Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka membahas mengenai narapidana wanita, kecemasan,

dan kualitas hidup.

2.1.1 Narapidana Wanita

Narapidana didefinisikan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia

sebagai orang yang sedang menjalani hukuman karena suatu tindak pidana.

Berdasarkan kamus hukum, narapidana diartikan sebagai orang yang

menjalani pidana dalam lapas. Sedangkan menurut Bahasa narapidana

berasal dari dua kata “nara” dari Bahasa sansekerta yang berarti “kaum atau

orang-orang” dan “pidana” dari Bahasa belanda yang berarti “straaf”.

Dalam UU No.12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (6) juga dijelaskan bahwa

terpidana adalah seorang narapidana yang dipidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud

dengan narapidana wanita merupakan persoalan gender atau sex. Dalam

pasal 27 UUD NRI 1945 tercantum aturan persamaan kedudukan dimata

hukum, dimana Negara menjamin hak-hak warganya dan tidak ada

diskriminatif dalam pelaksanaannya.

Data dari studi pendahuluan, narapidana wanita memiliki kegiatan-

kegiatan yang dilakukan sesuai dengan aturan, waktu yang telah ditetapkan

dan tidak berubah. Kegiatan narapidana dimulai pukul 07.15 pagi pada hari
selasa, rabu, dan kamis untuk melakukan kegiatan senam blok, pada hari

senin, jum’at, dan sabtu kegiatan dimulai pukul 07.30, sedangkan pada hari

minggu tidak ada kegiatan yang di wajibkan biasanya para narapidana

melakukan rekreasi seperti nonton, bersih-bersih kamar, aerobik,

berkumpul atau bersantai-santai.

Kegiatan harian yang biasa dilakukan diantaranya: upacara bendera

(hanya hari senin minggu 1 & 3), morning meeting, belajar Iqro, belajar Al-

Quran, tauziah, kebaktian, pesantren, kegiatan kerja, mengerjakan tugas

sebagai pengambil makanan, pramuka, rekreasi sore, main voli, membaca

buku, nonton, belajar Bahasa inggris, pengajian, belajar Bahasa arab,

latihan music gereja, futsal, karoke, dan bimbingan kerja (membuat

berbagai kerajinan tangan).

Terdapat kegiatan wajib diantaranya: sholat, mendengar tauziah

atau ibadah gereja, menjaga ketertiban, tidak berkelahi atau membuat

kegaduhan. Jika aturan ini dilanggar maka akan mendapat hukuman

seperti: mengepel seluruh lantai satu blok hunian atau dimasukkan dalam

ruang isolasi.

2.1.1.1 Jenis Kejahatan

Tindak kriminal yang biasa dilakukan wanita adalah penculikan

atau pelarian anak di bawah umur (pasal 328 KUHP), kandungan (pasal

348 KUHP), penganiyaan (pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362

KUHP), pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP), pencurian

dengan kekerasan (pasal 365 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP) dan
narkotika (UU No.22 Tahun 1997). Menurut Suarja (2001) kejahatan yang

dilakukan oleh wanita disebabkan karena faktor ekonomi dan faktor sosial.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab seseorang

melakukan tindakan kriminal diantaranya faktor internal (motivation

intrinsic) seperti kebutuhan ekonomi yang mendesak, pekerjaan yang

dimiliki, dan taraf kesejah teraan. Sedangkan faktor eksternal (motivation

ekstrinsik) seperti pendidikan dan pergaulan atau pengaruh lingkungan

(Cunneen, 2002).

2.1.1.2 Masalah Kesehatan Jiwa Narapidana Wanita

Narapidana yang dibatasi kebebasannya oleh Negara atas dasar

hukum, merupakan kelompok yang rentan (vulnerable) dalam masyarakat

Hastings., et al (2015). Bloom dan Covingto (2008) yang menemukan

bahwa 31% narapidana wanita mengalami gangguan jiwa yang serius serta

kesehatan jiwa yang dialami narapidana wanita meningkat hingga 73% dan

80% masuk dalam kriteria untuk setidaknya mengidap satu gangguan jiwa

seumur hidup.

Study lain (Herman, 1997) menyatakan bahwa masalah kesehatan

jiwa yang dialami oleh narapidana wanita diantaranya gangguan: depresi,

disosiasi, gangguan stress pasca trauma, kecemasan dan gangguan lainnya

seperti, gangguan makan, dan gangguan kepribadian. Masalah kesehatan

mental berat diantaranya skizofrenia, depresi berat, disfungsi psikoseksual,

dan gangguan kepribadian antisosial (Ross, Glaser, & Stiasny, 1998).


2.1.1.3 Peran Perawat Jiwa

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (2014) tentang kesehatan

jiwa, peran perawat di lapas diantaranya:

1) Perawat melakukan upaya promitif

a) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman narapidana tentang

kesehatan jiwa.

b) Melakukan pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat.

c) Menciptakan suasana lingkungan yang kondusif untuk kesehatan

jiwa narapidana, dengan cara melalui penyediaan dan pemberian

akses terhadap fasilitas pendidikan, olahraga, dan pelatihan

vokasional. Pemberian kesempatan agar berpartisipasi dalam

kegiatan seni. Menyediakan diet seimbang seperti pemberian akses

untuk pelayanan kesehatan. Mencegah penyalahgunaan narkotika,

psikotropika, serta zat adiktif seperti pemberian akses untuk

rehabilitasi narkotika, psikotropika, serta zat adiktif. Konseling

pengelolaan emosi seperti memberi dukungan antar sesama

narapidana. Memberi kesempatan agar terlibat dalam kegiatan

sosial.

2) Perawat melakukan upaya preventif

a) Menciptakan lingkungan lapas yang kondusif bagi kesehatan jiwa

dengan cara menyediakan sarana dan prasarana pendukung

keamanan dan kenyamanan setiap individu di dalam lapas sehingga


meminimalisir suasana tertekan yang dapat menimbulkan terjadinya

tekanan dan terjadinya interaksi sehat antar narapidana di lapas.

b) Melakukan komunikasi, memberikan informasi, dan edukasi

mengenai pencegahan gangguan jiwa.

c) Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa di lapas

dengan cara penyediaan sarana dan prasarana yang sesuai dengan

standar sehingga meminimalkan tekanan, diantaranya pada fasilitas

olahraga, fasilitas bermain, fasilitas beribadah, fasilitas musik,

fasilitas penyaluran hobi dan/atau tenaga konseling agar dapat

meminimalkan masalah psikososial.

2.1.2 Kecemasan

Cemas adalah keadaan emosional yang tidak menyenangkan,

berhubungan dengan perubahan-perubahan psikofisiologis dalam memberi

respon terhadap suatu konflik intrapsikis. Berbeda dengan rasa takut,

bahaya antara ancaman dalam kecemasan merupakan hal yang tidak nyata.

Tanda-tanda psikologis terdiri dari: perasaan tidak nyaman karena merasa

ada ancaman bahaya yang akan datang, atau merasa tidak berdaya yang

berlebihan, merasa tegang yang berlangsung lama. Tanda-tanda fisiologis

gemetar, berdebar-debar, napas tidak bebas, dan perubahan vasomotor.

Kecemasan terbagi dua yaitu cemas normal (sebentar, berjaga-jaga,

waspada) dan cemas abnormal (distress menggangu) (Sandock, Sandock, &

Ruiz, 2015).
Kecemasan disertai dengan gejala otonom diantaranya sakit kepala,

keringat, jantung berdebar, sesak di dada, ketidak nyamanan pada perut,

dan gelisah, serta ketidak mampuan duduk atau berdiri terlalu lama. Tanda

dan gejala kecemasan cenderung bervariasi antara setiap orang. Gejala

kecemasan terdiri atas dua komponen yaitu sensasi kesadaran fisiologis

(misalnya; palpitasi, keringat) dan kesadaran akan ketakuatan dan adanya

perasaan gugup. Perasaan malu juga dapat meningkatkan kecemasan.

Selain itu gejala tambahan sebagai penggerakan dan efek mendalam,

kecemasan mempengaruhi pemikiran, persepsi, dan belajar. Hal ini

membuat seseorang bingung dan terjadi pengalihan persepsi, tidak hanya

waktu dan tempat tetapi juga makna seseorang terhadap sesuatu kejadian

dapat berubah. Penurunan konsentrasi, sulit mengingat, dan sulit

menghubungkan antara satu item dangan lainnya (Sandock, Sandock, &

Ruiz, 2015).

Menurut Krisberg (2014) kecemasan merupakan perasaan yang

normal dialami oleh semua orang, bahkan kecemasan dapat menjadi

motivasi untuk semakin lebih baik. Namun jika perasaan cemas semakin

besar dan menyebabkan kehilangan kontrol, maka harus segera mencari

bantuan professional.

Selain itu menurut The Counseling and Mental Health Center

(CMHC, 2015) kecemasan merupakan situasi yang normal dialami oleh

setiap individu, seperti malu menghadapi situasi sosial yang tidak nyaman,
mimikirkan sesuatu yang tidak pasti, menghadapi ujian, putus cinta, atau

sesuatu yang membuat kesal.

2.1.2.1 Prevalensi Kecemasan

Gangguan cemas diperkirakan dialami oleh 20% populasi dunia

(Gail et al., 2012). Menurut Kaplan & Sadock (2012) kecemasan dan

depresi dialami oleh lebih dari 40 juta populasi orang dewasa di Amerika,

dimulai pada usia 18 tahun atau lebih dengan prosentase 18% dari populasi.

Di Indonesia prevalensi gangguan cemas diperkirakan sekitar 2-6

juta jiwa dari 220 juta populasi, serta wanita dua hingga tiga kali lebih

rentan mengalami kecemasan dibandingka pria (Vogel, et al., 1971; Amat,

et al., 2005; Iskandar, 2006; Leach, et al., 2008; Hawari, 2011).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prison Reform Trust

(2016) ditemukan masalah kesehatan mental di dalam penjara diantaranya

kecemasan dan depresi, 49% terjadi pada narapidana wanita dan 23% pada

narapidana laki-laki. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh University of

South Wales didapatkan data bahwa sebanyak 36% masalah kesehatan

mental dirasakan oleh narapidana wanita dan laki-laki, untuk kecemasan

yang dialami narapidana wanita sebanyak 61% sedangkan pada narapidana

laki-laki sebesar 39% (Butler., et all, 2005).

Masalah kesehatan mental pada narapidana wanita terjadi karena

mereka tidak dapat menerima keadaannya dengan status barunya sebagai

narapidana, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat


menerima dirinya dan lingkungan barunya di Lapas (Ardilla & Herdiana,

2013).

Kecemasan juga sangat dirasakan saat narapidana menjelang bebas

karena memikirkan apakah masyarakat mau menerima dirinya kembali,

karena selama ini masyarakat memberi cap negatif terhadap mantan

narapidana (Victoria, 2007). Menurut Novianto (2008) narapidana yang

menunggu kebebasannya, cenderung cemas dan depresi karena memikirkan

masa depan. Tingginya angka kecemasan pada narapidana wanita di Lapas

kelas IIA Bandung terjadi menjelang masa pembebasan dimana kecemasan

berat 38%, kecemasan sedang 28%, dan kecemasan ringan 34% (Utari,

Fitria, & Rafiah, 2012).

2.1.2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

Gejala-gejala dari kecemasan menurut Kholil (2010) antara lain:

1) Terdapat hal-hal yang mencemaskan hati, hampir setiap kejadian

menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan

perasaan khawatir atau terancam akan hal-hal yang tidak jelas.

2) Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil, sering marah

dan dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, dan mudah

tersinggung.

3) Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,

banyak berkeringat, gemetar, dan sering menderita diare.

4) Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan

tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.


Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2005) mengklasifikasikan gejala-

gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala, diantaranya yaitu:

1) Gejala fisik yaitu: kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak

berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas,

panas dingin, mudah marah atau tersinggung.

2) Gejala perilaku yaitu: berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan

dependen.

3) Gejala kognitif yaitu: khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu

akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan

bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan

ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur

aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi.

2.1.2.3 Penyebab Kecemasan

Kecemasan dapat berkembang pada jangka waktu tertentu dan

sebagian besar bergantung pada pengalaman hidup seseorang. Berbagai

peristiwa atau situasi tertentu dapat mempercepat munculnya kecemasan.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan reaksi kecemasan,

diantaranya yaitu:

1) Faktor lingkungan

Savitri (2003) lingkungan atau tempat tinggal dapat mempengaruhi cara

berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini

disebabkan karena adanya pengalaman dari peristiwa yang tidak

menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun


dengan rekan kerja, sehingga terdapat perasaa tidak aman berada di

lingkungannya. Lingkungan yang tidak aman akan menghalangi

pembentukan kepribadian sehingga muncul gejala-gejala kecemasan.

a. Lingkungan keluarga

Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran

atau terjadi kesalahpahaman, dan ketidakpedulian orangtua

terhadap anak-anaknya, hal ini dapat menyebabkan

ketidaknyamanan serta kecemasan pada anak saat berada didalam

rumah (Zahrani, 2005).

b. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi

kecemasan individu. Jika individu tersebut berada pada lingkungan

yang tidak baik, individu tersebut dapat memunculkan suatu

perilaku buruk dan akan menimbulkan berbagai pandangan buruk

dimata masyarakat, sehingga dapat memunculkan kecemasan bagi

individu (Zahrani, 2005).

2) Faktor fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan, misalnya pada proses

penyembuhan penyakit. Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi

mental individu sehingga memudahkan timbulnya kecemasan

(Rufaidah, 2009; Savitri, 2003).


3) Trauma atau konflik

Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu,

yang dimaksud adalah pengalaman-pengalaman emosional atau konflik

mental yang terjadi pada individu memudahkan timbulnya gejala-gejala

kecemasan (Rufaidah, 2009).

4) Ancaman atau bahaya

Kecemasan timbul akibat adanya perasaan terancam atau bahaya yang

tidak nyata dan sewaktu-waktu dapat terjadi pada diri individu, atau

adanya penolakan dari masyarakat hingga menyebabkan kecemasan

jika berada dalam lingkungan yang baru dihadapi (Gaol, 2004; Savitri,

2003).

Kholil (2010) menjabarkan beberapa penyebab kecemasan

diantaranya:

1) Rasa cemas yang muncul akibat melihat adanya bahaya yang

mengancam dirinya. Cemas ini lebih dekat dengan rasa takut, karena

sumbernya terlihat jelas didalam pikiran individu.

2) Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan

tindakan yang berlawanan dengan keyakinan atau idealism dan hati

nurani. Kecemasan ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan

mental, terkadang terlihat dalam bentuk yang umum.

3) Kecemasan berupa penyakit dan terlihat dalam berbagai tanda dan

gejala. Kecemasan ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak jelas dan
tidak berhubungan dengan apapun, terkadang disertai dengan perasaan

takut yang mempengaruhi seluruh kepribadian individu.

2.1.2.4 Tingkat Kecemasan

Videbeck (2011), kecemasan memiliki beberapa tingkat kecemasan,

setiap tingkat kecemasan mempengaruhi psikologi dan perubahan

emosional individu diantaranya:

1) Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan membuat individu lebih waspada. Meningkatkan

simulasi dan membantu individu lebih fokus untuk belajar,

memecahkan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi

diri sendiri. Kecemasan ringan sering memotivasi individu untuk

membuat perubahan atau melakukan kegiatan yang dapat membuat

tujuannya tercapai.

2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang merupakan perasaan menggangu akan sesuatu hal

yang salah. Individu akan menjadi gugup atau gelisah. Dalam cemas

sedang seseorang masih dapat memproses informasi, memecahkan

masalah, dan belajar hal baru dengan bantuan orang lain. Individu akan

sulit berkonsentrasi namun dapat melakukan sesuatu jika diarahkan.

3) Kecemasan berat

Individu yang berlanjut kearah cemas berat lebih sulit untuk

mengendalikan kemampuannya, respon menolak, dan cara berpikir


sangat rendah. Seseorang dengan cemas sedang memiliki masalah

berpikir, otot tegang, dan peningkatan tanda vital. Individu akan

menjadi gelisah, mudah tersinggung, dan marah.

2.1.2.5 Alat Ukur Kecemasan

Terdapat banyak instrumen untuk mengukur tingkat kecemasan,

diantaranya Depression Anxiety Stress Scale (DASS), Hamilton Anxiety

Rating Scale (HARS), Zung The Self Rating Scale (ZRAS), Brief Symptoms

Inventory (BSI), State Trait Anxiety Inventory (STAI), dan Taylor Manifest

Anxiety Scale (TMAS).

Depression Anxiety Stress Scale (DASS) digunakan untuk

mengukur tingkat depresi, kecemasan, dan stress secara bersamaan.

Instrumen ini mengukur tingkat stress selama satu minggu terakhir sampai

saat pengukuran.

Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) merupakan alat ukur yang

terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi

dengan gejala-gejala yang lebih spesifik, penilaian atau pemakaian alat

ukur ini dilakukan oleh dokter (Psikiater) atau orang yang telah dilatih

menggunakannya. Melalui teknik wawancara langsung HARS

menggunakan serangkaian pertanyaan dengan jawaban yang harus di isi

oleh klinis terkait dengan kondisi pasien tertentu. Penggunaan nilai-nilai ini

bermakna tegas namun, sebenarnya tingkat gejala yang dimiliki oleh pasien

sangat sangat bervariasi dengan derajat keparahan yang berbeda.

Zung The Self Rating Scale (ZRAS) merupakan suatu alat ukur

kecemasan yang berupa kuisioner yang terdiri dari 20 butir pertanyaan


yang mengukur status dan trait kecemasan, setiap pertanyaan berskala

likert dengan indikasi seberapa banyak pertanyaan berlaku bagi responden.

Brief Symptoms Inventory (BSI) merupakan kuesioner laporan

individu yang terdiri dari 53 pertanyaan untuk mengukur distress psikologi

dari beberapa dimensi termasuk kecemasan. Alat ukur ini telah digunakan

untuk mengukur kecemasan pada orang sehat, pasien psikiatri somatik, dan

penyakit dalam.

State Trait Anxiety Inventory (STAI) merupakan alat pengukur self-

report yang menunjukkan intensitas perasaan cemas, dibedakan menjadi

status kecemasan dan sifat kecemasan. Alat ukur ini terdiri dari 20

pertanyaan untuk menilai kecemasan situasional.

Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dikembangkan pada tahun

1951. Kuesioner ini terdiri atas 50 pertanyaan dengan alternatif jawaban

ya/tidak. Jika responden menjawab sesuai kunci benar maka mendapat nilai 1,

jika jawaban salah mendapat nilai 0. Semakin tinggi nilai yang diperoleh

subjek, maka akan semakin tinggi tingkat kecemasannya. Sebaliknya

semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah

kecemasan yang dialami responden. Kuesioner TMAS telah baku dengan

uji korelasi reabilitas hasil Alfa Chronbach 0,86. TMAS mempunyai

derajat validitas tinggi namun dipengaruhi oleh kejujuran dan ketelitian

responden dalam mengisinya (Azwar, 2007; Sudiyanto, 2003).

Kelebihan dari alat ukur TMAS dapat yaitu selain dapat mengukur

kecemasan, kuesioner ini juga mengungkap variasi tingkat dorongan dan

intensitas kecemasan, serta dapat digunakan untuk keperluan treatment. Selain


itu TMAS sudah pernah digunakan dalam mengukur tingkat kecemasan

narapidana yang menjelang bebas pada tahun 2012 di lapas wanita oleh Utari,

Fitria, dan Rafiyah (2012).

2.1.2.6 Terapi dan Intervensi Kecemasan dan Kualitas Hidup

Terdapat berbagai penelitian yang menemukan bahwa beberapa

terapi dapat dilakukan agar menurunkan kecemasan diantaranya: terapi

musik (Thoma, et al., 2013), terapi perlaku dan terapi kognitif perilaku

(Romijn, et al., 2015), exposure terapi (Sars, et al., 2015), massage terapi

dan swedis spa terapi (Gholami, et al., 2016), terapi yoga (De Manincor, et

al., 2015), acceptance dan commitment terapi (Azadeh, et al., 2016), art

terapi (Boehm, et al., 2014), aroma terapi (Eguchi, et al., 2016), group

terapi (Katzman, et al., 2014), relaxation terapi (Kushner, et al., 2013),

occupation terapi (Gunnarsson, et al., 2015), dan lain sebagainya.

Dari berbagai intervensi yang dapat diaplikasikan, metode group

memiliki pengaruh yang lebih baik dalam menurunkan kecemasan dan

meningkatkan kualitas hidup narapaidana. Dari systematic review yang

dilakukan Bagnal, et al., (2015) menemukan bahwa dari 57 studi

menyatakan peer education dan peer support merupakan metode edukasi

yang efektif dan murah dalam memberikan efek positif terhadap penurunan

masalah kesehatan mental, perilaku yang mencederai diri dan pemikiran

yang makin positif.

2.1.3 Kualitas Hidup

Bermacam-macam definisi tentang kualitas hidup menurut WHO

dalam Power (2003) Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap


posisinya dalam kehidupan sesuai dengan system budaya dan nilai-nilai

tempat mereka hidup, erat kaitannya dengan kepentingan, tujuan hidup,

harapan, dan standar yang ingin dicapai.

Kualitas hidup adalah suatu fenomena psikologis tentang

kesejahteraan secara menyeluruh termasuk penilaian objektif dan evaluasi

subjektif menyangkut kesejah teraan fisik, materi, sosial, emosional, dan

aktifitas (Rapley, 2003)

Kualitas hidup adalah tingkat seseorang dapat menikmati segala

peristiwa penting dalam kehidupannya atau sejauh mana seseorang merasa

bahwa dirinya dapat menguasai atau tetap dapat mengontrol kehidupannya

dalam segala kondisi yang terjadi (Renwinck & Brown, 2008).

Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang posisinya dalam

kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat

dan berhubungan dengan cita-cita, penghargaan, dan pandangan-

pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas

hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan (Gill & Feinstein,

2013).

Kualitas hidup adalah ukuran kebahagiaan dan terdiri dari lima

aspek (Andrews & Withey, 2012), yaitu:

1. Merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari.

2. Menganggap hidupnya penuh arti dan menerima dengan tulus kondisi

hidupnya.

3. Merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar hidupnya.


4. Mempunyai citra diri yang positif.

5. Mempunyai sikap hidup yang optimistik dan suasana hati yang bahagia.

2.1.3.1 Domain Kualitas Hidup

Menurut WHO (1997), secara umum terdapat 4 domain kualitas

hidup, yang kemudian dibuat alat ukurnya yaitu domain kesehatan fisik,

kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkugan, yang dijabarkan

sebagi berikut:

1. Kesehatan fisik (physical health)

Domain kesehatan fisik meliputi: aktifitas sehari-hari, kebutuhan akan

bahan medis atau pertotongan medis, kelelahan, tenaga dalam tubuh,

mobilitas, rasa sakit, ketidak nyamanan, istirahat, dan kapasitas kerja.

2. Kesehatan psikologis (psychological health)

Domain kesehatan psikologis terkait dengan hal-hal seperti body image,

penampilan, belajar, perasaan-perasaan negatif dan positif, memori,

self-esteem, spiritual atau kepercayaan, dan konsentrasi.

3. Hubungan sosial (sosial relationship)

Domain sosial meliputi hubungan personal, hubungan sosial, dukungan

sosial, dan aktivitas seksual. Keberadaan, kesediaan, kepedulian dari

orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi,

memberikan dorongan dan semangat, perhatian, penghargaan, dan

kasih sayang membuat seseorang memiliki pandangan positif terhadap

diri dan lingkungannya (Karagora, 2012).


4. Lingkungan (environment):

Domain lingkungan berhubungan dengan sumber finansial seperti

kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik dari lingkungan tempat

tinggal, akses perawatan kesehatan, kesempatan memperoleh informasi,

belajar keterampilan baru, rekreasi atau memiliki waktu luang, adanya

transportasi dan kepuasan kerja.

2.1.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pada Narapidana

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

menurut Robin (2000) antara lain:

1. Faktor demografi, berkaitan dengan hal-hal:

a. Jenis kelamin: laki-laki bisanya memiliki kualitas hidup yang lebih

baik. Setiap jenis kelamin memiliki peran sosialnya masing-masing,

hal ini mungkin dapat mempengaruhi kualitas hidup tiap individu

(Bloom, et al., 2007)

b. Usia: semakin muda usia seseorang maka semakin baik kualitas

hidup yang dimilikinya.

c. Pendidikan: pendidikan yang semakin tinggi menentukan tingkat

kualitas hidupnya. Menurut Wahl, et al., (2004) seorang individu

yang memiliki tingkat pendidikan yang baik cenderung memiliki

kualitas hidup yang baik pula.

d. Pendapatan: semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin

tinggi kualitas hidupnya.


2. Faktor psikososial, yang termasuk dalam faktor psikososial yaitu

kesehatan, dukungan sosial, gaya koping, dan tipe kepribadian

memiliki dampak yang kuat terhadap kualitas hidup, meskipun dampak

tersebut dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung.

2.1.3.3 Penelitian Kualitas Hidup Narapidana Wanita

Penelitian mengenai kualitas hidup narapidana wanita di Lapas

tidak banyak sumber yang dapatkan. Dari sebuah penelitian dari Mustika

Adelyne, yang mengangkat mengenai kualitas hidup narapidana wanita

dengan metode wawancara. Dari wawancara dengan 3 (tiga) subjek

didapatkan penyataan bahwa faktor yang berperan penting dalam

peningkatan kualitas hidup pada narapidana adalah faktor dukungan sosial

dari keluarga, tidak dijelaskan apakah kualitas hidupnya berada dalam

kategori baik atau buruk (Adelyne, 2014).

Tongkas, Gkouvas dan Nikolopoulos (2014) melakulan evaluasi

review mengenai kesehatan terkait dengan kualitas hidup menyatakan

bahwa rendahnya kualitas hidup narapidana, kondisi kesehatan memburuk

dan morbidibitas lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Kualitas

semakin rendah terjadi karena tingginya penyakit kronis dan menular

selama berada didalam penjara, terdapat pengaruh negatif mengenai obat-

obatan dan kecanduan merokok, frekuensi beberapa masalah gangguan

keperibadian, bunuh diri, dan gangguan mental sangat tinggi. Faktor

lingkungan (isolasi, hubungan yang buruk antar tahanan, kurang kontak

dengan keluarga, dan lain-lain) menjadi pengaruh negatif kesehatan mental


dan kualitas hidup. Selain itu pengaruh kurangnya masalah seksual belum

cukup dipelajari.

2.1.3.4 Alat Ukur Kualitas Hidup

Alat ukur kualitas hidup secara umum adalah World Health

Organization quality of life scale (WHOQOL). WHO dengan bantuan 15

pusat penelitian di seluruh dunia, mengembangkan dua instrumen untuk

mengukur kualitas hidup yaitu WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF.

World Health Organization quality of life scale (WHOQOL) merupakan

instrumen kualitas hidup dirancang secara luas dapat dipakai untuk seluruh

jenis penyakit, di seluruh perawatan medis yang berbeda atau intervensi

kesehatan, dan di seluruh subkelompok demografi dan budaya (Webster et

al, 2010).

WHOQOL instrumen dapat menilai kualitas hidup dalam berbagai

situasi dan kelompok penduduk. Selain itu, modul yang sedang

dikembangkan untuk memungkinkan lebih rinci penilaian populasi tertentu.

Instrumen WHOQOL-BREF, adalah versi singkat WHOQOL-100.

WHOQOL-BREF terdiri dari 26 item, mengukur domain luas meliputi

kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan,

lebih nyaman untuk digunakan dalam studi penelitian besar atau uji klinis

(Webster et al, 2010).


2.2 Uji Reabilitas dan Validitas Instrumen

2.2.1 Alat Ukur Kecemasan

Kuesioner TMAS telah di validasi penggunaannya di Indonesia

dengan hasil yang baik. Sensitivitas cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya

90,4%, efektivitas 92,5%. Uji reabilitas instrument dengan KR 20 (Kuder-

Ridharson 20) r = 0,86. Pada kuesioner ini terdapat pertanyaan yang

favourable dan unfavourable. Untuk pertanyaan favourable yaitu pada

nomor nomor 1, 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26,

27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49 (37

item) setiap jawaban Ya diberi nilai 1 dan jawaban Tidak diberi nilai 0.

Sedangkan untuk pertanyaan unfavourable yaitu pada nomor 3, 4, 9, 12,

15, 18, 20, 25, 29, 38, 43, 44, 50 (13 item) (Sudiyanto, 2003).

2.2.2 Alat Ukur Kualitas Hidup

Alat ukur WHOQOL-BREF adalah alat ukut yang valid (r=0,89 –

0,95) dan reliabel (R= 0,66 – 0,87). Alat ukur ini telah diadaptasi ke

berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, dan telah digunakan dalam

berbagai penelitian untuk mengukur kualitas hidup individu (Wardhani,

2006).

WHOQOL-BREF terdiri dari 24 aspek yang mencakup 4 domain

dan terbukti dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup seseorang.

Keempat domain tersebut adalah: i) kesehatan fisik (physical health) terdiri

dari 7 pertanyaan; ii) psikologik (psychological) 6 pertanyaan; iii)

hubungan sosial (sosial relationship) 3 pertanyaan; dan iv) lingkungan


(environment) 8 pertanyaan. WHOQOL-BREF juga mengukur 2 aspek dari

kualitas hidup secara umum yaitu: i) kualitas hidup secara keseluruhan

(overall quality of life); dan ii) kesehatan secara umum (general health).

2.3 Kerangka Pemikiran

Narapidana wanita adalah wanita yang menjalani hukuman karena

suatu tindak pidana, telah dijatuhkan keputusan oleh hukum, dan

menjalaninya didalam lapas. Wanita yang berada di dalam lapas cenderung

merasakan kecemasan karena adanya pembatasan dalam beraktivitas,

bersosialisasi dengan keluarga atau komunitasnya (Eliason, 2006).

Menurut Sandock, Sandock, & Ruiz (2015) kecemasan adalah emosi

yang tidak menyenangkan dan menegangkan karena merasa akan nada

bencana yang tidak diharapkan, ditandai dengan perasaan khawatir, prihatin,

dan rasa takut, terkadang dalam tingkatan yang berbeda-beda.

Individu yang merasakan cemas, gejalanya didominasi oleh keluhan

psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan

somatis (fisik). Adapun gejala pada individu yang mengalami kecemasan

adalah cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri

dan mudah tersinggung; merasa tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan sering

serba salah dan mudah terkejut; takut sendirian, takut keramaian dan banyak

orang; gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang mene-gangkan; gangguan

konsentrasi dan daya ingat; keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan

tulang, pendengaran berdengung (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas,


gangguan pencernaan, sakit kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2001).

Dalam Videbeck (2011) terdapat tiga tingkatan dalam kecemasan

diantaranya cemas berat, cemas sedang dan dan cemas ringan.

Wanita yang mengalami kecemasan seringkali mempengaruhi

keadaan psikis seorang wanita sehingga dapat membuat kualitas hidupnya

menurun (Utian, 2005). Menurut Satvik (2008) bahwa wanita menunjukkan

kualitas hidup lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan memiliki kualitas

hidup yang lebih rendah disebabkan karena secara studi perempuan lebih

mudah dipengaruhi oleh perasaan cemas dan depresi karena berbagai alasan

yang terjadi dalam kehidupannya.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

diantanranya: usia, jenis kelamin, tingkat pendidilan, status sosial, dukungan

keluarga diantaranya sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga (Mandagi,

2010).

Dari beberapa penelitian sebelumnya diduga bahwa terdapat

hubungan antara kecemasan dengan kualitas hidup. Setelah mengetahui

tingkat kecemasan, maka dilakukan pegukuran tingkat kualitas hidup

menggunakan WHOQOL-BREF untuk mengetahui kualitas hidup pasien

baik atau buruk dapat dilihat dari domainnya, yaitu domain fisik, psikologis,

hubungan sosial, dan hubungan lingkungan. Selanjutnya peneliti

mengidentifikasi hubungan antara kecemasan dengan kualitas hidup. Dari

uraian kerangka konsep diatas, dapat dibuat kerangka penelitian pada bagan

di bawah ini:
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

Penyebab Kecemasan
- Faktor lingkungan
- Faktor fisik
- Trauma atau konflik
- Ancaman atau
bahaya

-Ringan
-Sedang Terdapat
Kecemasan
-Berat Hubungan

Kualitas Domain QoL


-Baik Tidak terdapat
Hidup 1. Fisik
-Buruk hubungan
2. Psikologi
3. Sosisal
4. Lingkungan
Usia, jenis kelamin, tingkat
pendidilan, status sosial,
dukungan keluarga Bagan 2.1 Kerangka pemikiran
diantaranya sikap, Modifikasi Hawari, 2001; Utian,
2005; Eliason, 2006; Satvik,
tindakan, dan penerimaan
2008; Mandagi, 2010; Videbeck,
keluarga 2011; Sandock, Sandock, &
Ruiz, 2015.

Keterangan:

Diteliti
Tidak diteliti

2.4 Hipotesis

1) Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas hidup pada

narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Bandung.

2) Terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan domain fisik kualitas hidup

pada narapidana wanita di Lapas


3) Terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan domain psikologis kualitas

hidup pada narapidana wanita di Lapas

4) Terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan domain sosial kualitas hidup

pada narapidana wanita di Lapas

5) Terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan domain lingkungan kualitas

hidup pada narapidana wanita di Lapas

Anda mungkin juga menyukai