Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL REVIEW

(TELAAH PENDAHULUAN)

Dosen Pembimbing : Zulfiana Dewi, SKM, MP

Disusun Oleh :
Kelompok 9
Eva Maulina Tunjungsari P07131217093
Risky Rindu Albajuri P07131217120

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANJARMASIN
PRODI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
2019
Jurnal 1 : Asupan Gizi dan Status Gizi Vegetarian Pada Komunitas Vegetarian di
Yogyakarta

Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015

PENDAHULUAN

Memasuki abad 21, pola makan vegetarian telah menjadi pola makan yang mulai
banyak dipilih masyarakat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan
manfaat pola makan berbasis nabati untuk mengurangi risiko terhadap penyakit degeneratif.
B e b e r a p a p e n e l i t i a n e p i d e m i o l o g i m e n u n j u k k a n keuntungan
vegetarian dalam menurunkan risiko penyakit kronis dan degeneratif serta menurunkan
angka kematian total. Diet vegan rendah lemak yang dilakukan selama setahun dapat
meningkatkan masukan unsur-unsur gizi yang dapat mengurangi resiko penyakit kronis
seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes, dan beberapa penyakit degeneratif lainnya
serta menurunkan unsur makanan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kronis (1,2).

Pola makan vegetarian walau memberikan efek yang menguntungkan namun masih
banyak anggapan bahwa pola makan vegetarian rentan kekurangan beberapa zat gizi
yaitu protein, zat besi , seng, dan vitamin B . Protein nabati mempunyai protein yang
mengandung
12
dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino essensial. Zat besi dalam
makanan nabati adalah zat besi non-heme yang proses penyerapannya tergantung pada
faktor-faktor luar, seng dapat terhambat penyerapannya oleh fitat dan serat yang banyak
pada makanan nabati, sedangkan sumber vitamin B sebagian besar berasal dari produk
hewani. Kekurangan zat gizi dapat
12
menyebabkan penyakit defisiensi gizi. Penelitian
terhadap asupan gizi vegan menunjukkan konsumsi protein dan vitamin B yang lebih
rendah pada vegan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa asupan askorbat secara
12
signifikan lebih tinggi pada kelompok vegan tetapi lebih rendah secara signifikan pada
asupan vitamin B . Penelitian terhadap wanita vegetarian di Australia menunjukkan rata-

12
rata kadar feritin pada vegetarian lebih rendah dibanding non-vegetarian tetapi persentase
jumlah responden yang kadar feritin di bawah normal sama antara kelompok vegetarian dan
omnivora (3-5).

Masih sedikit penelitian yang meneliti asupan dan status gizi vegetarian di
Indonesia. Di tengah meningkatnya kasus-kasus penyakit degeneratif dan semakin
meningkatnya animo masyarakat untuk memilih pola konsumsi vegetarian, penelitian ini
sangat penting untuk bisa memberi masukan bagi pemerintah, praktisi kesehatan, dan
praktisi vegetarian sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji asupan zat gizi dan status
gizi vegetarian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada komunitas vegetarian di
Yogyakarta.

TELAAH PENDAHULUAN

JURNAL 1 : Asupan Gizi dan Status Gizi Vegetarian Pada Komunitas Vegetarian di
Yogyakarta

Justifikasi : Permasalahan dalam jurnal ini terdapat pada paragraf 2 & 3. Yang
menunjukkan bahwa adanya anggapan rentan kekurangan zat gizi pada komunitas
vegetarian. Masalah ini lebih ditekankan atau lebih difokuskan pada jenis zat gizi
yaitu protein, seng, zat besi dan vitamin B dengan alasan yang terdapat pada kalimat
diparagraf 2 “. Protein nabati mempunyai protein yang mengandung dalam jumlah
kurang satu atau lebih asam amino essensial. Zat besi dalam makanan nabati adalah
zat besi non-heme yang proses penyerapannya tergantung pada faktor-faktor luar,
seng dapat terhambat penyerapannya oleh fitat dan serat yang banyak pada makanan
nabati, sedangkan sumber vitamin B sebagian besar berasal dari produk hewani.”
Selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan “Penelitian terhadap asupan
gizi vegan menunjukkan konsumsi protein dan vitamin B yang lebih rendah pada
vegan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa asupan askorbat secara signifikan
lebih tinggi pada kelompok vegan tetapi lebih rendah secara signifikan pada asupan
vitamin B . Penelitian terhadap wanita vegetarian di Australia menunjukkan rata-rata
kadar feritin pada vegetarian lebih rendah dibanding non-vegetarian tetapi persentase
jumlah responden yang kadar feritin di bawah normal sama antara kelompok
vegetarian dan omnivora (3-5).” Akan tetapi penelitian ini masih sedikit dilakukan di
Indonesia padahal seiring dengan meningkatnya kasus-kasus penyakit degeneratif
dan semakin meningkatnya animo masyarakat untuk memilih pola konsumsi
vegetarian, penelitian ini sangat penting untuk bisa memberi masukan bagi
pemerintah, praktisi kesehatan, dan praktisi vegetarian sendiri. Hal ini bisa dilihat
pada paragraf 3 dalam pendahuluan.
Paragraf 2 jurnal 1
“Pola makan vegetarian walau memberikan efek yang menguntungkan namun
masih banyak anggapan bahwa pola makan vegetarian rentan kekurangan
beberapa zat gizi yaitu protein, zat besi , seng, dan vitamin B. Protein nabati
mempunyai protein yang mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam
amino essensial. Zat besi dalam makanan nabati adalah zat besi non-heme yang
proses penyerapannya tergantung pada faktor-faktor luar, seng dapat terhambat
penyerapannya oleh fitat dan serat yang banyak pada makanan nabati, sedangkan
sumber vitamin B sebagian besar berasal dari produk hewani. Kekurangan zat
gizi dapat menyebabkan penyakit defisiensi gizi. Penelitian terhadap asupan gizi
vegan menunjukkan konsumsi protein dan vitamin B yang lebih rendah pada
vegan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa asupan askorbat secara signifikan
lebih tinggi pada kelompok vegan tetapi lebih rendah secara signifikan pada
asupan vitamin B. Penelitian terhadap wanita vegetarian di Australia
menunjukkan rata-rata kadar feritin pada vegetarian lebih rendah dibanding non-
vegetarian tetapi persentase jumlah responden yang kadar feritin di bawah normal
sama antara kelompok vegetarian dan omnivora (3-5).”

Paragraf 3 jurnal 1
Masih sedikit penelitian yang meneliti asupan dan status gizi vegetarian di
Indonesia. Di tengah meningkatnya kasus-kasus penyakit degeneratif dan
semakin meningkatnya animo masyarakat untuk memilih pola konsumsi
vegetarian, penelitian ini sangat penting untuk bisa memberi masukan bagi
pemerintah, praktisi kesehatan, dan praktisi vegetarian sendiri. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji asupan zat gizi dan status gizi vegetarian serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya pada komunitas vegetarian di Yogyakarta.

a. Tujuan : Mengkaji asupan zat gizi dan status gizi vegetarian serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya pada komunitas vegetarian di Yogyakarta.

b. Hipotesis : Ada hubungan antara asupan gizi dengan status gizi vegetarian pada
komunitas vegetarian di Yogyakarta.
JURNAL 2 : Description of Nutritional Status and The Incidence of Stunting
Children in Early Childhood Education Programs in Bali-Indonesia
(Deskripsi Status Gizi dan Kejadian Anak Stunting dalam Program Pendidikan Anak
Usia Dini di Bali-Indonesia)
INTRODUCTION

Early childhood is often called the golden age that is an active individual with rapid growth
and devel- opment so the nutritional needs must be met and balanced. Moreover, this period
is susceptible to the environment contact and more attention is needed, especially the
nutritional adequacy. Nutrition prob- lems that occur in toddlers, especially undernutri- tion
and stunting are the impact of the mother’s condition/expectant mother during
pregnancy, fetal period, toddler, including illness suffered during childhood. Inadequate
nutrition and stunt- ing in under-five children may inhibit the devel- opment of the children,
later the negative impacts will occur in life such as intellectual decline, disease susceptibility,

decreased productivity to poverty and the risk of low birth weight babies.1

Every parent would want a balance between physical growth and optimal mental
development in their child. Moreover, 10 - 30 years to come, children will face more
challenges to their physical and mental health must and be healthy to achieve success in the
future. WHO data showed that underweight cases in preschoolers in the world of 15.7%
and overweight by 6.6%.2 Nationally in Indonesia, the prevalence of malnutrition in 2013 is
19.6%, consisting of 5.7% malnutrition and 13.9% less nutrition.3 Results from Basic Health
Research in 2007 to 2013 showed appalling fact that under- weight in Indonesia increased
from 18.4% to 19.6%, stunting also increased from 36.8% to 37.2%, while wasting decreased
from 13.6% to 12.1%. According to WHO, the prevalence of stunting became a public health
problem if prevalence is 20% or more.4
The trend of nutritional problems in Bali 2015-2017 shows the case of malnutrition decreased
very small that is 9.0% (2015) to 8.6% (2017), with the highest prevalence in Buleleng
Regency 14.4%, wasted cases increased 5.9% (2015) to 6.3% (2017) with the highest
prevalence in Jembrana Regency (12.8%). The stunting case experienced a very small decline
of 20.7% (2015) to 19.0% (2017), with the highest prevalence in Buleleng Regency at
28.9%.5
The nutritional status of preschool children is an important thing that every parent should
know. Preschool children’s growth needs to be considered because malnutrition that occurs
during this golden period is irreversible.6 Chronic malnutrition is caused by poverty, improper
parenting, and parents ignorance of the nutritional needs of children. This condition will
decrease cognitive abilities develop- ment, the child easily sick and low competitiveness. The
first 1000th day of a child’s life is a critical period that determines their future, and in that
period Indonesian children face serious growth disorders. The problem is, over 1000th day, the
adverse effects of malnutrition are complicated to treat.
Considering the impacts when children experi- ence nutritional problems (overweight
and under- weight) also stunting, evaluation and monitoring of nutritional status is very
important at least once a month. Early childhood programs should monitor the nutritional
status of children by weighing and measuring children’s height each month subse- quently
reported in parenting activities meeting then the parents know the development of
children’s health, especially the nutritional status of children.

This study aims to find out the description of the nutritional status and stunting
incidence of early childhood education in Bali Province so it can be used as
information material for the community and related institutions and can be taken steps
in handling nutritional problems and prevent the increasingly widespread nutritional
issues in Bali Province.

JURNAL 2 : Deskripsi Status Gizi dan Kejadian Anak Stunting dalam Program
Pendidikan Anak Usia Dini di Bali-Indonesia

PENDAHULUAN

Anak usia dini sering disebut masa keemasan yang merupakan individu yang aktif
dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sehingga kebutuhan nutrisi harus
dipenuhi dan seimbang. Selain itu, periode ini rentan terhadap kontak lingkungan dan lebih
banyak perhatian diperlukan, terutama kecukupan gizi. Masalah gizi yang terjadi pada balita,
terutama kurang gizi dan stunting adalah dampak dari kondisi ibu / ibu hamil selama
kehamilan, masa janin, balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa kanak-kanak.
Nutrisi yang tidak memadai dan gangguan pada anak balita dapat menghambat
perkembangan anak, kemudian dampak negatif akan terjadi dalam hidup seperti penurunan
intelektual, kerentanan penyakit, penurunan produktivitas terhadap kemiskinan dan risiko
bayi berat lahir rendah. (1)
Setiap orangtua pasti menginginkan keseimbangan antara pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal dalam diri anak mereka. Selain itu, 10 - 30 tahun yang
akan datang, anak-anak akan menghadapi lebih banyak tantangan karena kesehatan fisik dan
mental mereka harus sehat untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Data WHO
menunjukkan bahwa kasus kekurangan berat badan pada anak-anak prasekolah di dunia
15,7% dan kelebihan berat badan 6,6% . (2) Di Indonesia secara nasional, prevalensi gizi
buruk pada tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% kurang gizi dan 13,9% kurang gizi.(3)
Hasil dari Dasar Penelitian Kesehatan pada tahun 2007 hingga 2013 menunjukkan fakta yang
mengejutkan bahwa berat badan kurang di Indonesia meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%,
pengerdilan juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting menurun dari
13,6% menjadi 12,1%. Menurut WHO, prevalensi stunting menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. (4)
Kecenderungan masalah gizi di Bali 2015-2017 menunjukkan kasus gizi buruk
menurun sangat kecil yaitu 9,0% (2015) menjadi 8,6% (2017), dengan prevalensi tertinggi di
Kabupaten Buleleng 14,4%, kasus terbuang meningkat 5,9% (2015) hingga 6,3% (2017)
dengan prevalensi tertinggi di Kabupaten Jembrana (12,8%). Kasus stunting mengalami
penurunan yang sangat kecil yaitu 20,7% (2015) menjadi 19,0% (2017), dengan prevalensi
tertinggi di Kabupaten Buleleng sebesar 28,9% .(5)
Status gizi anak-anak prasekolah adalah hal penting yang harus diketahui setiap
orang tua. Pertumbuhan anak-anak prasekolah perlu dipertimbangkan karena malnutrisi yang
terjadi selama periode emas ini tidak dapat dibalikkan.(6) Malnutrisi kronis disebabkan oleh
kemiskinan, pengasuhan yang tidak tepat, dan orang tua tidak mengetahui kebutuhan gizi
anak-anak. Kondisi ini akan menurunkan perkembangan kemampuan kognitif, anak mudah
sakit dan daya saing rendah. Hari ke-1000 pertama kehidupan seorang anak adalah periode
kritis yang menentukan masa depan mereka, dan pada periode itu anak-anak Indonesia
menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Masalahnya adalah, lebih dari 1000 hari,
efek buruk dari malnutrisi rumit untuk diobati.
Mempertimbangkan dampak ketika anak-anak mengalami masalah gizi (kelebihan
berat badan dan kekurangan berat badan) juga stunting, evaluasi dan pemantauan status gizi
sangat penting setidaknya sebulan sekali. Program anak usia dini harus memantau status gizi
anak-anak dengan menimbang dan mengukur tinggi badan anak setiap bulan setelah itu
dilaporkan dalam pertemuan kegiatan pengasuhan anak kemudian orang tua mengetahui
perkembangan kesehatan anak, terutama status gizi anak-anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status gizi dan kejadian
stunting pada pendidikan anak usia dini di Provinsi Bali sehingga dapat digunakan sebagai
bahan informasi bagi masyarakat dan lembaga terkait serta dapat diambil langkah-langkah
dalam penanganan masalah gizi dan mencegah semakin meluasnya penyebaran masalah gizi
di Provinsi Bali.

a) Justifikasi : Pada paragraf pertama dan kempat dijelaskan tentang pentingnya asupan
zat gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Dalam penjelasan yang
ada disebutkan bahwa kekurangan zat gizi berpengaruh pada tumbuh kembang anak
usia dini. Pentingnya kecukupan zat gizi bagi anaka prasekolah dijelaskan dalam
kalimat pada paragraph 1 “Anak usia dini sering disebut masa keemasan yang
merupakan individu yang aktif dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat
sehingga kebutuhan nutrisi harus dipenuhi dan seimbang.” dan juga pada kalimat
dalam paragraph 4 “Pertumbuhan anak-anak prasekolah perlu dipertimbangkan
karena malnutrisi yang terjadi selama periode emas ini tidak dapat dibalikkan.(6)”
Dampak pengaruh kekurangan zat gizi pada anak prasekolah dijelaskan dalam kalimat
pada paragraph 1 “Nutrisi yang tidak memadai dan gangguan pada anak balita dapat
menghambat perkembangan anak, kemudian dampak negatif akan terjadi dalam hidup
seperti penurunan intelektual, kerentanan penyakit, penurunan produktivitas terhadap
kemiskinan dan risiko bayi berat lahir rendah. (1)”
Pada paragraf kedua dam ketiga menyebutkan beberapa penelitian yang telah
menganalisis beberapa kasus gizi, baik gizi lebih maupun gizi kurang di Indonesia
dan di daerah Bali yang juga menjadi gambaran dari status gizi dan kejadian stunting.
Hal ini dinyatakan dalam kalimat pada pargraf 2 yaitu “. Data WHO menunjukkan
bahwa kasus kekurangan berat badan pada anak-anak prasekolah di dunia 15,7% dan
kelebihan berat badan 6,6% . (2) Di Indonesia secara nasional, prevalensi gizi buruk
pada tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% kurang gizi dan 13,9% kurang gizi.
(3) Hasil dari Dasar Penelitian Kesehatan pada tahun 2007 hingga 2013 menunjukkan
fakta yang mengejutkan bahwa berat badan kurang di Indonesia meningkat dari 18,4%
menjadi 19,6%,stunting juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara
wasting menurun dari 13,6% menjadi 12,1%. Menurut WHO, prevalensi stunting
menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. (4) “ dan
dalam kalimat pada paragraph 3 yaitu “Kecenderungan masalah gizi di Bali 2015-
2017 menunjukkan kasus gizi buruk menurun sangat kecil yaitu 9,0% (2015) menjadi
8,6% (2017), dengan prevalensi tertinggi di Kabupaten Buleleng 14,4%, kasus
terbuang meningkat 5,9% (2015) hingga 6,3% (2017) dengan prevalensi tertinggi di
Kabupaten Jembrana (12,8%). Kasus stunting mengalami penurunan yang sangat
kecil yaitu 20,7% (2015) menjadi 19,0% (2017), dengan prevalensi tertinggi di
Kabupaten Buleleng sebesar 28,9% .(5)”
Pada paragraph 5 dijelaskan bagaimana seharusnya tatalaksana program anak usia dini
ini berjalan. Hal ini dinyatakan dalam kalimat “Program anak usia dini harus
memantau status gizi anak-anak dengan menimbang dan mengukur tinggi badan anak
setiap bulan setelah itu dilaporkan dalam pertemuan kegiatan pengasuhan anak
kemudian orang tua mengetahui perkembangan kesehatan anak, terutama status gizi
anak-anak. “

Paragraf 1 & 4 Jurnal 2

Anak usia dini sering disebut masa keemasan yang merupakan individu yang aktif dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sehingga kebutuhan nutrisi harus dipenuhi dan
seimbang. Selain itu, periode ini rentan terhadap kontak lingkungan dan lebih banyak
perhatian diperlukan, terutama kecukupan gizi. Masalah gizi yang terjadi pada balita,
terutama kurang gizi dan stunting adalah dampak dari kondisi ibu / ibu hamil selama
kehamilan, masa janin, balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa kanak-kanak.
Nutrisi yang tidak memadai dan gangguan pada anak balita dapat menghambat
perkembangan anak, kemudian dampak negatif akan terjadi dalam hidup seperti penurunan
intelektual, kerentanan penyakit, penurunan produktivitas terhadap kemiskinan dan risiko
bayi berat lahir rendah. (1)

Status gizi anak-anak prasekolah adalah hal penting yang harus diketahui setiap orang tua.
Pertumbuhan anak-anak prasekolah perlu dipertimbangkan karena malnutrisi yang terjadi
selama periode emas ini tidak dapat dibalikkan.(6) Malnutrisi kronis disebabkan oleh
kemiskinan, pengasuhan yang tidak tepat, dan orang tua tidak mengetahui kebutuhan gizi
anak-anak. Kondisi ini akan menurunkan perkembangan kemampuan kognitif, anak mudah
sakit dan daya saing rendah. Hari ke-1000 pertama kehidupan seorang anak adalah periode
kritis yang menentukan masa depan mereka, dan pada periode itu anak-anak Indonesia
menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Masalahnya adalah, lebih dari 1000 hari,
efek buruk dari malnutrisi rumit untuk diobati.
.
Paragraf 2 dan 3 Jurnal 2

Setiap orangtua pasti menginginkan keseimbangan antara pertumbuhan fisik dan


perkembangan mental yang optimal dalam diri anak mereka. Selain itu, 10 - 30 tahun yang
akan datang, anak-anak akan menghadapi lebih banyak tantangan karena kesehatan fisik dan
mental mereka harus sehat untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Data WHO
menunjukkan bahwa kasus kekurangan berat badan pada anak-anak prasekolah di dunia
15,7% dan kelebihan berat badan 6,6% . (2) Di Indonesia secara nasional, prevalensi gizi
buruk pada tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% kurang gizi dan 13,9% kurang gizi. (3)
Hasil dari Dasar Penelitian Kesehatan pada tahun 2007 hingga 2013 menunjukkan fakta yang
mengejutkan bahwa berat badan kurang di Indonesia meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%,
pengerdilan juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting menurun dari
13,6% menjadi 12,1%. Menurut WHO, prevalensi stunting menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. (4)
Kecenderungan masalah gizi di Bali 2015-2017 menunjukkan kasus gizi buruk
menurun sangat kecil yaitu 9,0% (2015) menjadi 8,6% (2017), dengan prevalensi tertinggi di
Kabupaten Buleleng 14,4%, kasus terbuang meningkat 5,9% (2015) hingga 6,3% (2017)
dengan prevalensi tertinggi di Kabupaten Jembrana (12,8%). Kasus stunting mengalami
penurunan yang sangat kecil yaitu 20,7% (2015) menjadi 19,0% (2017), dengan prevalensi
tertinggi di Kabupaten Buleleng sebesar 28,9% .(5)

Paragraf 5 Jurnal 2

Mempertimbangkan dampak ketika anak-anak mengalami masalah gizi (kelebihan berat


badan dan kekurangan berat badan) juga stunting, evaluasi dan pemantauan status gizi
sangat penting setidaknya sebulan sekali. Program anak usia dini harus memantau status
gizi anak-anak dengan menimbang dan mengukur tinggi badan anak setiap bulan setelah
itu dilaporkan dalam pertemuan kegiatan pengasuhan anak kemudian orang tua
mengetahui perkembangan kesehatan anak, terutama status gizi anak-anak.
b) Tujuan : Mengetahui gambaran status gizi dan kejadian stunting pada pendidikan
anak usia dini di Provinsi Bali.

c) Hipotesis : Ada hubungan antara kejadian stunting dengan gambaran status gizi pada
pendidikan anak usia dini di Provinsi Bali.

Anda mungkin juga menyukai