Is malaria a disease of poverty? A review of the
literature". Tropical Health and Medicine. 10 (10): 1047–59. doi:10.1111/j.1365-
3156.2005.01476.x. PMID 16185240. 

Greenwood BM, Bojang K, Whitty CJ, Targett GA (2005).


"Malaria". Lancet. 365 (9469): 1487–98. doi:10.1016/S0140-6736(05)66420-
3. PMID 15850634.

Anda mungkin juga menyukai