Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kaya dengan tumbuhan obat, tumbuh-tumbuhan tersebut masing-masing


memiliki khasiat bagi kesehatan, hanya tinggal ditunjang oleh kemauan dan kesungguhan
untuk memanfaatkannya secara optimal. Tumbuhan obat telah dikenal manusia sejak
mengenal peradabannya. Mulanya tumbuhan obat dimanfaatkan secara korelasi dan
dikumpulkan dari tempat tumbuhnya yang alami dari hutan, padang belantara atau semak
belukar. Kemajuan teknologi semakin menambah efisiensi secara pengolahan tumbuhan
obat dengan kemampuan alam untuk menyediakan tumbuhan obat, baik secara kuantitas
maupun secara kualitas (Anonim 2, 1995).
Penggunaan bahan alami sebagai zat hambat suatu mikroorganisme merupakan suatu
langkah back to nature yang berupa langkah untuk kembali ke alam dengan cara
memanfaatkan bahan alami untuk kebutuhan hidup. Bahan alami yang akan digunakan
dalam penelitian ini berupa ekstrak daun mengkudu (Sitepu dan Josua 2012).
Mengkudu yang memiliki nama latin Morinda citrifolia merupakan salah satu
tanaman tropika yang cukup banyak ditemukan diberbagai tempat. Secara keseluruhan
daun mengkudu mengandung zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Daun mengkudu
memiliki beberapa kandungan senyawa kimia seperti terpenoid, antibakteri, ascorbic acid,
beta karoten, I-arginine, xeronine, dan proxeronine. Selain itu, mengkudu juga
mengandung antraquinon dan scolopetin yang aktif sebagai antimikroba, terutama bakteri
dan jamur yang penting dalam mengatasi peradangan dan alergi (Sitepu dan Josua 2012).
Gel merupakan sediaan semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel
anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.
Kelebihan gel yaitu dapat memberikan rasa dingin dikulit dengan adanya kandungan air
yang cukup tinggi sehingga nyaman digunakan, mudah dicuci dengan air, dan mudah
terdispersi secara merata saat diaplikasikan pada kulit (Anonim 6, 2014).
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “ Uji daya hambat gel ekstrak etanol 96% daun mengkudu (Morinda
citrifolia L.) terhadap pertumbuhan bakteri E. coli dengan variasi jumlah konsentrasi
Na CMC yang berbeda”

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut bagaimana
pengaruh Uji daya hambat gel ekstrak etanol 96% daun mengkudu (Morinda citrifolia L.)
terhadap pertumbuhan bakteri E. coli dengan variasi jumlah konsentrasi Na CMC yang
berbeda.

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk Mengetahui daya hambat gel ekstrak etanol 96% daun mengkudu (Morinda
citrifolia L.) terhadap pertumbuhan bakteri E. coli dengan variasi jumlah konsentrasi Na
CMC yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mengkudu (Morinda citrifolia L.)


2.1.1. Sejarah
Mengkudu termasuk tumbuhan keluarga kopi-kopian (Rubiaceae), yang pada
mulanya berasal dari wilayah daratan Asia Tenggara dan kemudian menyebar
sampai ke Cina, India, Filipina, Hawaii, Tahiti, Afrika, Australia, Karibia, Haiti,
Fiji, Florida dan Kuba (Sitepu dan Josua 2012).
Tahun 100 SM, penduduk Asia Tenggara bermigrasi dan mendarat di
kepulauan Polinesia, mereka hanya membawa tanaman dan hewan yang dianggap
penting untuk hidup di tempat baru. Tanaman-tanaman tersebut memiliki banyak
kegunaan, antara lain untuk bahan pakaian, bangunan, makanan dan obat-obatan.
Mengkudu yang dalam bahasa setempat disebut "Noni" adalah salah satu jenis
tanaman obat penting yang turut dibawa. Bangsa Polinesia memanfaatkan "Noni"
untuk mengobati berbagai jenis penyakit, diantaranya: tumor, luka, penyakit kulit,
gangguan pernapasan (termasuk asma), demam dan penyakit usia lanjut (Bangun et
al. 2002).
Pengetahuan tentang pengobatan menggunakan mengkudu diwariskan dari
generasi ke generasi melalui nyanyian dan cerita rakyat. Tabib Polinesia, yang
disebut Kahuna adalah orang memegang peranan panting dalam dunia pengobatan
tradisional bangsa Polinesia dan selalu menggunakan mengkudu dalam resep
pengobatannya (Bangun et al. 2002).
Laporan-laporan tentang khasiat tanaman Mengkudu juga terdapat pada
tulisan-tulisan kuno yang dibuat kira-kira 2000 tahun yang lalu, yaitu pada masa
pemerintahan Dinasti Han di Cina. Bahkan juga dimuat dalam cerita-cerita
pewayangan yang ditulis pada masa pemerintahan raja-raja di pulau Jawa ratusan
tahun yang lalu (Goreti 2008).
Perkembangan industri tekstil di Eropa mendorong pencarian bahan-bahan
pewarna alami sampai kewilayah-wilayah kolonisasi, karena pada masa itu pewarna
sintetis belum ditemukan. Pada tahun 1849, para peneliti Eropa menemukan zat
pewarna alami yang berasal dari akar mengkudu, dan kemudian diberi nama
"Morindone" dan "Morindin” (Goreti 2008).
Tabel 2.1 Sejarah perkembangan Morinda citrifolia L. (Goreti 2008)
Tahun Keterangan
100 M Imigran dari Asia Tenggara tiba di Kep.Polinesia dengan
membawa bibit mengkudu.
1849 Orang-orang Eropa menemukan zat pewarna dari akar
mengkudu, yaitu Morindon dan Morindin.
1860 Penggunaan mengkudu untuk pengobatan mulai ditulis dalam
literatur Barat.
1950 Penemuan zat antibakteri pada buah mengkudu.
1960-1980 Riset-riset ilmiah dilakukan untuk membuktikan bahwa
mengkudu dapat menurunkan tekanan darah tinggi.
1972 Ahli biokimia, Dr. Ralph Heinicke mulai melakukan penelitian
tentang xeronine dan mengkudu.
1993 Penemuan zat anti kanker (damnacanthal) di dalam buah
mengkudu.

2.1.2. Klasifikasi dan Morfologi


Gambar 2.1 Mengkudu (Dalimartha 2006)
Tanaman mengkudu diklasifikasikan sebagai berikut (Sjabana 2002 cit. Sitepu dan
Josua 2012) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Rubiales
Suku : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia
Produksi tanaman mengkudu yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat yaitu
sekitar 6,04 kg/m2 (2006) dan pada tahun 2007 mencapai produksi sebesar 8,31
kg/m2 (Dalimartha 2006).
Rukmana (2002) memaparkan bahwa mengkudu termasuk jenis tanaman
yang umumnya memiliki batang pendek dan banyak cabang dengan ketinggian
pohon sekitar 3-8m di atas permukaan tanah serta tumbuh secara liar di hutan-
hutan, tegalan, pinggiran sungai, dan pekarangan. Mengkudu dapat tumbuh di
berbagai tipe lahan dan iklim pada ketinggian tempat dataran rendah sampai
1.500m diatas permukaan laut dengan curah hujan 1500– 3500mm/tahun, pH tanah
5-7, suhu 22-300C dan kelembaban 50-70% (Rukmana 2002).
Buah mengkudu memiliki bentuk bulat sampai lonjong, panjang 10cm,
berwarna kehijauan tetapi menjelang masak menjadi putih kekuningan. Setelah
lunak, daging buah mengkudu banyak mengandung air yang aromanya seperti keju
busuk. Bau itu timbul karena pencampuran antar asam kaprik dan asam kaproat.
Kedua senyawa tersebut bersifat aktif sebagai antibiotik. Permukaan buah seperti
terbagi dalam sel-sel polygonal (bersegi banyak) yang berbintik-bintik dan berkutil
(Santoso 2008).
Daun tersusun berhadapan dan bertangkai pendek. Daunnya tebal, lebar dan
mengkilap. Bentuk daun lonjong menyempit kearah pangkal (Ribka dan Dewi
2011). Daun mengkudu merupakan daun tunggal berwarna hijau kekuningan,
bersilang hadapan, ujung meruncing dan bertepi rata dengan ukuran panjang 10-
40cm dan lebar 15-17cm. Bunga mengkudu berwarna putih, berbau harum dan
mempunyai mahkota berbentuk terompet (Bangun et al. 2002).
2.1.3. Kandungan Senyawa Kimia
Zat aktif utama dalam daun mengkudu meliputi: terpenoid, antibakteri,
ascorbic acid, beta karoten, I-arginine, xeronine, dan proxeronine. Selain itu,
mengkudu juga mengandung antraquinon dan scolopetin yang aktif sebagai
antimikroba, terutama bakteri dan jamur yang penting dalam mengatasi peradangan
dan alergi (Sitepu dan Josua 2012).
Menurut para ahli kesehatan, bagian-bagian tanaman mengkudu mengandung
zat-zat kimia sebagai berikut (Rukmana 2002) :
a. Akar tanaman mengkudu mengandung zat damnacanthal, sterol, resin,
asperulosida, morindadiol, morindon, soranjidol, antraquinon, dan glikosida.
b. Kulit akar tanaman mengkudu mengandung zat kimia yang terdiri atas morindin,
khlororubin, rubiadin, morindon, morindanigrin, aligarind-methyl-ether,
soranjidol, antraquinon, monometil, eter, dan lain-lain.
c. Bunga tanaman mengkudu mengandung glikosida, antraquinon, dan acasetin-7-
0-beta-b(+)-glukopiransoida.
d. Buah mengkudu mengandung alkaloid triterpenoid, skopoletin, acubin, alizarin,
antraquinon, asam benzoat, asam oleat, asam palmitat, glukosa, eugenol, dan
hexanal. Unsur antibakteri yang terdapat dalam buah mengkudu ini juga
berfungsi untuk pengobatan infeksi kulit, pilek, demam, dan masalah kesehatan
lainnya yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
e. Daun tanaman mengkudu mengandung zat kapur, protein, zat besi, karoten,
arginin, asam glutamat, tirosin, asam askorbat, asam ursolat, thiamin, dan
antraquinon. Kandungan flavonoid total dalam daun mengkudu adalah
254mg/100gram fw. Angka ini termasuk tertinggi dibandingkan 90 tanaman lain
yang juga diteliti oleh Yang et al. Daun mengkudu juga mengandung spektrum
luas antrakuinon seperti iridoid, glikosida flavonol, dan triterpen. Senyawa ini
berfungsi sebagai antibakteri seperti: Staphylococcus aureus yang menyebabkan
peradangan dan infeksi, Shigela yang menyebabkan disentri, Pseudomonas
aeruginosa, Proteus morgaii, Baciillis subtilis, Salmonella, dan Escherichia coli.

2.2 Escherichia coli


Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri Gram negatif yang tumbuh sebagai flora
normal pada usus manusia yang berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi
pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu, dan penyerapan zat-zat makanan. Namun
dapat menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau
berada di luar usus (Kusuma, 2010).
2.2.1 Morfologi Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bagian famili Enterobacteriaceae, berbentuk
batang pendek (coccobasil), Gram negatif, ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm, beberapa
strain memiliki kapsul dan tidak membentuk spora serta bersifat anaerob fakultatif,
kebanyakan bersifat motil (dapat bergerak) dengan menggunakan flagella (Brooks
et al., 2013).
Escherichia coli dapat tumbuh di media manapun. Sebagian besar strain
Escherichia coli bersifat mikroaerofilik yaitu butuh oksigen namun tanpa oksigen
masih dapat hidup. Beberapa strain lainnya bersifat hemolisis sehingga ketika
ditanam di media agar darah akan terlihat hemolisis ß (hemolisis total) sedangkan
jika ditanam di media Eosin Methylen Blue (EMB) akan tampak warna yang khas
yaitu hijau metalik dan akan terlihat koloni berwarna kilat logam jika ditanam
dalam media Endo Agar (Nygren et al., 2012).
Selain itu, Escherichia coli juga berkembang baik pada agar Mac-Conkey.
Koloni bakteri ini berbentuk sirkular, konveks, dan halus dengan tepi yang tegas.
Bakteri ini melakukan fermentasi glukosa, sering disertai produksi gas, katalase
positif, oksidase negatif, dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Bakteri Escherichia
coli menunjukkan respon positif pada tes indol, lisin dekarboksilase, dan fermentasi
manitol, serta menghasilkan gas dari glukosa (Brooks et al., 2013).
Escherichia coli yang patogen dapat hidup optimal pada suhu 37°C, serta
dalam kisaran pH 4,4-8,5. Nilai aktivitas air minimal 0,95 lebih resistensi terhadap
asam. Bakteri ini relatif sangat sensitif terhadap panas dan inaktif pada suhu
pasteurisasi atau selama pemasakkan makanan (Suardana dan Swarcita, 2009).

Gambar 2.2 Escherichia coli pembesaran 1000x (Brooks et al., 2013).

2.2.2 Klasifikasi Escherichia coli


Menurut Bergey’s Manual of Systemic Biology dalam Jawetz et al., 2008,
klasifikasi taksonomi Escherichia coli :
Kingdom : Bacteria
Divisi : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli

Struktur dinding sel bakteri Gram negatif relatif lebih kompleks tersusun atas
tiga lapisan yakni lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa
lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Purwani et al., 2009).
Peptidoglikan yang terkandung dalam bakteri Gram negatif memiliki struktur lebih
kompleks dibandingkan Gram positif. Membran luarnya terdiri dari lipid,
liposakarida, dan protein (Febrika, 2012). Membran luar bakteri Gram negatif
berhubungan dengan lingkungan termasuk pada pejamu manusia. Variasi pada
membran luar inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan sifat patogenitas
dan resistensi antibiotik (Hendrayati, 2012).
2.2.3 Struktur Antigen Escherichia coli
Escherichia coli yang merupakan anggota dari Enterobactericeae memiliki struktur
antigenik yang terdiri dari (Brooks et al., 2008; Hendrayati, 2012) :
a. Antigen somatik O (liposakarida)
Antigen O adalah bagian luar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri
dari unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida spesifik
mengandung gula yang unik. Antigen O resisten terhadap panas dan alkohol dan
biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O adalah
IgM. Pada Escherichia coli, antigen O spesifik ditemukan pada diare dan infeksi
saluran kemih.
b. Antigen K (kapsular)
Antigen K terletak di luar antigen O. Pada Escherichia coli antigen K
merupakan polisakarida yang dapat menggangu aglutinasi dengan antiserum O
dan dapat berhubungan dengan virulens misalnya antigen K pada E. coli
menyebabkan perlekatan bakteri pada sel epitel sebelum invasi ke saluran cerna
atau saluran kemih.
c. Antigen H (flagella)
Antigen H terdapat di flagella dan didenaturasi oleh panas atau alkohol.
Antigen H dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang
bergerak. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada
protein flagel (flagelin).

2.2.4 Patogenesis Escherichia coli


Bakteri Escherichia coli (E. coli) merupakan flora normal yang ada di dalam
kolon manusia. Umumnya E. coli tidak menyebabkan suatu penyakit pada manusia
tetapi pada beberapa kondisi tertentu, bakteri E. coli dapat menimbulkan penyakit
yaitu bila jumlah koloni terlalu banyak, E. coli hidup di luar habitatnya atau
keadaan manusia sebagai pejamu yang lemah karena suatu kondisi seperti
mengalami penyakit imunosupresan (Putri, 2015).
2.2.4.1 Patogenesis Escherichia coli di Ekstraintestinal
Pada patogenesis ekstraintestinal, E. coli dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih, sepsis, dan penyakit lainya. Pada infeksi saluran kemih, E.
coli menjadi penyebab tersering dengan prevalensi mencapai 90%
terutama pada penderita wanita. Gejala dan tanda-tandanya infeksi saluran
kemih yaitu sering berkemih, disuria, hematuria, dan piuria. Pada infeksi
saluran kemih yang letaknya dibagian atas maka akan timbul pula gejala
nyeri pinggang dan demam yang sangat tinggi yaitu mencapai lebih dari
sama dengan 39oC. Antigen yang cukup berperan dalam infeksi saluran
kemih bagian atas yaitu antigen K, sedangkan antigen O hampir berperan
pada seluruh infeksi. Antigen H berperan pada kejadian nefropatogenik
akibat infeksi E. coli (Jawetz et al., 2008).
Selain infeksi saluran kemih, E. coli juga dapat menyebabkan sepsis
yang dapat mengancam nyawa. E. coli menjadi penyebab sepsis
nosokomial yang cukup tinggi yaitu prevalensinya mencapai 15%. Sepsis
akibat E. coli sebagain besar diakibatkan oleh endoktoksin kelompok
Sepsis Enterophatogenesis E. coli (SEPEC) yang rata-rata menunjukan
resistensi. Pada infeksi lainya, E. coli dapat pula menyebabkan infeksi
vesica vellea serta duktus, apendisitis dan meningitis pada bayi prematur
(Putri, 2015).
2.2.4.2 Patogenesis Escherichia coli di Intraintestinal
Pada intestinal, Escherichia coli sering menyebabkan penyakit
diare. Diare yang disebakan oleh E. coli sangat beragam macamnya,
bergantung dari jenis maupun gejala klinis yang timbul. Perbedaan
tersebut terjadi karena E. coli memiliki beberapa kelompok dengan
kemampuan virulensi yang berbeda-beda berdasarkan dari endotoksi yang
dihasilkan (Jawetz et al., 2008).
Endotoksin dari strain E.coli yang patogen dapat menyebabkan diare
berat pada semua kelompok usia. Endotoksin strain E. coli yang
dihubungkan dengan diare yaitu:
a. Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC)
Menyebabkan diare pada bayi dan anak di negara berkembang.
Jenis diare yang ditimbulkan yaitu diare encer yang dapat sembuh
sendiri tetapi dapat menjadi kronik. Mekanisme EPEC dapat
menimbulkan manifestasi yaitu mulanya EPEC menempel pada mukosa
intestinal lalu dibantu dengan kromosom pada EPEC, maka perlekatan
akan semakin meningkat dan mengakibatkan merusaknya mikrovili
yang ada pada mukosa intestinal.
b. Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC)
ETEC adalah penyebab umum terjadinya “diare wisatawan” dan
juga penyebab diare yang sangat penting pada bayi di negara
berkembang. Strain bakteri ini menghasilkan toksin LT (termolabil) dan
toksin ST (termostabil) saat bakteri ini melekat pada mukosa usus
manusia sehingga menyebabkan secretory diarrhea seperti pada kolera.
Toksin yang dihasilkan akan masuk ke mukosa intestinal lalu
mempengaruhi fungsi sel dengan cara aktivasi adenilil siklase lalu
setelah itu akan meningkatkan konsentrasi cAMP lokal. Konsentrasi
cAMP yang meningkat akan mengakibatkan hipersekresi air dan klorida
yang banyak dan lama. Akibat hipersekresi tersebut maka fungsi
reabsorpsi natrium dan juga membuat intestinal teregang, akibat
peregangan tersebut maka akan terjadi hipermotilitas maka terjadilah
diare.

c. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC)


Menimbulkan penyakit diare disentri yang mirip seperti
shigelosis. EIEC menimbulkan penyakit dengan cara menginvasi sel
epitel mukosa intestinal sehingga menimbukan lesi inflamasi dan juga
ulkus. Penyakit ini terjadi paling sering pada anak-anak di negara
berkembang dan pada pengunjung negara-negara tersebut. Seperti
Shigella, strain EIEC tidak memfermentasikan laktosa atau
memfermentasi laktosa dengan lambat dan nonmotil.
d. Enteroagregative Escherichia coli (EAEC)
EAEC dapat menyebabkan diare akut dan kronik dengan durasi
rata-rata >14 hari dan sering terjadi pada masyarakat di negara
berkembang. EAEC juga menyebabkan penyakit yang ditularkan
melalui makanan di negara industri. Mekanisme EAEC hingga sampai
menimbulkan manifestasi yaitu dibantu dengan fimbre, organisme ini
melekat pada sel epitel mukosa intestinal lalu mengeluarkan toksin
yang hampir serupa dangan tipe SL dan hemolisin. Ciri diare yang
ditimbulkanya yaitu watery diarrhea dan bahkan hingga diare berdarah.
e. Enterohaemorrhagic Escherichia coli (EHEC)
Strain bakteri ini menghasilakan verotoksin sehingga
menyebabkan kolitis hemoragik (diare berdarah). Jumlah koloni
O157:H7 yang dapat menimbulkan gejala penyakit cukup rendah yaitu
101/g –102/g dan umumnya menyerang kelompok balita, manula, dan
orang yang memiliki kekebalan tubuh rendah. Sanitasi yang baik,
memasak daging sapi sampai suhu 65 dan menyimpan panganan di
lemari es pada suhu 4 atau kurang adalah cara untuk mengontrol E.coli
(Jawetz et al., 2008; Standar Nasional Indonesia, 2009).

2.3 Uji Aktivitas Bakteri


Penentuan aktivitas antibiotik dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode
difusi dan dilusi (Brooks et al., 2008). Metode difusi terdiri dari metode Cup-plate
technique, disk diffusion (tes Kirby dan Baur), E-test, dan ditch-plate technique, sedangkan
metode dilusi terdiri dari metode dilusi cair dan dilusi padat (Pratiwi, 2008).
2.3.1 Metode Difusi
Pada metode ini yang diamati adalah diameter daerah hambatan pertumbuhan
bakteri karena difusinya obat pada titik awal pemberian ke daerah difusi. Metode
ini dilakukan dengan cara menanam bakteri pada media agar padat tertentu
kemudian diletakkan kertas samir atau disk yang mengandung obat dan dilihat
hasilnya. Diameter zona jernih inhibisi di sekitar cakram diukur sebagai kekuatan
inhibisi obat melawan bakteri yang diuji (Brooks et al., 2008). Metode difusi
dibagi menjadi beberapa cara :
a. Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan disk diffusion dimana dibuat sumur pada media
agar yang telah ditanami dengan bakteri dan pada sumur tersebut diberi agen
antibiotik yang akan diuji. Kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu
37oC. Setelah diinkubasi, amati zona hambat di sekitar sumur tersebut (Pratiwi,
2008).
b. Metode disk diffusion (tes Kirby dan Baur)
Metode ini Menggunakan cakram kertas yang berisi agen antibiotik,
kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya telah ditanami bakteri
dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam, sehingga agen antibakteri
dapat berdifusi pada media agar tersebut. Lalu amati zona hambatnya (area
jernih) dengan mengukur besarnya diameter daya hambat yang terbentuk di
sekitar cakram kertas antibiotik tersebut. Semakin besar diameter hambat yang
terbentuk, semakin besar pula sensitifitas antibiotiknya (Pelczar dan Chan,
2007).
c. Metode E-test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum
(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antibiotik untuk dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Pada metode ini digunakan strip plastik yang
mengandung agen antibiotik dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan
pada permukaan media agar yang telah ditanami bakteri sebelumnya (Pratiwi,
2008).
d. Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antibiotik yang diletakkan pada
parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan bakteri uji digoreskan ke arah parit yang
berisi agen antibiotik tersebut. Lalu inkubasi dalam inkubator pada suhu 3718-24
jam. Kemudian perhatikan zona hambatnya (Prayoga, 2013).
2.3.2 Metode Dilusi
Metode dilusi adalah metode yang digunakan untuk mengukur Kadar Hambat
Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari antibiotik yang diuji.
Metode ini menggunakan prinsip pengenceran antibiotik sehingga diperoleh
beberapa konsentrasi obat yang ditambah suspensi bakteri dalam media. Dalam
metode ini, seri tabung reaksi akan diisi media cair dan beberapa sel bakteri yang
akan diuji, lalu dilakukan pengenceran secara serial dengan konsentrasi tertentu,
selanjutnya diisi dengan antibiotik yang akan diujikan, kemudian seri tabung
tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam, kemudian amati kekeruhan
yang terjadi pada serial tabung tersebut (Prayoga, 2013).
Hasil KHM akan menunjukkan konsentrasi terendah jika tabung yang diamati
adalah tabung dengan kejernihan paling baik (indikator tidak terdapat pertumbuhan
bakteri). Selanjutnya, hasil biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan
pada media agar. Kemudian, media agar tersebut diinkubasi dan lihat ada tidaknya
koloni bakteri yang tumbuh, sedangkan hasil KBM adalah ada tidaknya koloni
bakteri yang tumbuh pada media agar yang telah diinkubasi (Setiabudy, 2012).
Pada metode ini yang diamati adalah ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri,
jika ada diamati tingkat kesuburan dari pertumbuhan bakteri dengan cara
menghitung jumlah koloni (Pratiwi, 2008). Tujuan akhirnya adalah untuk
mengetahui seberapa banyak jumlah zat antibiotik yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri yang diuji (Brooks et al., 2008).
Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Metode dilusi cair (Broth Dilution Test)
Metode ini digunakan untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah
dengan membuat seri pengenceran agen antibiotik pada medium cair yang
ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan uji agen antibiotik pada kadar terkecil
yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai
KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang
pada media cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun agen antibiotik, dan
diinkubasi selama 18 – 24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Prayoga, 2013).
b. Metode dilusi padat (Solid Dilution Test)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat. Pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampurkan dengan media agar
lalu ditanami bakteri dan diinkubasi. Keuntungan metode ini adalah satu
konsentrasi agen antibiotik yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa
bakteri uji (Pratiwi, 2008).

2.4 Ekstraksi
2.4.1 Defenisi ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman obat
yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang berada
dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Prinsip kelarutan yaitu
polar melarutkan yang polar, pelarut semipolar melarutkan senyawa semipolar, dan
pelarut nonpolar melarutkan senyawa nonpolar. Sediaan yang diperoleh dari hasil
ekstraksi dinamakan ekstraksi, pelarutnya disebut penyari, sedangkan sisa-sisa yang
tidak ikut tersari disebut ampas (Yuwono, 2009). Dalam proses ekstraksi, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Jumlah simplisia yang akan diesktrak.


2. Derajat kehalusan simplisia.
Semakin halus, luas kontak permukaan akan semakin besar sehingga
proses ekstraksi akan lebih optimal.
3. Jenis pelarut yang digunakan
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki
kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/terlarut dengan pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut,
terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
a. Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal
digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-
senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut
polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
b. Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat, kloroform.
c. Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter (Siswoyo, 2009). Beberapa syarat-syarat pelarut yang ideal
untuk ekstraksi antara lain:
1. Tidak toksik dan ramah lingkungan.
2. Mampu mengekstrak semua senyawa dalam simplisia.
3. Mudah untuk dihilangkan dari ekstrak.
4. Tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa dalam simplisia yang diekstrak.
5. Murah/ekonomis.
4. Lama waktu ekstraksi
Lama ekstraksi akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang
terambil. Ada waktu saat pelarut/ekstraktan jenuh. Sehingga, semakin lama
ekstraksi semakin bertambah banyak ekstrak yang didapatkan.
2.4.2 Macam-macam ekstraksi
Dengan menggunakan metode penyarian atau pelarut dalam ekstraksi dapat
dibedakan macam-macam cara ekstraksi diantaranya :
1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar).
b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, sampai


sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara tahap
penampungan ekstrak, terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat)
yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara Panas
a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya


selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
perbandingan balik. Biasanya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga terbentuk proses ekstraksi sempurna.
b. Soklet
Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang baru, secara umum
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum pada
temperatur 40-500C.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
mendidih (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air disebut dekok. Metode ini digunakan untuk
mengekstraksi senyawa yang larut air dan stabil pada pemanasan.
2.4.3 Tujuan ekstraksi
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan
antarmuka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Saraswati, 2015).

2.5 Gel
2.5.1 Defenisi gel
Gel adalah sediaan bermassa lembek, berupa suspensi yang dibuat dari
partikel senyawa anorganik atau makromolekul senyawa organik, masing-masing
terbungkus dan saling terserap oleh cairan (Anonim 1, 1979).
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Anonim 6, 2014).
Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel
digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Dalam
sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel
kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (Misalnya Magma Bentonit). Baik gel
maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika dibiarkan dan
menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan
untuk menjamin homogenitas (Anonim 6, 2014).
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama
dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul
makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul
sintetik (misalnya Karbomer) atau dari gom (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan
disebut juga mucilago (Anonim 6, 2014).
Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan minyak dapat
digunakan sebagai fase pembawa. Sebagai contoh, minyak mineral dapat
dikombinasi dengan resin polietilena untuk membentuk dasar salep berminyak. Gel
dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau dimasukkan
kedalam lubang tubuh (Anonim 6, 2014).
2.5.2 Penggolongan gel
a. Dasar Gel Hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari pertikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan kedalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus.
b. Dasar Gel Hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umunya terdiri dari moleku-molekul organik yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi,
istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada
pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya tarik menarik
dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk
dibuat dan memiliki stabilitas yang besar.
2.5.3 Keuntungan gel
a. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit.
b. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit.
c. Tidak adanya penghambatan fungsi rambut secara fisiologis.
d. Kemudahan pencuciannya dengan air baik.
e. Pelepasan obatnya baik.
2.5.4 Kerugian gel
a. Untuk hydrogel : harus menggunakan zat aktif yang larut didalam air sehingga
diperlukan pengguanaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar gel tetap
jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut sangat mudah
dicuci atau hilang ketika kita berkeringat, kandungan surfaktan yang tinggi
dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih mahal.
b. Penggunaan emolien golongan ester harus diminimalkan atau dihilangkan
untuk mencapai kejernihan yang tinggi.
c. Untuk hidroalkoholik : gel dengan kandungan alcohol yang tinggi dapat
menyebabkan pedih pada wajah dan mata, penampilan yang buruk pada kulit
bila terkena pemaparan cahaya matahari, alkohol ahkan menguap dengan cepat
dan meninggalkan film yang berpori atau pecah-pecah sehingga tidak semua
area tertutupi atau kontak dengan zat aktif.

2.6 Monografi Bahan


1. Na CMC

Gambar 2.3 Rumus Struktur Na CMC

Pemerian : Serbuk atau butiran, putih atau putih kuning gading, tidak berbau
atau hampir tidak berbau, higroskopik.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air, membentuk suspensi koloidal, tidak
larut dalam etanol (95%) P, eter P, dan dalam pelarut organik
lainnya.
Khasiat : Gelling Agent
(Anonim 1, 1979)

2. Propilenglikol
CH3-CH[OH]-CH2OH
Gambar 2.4 Rumus Struktur Propilenglikol

Rumus molekul : C3H8O2


BM : 76,10
Pemerian : Cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis,
higroskopik.
Kelarutan : Dapat dicampur dengan air, dengan etanol (95%) P dan
dengan kloroform P, tidak dapat dicampur dengan eter
minyak tanah P, dan dengan minyak lemak.
Khasiat : Humektan
(Anonim 1, 1979)

3. Metil paraben

Gambar 2.5 Rumus Struktur Metil Paraben

Rumus molekul : C8H8O3


BM : 152,15
Pemerian : Serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak
mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa
tebal.
Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih,
dalam 3,5 bagian etanol (95)% P dan dalam 3 bagian
aseton P.
Khasiat : Zat tambahan, zat pengawet.
(Anonim 1, 1979)

4. Aqua destillata
Rumus molekul : H2O2
BM : 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
(Anonim 1, 1979)

2.7 Evaluasi sediaan gel


2.7.1 Organoleptis
Pada pengujian ini yang diamati ialah warna, bau, tekstur, dan homogenitas.
Uji ini dilakukan untuk melihat fisik suatu sediaan secara visual (Muzzafar et al.,
2013).
2.7.2 Uji pH
Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan pH universal. Kestabilan pH
merupakan salah satu parameter penting yang menentukan stabil atau tidaknya
suatu sediaan. Nilai pH pada kulit manusia terdapat dalam rentang asam antara 4,5-
6,5. Apabila suatu sediaan topikal memiliki pH di atas pH kulit maka kulit akan
menjadi kering sedangkan di bawah pH kulit maka akan teriritasi (Muzzafar et al.,
2013).
2.7.3 Uji daya sebar
Daya sebar sediaan terkait dengan kontak antara sediaan topikal dengan
tempat pengaplikasian yang berhubungan langsung dengan koefisien gesekan.Uji
daya sebar dilakukan untuk menjamin pemerataan gel saat diaplikasikan pada kulit
yang dilakukan segera setelah gel dibuat (Syamsuni, 2006).
2.7.5 Uji homogenitas
Homogen merupakan salah satu syarat sediaan gel. Syarat homogenitas tidak
boleh mengandung bahan kasar yang bisa diraba. Uji homogenitas dilakukan
secara visual. Homogenitas dapat dilihat dengan tidak adanya partikel-partikel yang
memisah (Syamsuni, 2006).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental berupa pembuatan formulasi
sediaan gel dari ekstrak etanol 96% daun mengkudu (Morinda citrifolia L.) dilakukan
secara deskriptif yaitu berupa grafik dan tabel.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Formulasi sediaan gel dari ekstrak rimpang temulawak daun mengkudu (Morinda
citrifolia L.) ini dilakukan di Laboratorium Biologi dan Laboratorium Mikrobiologi.
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan pada bulan Juli sampai bulan Agustus 2018.

3.3 Definisi Operasional


3.3.1 Variabel Bebas (Independent)
Variabel : Ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Definisi Operasional : Ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L.)
adalah hasil yang diperoleh dari proses maserasi daun
mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang sudah dijadikan
serbuk dengan pelarut etanol 96% kemudian diuapkan
dengan rotary evaporator. Ekstrak yang dihasilkan adalah
ekstrak kental, kemudian ekstrak dibuat sediaan gel dengan
formula 1, 2, 3 dan 4.

3.3.2 Variabel Terikat (Dependent)


Variabel : Daya hambat pertumbuhan bakteri
Definisi Operasional : Ada atau tidaknya zona hambat yang yang terbentuk dari
sediaan gel ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia
L.)

Alat Ukur : Mistar dalam satuan mm


Hasil Ukur : Besar zona hambat dalam mm
Skala : Ratio

3.4 Subjek dan Objek


3.4.1 Subjek
Subjek penelitian ini adalah gel dari ekstrak daun mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dengan konsentrasi Na CMC sebagai berikut :
1. Formula 1 : gel yang mengandung Na CMC 2,5 %.
2. Formula 2 : gel yang mengandung Na CMC 3 %.
3. Formula 3 : gel yang mengandung Na CMC 3,5 %.
4. Formula 4 : gel yang mengandung Na CMC 4 %.
3.4.2 Objek
Objek penelitian ini adalah daya hambat gel ekstrak daun mengkudu
(Morinda citrifolia L.) terhadap pertumbuhan bakteri.

3.5 Metode dan Prinsip Pemeriksaan


3.5.1 Metode Pemeriksaan
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode Kirby-Bauer, yaitu
metode yang menggunakan cakram disk yang mengandung gel ekstrak etanol 96%
dari daun mengkudu (Morinda citrifolia L.)
3.5.2 Prinsip Pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan ini menggunakan berbagai tingkat dari konsentrasi
formula gel ekstrak etanol 96% dari daun mengkudu (Morinda citrifolia L.) untuk
menghambat pertumbuhan bakteri, kemudian dilakukan pengukuran dari zona
hambat yang terbentuk dengan menggunakan mistar dalam satuan mm.

3.6 Alat dan Bahan


3.6.1. Alat :
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, petridisk, kawat ose,
mug, inkubator, beaker glass, spiritus, tabung reaksi, rak tabung reaksi, kertas
perkamen, alumunium foil, timbangan neraca analitik, penggaris, oven, spidol,
kapas steril, tissue, mortir, stamper, pisau atau cutter, wadah simplisia, cawan
petri, object glass, sudip, pipet tetes, serbet, gelas ukur, pH stick universal, corong,
kertas saring, kaca transparan, cawan penguap, spatel, sendok tanduk, penangas air,
blender, potsalep dan rotary evaporator.
3.6.2 Bahan :
Bahan yang digunakan adalah daun mengkudu segar (Morinda citrifolia L.)
sebanyak 1 kg, strain murni bakteri.

3.7 Prosedur kerja penelitian


3.7.1 Pengumpulan sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun mengkudu segar
(Morinda citrifolia L).
3.7.2 Persiapan bahan
Sebelum pembuatan ekstrak, terlebih dahulu dilakukan penyiapan simplisia
sebagai berikut :
a. Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing dari daun mengkudu (Morinda citrifolia L).
b. Daun mengkudu (Morinda citrifolia L) dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih melekat.
c. Perajangan dilakukan untuk mempercepat penguapan air dan proses
pengeringan.
d. Setelah dilakukan perajangan daun mengkudu (Morinda citrifolia L diletakkan
diatas wadah, dimasukkan kedalam rumah plastic,dijemur dan diangin-anginkan
sampai benar-benar kering.
e. Simplisia yang dihasilkan kemudian disortasi kering, selanjutnya diblender
hingga menjadi serbuk, serbuk yang diperoleh disimpan dalam plastik tertutup
rapat.

3.7.3 Pembuatan ekstrak daun mengkudu


Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara merendam 1 kg serbuk daun
mengkudu (Morinda citrifolia L) dalam 500 ml etanol 96% pada hari pertama, pada
hari berikutnya dilakukan penambahan pelarut sebanyak 250 ml dan pada hari ke 3
sebanyak 250 ml. Proses maserasi dilakukan dalam wadah bewarna gelap yang
ditutup rapat selama 3 x 24 jam sambil sesekali diaduk. Maserat yang didapat
disaring menggunakan kertas saring, filtrate yang diperoleh kemudian diuapkan
dengan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental daun
mengkudu (Morinda citrifolia L) Setelah diperoleh ekstrak kental daun mengkudu
(Morinda citrifolia L), dihitung rendemen :
Bobot ekstrak yang diperoleh
% Rendemen = x 100%
Berat awal daun mengkudu( Morinda citrifolia L)

5,79
= X 100
0,5

= 1,2

3.7.4 Pembuatan gel ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L)


1. Rancangan formulasi sediaan gel dari ekstrak daun mengkudu (Morinda
citrifolia L) dibuat 60 ml.

Tabel 3.1 Formulasi gel ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L)


No Komposisi F1 F2 F3 F4 Khasiat
1 Ekstrak daun 5 5 5 5 Zat aktif
mengkudu(Morinda
citrifolia L) (g)
2 Na CMC (%) 2,5 3 3,5 4 Gelling Agent
3 Propilenglikol (g) 12,5 12,5 12,5 12,5 Humektan
4 Metil paraben (g) 0,1 0,1 0,1 0,1 Pengawet
5 Aquadest ad (ml) 60 60 60 60 Zat tambahan
2. Prosedur Kerja Pembuatan Gel
a. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
b. Timbang bahan yang akan digunakan sesuai dengan formulasi yang telah
dihitung.
c. Taburkan Na CMC yang telah ditimbang secara merata kedalam mortir yang
berisi air panas dan tunggu hingga mengembang.
d. Setelah Na CMC mengembang gerus dengan menggunakan stamper hingga
homogen.
e. Larutkan metil paraben kedalam cawan penguap yang berisi propilenglikol,
hingga larut.
f. Masukkan propilenglikol sedikit demi sedikit kedalam mortir yang berisi Na
CMC gerus sampai homogen.
g. Kemudian masukkan ekstrak etanol 96% daun mengkudu (Morinda citrifolia
L) kedalam mortir dan gerus hingga homogen sampai terbentuk gel.
h. Tambahkan sisa aquadest gerus hingga homogen.
i. Massa gel yeng telah terbentuk dimasukkan kedalam wadah transparan dan
beri etiket.
j. Lakukan evaluasi sediaan.
3.7.5 Evaluasi sediaan gel ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L)
1. Evaluasi uji Organoleptis
Evaluasi uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan
dengan cara melakukan pengamatan terhadap bentuk, warna dan bau dari
sediaan yang telah dibuat.
2. Evaluasi uji pH
Evaluasi uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel,
untuk menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. pH sediaan gel
diukur dengan menggunakan stik pH universal dicelupkan kedalam sampel gel,
di diamkan beberapa saat dan hasilnya disesuaikan dengan standar pH universal.
pH sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5-6,5.
3. Evaluasi uji daya sebar
Uji daya sebar dilakukan untuk menjamin pemerataan gel saat
diaplikasikan pada kulit yang dilakukan segera setelah gel dibuat. Gel ekstrak
daun mengkudu (Morinda citrifolia L) ditimbang sebanyak 1 g, kemudian
diletakkan dengan hati-hati di atas lempeng kaca berukuran 20 x 20 cm.
Selanjutnya ditutupi dengan lempeng kaca yang lain dan digunakan pemberat
diatasnya hingga bobot mencapai 125 g dan diukur diameternya setelah 1 menit.

4. Evaluasi uji homogenitas


Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah
dibuat homogen atau tidak. Caranya gel ekstrak daun mengkudu (Morinda
citrifolia L) dioleskan pada kaca transparan lalu diamati. Homogenitas
ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar.
3.8 Prosedur kerja penelitian mikrobiologi
3.8.1 Sterilisasi alat
a. Alat-alat yang akan digunakan dibungkus dengan menggunakan aluminium foil
b. Sterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 120℃ selama 3 jam.
c. Meja kerja yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan
menggunakan alkohol sebelum dan sesudah percobaan.
3.8.2 Pembuatan nutrien agar (NA)
a. Larutkan 8 gr natrium agar (NA) dalam 1 L aquadest.
b. Kemudian dipanaskan lalu diaduk hingga larut.
c. Biarkan media nutrient agar (NA) hingga dingin.
d. Tutup bagian atas erlemeyer dengan menggunakan aluminium foil.
e. Masukkan media nutrient agar (NA) ke dalam autoklaf untuk proses sterilisasi.
3.8.3 Pembuatan natrium broth (NB)
a. Larutkan 20 gr natrium broth (NB) dalam 1 L aquadest.
b. Kemudian dipanaskan lalu diaduk hingga larut.
c. Biarkan media natrium broth (NB) hingga dingin.
d. Tutup bagian atas erlemeyer dengan menggunakan aluminium foil.
e. Masukkan media natrium broth (NB) ke dalam autoklaf untuk proses sterilisasi.
3.8.4 Pembuatan media perbenihan
a. Sebelum dituangkan media nutrient agar dan broth, mulut erlemenyer
dipanaskan dengan menggunkan spiritus untuk menghindari kontaminasi bakteri.
b. Ambil bakteri yang akan digunakan lalu masukkan ke dalam cawan petri.
c. Masukkan media nutrient agar dan broth ke dalam cawan petri tunggu hingga
mengeras.

3.8.5 Pengujian efek antibakteri gel ekstrak daun mengkudu


a. Siapkan media agar yang sudah ditanam dengan strain bakteri Escherichia coli
b. Media agar yang sudah ditanam dengan strain bakteri Escherichia coli dibagi
menjadi 4 bagian.
c. Letakkan cakram disk diatas media nutrient agar dan broth yang berisi :
No Cakram disk
1. Gel ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi NaCMC 2,5 %
2. Gel ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi NaCMC 3%
3. Gel ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi NaCMC 3,5 %
4. Gel ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi NaCMC 4 %
d. Teteskan masing-masing sampel formula sebanyak 20 µg.
e. Inkubasi selama 24 jam.
f. Setelah 24 jam, ukur daya hambat gel ekstrak daun mengkudu terhadap bakteri
Escherichia coli dengan menggunakan jangka sorong.
g. Potensi antimikroba terlihat dengan terbentuk zona bening disekitar media.

3.9 Kerangka konsep

Evaluasi sediaan :
Ekstrak Etanol 96% daun
mengkudu (Morinda citrifolia a. Uji organoleptis
b. Uji pH
L)
c. Uji daya sebar
d. Uji homogenitas

Gel Antibakteri Ekstrak Etanol 96% daun


mengkudu (Morinda citrifolia L)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai