10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. selain
sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus
bangsa. oleh kerena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya
jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling
sering di jumpai pada anak. bangkitan kejang demam terjadi karena adanya
kenaikan suhu tubuh(suhu rektal di atas 38°c ) yang disebabkan oleh proses
ekstranium. penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernafasan
bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan (ngastiyah, 1997:229)
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur dibawah 5 tahun
pernah menderita kejang deman. Kejang demam lebih sering di dapoatkan
padalaki-lakidaripada perempuan . Hal tersebut disebabkan karena pada
perempuan didapatkan maturasi serebal yang lebih cepat di bandingkan laki-
laki(me.sumijati, 2000:72-73)
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik,
riwayat prenatal, dan perinatal. Demam pada kejang demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi traktusurinarius. kejang tidak selalu timbul pada
suhuyang tinggi. kadang-kadang pada demam yang tidak beitu tinggi sudah
dapat menimbulkan kejang. pada anak yang demikian biasanya mempunyai
resiko tinggi terjadikekambuhan kejang.
Peran perawat dalam menghadapi pasien dengan kejang saat pertama
kaliadalah mengidentifikasi atau mengkaji keadaan pasien dan kejang yang
dialami pasien. Adanya informasi yang mendukung tegaknya diagnosa medis
atau keperawatan sangat bergantung juga pada skai mata saat kejang
menyerang pasien (onset kejang). Data dari saksi tersebut dapat
mendeskripsikan secara spesifik oleh perawat dan mempermudah penanganan
pertama kali dalam menangani kedaruratan.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian demam kejang
2. Untuk mengetahui etiologi demam kejang
3. Untuk mengetahui patofisiologi demam kejang
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis demam kejang
5. Untuk mengetahui manajemen medik demam kejang
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan kejang demam
BAB II
PEMBAHASAN
Proses Penyakit
KEJANG
E. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi
kejang demam, diantaranya sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al., 2009). Selain itu, glukosa
darah harus diukur jika kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau
yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai (Farrell dan Goldman, 2011).
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasein kejang
demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk bayi kurang dari 12
bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk dilakukan dan bayi > 18
bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada kasus kejang demam hasil
pemeriksaan ini tidak berhasil (Pusponegoro dkk, 2006).
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam
sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang yang
kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada kejang
demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang
bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral (Jonston, 2007).
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan
dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak
(mikrosefali, spastisitas), terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial
(kesadaran menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI,
edema papil) (Saharso et al., 2009).
F. Manajemen Medik
a. Terapi farmakologi
Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena.
Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
sebanyak 20 mg.
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang
mempunyai berat badan lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan
dosis 5 mg dapat diberikan untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Apabila kejangnya belum berhenti,
pemberian diapezem rektal dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval waktu 5 menit. Anak seharusnya dibawa ke rumah
sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang, setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/
menit atau kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika
kejang belum berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat
di ruang intensif. Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan.
Kedua parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk
mengurangi kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi
risiko kejang demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam
dan memperbaiki kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita
menggunakan metamizole (dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai
empat dosis harian (100 mg/ kg/ hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/
dosis, juga sampai empat dosis harian (sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-
anak di atas usia enam bulan, diberikan ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/
kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi (sampai 40 mg/ kg/ hari pada
anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200 mg) (Siqueira, 2010).
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang
demam menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari
15 menit, kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian
kejang misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental
dan hidrosefalus, dan kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat
dipertimbangkan jika kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam,
kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan dan kejang demam
berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk pengobatan jangka
panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis) atau
asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis). Dengan
pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan
pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara
bertahap selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009).
b. Terapi non-farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et al.,
2011 dan Capovilla et al., 2009):
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka
misalnya ikat pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu
tubuh yang tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat
antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah,
SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg
pada kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika
kejang berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli
anestesi, ahli saraf) untuk pengobatan.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisa data subjektif dan objektif yang
telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan diagnosis keperawatan.
Diagnosis keperawatan melibatkan proses berfikir kompleks tentang data yang
dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medik dan pemberi pelayanan kesehatan
yang lain. Komponen komponen dalam pernyataan diagnosis keperawatan
meliputi masalah (problem), penyebab (etiologi), tanda dan gejala (sign and
symptom) (Asmadi,2008). Menurut NANDA (2015) dan Sukarmin (2012),
diagnosa yang muncul pada kejang demam yaitu :
a. Resiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring
oleh lidah, spasme otot bronkus
b. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakefektifan orientasi (kesadaran
umum), kejang.
c. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, penurunan
reflek menelan.
d. Resiko kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
e. Cemas pada orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit.
3. Rencana Keperawatan
Menurut Deswani (2009), intervensi keperawatan adalah panduan untuk perilaku
spesifik yang diharapkan dari klien dan tindakan yang harus dilakukan oleh
perawat. Intervensi dilakukan untuk membantu klien mencapai hasil yang
diharapkan. Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas.
Pengelompokan seperti bagaimana, kapan, dimana, frekuensi dan besarnya,
menunjukan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu mandiri (dilakukan oleh perawat) dan kolaboratif (yang
dilakukan bersama dengan memberi perawatan lainnya). Tiga komponen utama
yang harus ada dalam sebuah rencana asuhan keperawatan adalah sebagai berikut.
Diagnosa keperawatan atau masalah yang diprioritaskan, kriteria hasil yaitu apa
hasil yang diharapkan dan kapan ingin mengetahui hasil yang diharapkan tersebut,
intervensi yaitu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan atau kriteria
hasil. Adapun intervensi yang dilakukan pada setiap diagnosa keperawatan yang
dibuat menurut Sukarmin (2012) dan NANDA (2015) adalah, sebagai berikut:
a. Resiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring
oleh lidah, spasme otot bronkus Tujuan: Obstruksi jalan nafas tidak terjadi
Kriteria Hasil:
1) Frekuensi pernafasan meningkat 28-35 x/menit
2) Irama pernafasan reguler dan tidak cepat
3) Anak tidak terlihat terengah-engah Intervensi:
a) Monitor jalan nafas, frekuensi pernafasan, irama pernafasan tiap
15 menit pada saat penurunan kesadaran
b) Tempatkan anak pada posisi semifowler dengan hiperekstensi
c) Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang
d) Bebaskan anak dari pakaian yang ketat
b. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakefektifan orientasi (kesadaran
umum), kejang. Tujuan: Cedera tidak terjadi. Kriteria Hasil:
1) Klien terbebas dari cedera
2) Mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cedera
3) Memodifikasi gaya hidup untuk mencegah cedera.
Intervensi:
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk klien.
2) Identifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif klien dan riwayat penyakit terdahulu klien.
3) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
4) Memasang side rail tempat tidur
5) Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
6) Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
7) Menganjurkan keluarga untuk menemani klien
c. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, penurunan
reflek menelan. Tujuan: Aspirasi tidak terjadi Kriteria Hasil:
1) Klien dapat bernafas dengan mudah
2) Irama teratur
3) Frekuensi normal
4) Klien mampu mengunyah
5) Menelan tanpa terjadinya aspirasi
6) Jalan nafas paten
7) Suara nafas normal.
Intervensi:
1) Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuanmenelan
2) Monitor status paru pelihara jalan nafas
3) Lakukan suction jika diperlukan
4) Cek nasogastrik sebelum makan
5) Hindari makan kalau residu masih banyak
6) Potong makanan kecil-kecil
7) Posisi tegak 90 derajat atau sejauh mungkin
d. Resiko kejang berulang berhubungan dengan hipertermi. Tujuan: Kejang
berulang tidak terjadi Kriteria Hasil:
1) Anak sudah tidak kejang
2) Kejang sudah dapat terkontrol
3) Anak dapat pengobatan secara teratur.
Intervensi:
1) Kaji faktor pencetus kejang
2) Observasi TTV
3) Lindungi anak dari trauma
4) Berikan kompres pada aksila, leher, lipatan paha dan kening
5) Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada anak
6) jaga suhu ruangan agar sesuai dengan suhu tubuh normal
7) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik
e. Cemas pada orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit. Tujuan: pengetahuan orang tua bertambah tentang kejang dan
penanganannya. Kriteria Hasil:
1) Orang tua mentaati pengobatan dan mampu mengingat kembali
informasi yang diberikan
Intervensi:
1) Kaji tingkat perubahan keluarga tentang penyakit kejang demam dan
cara perawatan
2) Berikan pengertian pada keluarga tentang penyebab penyakit dan
pengobatannya
3) Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya
4) Lakukan pendidikan kesehatan pada keluarga
4. Implementasi
Menurut asmadi (2008), implementasi adalah perwujudan dan rencana
keperawatan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukan pada perawat untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah :
a. Membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Mencakup peningkatan kesehatan
c. Mencakup pencegahan penyakit
d. Mencakup pemulihan kesehatan
e. Memfasilitasi koping klien
Adapun prinsip-prinsip dalam implementasi pada tiap-tiap diagnosa adalah :
a. Mempertahankan perfusi jaringan ke otak efektif.
b. Mencega untuk tidak terjadinya cedera.
c. Mencegah untuk tidak terjadi aspirasi.
d. Mencegah kejang berulang tidak terjadi.
e. Mengatasi kecemasan pada anak
5. Evaluasi
Menurut Deswani (2009), evaluasi dalam keperawatan adalah perbandingan yang
sistematik dan terencana tentang kesehatan klien tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Penilaian evaluasi keperawatan adalah mengukur keberhasilan
dan rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan klien.
a. Jenis Evaluasi tersebut ada dua, yaitu :
1) Evaluasi proses : menilai jalannya pelaksanaan proses keperawatan
sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan klien. Evaluasi proses harus
dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan
untuk membantu keefektifan terhadap tindakan.
2) Evaluasi hasil/sumatif : menilai hasil asuhan keperawatan yang
diperihatkan dengan perubahan tingkah laku klien. Evaluasi ini
dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan.
b. Hasil Evaluasi
1) Tujuan tercapai : jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar
yang ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : jika klien menunjukan perubahan sebagian
dari standar dan yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : jika klien tidak menunjukan perubahan dan
kemajuan sama sekali dan bahkan timbul masalah baru.
c. Evaluasi dari masing-masing diagnosa adalah sebagai berikut :
1) Perfusi jaringan ke otak efektif.
2) Cedera tidak terjadi.
3) Aspirasi tidak terjadi.
4) Kejang berulang tidak terjadi.
5) Keluarga tidak cemas lagi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejang demam adalah suatu keadaan dimana bangkitan kejang yang terjadi
karena peningkatan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C yang sering di jumpai pada
usia anak dibawah lima tahun.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada saat
seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang
demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk
beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak
responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak
lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali.
Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi
selama lebih dari 15 menit.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para orang tua untuk melakukan
pemeriksaan sedini mungkin pada anaknya agar hal-hal yang tidak di inginkan
dapat diketahui secara dini sehingga kejang demam dapat dicegah sedini mungkin
H. Saran
Untuk meningkatkan kulaitas pelayanan keperawatan maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut;
1. Pada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat
kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam
berkomunikasi dengan klien.
2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesionl dalam menetapkan
diagnosa keperawtan
3. Diharapkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dari tim kesehatan
lainnya khususnya dari pihak keluarga agar selalu mengunjungi klien dalam
menunjang keberhasilan perawatan dan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Salemba medika.
Deni, Titin Sutini, 2016. (2016). Asuhan Keperawatan dalam Pemenuhan Kebutuhan
Dasar pada An.S dengan Morbili di Paviliun Badar Rumah Sakit Islam
Cempaka Putih Jakarta Pusat.