Anda di halaman 1dari 41

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Konsep Konsumsi Rumah Tangga

Pengeluaran konsumsi rumah tangga atau dalam analisis

makroekonomi lebih lazim disebut sebagai konsumsi rumah tangga

merupakan nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk

membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu (Sukirno,

2013:38). Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk

membeli berbagai kebutuhan seperti membeli makanan dan pakaian,

membiayai jasa pengangkutan, membiayai pendidikan anak, membayar sewa

rumah dan membeli kendaraan. Kegiatan yang demikian dinamakan

konsumsi, yaitu membeli barang dan jasa untuk memuaskan keinginan

memiliki dan menggunakan barang-barang tersebut.

Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan

sebagai konsumsi. Kegiatan rumah tangga untuk membeli rumah digolongkan

sebagai investasi. Seterusnya, sebagian pengeluaran mereka seperti

membayar asuransi dan mengirim uang kepada orang tua tidak digolongkan

sebagai konsumsi karena tidak merupakan perbelanjaan terhadap barang dan

jasa yang dihasilkan dalam perekonomian.

11
Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga

dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh

rumah

12
12

tangga. Semakin besar pendapatan rumah tangga semakin besar pula

pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Oleh Keynes perbandingan

diantara pengeluaran konsumsi pada suatu tingkat pendapatan tertentu dengan

pendapatan itu sendiri dinamakan kecondongan mengkonsumsi. Apabila

kecondongan mengkonsumsi adalah tinggi, bagian dari pendapatan yang

digunakan untuk konsumsi adalah tinggi. Sebaliknya, apabila kecondongan

mengkonsumsi adalah rendah, maka makin sedikit pendapatan masyarakat

yang akan digunakan untuk konsumsi (Sukirno, 2013:86)

2.1.2 Teori – Teori Konsumsi

2.1.2.1 Teori Konsumsi Keynes

Teori konsumsi yang telah dikenal secara luas adalah teori konsumsi

yang dikemukakan oleh Keynes. Dalam teori tersebut dikemukakan bahwa

besar kecilnya pengeluaran konsumsi hanya didasarkan pada besar kecilnya

tingkat pendapatan masyarakat. Keynes menyatakan bahwa ada pengeluaran

konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat (Konsumsi

Aoutonomous) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan

bertambahnya penghasilan.

Keynes membuat dugaan-dugaan tentang fungsi konsumsi

berdasarakan instrokpeksi dan observasi kasual. Pertama, kecenderungan

mengkonsumsi marjinal c adalah antara nol dan satu. Kedua, kecenderungan

mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. Ketiga, konsumsi

ditentukan oleh pendapatan sekarang (Mankiw, 2007:448). Berdasarkan


13

dugaan-dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes dapat ditulis sebagai

berikut.

C = C0 + cY C0 > 0, 0<c<1

Keterangan :

C = Konsumsi

C0 = Konstanta

c = Kecenderungan mengkonsumsi marginal

Y = Pendapatan

Kecondongan Mengkonsumsi Marjinal (MPC/Marginal Propensity to

Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan diantara pertambahan

konsumsi (∆C) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposebel

(∆Yd) yang diperoleh. Nilai MPC dapat dihitumg dengan menggunakan

formula :

∆C
MPC =
∆Yd

Kecondongan Mengkonsumsi Rata-Rata (APC/Average Propensity to

Consume) dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara tingkat

konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposebel (Y d) ketika konsumsi

tersebut dilakukan. Nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan

formula :
C
Y
APC = d
Dd
d
14

Y=C

C = C0 + cY

C0
Y
Sumber : Sukirno, 2013:117
Gambar 2.1 Fungsi Konsumsi

2.1.2.2 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle

Hypothesis)

Teori konsumsi dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Ando,

Modigliani, dan Brumberg (AMB) yang merupakan tiga ekonom besar yang

hidup di abad 18. Menurut teori ini faktor sosial ekonomi seseorang sangat

mempengaruhi pola konsumsi orang tersebut (Priyono & Chandra, 2016:51).

Teori ini membagi pola konsumsi menjadi tiga bagian berdasarkan umur

seseorang, yaitu:

1. Dari seseorang berumur 0 tahun sampai usia dimana orang tersebut bisa

menghasilkan pendapatan sendiri maka ia mengalami disaving

(mengkonsumsi tetapi tidak menghasilkan pendapatan).


15

2. Dimana usia seseorang yang sudah bisa bekerja kemudian menghasilkan

pendapatan sendiri dan lebih besar dari pengeluaran konsumsinya maka ia

mengalami saving.

3. Dimana seseorang berada pada usia yang sudah tidak bisa bekerja lagi

maka ia mengalami disaving.

Apabila dilihat dalam grafik, pola konsumsi berdasarkan teori

konsumsi dengan hipotesis siklus hidup dapat dilihat dalam gambar berikut

ini.

Sumber : Priyono & Chandra, 2016:52


Gambar 2.2 Pola Pengeluaran Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup

Pada Gambar 2.2 sumbu vertikal menunjukkan tingkat konsumsi

seseorang dan sumbu horizontal menunjukkan waktu. Bagian I adalah umur 0

sampai dengan t0 seseorang mengalami disaving, dimana orang tersebut belum

memiliki pendapatan akan tetapi tetap perlu melakukan konsumsi. Umur t 0


16

sampai t1 juga masih melakukan disaving karena konsumsi yang lebih besar

daripada pendapatan. Bagian II adalah umur t1 sampai dengan t2 seseorang

mengalami disaving dimana konsumsi lebih besar daripada pendapatan. Untuk

bagian III adalah umur t2 dimana orang kembali melakukan disaving, sebab

tidak lagi mengahasilkan pendapatan yang cukup untuk menutupi

pengeluaran. AMB menggunakan fungsi konsumsi sebagai berikut :

C = aW

a merupakan MPC, pada teori ini pengertian MPC berbeda dengan

pernyataan oleh Keynes yang menyatakan bahwa MPC merupakan suatu

bilangan statik. Sedangkan AMB menyatakan bahwa a bukanlah bilangan

statik, tetapi nilainya tergantung dari umur, selera, dan tingkat bunga. W

adalah nilai sekarang (Present Value) dari kekayaan yang terdiri dari tiga

faktor, yaitu:

1. Present value dari penghasilan kekayaan seperti bunga dan sewa.

2. Present value dari penghasilan sebagai balas jasa kerja, misalnya upah

dan gaji.

3. Present value dari upah yang diharapkan akan diterima selama hidup.

Secara spesifik bentuk persamaan konsumsi yang dikemukakan oleh

AMB adalah sebagai berikut.

C = a At + a Y1L + a(T-1) Y1LE

Keterangan :
17

C = Pengeluaran Konsumsi

a = MPC

A = Kekayaan

YL = Penghasilan dari kerja

YLE = Penghasilan yang diharapkan seumur hidup sejak tahun ini

T = Sisa umur seseorang dihitung pada saat ini

Permasalahan yang sering timbul dalam upaya menghitung persamaan

di atas adalah mengestimasi penghasilan yang diharapkan pada masa yang

akan datang. Salah satu cara yang digunakan oleh AMB adalah dengan

membuat asumsi bahwa:

YtLE = b YtL dan 0>b<1

Asumsi ini menyatakan bahwa penghasilan yang diharapkan mengalami

peningkatan sebesar b, dengan demikian persamaan konsumsi dapat

disubtitusikan menjadi :

C = a At + a[Yt L + b(T-1)] YtLE

C = a At + a[1 + b(T-1)] YtL

2.1.2.3 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative

Income Hypothesis)
18

Teori dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif ini

dikemukakan oleh James Duesenberry, dalam teorinya Duesenberry membuat

dua asumsi yaitu :

1. Selera semua rumah tangga atas barang konsumsi adalah independent

yaitu terpengaruh atas pengeluaran yang dilakukan oleh tetangganya.

2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversible, artinya pola pengeluaran pada

saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat

penghasilan mengalami penurunan.

Duesenberry menyatakan bahwa teori konsumsi atas dasar penghasilan

absolute sebagaimana dikemukakan oleh Keynes tidak mempertimbangkan

aspek ekologi konsumen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga sangat

tergantung pada posisi rumah tangga tersebut di masyarakat sekelilingnya.

Apabila konsumen senantiasa melihat pola konsumsi tetangganya yang lebih

kaya maka akan ada efek demonstrasi (demonstration effect). Akan tetapi

peniruan pola konsumsi tetangga harus dianalisis dengan melihat kedudukan

relatif rumah tangga tersebut pada masyarakat di sekelilingnya.

Apabila dari tahun ke tahun terdapat kenaikan penghasilan bagi seluruh

masyarakat, maka distribusi penghasilan seluruh masyarakat tidak mengalami

perubahan. Kenaikan penghasilan absolut menyebabkan pengeluaran

konsumsi juga akan naik, begitu juga tabungan akan naik dalam proporsi

yang sama. Ini berarti APC dan MPC tidak mengalami perubahan dan ini

berarti pula APC dan MPC yang merupakan fungsi konsumsi jangka panjang.
19

Dari fungsi konsumsi jangka panjang tersebut Duesenberry

memperoleh fungsi konsumsi jangka pendek yang didasarkan pada asumsi

kedua. Besarnya pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh besarnya

pendapatan tertinggi yang pernah dicapai. Apabila terjadi kenaikan

pendapatan maka pengeluaran konsumsi akan cenderung meningkat dengan

proporsi tertentu. Sedangkan apabila pendapatan menurun maka pengeluaran

konsumsi juga akan menurun tetapi proporsinya lebih kecil, tidak sebanding

dengan turunnya pendapatan. Hal ini disebabkan karena suatu pola konsumsi

yang terjadi dalam jumlah tertentu (pendapatan tertinggi yang pernah dicapai)

akan sulit untuk dikurangi pada saat pendapatan turun, apalagi turunnya

sangat drastis.

Bentuk konsumsi masyarakat menurut Duesenberry adalah sebagai

berikut :

C
=f ¿]
Y

Dimana :

Y = Penghasilan tahun tertentu

Y* = Penghasilan tertinggi yang pernah dicapai pada masa lalu


20

Sumber : Priyono & Chandra, 2016:57


Gambar 2.3 Pola Pengeluaran Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan
Relatif

Dalam Gambar 2.3 di atas CL menunjukkan fungsi konsumsi jangka

panjang. Apabila pandapatan sebesar Y0 maka besarnya pengeluaran

konsumsi yang terjadi sebesar BY0. Apabila pendapatan rumah tangga

tersebut mengalami penurunan dari Y0 menjadi Y2, maka besarnya

pengeluaran konsumsi tidak akan turun ke titik E sepanjang kurva konsumsi

jangka panjang CL, namun akan turun ke titik A pada kurva pengeluaran

konsumsi jangka pendek CL. Hal ini karena pada saat terjadinya penurunan

pendapatan, pola konsumsi rumah tangga tidak mudah turun drastis.

Penururnan pendapatan akan menyebabkan pengeluaran konsumsi turun

secara perlahan dan rumah tangga akan cenderung mengurangi tabungan

untuk menunjang pola konsumsi yang lama.

Apabila pendapatan kemudian naik kembali dari Y2 ke Y0 pengeluaran

konsumsi rumah tangga juga tidak akan naik secara drastis, akan tetapi
21

kenaikannya secara perlahan. Ini disebabkan karena rumah tangga tersebut

berusaha untuk mengembalikan tabungannya yang berkurang pada saat

penghasilan turun. Setelah pendapatan Y0 tercapai dan tabungan sudah

mencapai tingkat semula, sehingga apabila terjadi kenaikan pendapatan dari

Y0 menjadi Y1, maka pengeluaran konsumsi rumah tangga akan meningkat

secara drastis dari titik B ke titik D. Selanjutnya, jika pendapatan turun

kembali menjadi Y0 maka pengeluaran konsumsi tidak turun di titik B namun

turun ke titik F yaitu pada fungsi konsumsi yang berada pada kurva

pengeluaran konsumsi jangka pendek C2 yang lebih tinggi dari kurva

konsumsi jangka pendek C1. Ini adalah yang disebut Ratchet effect oleh

karena itu penurunan ekonomi akan menyebabkan pengeluaran konsumsi

turun sepanjang kurva konsumsi jangka pendek, dan tidak pada kurva fungsi

konsumsi jangka panjang.

2.1.2.4. Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Permanen

(Pemanent Income Hypothesis)

Teori ini dikemukakan oleh Milton Friedman, berdasarkan teori ini

pendapatan yang diterima masyarakat dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara

(transitory income) (Priyono & Chandra, 2016:58). Adapun yang dimaksud

dengan pendapatan permanen adalah :

1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat

diperkirakan terlebih dahulu, seperti pendapatan dari gaji dan upah.


22

2. Hasil dari semua faktor yang menentukan kekayaan seseorang. Kekayaan

rumah tangga terdiri dari dua kategori, yaitu kekayaan non-manusia

seperti kekayaan fisik dan kekayaan finansial, dan kekayaan manusia

yaitu kekayaan yang melekat pada diri manusia itu sendiri seperti

keahlian, keterampilan, dan pendidikan.

Dengan demikian kekayaan (W) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Sehingga
W = Yp/i Yp = i.W

Dimana :

W = Kekayaan seseorang

Yp = Pendapatan permanen orang tersebut

i = Tingkat bunga

Yang dimaksud pendapatan sementara adalah pendapatan yang dapat

dihasilkan terlebih dahulu dan nilainya positif apabila nasibnya baik atau

negatif jika mendapat nasib buruk. Jadi pendapatan seseorang dipengaruhi

oleh pendapatan permanen dan pendapatan sementara dapat dirumuskan

sebagai berikut :

Y = Yp +Yt

Y = Pendapatan yang terukur

Yp = Pendapatan Permanen

Yt = Pendapatan sementara
23

Selanjutnya teori Friedman membuat dua asumsi mengenai hubungan

pendapatan permanen dengan pendapatan sementara, yaitu :

1. Tidak ada korelasi Yp dan Yt, artinya pendapatan sementara yang

diterima merupakan suatu faktor kebetulan.

2. Pendapatan sementara tidak mempengaruhi pengeluaran konsumsi, atau

pendapatan tersebut ditabung.

Menurut Friedman pengeluaran konsumsi dibagi kedalam dua kategori,

yaitu konsumsi permanen (Cp) dan konsumi sementara (Ct). Pengeluaran

konsumsi permanen adalah konsumsi yang direncanakan, sedangkan

pengeluaran konsumsi sementara merupkan pengeluaran konsumsi yang tidak

direncanakan.

Menurut hipotesis pendapatan permanen, kecenderungan

mengkonsumsi rata-rata tergantung pada rasio pendapatan permanen dengan

pendapatan sekarang. Bila pendapatan sekarang naik diatas pendapatan

permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata akan turun, sebaliknya

jika pendapatan sekarang turun terhadap pendapatan permanen maka

kecenderungan mengkonsumsi rata-rata akan naik.

2.1.3 Konsep Pendapatan Perkapita

Pendapatan perkapita merupakan pendapatan suatu negara dibagi

dengan jumlah penduduk yang berada dalam negara tersebut. Dengan

demikian pada hakikatnya pendapatan perkapita adalah pendapatan yang

diperoleh dengan membandingkan penerimaan negara dengan jumlah


24

penduduk dalam negara tersebut. Tidak semua pendapatan digunakan untuk

tujuan konsumsi, sebagian darinya ditabung dan sebagian lainnya digunakan

untuk membayar bunga untuk pinjaman yang digunakan untuk membeli

barang-barang secara mencicil. Pembayaran bunga oleh konsumen ke atas

pinjaman untuk membeli barang-barang secara mencicil tidak termasuk dalam

pendapatan nasional karena pinjaman yang dilakukan oleh konsumen itu

bukanlah digunakan untuk menciptakan pendapatan nasional (Sukirno,

2013:49).

Pendapatan menjadi faktor penentu utama konsumsi rumah tangga.

Jadi, pendapatan perkapita adalah pendapatan suatu negara setelah dibagi

dengan jumlah penduduknya.

2.1.4 Hubungan Pendapatan Perkapita dan Konsumsi Rumah Tangga

Pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi rumah

tangga jika dilandaskan pada teori keynes yang menyatakan bahwa konsumsi

dipengaruhi oleh pendapatan (Ernita, 2013:179). Peningkatan pendapatan

akan meningkatkan daya beli riil rumah tangga sehingga akan berdampak

terhadap peningkatan konsumsi begitu sebaliknya. Jadi, tingginya konsumsi

rumah tangga bergantung pada besarnya pendapatan yang diterima oleh

rumah tangga tersebut.

2.1.5 Konsep Inflasi

Inflasi diartikan sebagai suatu kecenderungan meningkatnya harga-

harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus. Terdapat dua
25

pengertian penting yang menjadi kunci dalam memahami inflasi, yang

pertama adalah “kenaikan harga secara umum” dan yang kedua adalah “terus-

menerus”. Dalam inflasi harus terkandung unsur kenaikan harga, dan

selanjutnya kenaikan harga tersebut adalah harga secara umum. Jadi, hanya

kenaikan harga secara umum yang dapat disebut sebagai inflasi (Boediono,

2016: 155). Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-

harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua

barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau

mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Perlu diketahui bahwa

inflasi terjadi dimanapun, terhadap mata uang apapun dan pada periode

kapanpun (Karim, 2006:135).

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi

adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu

menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi

masyarakat. BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan

pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi.

Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator

inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat

fundamental. Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan

menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau

persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan

dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:


26

a. Interaksi permintaan-penawaran

b. Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional,

inflasi mitra dagang

c. Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi

volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.

Komponen inflasi non inti  terdiri dari :

a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :

Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam

kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor

perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan

harga komoditas pangan internasional.  

b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered

Prices)

Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa

kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif

listrik, tarif angkutan, dan lain-lain.

Berdasar kepada penjelasan di atas, suatu keadaan dapat dikatakan

sebagai inflasi jika memenuhi beberapa kriteria (Rahardja,2008:359), yaitu

sebagai berikut.

1. Kenaikan harga-harga
27

Harga-harga komoditas mengalami kenaikan menjadi lebih tinggi daripada

harga periode sebelumnya.

2. Bersifat umum

Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika

kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik

(general level of price).

3. Berlangsung terus-menerus

Kenaikan harga yang bersifat umum dan terjadi hanya sesaat belum bisa

menimbulkan suatu masalah ekonomi, yang mana dalam hal ini adalah

inflasi. Karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu

minimal bulanan.

Kriteria-kriteria tersebut menegaskan bahwa inflasi merupakan

kenaikan harga barang dan jasa secara umum, maka untuk mengukur

perubahan inflasi dari waktu ke waktu pada umumnya dipergunakan suatu

indeks angka. Perubahan angka indeks dari satu waktu ke waktu yang lain,

yang dinyatakan dalam angka persentase adalah besarnya angka inflasi dalam

periode tersebut. Sedangkan perkembangan kenaikan harga sejumlah barang

dan jasa secara umum dalam suatu periode waktu ke waktu disebut sebagai

laju inflasi (inflation rate).

Laju inflasi pada umumnya dinyatakan dalam angka persentase (%).

Laju inflasi dapat terjadi pada tingkat yang ringan, sedang, berat, dan

hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah

10%, inflasi sedang antara 10-30%, dan inflasi berat antara 30-100% per
28

tahun, serta hiperinflasi atau inflasi tidak terkendali terjadi apabila kenaikan

harga berada diatas 100% per tahun. Namun demikian, angka-angka inflasi

tersebut pada umumnya bersifat relatif dan tidak ada suatu standar yang

umum. Di Indonesia misalnya, apabila angka inflasi masih berupa angka satu

digit, misalnya 6-7%, maka tingkat inflasi tersebut masih dianggap sebagai

inflasi yang relatif wajar meskipun tingkat inflasi tersebut relatif lebih tinggi

daripada tingkat inflasi negara-negara di kawasan regional. Sedangkan tingkat

inflasi untuk negara maju berkisar antara 2-3%. Sebaliknya suatu laju inflasi

juga dapat terjadi pada suatu angka yang negatif, yang berarti perkembangan

harga barang dan jasa secara umum dalam suatu perekonomian mengalami

penurunan dari waktu ke waktu atau disebut deflasi (Suseno & Astiyah,

2009:4).

2.1.6 Teori – Teori Inflasi

Ada tiga teori yang membahas tentang inflasi, dimana setiap aspek

menjelaskan proses terjadinya inflasi. Ketiga teori tersebut adalah sebagai

berikut. (Suseno & Astiyah, 2009:7)

2.1.6.1 Teori Kuantitas

Teori tentang inflasi pada awalnya berkembang dari teori yang dikenal

dengan teori kuantitas. Dimana Teori kuantitas uang menggambarkan analisis

hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan jumlah uang beredar

dan inflasi yang dinyatakan dalam “the equation of exchange”:

MV = PT
29

Dimana :

M = Jumlah uang beredar

V = Tingkat perputaran uang

T = Volume output

P = Tingkat harga.

Berdasarkan teori ini, dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah

uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil, tetapi akan

mendorong kenaikan tingkat harga secara proporsional. Teori kuantitas pada

dasarnya merupakan suatu hipotesis tentang faktor yang menyebabkan

perubahan tingkat harga ketika kenaikan jumlah uang beredar merupakan

faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

Teori kuantitas tidak hanya menyatakan bahwa jumlah uang beredar

sebagai faktor penyebab perubahan tingkat harga. Teori kuantitas uang juga

terkait dengan teori tentang,

1. proporsionalitas jumlah uang dengan tingkat harga,

2. mekanisme transmisi moneter,

3. netralitas uang, dan

4. teori moneter tentang tingkat harga.

Ahli ekonomi moneter yang menganut teori kuantitas dalam

perkembangannya lebih dikenal dengan ahli ekonomi yang beraliran

Monetaris. Salah satu tokoh aliran monetaris ini adalah ekonom Milton

Friedman yang mendapatkan hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun


30

1976. Tokoh ini membuat pernyataan yang sangat terkenal, yaitu bahwa

“inflation is always and everywhere a monetary Phenomenon”. Milton

Friedman adalah ekonom yang menyempurnakan teori kuantitas dan

memformulasikan lebih lanjut teori kuantitas uang serta menyusun teori

tentang permintaan uang. Teori permintaan uang tersebut dalam

perkembangannya menjadi teori yang sangat penting dalam teori makro

ekonomi. Teori permintaan uang dalam perkembangannya juga telah

mengalami banyak variasi serta perkembangan yang sangat pesat.

Dalam jangka panjang, penawaran uang dan permintaan uang akan

menuju tingkat ekuilibrium pada tingkat harga secara keseluruhan. Jika tingkat

harga diatas ekuilibrium maka masyarakat cenderung untuk memegang

uangnya lebih banyak daripada yang ditetapkan bank sentral. Jadi tingkat

harga harus turun untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Jika

tingkat harga dibawah tingkat ekuilibrium, orang akan menahan lebih sedikit

uang daripada yang ditentukan bank sentral, dan tingkat harga harus naik

untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Pada tingkat harga

ekuilibrium, jumlah uang yang masyarakat inginkan mencerminkan

keseimbangan jumlah penawaran uang.

Pada Gambar 2.4 sumbu horizontal menunjukkan jumlah uang, sumbu

vertikal kiri menunjukkan nilai uang 1 / P, dan sumbu vertikal kanan

menunjukkan tingkat harga P. Perhatikan bahwa sumbu tingkat harga pada

sebelah kanan dibalik: Tingkat harga rendah ditunjukkan di bagian atas sumbu

ini, dan tinggi tingkat harga ditunjukkan di bagian bawah. Sumbu terbalik ini
31

menggambarkan bahwa ketika nilai uang tinggi (seperti yang ditunjukkan di

bagian atas sumbu kiri), maka tingkat harga rendah (seperti yang ditunjukkan

di bagian atas sumbu kanan). Dua kurva pada gambar ini adalah kurva

penawaran dan permintaan uang.

Kurva penawaran vertikal karena bank sentral telah menetapkan

jumlah uang tersedia. Kurva permintaan uang miring ke bawah, berarti

menunjukkan bila nilai uang rendah (dan tingkat harga tinggi), orang

menuntut jumlah yang lebih besar untuk membeli barang dan jasa. Pada

tingkat ekuilibrium, ditunjukkan di angka tersebut sebagai titik A, yaitu

keseimbangan permintaan dan penawaran jumlah uang. Keseimbangan

penawaran dan permintaan uang ini menentukan nilai uang dan tingkat harga

(Mankiw, 2013: 636).

Sumber : Mankiw, 2013:637


Gambar 2.4 Keseimbangan Nilai Uang dan Tingkat Harga
2.1.6.2 Teori Keynes

Para ekonom aliran Keynesian tidak sepenuhnya sependapat dengan

teori kuantitas. Ekonom Keynesian menyatakan bahwa teori kuantitas tidak

valid karena teori tersebut mengasumsikan ekonomi dalam kondisi full


32

employment (kapasitas ekonomi penuh). Dalam kondisi kapasitas ekonomi

yang belum penuh, maka ekspansi (pertambahan) uang beredar justru akan

menambah output (meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan

kerja) dan tidak akan meningkatkan harga. Lebih lanjut dikatakan bahwa uang

tidak sepenuhnya netral, pertambahan uang beredar dapat mempunyai

pengaruh tetap (permanent) terhadap variabel-variabel riil seperti output dan

suku bunga.

Pendekatan Keynes juga menyatakan bahwa teori kuantitas yang

mengasumsikan elastisitas dan perputaran uang (velocity of circulation) adalah

tetap, juga tidak benar. Elastisitas dan perputaran uang sangat sulit diprediksi

dan banyak dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat serta perubahan barang-

barang yang merupakan substitusi uang (financial assets). Hal tersebut

membuktikan bahwa dalam suatu perekonomian yang sektor keuangannya

telah maju dan terdapat instrumen-instrumen keuangan yang berfungsi sebagai

substitusi uang, maka perputaran uang akan menjadi semakin sulit diprediksi.

2.1.6.3 Teori Strukturalis

Teori ini lebih didasarkan pada pengalaman negara-negara di Amerika

Latin. Pendekatan ini menyatakan bahwa inflasi, terutama di negara

berkembang, terutama lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural dalam

perekonomian. Menurut teori ini ada dua masalah struktural di dalam

perekonomian negara berkembang yang dapat mengakibatkan inflasi.

Pertama, penerimaan ekspor tidak elastis, yaitu pertumbuhan nilai

ekspor yang lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya.


33

Hal tersebut disebabkan oleh terms of trade yang memburuk dan produksi

barang ekspor yang kurang responsif terhadap kenaikan harga. Dengan

melambatnya pertumbuhan ekspor, maka akan terhambat kemampuan untuk

mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Seringkali negara berkembang

melakukan kebijakan substitusi impor meskipun dengan biaya yang tinggi dan

mengakibatkan harga barang yang tinggi sehingga menimbulkan inflasi.

Kedua, masalah struktural perekonomian negara berkembang lainnya

adalah produksi bahan makanan dalam negeri yang tidak elastis, yaitu

pertumbuhan produksi makanan dalam negeri tidak secepat pertambahan

penduduk dan pendapatan per kapita sehingga harga makanan dalam negeri

cenderung meningkat lebih tinggi daripada kenaikan harga barang-barang

lainnya. Hal ini mendorong timbulnya tuntutan kenaikan upah dari pekerja

sektor industri yang selanjutnya akan meningkatkan biaya produksi dan pada

gilirannya akan menimbulkan inflasi.

2.1.7 Penghitungan Inflasi

Inflasi menyangkut harga sejumlah barang dan jasa, maka penghitungan

inflasi tidak sesederhana menghitung kenaikan satu jenis barang atau jasa.

Dalam suatu perekonomian yang sudah cukup berkembang dimana barang dan

jasa yang dikonsumsi masyarakat sudah sangat beranekaragam, maka

penghitungan inflasi dapat menjadi sangat kompleks.

Kompleksitas penghitungan angka indeks tersebut tidak hanya

menyangkut jenis barang dan jasa apa saja yang perlu dimasukkan dalam
34

penghitungan inflasi, tetapi juga bobot dari masing-masing barang dan jasa

yang diperhitungkan.

1. Indeks Harga Konsumen (IHK)

Laju inflasi tentu saja dihitung untuk suatu keperluan analisis yang

berbeda-beda. Untuk memenuhi keperluan yang berbeda tersebut, maka

terdapat beberapa jenis angka inflasi. Dalam praktek dikenal beberapa

jenis laju inflasi. Laju inflasi yang paling umum dan dikenal secara luas

oleh masyarakat adalah laju inflasi untuk menghitung perubahan harga

barang dan jasa yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat. Laju inflasi

tersebut dihitung berdasarkan angka indeks yang disusun dari harga

barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dan disebut sebagai

Indeks Harga Konsumen (IHK).

Untuk menghitung angka laju inflasi jenis ini terlebih dahulu

dilakukan penghitungan angka indeks dengan menggunakan sejumlah

barang dan jasa yang dipergunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat.

Jumlah barang dan jasa yang dipergunakan dalam penghitungan angka

indeks tersebut berbeda dari satu negara dan negara yang lain dan juga dari

waktu ke waktu dalam satu negara tertentu, sesuai dengan kondisi sosial

ekonomi konsumen atau masyarakat yang bersangkutan. Masing-masing

barang dan jasa yang dipergunakan dalam penghitungan angka indeks

tersebut diberi bobot sesuai dengan signifikansi serta intensitas

penggunaan barang dan jasa tersebut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Pemberian bobot terhadap masing-masing barang dan jasa tersebut juga


35

tidak sama antara satu negara dan negara yang lain serta dari suatu periode

yang satu terhadap periode yang lain. Besarnya bobot untuk masing-

masing barang dan jasa tersebut juga disesuaikan dengan perkembangan

sosial ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Di Indonesia ada tujuh kelompok pengeluaran yang digunakan

untuk penghitungan inflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK), yaitu

sebagai berikut:

1. Kelompok Bahan Makanan

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman Jadi, dan Tembakau

3. Kelompok Perumahan

4. Kelompok Sandang

5. Kelompok Kesehatan

6. Kelompok Pendidikan dan Olahraga

7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi

2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)

Selain dihitung berdasarkan IHK, inflasi juga dapat dihitung

berdasarkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). IHPB merupakan

indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi

yang diperdagangkan pada tingkat produsen di suatu daerah pada periode

tertentu. Jika pada IHK yang diamati adalah barang-barang akhir yang

dikonsumsi masyarakat, pada IHPB yang diamati adalah barang-barang

mentah dan barang-barang setengah jadi.

3. GDB Deflator
36

Selain itu, laju inflasi juga dapat dalam pengertian angka Deflator

Produk Domestik Bruto (Deflator PDB/GDB), yaitu inflasi yang

dipergunakan untuk menghitung perubahan harga dalam perekonomian

secara keseluruhan. Angka deflator tersebut dihitung dengan

membandingkan PDB nominal pada suatu tahun tertentu dengan suatu

PDB pada tahun tertentu yang ditetapkan sebagai tahun dasar. Pada tahun

dasar tersebut angka indeks ditetapkan sebesar 100%.

Pada dasarnya penghitungan untuk berbagai jenis angka indeks

yang akan dipergunakan untuk menghitung besarnya berbagai jenis laju

inflasi tersebut sama dengan perhitungan angka IHK. Angka indeks

tersebut dihitung secara periodik dan pada umumnya dilakukan secara

bulanan, kuartalan, dan tahunan. Selanjutnya, berdasarkan angka indeks

tersebut dapat dihitung laju inflasi dalam periode tertentu dengan

menghitung perubahan angka indeks dalam periode tertentu. Untuk angka

inflasi bulanan, laju inflasi dapat dihitung dari perubahan angka indeks

bulanan. Demikian pula untuk menghitung angka inflasi triwulanan,

semesteran, maupun inflasi tahunan dari suatu perekonomian tertentu.

Penghitungan berbagai macam inflasi tersebut dilakukan untuk tujuan

yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat timbul karena unsur subsidi,

pajak, maupun laba.

2.1.8 Faktor-faktor yang menyebabkan Inflasi

Dilihat dari faktor-faktor utama yang menyebabkan inflasi, inflasi

dapat disebabkan dari sisi permintaan, sisi penawaran, maupun ekspektasi.


37

Faktor yang juga menyebabkan inflasi tersebut dapat merupakan gabungan

dari ketiga faktor tersebut (Suseno & Astiyah, 2009:11).

1. Inflasi Permintaan (Inflasi Tarikan Permintaan/Demand Pull Inflation)

Dalam ilmu ekonomi, terdapat dua variabel penting yang selalu

dijadikan piranti dalam melakukan berbagai analisis ekonomi, termasuk

dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan inflasi. Dua variabel

tersebut adalah permintaan dan penawaran agregat. Permintaan agregat

pada dasarnya merupakan jumlah seluruh kebutuhan konsumsi dan

investasi dalam suatu perekonomian. Sedangkan penawaran agregat adalah

seluruh potensi yang dimiliki oleh suatu perekonomian untuk

menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh perekonomian yang

bersangkutan. Penawaran agregat, secara umum mencerminkan seluruh

kapasitas produksi yang dimiliki suatu perekonomian, dan pada umumnya

dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang tersedia, teknologi, dan

produktivitas. Pada tingkat keseimbangan ekonomi, besarnya permintaan

dan penawaran agregat tersebut akan sama.

Dengan menggunakan permintaan dan penawaran agregat

selanjutnya akan digambarkan terjadinya kenaikan tingkat harga umum

yang terjadi atau yang disebut sebagai inflasi.

Dalam Gambar 2.5 perekonomian dalam tingkat keseimbangan

jangka panjang yang digambarkan pada titik Y, yaitu pada saat kurva

permintaan agregat (AD1) berpotongan dengan kurva penawaran agregat


38

(baik untuk penawaran jangka pendek (SRAS1) maupun penawaran jangka

panjang (LRAS)), yaitu pada titik A.

P LRAS
SRAS2

P2 C SRAS1
B
P1
A AD2
AD1
Sumber : Suseno & Astiyah, 2009:12
Gambar 2.5 Permintaan
y dan Penawaran y

Dalam jangka panjang penawaran agregat dianggap tetap karena

seluruh kapasitas produksi telah dipergunakan. Pada titik tersebut tingkat

harga terjadi pada tingkat P1. Apabila jumlah uang beredar bertambah,

maka sebagai akibatnya jumlah permintaan agregat akan bertambah

sehingga kurva permintaan agregat akan bergeser ke kanan dan menjadi

AD2.

Pada awalnya, (dalam jangka pendek) perekonomian akan bergeser

ke titik B. Akan tetapi, pada titik tersebut perekonomian telah melampaui

kapasitas yang tersedia sehingga kurva penawaran agregat akan bergeser

ke kiri menjadi SRAS2 sampai pada keseimbangan semula dan berhenti

pada titik C. Pada keseimbangan baru tersebut tingkat harga akan

meningkat dan tercapai pada titik P2. Apabila pertambahan uang beredar
39

terus berlanjut, maka yang terjadi adalah kenaikan harga pada titik P3, P4

dan seterusnya, dan tidak menambah besarnya output.

Berdasarkan kondisi tersebut, dikatakan bahwa inflasi terjadi

karena pertambahan jumlah uang beredar. Yang menjadi pertanyaan

selanjutnya adalah apakah inflasi hanya disebabkan oleh pertambahan

jumlah uang beredar saja. Jawabannya adalah tidak. Inflasi juga dapat

disebabkan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan contoh tersebut,

pertambahan uang beredar dalam jangka pendek telah mengakibatkan

pertambahan jumlah permintaan agregat. Pertambahan jumlah uang

beredar dalam jangka pendek akan mengakibatkan penurunan suku bunga

dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah investasi dan konsumsi yang

secara keseluruhan merupakan jumlah permintaan agregat. Peningkatan

permintaan tersebut selanjutnya akan mendorong peningkatan harga-harga.

Kejadian tersebut sering disebut sebagai inflasi permintaan atau Demand

Pull Inflation atau Philips Curve Inflation.

Inflasi permintaan adalah inflasi yang timbul sebagai hasil interaksi

antara permintaan dan penawaran domestik dalam jangka panjang.

Tekanan inflasi dari sisi permintaan akan timbul apabila permintaan

agregat berbeda dengan penawaran agregat atau potensi output yang

tersedia. Yang dimaksud dengan permintaan agregat adalah total

permintaan barang dan jasa untuk keperluan konsumsi dan investasi dalam

suatu perekonomian. Jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi dan

diinvestasikan tersebut digambarkan oleh Produk Domestik Bruto (PDB)


40

perekonomian yang bersangkutan. Sementara itu, yang dimaksud dengan

penawaran agregat adalah seluruh potensi yang dimiliki oleh suatu

perekonomian untuk dapat memenuhi permintaan agregat.

Perbedaan antara permintaan dan penawaran agregat disebut output

gap. Apabila permintaan agregat lebih besar dibanding potensi output yang

tersedia, maka tekanan terhadap inflasi akan semakin besar, dan

sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, output gap dapat dipergunakan

sebagai indikator apakah terdapat tekanan terhadap laju inflasi. Namun,

perlu dicatat bahwa output gap tersebut hanya dapat digunakan dalam

kondisi ekonomi yang normal. Dalam keadaan tertentu, output gap tidak

dapat dipergunakan sebagai indikator yang baik. Misalnya, dalam keadaan

ekonomi setelah terjadinya krisis, atau suatu perekonomian yang

mengalami stagnasi yang disertai inflasi (stagflasi).

2. Inflasi Penawaran

Faktor kedua yang menyebabkan inflasi adalah faktor penawaran,

dan inflasi yang ditimbulkan sering disebut sebagai cost push atau supply

shock inflation. Jenis inflasi ini disebabkan oleh kenaikan biaya produksi

atau biaya pengadaan barang dan jasa. Termasuk dalam jenis inflasi ini

adalah inflasi yang disebabkan faktor penawaran lainnya yang memicu

kenaikan harga penawaran atas suatu barang (termasuk barang-barang

yang harus diimpor), serta harga barang-barang yang dikendalikan oleh

Pemerintah. Seperti halnya kenaikan harga minyak dunia, harga Bahan

Bakar Minyak (BBM), dan Tarif Dasar Listrik (TDL).


41

Di samping itu, inflasi juga disebabkan oleh faktor alam, misalnya

gagalnya panen atau panen yang berlebih, faktor-faktor sosial ekonomi,

misalnya, adanya masalah atau hambatan dalam distribusi suatu barang,

atau faktor-faktor yang timbul karena kebijakan tertentu, misalnya, karena

adanya kebijakan tarif, pajak, pembatasan impor, atau kebijakan lainnya.

Inflasi yang disebabkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran

agregat tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa apabila jumlah

permintaan agregat melebihi penawaran agregat (yang merupakan potensi

yang tersedia), maka harga-harga akan meningkat. Secara sederhana dapat

digambarkan dengan persamaan sebagai berikut :

D
P=
S

Apabila P adalah harga, sedangkan D dan S masing-masing adalah

permintaan dan penawaran agregat, maka P akan naik selama jumlah D

lebih besar dibandingkan dengan jumlah S. Hal tersebut dapat terjadi

apabila D meningkat sedangkan S tetap atau kenaikan S tidak sebanding

dengan kenaikan D. Hal yang sama juga akan terjadi apabila S berkurang,

sedangkan D tetap atau penurunan D tidak sebanding dengan penurunan S.

Inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan maupun penawaran

mempunyai kesamaan dalam hal menaikkan tingkat harga output

(kenaikan harga secara umum-inflasi). Akan tetapi, kedua faktor tersebut

mempunyai dampak yang berbeda terhadap volume output (PDB riil).

Dalam hal inflasi yang lebih disebabkan oleh sisi permintaan, ada
42

kecenderungan output akan meningkat sejalan dengan kenaikan harga.

Besaran kenaikan output tersebut sejalan dengan elastisitas penawaran

agregat. Sebaliknya, pada inflasi yang disebabkan oleh sisi penawaran,

kenaikan harga seringkali justru diikuti dengan penurunan barang yang

tersedia.

3. Inflasi Ekspektasi

Faktor ketiga yang menyebabkan inflasi adalah ekspektasi. Faktor

yang menyebabkan inflasi tidak hanya oleh faktor permintaan dan

penawaran. Inflasi juga dapat disebabkan oleh ekspektasi para pelaku

ekonomi atau yang sering disebut inflasi ekspektasi. Inflasi ekspektasi

sangat berperan dalam pembentukan harga dan juga upah tenaga kerja.

Apabila para pelaku ekonomi, baik individu, lembaga atau dunia usaha,

berpikir bahwa laju inflasi yang terjadi di waktu-waktu yang lalu masih

akan terjadi di waktu yang akan datang, maka para pelaku ekonomi akan

melakukan antisipasi untuk mengurangi kerugian yang mungkin timbul.

Demikian juga pelaku usaha akan memperhitungkan biaya produksi

dengan kenaikan tingkat harga seperti pada waktu yang lalu. Perilaku yang

selanjutnya diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan oleh para

pelaku ekonomi tersebut adalah karena adanya ekspektasi yang terbentuk

yang didasarkan pada waktu yang lalu. Ekspektasi yang demikian sering

disebut ekspektasi inflasi adaptif, yang terbentuk dari peristiwa ekonomi

pada periode-periode yang lalu yang diperkirakan masih bertahan hingga

kini
43

Pembentukan inflasi ekspektasi yang bersifat adaptif (backward

expectation) ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang antara lain sebagai

berikut:

1. Inflasi permintaan yang persisten di masa lalu

2. Inflasi penawaran yang besar atau sering terjadi

3. Inflasi penawaran yang diperkuat oleh kebijakan moneter yang

akomodatif.

Untuk mengurangi dampak ekspektasi inflasi adaptif ini perlu

peningkatan kredibilitas (kebijakan) bank sentral. Bank sentral yang

kredibel dapat menurunkan ekspektasi inflasi dan mendorong ekspektasi

inflasi berdasarkan kondisi ekonomi ke depan (forward looking).

Ekspektasi inflasi juga dapat disebabkan oleh ekspektasi pelaku ekonomi

yang didasarkan pada perkiraan yang akan datang akibat adanya kebijakan

yang dilakukan oleh pemerintah pada saat ini.

Perilaku pelaku ekonomi yang berdasarkan adanya ekspektasi yang

terbentuk dan didasarkan pada perkiraan yang akan datang tersebut disebut

ekspektasi yang forward looking. Bank sentral mempunyai peran yang

besar untuk membentuk ekspektasi tersebut. Kebijakan bank sentral yang

kredibel dan konsisten dapat mengarahkan pembentukan ekspektasi inflasi

ke depan yang rendah. Di samping ketiga faktor pembentuk inflasi

tersebut, faktor yang menyebabkan inflasi juga dapat dilihat berdasarkan

sumber dari inflasi. Berdasarkan sumbernya, inflasi dapat berasal dari


44

dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi dapat juga berasal dari luar

negeri (imported inflation).

2.1.9 Hubungan Inflasi dan Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi dan inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang

selalu menjadi pembahasan dalam masalah-masalah ekonomi di berbagai

negara termasuk Indonesia. Inflasi yang merupakan gejala dimana tingkat

harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus, yang artinya

harga-harga barang maupun jasa mengalami kenaikan di pasaran.

Kenaikan barang-barang dan jasa ini menyebabkan daya beli riil rumah

tangga menjadi turun. Penurunan daya beli rumah tangga ini akan

berdampak terhadap penurunan konsumsi rumah tangga tersebut atas

barang dan jasa. Jadi, inflasi yang tinggi akan mendorong rumah tangga

untuk mengurangi tingkat konsumsinya terhadap barang dan jasa.


45

2.2 Penelitian Terdahulu

Peranan Penelitian Terdahulu sangat penting sebagai rujukan bagi

penulis untuk dapat menyelesaikan penelitiannya dengan lebih mudah. Sebab

telah ada petunjuk yang dilakukan peneliti terdahulu. Penelitian-penelitian

yang menjadi rujukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul (Penulis,
Variabel Hasil Saran
. Tahun)
Analisis faktor- Konsumsi, a. Pendapatan Pendapatan harus
faktor yang pendapatan Nasional terus ditingkatkan
memengaruhi nasional, suku memiliki karena perilaku
pengeluaran bunga, pengaruh positif konsumsi rumah
konsumsi rumah kekayaan, terhadap tangga di Indonesia
tangga di jumlah konsumsi rumah masih didominasi
Indonesia penduduk, tangga di oleh pendapatan.
(periode tahun komposisi Indonesia.
1.
2000-2010). penduduk, b. Inflasi tidak
(Murohman, dan sosial berpengaruh
2011) budaya. secara signifikan
terhadap
pengeluaran
konsumsi rumah
tangga di
Indonesia.
2. Konsumsi dan Konsumsi, a. Pendapatan Pendapatan perlu
Inflasi Indonesia Pendapatan berpengaruh ditingkatkan untuk
(Ermon Muh. disposebel, positif dan meningkatkan
Nur. 2012) inflasi, signifikan konsumsi, dan
konsumsi terhadap inflasi harus dijaga
sebelumnya, konsumsi di agar daya beli
46

suku bunga, Indonesia. rumah tangga tidak


kurs, jumlah b. inflasi menurun
uang beredar berpengaruh
negatif terhadap
konsumsi di
Indonesia.

Analisis Investasi, a. Pendapatan Agar pertumbuhan


Pertumbuhan Inflasi, berpengaruh ekonomi di
Ekonomi, Konsumsi, signifikan dan Indonesia baik
Investasi dan
Pengeluaran positif terhadap maka konsumsi
Konsumsi di
Pemerintah, konsumsi rumah rumah tangga di
Indonesia (Dewi
Net Ekspor, tangga di Indonesia juga
Ernita, Syamsul
Pendapatan Indonesia. harus selalu
Amar, dan Efrizal
Syofyan, 2013)
Disposebel, b. Konsumsi ditingkatkan
3.
Suku Bunga, periode
dan konsumsi sebelumnya
sebelumnya. berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap
konsumsi rumah
tangga.
4. The impact of Inflasi, Inflasi memiliki Menggunakan data
inflation on Pengeluaran pengaruh negatif yang lebih baru
expenditures and konsumsi terhadap untuk menganalisis
happiness in (pakaian, pengeluaran perilaku konsumsi.
China.( Shinshu makanan, konsumsi di
Zhang and rumah, China.
Shuenn-Hae Ou, kesehatan,
2013) transportasi,
47

pendidikan,
hiburan,
pengeluaran
barang dan
jasa lainnya),
perasaan
bahagia
masyarakat.
Analisis Pendapatan a. Pendapatan Inflasi di Indonesia
pengaruh Nasional, Nasional senantiasa dijaga
pendapatan konsumsi memiliki walaupun inflasi
nasional, inflasi, rumah tangga, pengaruh positif tidak memiliki
dan suku bunga inflasi, dan terhadap pengaruh terhadap
terhadap suku bunga konsumsi rumah konsumsi rumah
konsumsi rumah tangga di tangga, sebab
tangga di Indonesia. inflasi yang tinggi
5.
Indonesia. (Yuli b. Inflasi tidak tidak baik bagi
Angriani, 2013) memiliki suatu
pengaruh yang perekonomian.
signifikan
terhadap
konsumsi rumah
tangga di
Indonesia.

Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa faktor dominan

yang mempengaruhi konsumsi rumah tangga di Indonesia adalah faktor

pendapatan. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi konsumsi adalah

konsumsi periode sebelumnya dan inflasi, namun dari empat penelitian yang

mengkaji tentang pengaruh inflasi terhadap konsumsi rumah tangga di


48

Indonesia dua penelitian yaitu penelitian yang dilakukan oleh Murohman dan

Yuli Angriani menyatakan bahwa inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap

konsumsi rumah tangga di Indonesia, sedangkan dua penelitian lainnya yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Ermon Muh. Nur serta Shinshu Zhang dan

Shuenn-Hae Ou menyatakan hal yang berbeda dimana inflasi memiliki

pengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga di Indonesia.

2.3 Kerangka Pikir Penelitian


Dalam penelitian ini konsumsi rumah tangga di Indonesia dipengaruhi

oleh tiga variabel bebas yaitu pendapatan perkapita, konsumsi periode

sebelumnya, dan inflasi. Pendapatan perkapita dan konsumsi rumah tangga

memiliki suatu hubungan, dimana pendapatan merupakan faktor yang

mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga akan

meningkat apabila pendapatan juga mengalami peningkatan. Jadi,

pengeluaran konsumsi rumah tangga berbanding lurus dengan pendapatan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendapatan perkapita Indonesia.

Faktor lain yang turut serta mempengaruhi konsumsi rumah tangga

adalah konsumsi periode sebelumnya dan inflasi. Konsumsi periode

sebelumnya turut mempengaruhi konsumsi rumah tangga disebabkan rumah

tangga cenderung selalu meningkatkan konsumsinya, sehingga apabila

konsumsi periode sebelumnya tinggi maka konsumsi rumah tangga di periode

selanjutnya juga akan lebih tinggi.

Indonesia
49

Pendapatan Perkapita Konsumsi Periode


Inflasi
Sebelumnya

Konsumsi Rumah Tangga

Analisis Regresi Linier


Berganda

Kesimpulan

Gambar 2.6 Kerangka Pikir Penelitian

Inflasi akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, sebab inflasi

merupakan kenaikan harga-harga secara umum yang berlangsung terus-

menerus. Apabila harga-harga naik dan tidak diimbangi dengan kenaikan

pendapatan, maka rumah tangga akan memutuskan mengurangi konsumsinya.

Dapat dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dan inflasi

memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Jadi, pengeluaran konsumsi

rumah tangga dalam penelitian ini dipengaruhi oleh pendapatan perkapita,

konsumsi periode sebelumnya dan juga dipengaruhi oleh inflasi. Hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut akan dianalisis

menggunakan alat analisis regresi linier berganda, yang mana dengan analisis

tersebut akan dihasilkan suatu kesimpulan dalam penelitian ini.


50

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari persoalan atau masalah

yang kita sedang teliti (Sarwono, 2006:26). Jadi hipotesis adalah suatu

kebenaran yang masih bersifat sementara, yang mana kebenarannya masih

harus diuji. Melihat dari tujuan penelitian ini dan kerangka pikir penelitian di

atas maka hipotesis dari penelitian ini yaitu “Pendapatan perkapita, konsumsi

periode sebelumnya dan inflasi diduga berpengaruh signifikan terhadap

pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai