Kimia Lingkungan-Nadila Anggraini S - 17-01
Kimia Lingkungan-Nadila Anggraini S - 17-01
Disusun Oleh:
Nadila Anggraini S.
171810301001
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1.1 Air
Air yang secara kimia, hanya terdiri dari atom H dan O mempunyai sifat yang unik.
Tanpa air tidak akan mungkin terdapat kehidupan. Air di alam dijumpai dalam tiga
bentuk, yakni bentuk padat sebagai es, bentuk cair sebagai air, dan bentuk gas sebagai
uap. Bentuk mana yang akan ditemui, tergantung keadaan cuaca setempat. Kepadatan
(density), seperti halnya bentuk, juga tergantung pada temperatur dan tekanan barometris
(P).
Pada umumnya densitas meningkat dengan menurunnya temperatur, sampai tercapai
maksimum pada 4oC Celsius, apabila temperatur turun lagi, maka densitas akan turun
pula. Sekalipun demikian temperatur air tidaklah mudah berubah. Hal ini nampak dari
spesifik heat air, yakni angka yang menunjukkan jumlah kalori yang diperlukan untuk
menaikkan suhu satu gram air satu derajat celsius. Spesifik heat air adalah 1 /gram/oC,
suatu angka yang sangat tinggi dibandingkan spesifik heat elemen-elemen lain di alam.
Dengan demikian tranfer panas dari dan kedalam air tidak banyak menimbulkan
perubahan temperatur.
Kapasitas panas yang besar ini juga menyebabkan efek stabilitas badan air terhadap
udara sekitarnya. Kondisi ini sangat penting untuk melindungi kehidupan akuatik yang
sangat sensitif terhadap gejolak suhu. Pada tekanan atmosfir air mendidih pada 100 oC,
karena tekanan di daerah tinggi lebih rendah dari satu atmosfir, maka air mendidih pada
temperatur yang lebih rendah.
Tabel 2.2 Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan B (Air yang dapat digunakan sebagai air
baku air minum)
Kadar
No Parameter Satuan Keterangan
Maksimum
A FISIKA
1 Suhu 0C Suhu air Normal ± 30 C
Tabel 2.3 Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan C (Air yang dapat digunakan untuk
keperluan perikanan dan peternakan)
Kadar
No Parameter Satuan Keterangan
Maksimum
A KIMIA
KIMIA ANORGANIK
1 Air raksa mg/liter 0,002
2 Amonia bebas mg/liter 0,02
3 Arsen mg/liter 1
4 Flourida mg/liter 1,5
5 Kadmium mg/liter 0,01
6 Klorin bebas mg/liter 0,003
7 Kromium valensi 6 mg/liter 0,05
8 Nitrit sebagai N mg/liter 0,06
9 Oksigen terlarut mg/liter - Disyaratkan ≥ 3
10 pH - 6–9
11 Selenium mg/liter 0,05
12 Seng mg/liter 0,02
13 Sianida mg/liter 0,02
14 Sulfida sebagai H2S mg/liter 0,002
15 Tembaga mg/liter 0,02
16 Timbal mg/liter 0,03
KIMIA ORGANIK
1 BHC mg/liter 0,21
2 DDT mg/liter 0,002
3 Endrin mg/liter 0,004
4 Fenol mg/liter 0,001
5 Minyak dan lemak mg/liter 1
6 Organofosfat dan karbamat mg/liter 0,1
7 Surfactant mg/liter 0,2
B RADIOAKTIVITAS
1 Aktivitas Alfa (Gross Alpha Bq/liter 0,1 Bq = Becquerel
Activity)
2 Aktivitas Beta (Gross Beta Bq/liter 1,0
Activity)
Tabel 2.4 Daftar Kriteria Kualitas Air Golongan D (Air yang dapat digunakan untuk
keperluan pertanian serta usaha perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air)
Kadar
No Parameter Satuan Keterangan
Maksimum
A FISIKA
1 Suhu 0C Suhu normal Sesuai dengan
kondisi
setempat
2 Zat padat terlarut (TDS) mg/liter 2.000 Tergantung jenis
tanaman. Kadar
maksimum
tersebut
untuk tanaman
yang tidak peka
3 Daya hantar listrik Mmhos/cm 2.250 Tergantung jenis
tanaman. Kadar
maksimum
tersebut
untuk tanaman
yang tidak peka
B KIMIA
KIMIA ANORGANIK
1 Air raksa mg/liter 0,005
2 Arsen mg/liter 1
3 Boron mg/liter 1
(Effendi, 2003)
perubahan
5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin
tampak
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih
dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
(Efendi, 2003)
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap
pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila mampu bertahan
pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6.
2. Oksigen terlarut (DO)
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup
karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organic dalam air.
Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang
dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan
digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya.
Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir.
Berdasarkan data-data temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air
pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi
manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah
cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam
berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi organisme
akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat
dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita (Tebbut, 1992
dalam Effendi, 2003).
Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses
fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen
yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar
oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi. Sedangkan pada malam hari,
tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini
mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar
oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
3. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi bahan organic terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan organic
menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi bahan
anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit atau nitrat
(nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama ynag berperan,
sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai zat pengganggu.
Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan
organic yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses
oksidasi bahan organic berlangsung cukup lama. Menurut Sawyer dan McCarty, 1978
(Effendi, 2003) proses penguraian bahan buangan organic melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisme atau oleh bakteri aerobic adalah :
CnHaObNc + (n + a/4 – b/2 – 3c/4) O2 → n CO2 + (a/2 – 3c/2) H2O + c NH3
Bahan organic oksigen bakteri aerob
Untuk kepentingan praktis, proses oksidasi dianggap lengkap selama 20 hari, tetapi
penentuan BOD selama 20 hari dianggap masih cukup lama. Penentuan BOD ditetapkan
selam 5 hari inkubasi, maka biasa disebut BOD5. Selain memperpendek waktu yang
diperlukan, hal ini juga dimaksudkan untuk meminimumkan pengaruh oksidasi ammonia
yang menggunakan oksigen juga. Selama 5 hari masa inkubasi, diperkirakan 70% - 80%
bahan organic telah mengalami oksidasi. (Effendi, 2003).
Jumlah mikroorganisme dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan
air. Air yang bersih relative mengandung mikroorganisme lebih sedikit dibandingkan
yang tercemar. Air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptic atau
bersifat racun, seperti fenol, kreolin, detergen, asam cianida, insektisida dan sebagainya,
jumlah mikroorganismenya juga relative sedikit. Sehingga makin besar kadar BOD nya,
maka merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar, sebagai contoh adalah
kadar maksimum BOD5 yang diperkenankan untuk kepentingan air minum dan menopang
kehidupan organisme akuatik adalah 3,0 – 6,0 mg/L berdasarkan UNESCO/WHO/UNEP,
1992. Sedangkan berdasarkan Kep.51/MENKLH/10/1995 nilai BOD5 untuk baku mutu
limbah cair bagi kegiatan industri golongan I adalah 50 mg/L dan golongan II adalah 150
mg/L.
4. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam
air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis
maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organic tersebut akan dioksidasi oleh
kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas
CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom. Reaksinya sebagai berikut :
HaHbOc + Cr2O7 2- + H +→CO2 + H2O + Cr 3+
Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi biologis,
misalnya tannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok dilakukan
pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organic dapat
dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam,
diperkirakan 95% - 100% bahan organic dapat dioksidasi.
Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi
kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200
mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO,WHO/UNEP,
1992).
Limbah rumah tangga yang belum terkendali merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya air sungai. Karena dari limbah rumah
tangga dihasilkan beberapa zat organik dan anorganik yang dibuang dan dialirkan melalui
parit dan akhirnya bermuara ke sungai. Selain dalam bentuk zat organik dan anorganik,
dari limbah rumah tangga bisa juga membawa bibit – bibit penyakit yang dapat menular
pada hewan dan manusia sehingga menimbulkan epidemik yang luas di masyarakat.
3) Pembuangan limbah pertanian tanpa melalui proses pengolahan.
Proses alam juga berpengaruh pada pencemaran air sungai misalnya terjadinya
gunung meletus, erosi dan iklim. Gunung meletus dan erosi dapat membawa berbagai
bahan pencemaran salah satunya berupa endapan/sediment seperti tanah dan lumpur yang
dapat menyebabkan air menjadi keruh, masuknya sinar matahari berkurang, dan air
kurang mampu mengasimilasi sampah. Iklim juga berpengaruh pada tingkat pencemaran
air sungai misalnya pada musim kemarau volume air pada sungai akan berkurang,
sehingga kemampuan sungai untuk menetralisir bahan pencemaran juga berkurang.
(KLH, 2004)
4. Dampak terhadap estetika lingkungan
Dengan semakin banyaknya zat organic yang dibuang ke lingkungan perairan, maka
perairan tersebut akan semakin tercemar yang biasanya ditandai dengan bau yang
menyengat disamping tumpukan yang dapat mengurangi estetika lingkungan. Masalah
limbah minyak atau lemak juga dapat mengurangi estetika. Selain bau, limbah tersebut
juga menyebabkan tempat sekitarnya menjadi licin. Sedangkan limbah detergen atau
sabun akan menyebabkan penumpukan busa yang sangat banyak. Inipun dapat
mengurangi estetika.
Agar tidak menimbulkan erosi tanah di sekitar hulu sungai sebaiknya pepohonan
tidak digunduli atau ditebang atau merubahnya menjadi areal pemukiman penduduk.
Dengan adanya erosi otomatis akan membawa tanah, pasir, dan sebagainya ke aliran
sungai dari hulu ke hilir sehingga menyebabkan pendangkalan sungai.
b) Tidak membuang kotoran manusia di sungai.
Buang air kecil dan air besar sembarangan adalah perbuatan yang salah. Kesan
pertama dari tinja atau urin yang dibuang sembarangan adalah bau dan menjijikan. Tinja
juga merupakan medium yang paling cepat untuk perkembangan bibit penyakit dari yang
ringan sampai yang berat, oleh karena itu janganlah buang air besar sembarangan
khususnya di sungai.
c) Tidak membuang sampah di sungai.
Sampah yang dibuang sembarangan di sungai akan menyababkan aliran air di sungai
terhambat. Selain itu juga sampah juga akan menyebabkan sungai cepat dangkal dan
akhirnya memicu terjadinya banjir di musim penghujan, sampah juga membuat sungai
tampak kotor menjijikan dan terkontaminasi.
d) Tidak membuang limbah rumah tangga dan industri ke sungai.
Tempat yang paling mudah untuk membuang limbah industri atau limbah rumah
tangga yang berupa cairan adalah dengan mambuangnya ke sungai. Limbah yang dibuang
secara langsung tanpa ada pengolahan terlebih dahulu tentu saja dapat menimbulkan
pencemaran mulai dari bau yang tidak sedap, pencemaran air, bahaya penyakit kulit serta
masih banyak lagi. Kondisi ini yang terjadi pada ketiga sungai yang diamati.
BAB III. METODOLOGI PERCOBAAN
4.1. Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Uji Fisika
Uji Fisika Tawal ( □ Tcampuran ( □ Warna dan bau
C) C)
Sampel Air 30 29 Warna awal keruh setelah ditambah
Sungai aquades
Jangkuk kekeruhan air berkurang, bau
menyengat
Sampel Air 29 28,5 Warna awal keruh setelah ditambah
Sungai aquades
Kekalek kekeruhan air berkurang, bau
menyengat
Sampel Air 30 29 Warna awal keruh setelah ditambah
Sungai aquades
Sekarbela kekeruhan air berkurang, bau
menyengat
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu
5.1.1. Berdasarkan pengujian secara fisik sampel air dari ketiga sungai tersebut
tercemar dari segi bau, warna dan suhu.
5.1.2. Berdasarkan pengujian secara biologi dapat diamati pada dasar wadah
sampel air terdapat lumut yang disebabkan aktivitas biologis dan kimiawi
mikroorganisme yang mengkontaminasi kandungan air dan dapat merusak
ekosistem serta biota air.
5.1.3. Berdasarkan pengujian secara kimia, dapat diketahui pH sampel air
sebesar 5 (bersifat asam), kemudian pengujian kimia ini juga dilakukan dengan
cara mencampurkan larutan sampel dengan teh, maka dapat diamati pada larutan
tersebut terdapat gumpalan hitam, perubahan warna menjadi gelap dan lapisan
minyak pada permukaan air yang menunjukkan kualitas air tidak dapat dijadikan
bahan baku air minum.
5.1.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi pencemaran air sungai yakni,
berkembangnya industri – industri, belum tertanganinya pengendalian limbah
rumah tangga, pembuangan limbah pertanian tanpa melalui proses pengolahan
dan pencemaran air sungai karena proses alam.
5.1.5. Cara mengatasi pencemaran air sungai tersebut yakni melestarikan hutan
di hulu sungai, tidak membuang kotoran manusia di sungai, tidak membuang
sampah di sungai, tidak membuang limbah rumah tangga dan industri ke sungai.
5.2 Saran
Achmadi, Umar Fachmi, Prof. Dr.MPH, Ph.D. Peranan Air Dalam Peningkatan
Kesehatan Masyarakat. www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200104/lap-
perananair.pdf. Diakses pada tanggal 5 Maret 2004.
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Penelolaah Daerah Aliran Sungai. Penerbit
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Bali Post, 2003. Penggunaan Pestisida Pengaruhi Air.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/8/14/nt1hl.htm. Diakses pada
tanggal 5 Maret 2004.
Chandrataruna, Ahmad. 2010. Apa Penyebab Polusi Air. http://id.shvoong.com/
exact- sciences/astronomy/2011490-apa- penyebab-polusi-air/. Diakses pada
tanggal 6 Mei 2014.
Effendi, Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
Setiawan, Hendra, 2001. Pengertian Pencemaran Air Dari Perspektif Hukum.
http://www.menlh.go.id/airnet/Artikel01.htm. Diakses pada tanggal 7 Mei
2004.
Suriawiria., Unus. 2003. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat.
Penerbit Alumni. Bandung.
Wardhana, Wisnu Aria, 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi
Offset Jogyakarta, Jogyakarta.
Warlina, Lina, 1985. Pengaruh Waktu Inkubasi BOD Pada Berbagai Limbah.
FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.