Anda di halaman 1dari 8

PSIKOLOGI SUAMI-ISTRI*)

Dr. Liche Seniati Chairy, psikolog**)

“Ketika saya masih dalam kandungan ibu saya, ayah dan ibu saya
mempersiapkan banyak pilihan nama untuk saya. Ketika akhirnya saya lahir,
hanya satu nama yang kemudian diputuskan untuk menjadi nama saya.
Namun, satu nama itu berkembang menjadi dua nama karena ada nama
panggilan dan nama lengkap. Tetapi hanya satu nama yang saya kenal dalam
keluarga saya, yaitu nama panggilan saya. Ketika saya mulai masuk sekolah,
nama tetap saya menjadi dua, yaitu nama panggilan di rumah yang hanya
digunakan di kalangan keluarga inti dan keluarga besar saya, serta nama
panggilan di sekolah. Tapi ternyata, nama saya bisa disebut secara berbeda-
beda antar satu orang dengan orang lain. Jadilah saya punya beberapa nama.
Setelah saya menikah, nama saya berubah lagi. Kadang orang memanggil
saya dengan nama suami saya. Ketika saya mempunyai anak, nama saya
berganti pula menjadi mama Tasya, mama Andre, dan mama Olivia. Tapi
sampai sekarang saya adalah saya, bagaimanapun orang memanggil diri
saya, yang kadang tidak saya sadari bahwa mereka sedang memanggil saya”

Ilustrasi di atas merupakan gambaran nyata yang saya alami sepanjang hidup saya, dan
bukan tidak mungkin akan dialami juga oleh para calon istri yang sekarang sedang
membaca tulisan ini.

Pengertian Suami-Istri dan Kehidupan Perkawinan


ISTRI? Siapakah itu? Jelas jawabannya adalah istri merupakan pasangan dari
suami. SUAMI? Siapa pula itu? Tentu saja jawabannya mudah, suami adalah pasangan
dari istri. Kata suami dan istri, yang kadang berkembang menjadi pasutri (pasangan
suami istri) adalah kata yang tentu saja kita kenal sehari-hari.
Kata suami-istri mengandung banyak makna yang kadang tidak kita sadari
maknanya bagi diri kita. Pernyataan yang tampaknya perlu Anda jawab saat ini adalah:
“Apa ari kata suami-istri bagi Anda?”
Secara hukum, dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1/1974, bab I, pasal 1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sisi gereja Katolik,

*)
Disampaikan dalam Kursus Persiapan Perkawinan Paroki Santo Paulus, Depok, 11 September 2005
**)
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

1
“Perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra yang diadakan
oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh
perjanjian perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali …….
Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu tidak
tergantung pada kemauan manusia semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan,
yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan” (dikutip dari Kasih Setia dalam Suka-Duka,
Pedoman Perkawinan di Lingkungan Katolik, 1993).
Pembahasan tentang kehidupan perkawinan akan saya mulai dengan pembahasan
tentang kehidupan dewasa muda sebagai masa kehidupan yang sedang dijalani oleh
kebanyakan calon pasangan suami-istri. Masa dewasa muda adalah masa bagi
kehidupan seseorang yang berusia antara 20 – 40 tahun. Pada masa ini, keadaan fisik
berada pada kondisi puncak dan kemudian menurun secara perlahan. Dalam sisi
perkembangan psikososial, terjadi proses pemantapan kepribadian dan gaya hidup serta
merupakan saat membuat keputusan tentang hubungan yang intim. Pada saat ini,
kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, 2001;
Santrok, 2002).
Bagi kebanyakan orang, tentu saja termasuk anda, perkawinan adalah suatu yang
sangat diharapkan dan sangat dipersiapkan. Oleh karena itu, tidak jarang orang mencari
berbagai informasi mengenai perkawinan: dengan bertanya pada orang tua atau teman,
membaca buku, atau dibekali dengan berbagai informasi tentang perkawinan melalui
kursus semacam ini. Kadang yang tidak kalah penting bagi calon pasangan suami-istri
adalah juga bagaimana pesta pernikahan akan diselenggarakan, pakaian apa yang akan
dikenakan, dan kemana akan berbulan madu.
Namun, yang paling penting dari semua persiapan perkawinan adalah persiapan
mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling
sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti pernikahan
bagi diri sendiri. Dalam tahap persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang
romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.
Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan
perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing,
memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling
menghormati, dan saling memahami. Hal ini tidak berarti pasangan memerlukan waktu

2
pacaran yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Yang terpenting adalah
bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan
mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi
kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan kita apa adanya.
Ketika pasangan memasuki kehidupan perkawinan, tidak berarti proses mengenal
dan memahami berhenti. Kadang, masa awal perkawinan merupakan masa penyesuaian
diri yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri baru karena seringkali banyak terjadi
hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika pacaran dulu, mungkin calon
istri tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur dengan lampu menyala,
padahal si calon istri terbiasa tidur dengan lampu yang terang karena si istri agak
penakut. Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit memancing keributan di awal tidur
bersama.
Hal penting berikutnya adalah: Cinta. Mengapa saya menempatkan cinta setelah
mengenal pasangan? Memang mungkin saja ada cinta pada pandangan pertama. Namun,
apakah cinta itu akan terus ada setelah pasangan saling mengenal lebih jauh? Seringkali,
ketika hubungan perkenalan berlanjut menjadi hubungan romantis, pasangan mulai
berpikir apakah betul mereka saling mencintai, atau hanya karena tertarik secara fisik,
atau karena ‘nyambung’ ketika diajak ngobrol, atau karena merasa menemukan kakak
atau adik. Banyak pasangan yang kemudian menyadari bahwa pasangannya adalah
pasangan yang tepat untuk menjadi teman bicara, tetapi bukan ‘teman hidup’-nya.
Cinta merupakan kekuatan yang mampu menarik dua orang dalam satu ikatan
yang tidak terpisahkan, yang dinamakan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan
akan kuat ketika dilandasi oleh cinta. Hatfield (dalam Lubis, 2002) menyatakan bahwa
ada dua macam cinta diantara pasangan dalam perkawinan, yaitu passionate love dan
companiate love. Cinta yang pertama berisikan reaksi emosional yang dalam kepada
pasangan, sedangkan cinta yang kedua adalah kasih sayang yang dirasakan pasangan
kepada orang yang dicintainya. Cinta yang pertama penuh gelora dan gairah, sedangkan
cinta yang kedua melibatkan rasa percaya, sayang, dan toleransi pada segala kekurangan
pasangan.
Pada masa pacaran dan di awal perkawinan, biasanya yang dominan adalah
passionate love yang menggebu-gebu dan diwarnai oleh sikap posesif terhadap
pasangan, sedangkan companiate love berkembang secara perlahan-lahan dan ada pada

3
perkawinan yang bahagia dimana masing-masing pihak merasa pasangannya adalah
teman yang sangat dibutuhkan keberadaannya, baik secara fisik maupun secara
psikologis, untuk saling mengisi dalam kehidupan bersama.
Uraian di atas menunjukkan bahwa cinta merupakan hal yang tidak hanya muncul
dalam masa pacaran dan awal pernikahan, tetapi cinta justru akan berkembang menjadi
kasih sayang dalam perjalanan waktu kehidupan perkawinan. Perkawinan akan semakin
mantap, bahagia, dan langgeng ketika pasangan saling mengasihi dan saling
menghargai. Cinta dan kasihnya yang akan mempererat anda berdua.
Lalu bagaimana wujud cinta kasih dalam kehidupan perkawinan? Dalam I
Korintus 13:4-5 dengan dikatakan bahwa kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak
cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak
sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan
kesalahan orang lain. Karena itulah, cinta kasih harus diwujudkan dalam tingkah laku
sehari-hari. Bentuk cinta kasih yang paling sederhana adalah memberikan ucapan terima
kasih dan menyatakan permohonan maaf kepada pasangan. Terima kasih atas perhatian
dan kasih sayang yang diberikan serta mohon maaf atas kesalahan yang dilakukan
terhadapnya.
Hal penting ketiga yang perlu dipersiapkan dan selalu dijalankan oleh pasangan
dalam perkawinan adalah komitmen (keterikatan). Bentuk komitmen yang pasti dalam
kehidupan perkawinan Katolik adalah keterikatan pada sumpah perkawinan, yaitu: “Apa
yang sudah dipersatukan oleh manusia tidak dapat diceraikan oleh manusia” serta “Aku
akan bersamamu dalam susah dan senang sampai maut memisahkan kita”. Komitmen
bukanlah berarti keterikatan yang membabi buta tetapi keterikatan yang didasari saling
pengertian. Komitmen adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan
perkawinan. Komitmen jangka panjang dalam perkawinan memungkinkan pasangan
suami-istri melakukan pengorbanan demi masa depan bersama, misalnya suami
memberikan izin kepada istrinya untuk mengikuti pendidikan yagn lebih tinggi atau istri
bersedia mengikuti suaminya pindah kerja ke kota lain (Waite & Gallagher, 2000).
Komitmen juga terwujud dalam keputusan untuk memiliki anak. Dalam situasi
kehidupan sekarang ini, banyak pasangan yang memutuskan untuk menunda
mempunyai anak untuk jangka waktu yang lama atau justru memutuskan untuk tidak
memiliki anak. Pilihan ini adalah hak setiap manusia. Namun, jelas Allah

4
mempersatukan manusia dengan tujuan untuk berkembang biak (Kej 1:28). Jika
pasangan sudah memiliki komitmen untuk bersatu, maka memiliki anak merupakan
suatu konsekuensi dari komitmen tersebut. Komitmen untuk memiliki anak ini juga
mengandung arti bahwa pasangan suami istri akan memperhatikan perkembangan anak
secara fisik dan psikologis secara bersama-sama. Tanggung jawab membesarkan dan
mendidik anak bukan hanya tanggung jawab istri, tetapi juga tanggung jawab suami.
Peran sebagai orang tua haruslah dijalani bersama oleh suami dan istri. Hal ini semakin
disadari oleh suami pada masa sekarang, sehingga semakin banyak suami yang
mendampingi istri saat melahirkan, membantu menjaga bayi, memberikan susu botol,
menggantikan popok, mengantar anak sekolah, serta membantu anak belajar. Banyak
hal yang dapat dilakukan seorang ayah bagi anaknya. Yang pasti tidak bisa dilakukan
oleh ayah hanyalah memberikan ASI.
Perkawinan juga merupakan ikatan antara pria dan wanita dalam susah dan
senang. Pasangan suami-istri yang saling mengasihi tidak hanya merasakan
kebersamaan pada saat gembira, tetapi juga ketika berada dalam kesulitan, kesedihan,
dan kesakitan. Pasangan yang baik adalah pendamping yang setia, yang bersedia
menjadi tempat bersandar ketika duka dan menjadi tempat berteduh ketika hujan dan
badai. Penelitian yang dilakukan oleh Waite dan Gallagher di Amerika menemukan
bahwa memiliki suami atau istri menurunkan resiko tingkat kematian pasien akibat
penyakit sampai setara sepuluh tahun lebih muda. Selain itu, mereka juga menyatakan
bahwa orang yang menikah memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik daripada
mereka yang lajang.
Hidup perkawinan bukanlah jalan yang selalu lurus dan rata, tetapi seringkali
merupakan jalan yang berliku serta penuh onak dan berduri. Namun, perjalanan
perkawinan tetap akan menyenangkan dan menggairahkan jika pasangan tidak banyak
mengeluh, keras kepala, defensif, dan menarik diri dari pasangan. Setiap pasangan
suami-istri memiliki salib hidup mereka masing-masing. Salib berat yang harus
dipanggul ini akan terasa ringan jika pasangan saling menerima, saling percaya, saling
membantu, serta saling menguatkan. Ketika pasangan dan keluarga berada dalam situasi
apapun, janganlah meninggalkan Tuhan karena Tuhan adalah sumber gembira kita dan
Tuhan jugalah yang menjadi sandaran dan kekuatan hidup kita.

5
Pasangan suami-istri yang sejati adalah pasangan yang saling terbuka. Ini berarti,
hal penting yang harus selalu ada dalam kehidupan perkawinan adalah komunikasi di
antara suami dan istri. Kebanyakan konflik yang muncul pada pasangan suami-istri
yang dapat berakhir pada perceraian adalah karena masalah komunikasi. Pada masa
berpacaran, biasanya pasangan memiliki khusus khusus untuk selalu berduaan, saling
berbagi cerita gembira maupun sedih, serta saling memperbaiki kesalahan. Namun hal
yang sama seringkali tidak terjadi ketika pasangan sudah menikah dan memiliki anak.
Dengan berjalannya waktu, seringkali kehidupan perkawinan menjadi kehidupan
yang rutin dan suami atau istri merasa bahwa seharusnya pasangannya sudah tahu apa
yang diinginkan oleh pasangannya. Hal ini tidaklah benar. Pasangan tetap perlu
membina komunikasi yang lancar dan saling terbuka, saling berbagi cerita, saling
menyatakan keinginan secara terbuka, saling asertif, saling mengoreksi kesalahan
pasangan, dan bersedia menerima kesalahan tanpa berdebat dan merasa sakit hati.
Dengan adanya komunikasi yang lancar, pasangan akan lebih mudah untuk mengatasi
masalah serta mengambil keputusan bersama.
Usahakanlah untuk membuka dan menjalin komunikasi dengan menciptakan
suasana seperti ketika berpacaran. Pergilah ke tempat romantis yang dulu sering
dikunjungi ketika berpacaran, kenakankan model dan warna pakaian yang disukai
pasangan, pasanglah musik atau lagu kenangan anda berdua, dan bisikanlah kata sayang
yang dulu sering diucapkan kala berduaan. Kadang kegiatan ini tidak mungkin
dilakukan ketika pasangan sudah menikah dengan alasan sibuk bekerja atau sibuk
mengurus anak. Tetapi hal ini merupakan kegiatan yang perlu dan harus dilakukan agar
komunikasi dan hubungan romantis dapat terus terbina diantara suami dan istri.
Hal terakhir yang juga perlu diingat oleh pasangan suami-istri adalah bahwa
perkawinan bukan sekedar persatuan dua orang, melainkan persatuan dua keluarga yang
membentuk satu ikatan keluarga baru. Satu orang dengan orang lain saja bisa memiliki
perbedaan yang besar, apalagi dua keluarga yang masing-masing pasti memiliki
kebiasaan dan aturan keluarga tersendiri. Oleh karena itu, hal penting yang perlu
dipersiapkan dan perlu diingat oleh setiap pasangan suami-istri adalah juga berusaha
mengenal keluarga besar pasangannya. Jangan sampai keluarga suami atau istri anda
marah kepada anda dan mertua anda gara-gara anda tidak mengenal dirinya.

6
Saat ini banyak pasangan yang tidak ingin tinggal bersama atau tinggal dekat
dengan mertua dan ipar bahkan mungkin mengharapkan tidak mempunyai mertua dan
ipar dengan berbagai alasannya. Hal itu boleh saja, tetapi satu hal yang pasti: ketika
seseorang menikah dengan orang lain, maka orang tua pasangannya akan menjadi orang
tuanya juga, adik dan kakak pasangannya akan menjadi adik dan kakaknya juga; dan
sebaliknya ketika seseorang menjadi menantu orang lain, maka orang itu menjadi anak
dari orang tua serta adik dan kakak dari keluarga pasangannya. Ini berarti, sebaiknya
terbentuk hubungan yang harmonis antara pasangan suami-istri dengan orang tua dan
keluarga pasangannya. Kadang hal ini memang tidak mudah. Tetapi mulailah berpikir
dan mengingat bahwa suatu hari nanti anda juga akan menjadi mertua. Jadi, jangan sia-
siakan mertua anda agar anda juga tidak disia-siakan oleh menantu anda.

Kesimpulan
Kehidupan perkawinan adalah kehidupan dari pasangan pria dan wanita yang
disahkan secara hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia.
Untuk menjadi pasangan yang bahagia, suami-istri harus saling mengenal dan menerima
pasangannya, saling mencintai, saling memiliki komitmen terhadap pasangannya, tetap
bersama dalam senang dan susah, saling membantu dan mendukung, memiliki
komunikasi yang lancar dan terbuka, serta menerima keluarga pasangannya sebagai
keluargannya sendiri.

“Selamat mempersiapkan diri untuk menjadi pasangan suami-istri”

7
Daftar Pustaka

Alkitab Kabar Baik. (1994). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

KWI – BKKBN. (1993). Kasih setia dalam suka – duka: Pedoman persiapan
perkawinan di lingkungan Katolik. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.

Landis, J.T. & Landis, M.G. (1970). Personal adjustment, marriage, and family living
(5th Ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Lubis, Yati Utoyo (2002, April). Aspek psikologis dari poligami: Telaah kasuistik.
Makalah seminar.

Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human development (8th Ed.).
Boston: McGraw Hill.

Santrock, J.W. (2002). A Topical approach to life-span development. Boston: McGraw


Hill.

Skolnick, A.S. (1983). The intimate environment: Exploring marriage and the family.
Boston: Little Brown & Co.

Waite, L.J. & Gallagher, M. (2003). Selamat menempuh hidup baru: Manfaat
perkawinan dari segi kesehatan, psikologi, seksual, dan keuangan. Diterjemahkan
oleh: Eva Yulia Nukman. Bandung: Mizan Media Utama.

Anda mungkin juga menyukai