Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KEPERAWATAN HIV/AIDS

Membahas artikel dari jurnal mengenai konseling HIV

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

Dosen Pembimbing : Raden Nety Rustikayanti S.Kp., M.Kep

Disusun Oleh :

Robi Muhammad Fazriansyah AK.1.18.155

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

JANUARI, 2021
A. Pendahuluan
VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah
penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku yang
bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS ( Depkes, 2008 ). Penyakit
Aqciured Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan
angka kejadian penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan
diagnosis dan terapi yang cukup lama (WHO, 2006). HIV merupakan virus
yang menyerang sel darah putih (limfosit) di dalam tubuh yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan
Aqciured Immunodeficiency Syndrome (AIDS).( Komisi penanggulangan
AIDS Nasional, 2014)

Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan


kasus pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Berdasarkan data
tersebut terlihat bahwa kelompok umur yang paling berisiko terhadap
penularan HIV adalah kelompok umur produktif yaitu antara umur 20-39
tahun (Kemenkes, 2013).
Resiko penularan HIV dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan
tindakan intervensi pencegahan, yaitu melalui layanan konseling VCT
dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral, oleh karena itu,
untuk meminimalisir resiko penularan HIV, WHO mengembangkan
program penanggulangan HIV berupa Guideline on HIV infection and
AIDS in Prison Geneva dan juga HIV testing and Counseling in Prison
and other closed setting yang dilaksanakan sejak tahun 2007. Indonesia
telah mengembangkan upaya pencegahan HIV melalui pelayanan
Voluntary Counselling and testing atau yang dikenal dengan singkatan
VCT (WHO, 2007).
Konseling dan tes sukarela atau Voluntary Counseling and
Testing (VCT) merupakan pintu masuk (entry point) untuk membantu
pasien HIV mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi,
edukasi, terapi dan dukungan psikososial (Depkes, 2008). Terbukanya
akses, maka kebutuhan akan informasi yang tepat dan akurat akan
tercapai, sehingga proses berpikir dan perilaku dapat diarahkan menjadi
lebih sehat. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku
berisiko, memberikan informasi yang benar tentang pencegahan dan
penularan HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik,
pengetahuan tentang IMS (infeksi menular seksual) dan lain-lain
(Kemenkes, 2006). Jumlah institusi pelayanan kesehatan di Indonesia
yang melayani VCT terus mengalami peningkatan, termasuk di
kabupaten Pemalang sampai dengan tahun 2016 semua Rumah Sakit
dan Puskesmas di kabupaten Pemalang sudah tersedia pelayanan VCT,
termasuk puskesmas Pulosari. (Dinkes Kab Pemalang, 2016).
Menurut Kementerian Kesehatan, di tahun 2010 sebanyak 6
persen penduduk usia di atas 15 tahun yang mengetahui tentang layanan
VCT. Kelompok dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki
informasi yang lebih baik tentang pelayanan VCT maupun
penanggulangan HIV dibandingkan dengan kelompok ekonomi rendah.
Berdasarkan data tersebut dan melanjutkan penelitian yang
dilakukan oleh Ermarini (2013), maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan pengetahuan dan sikap klien dalam
memanfaatkan layanan VCT di Puskesmas Pulosari Kabupaten Pemalang
tahun 2016.

B. Tinjauan Teori
Pedoman pelaksanaan konseling dan tes HIV di Indonesia diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2014
meliputi:
a. Pengertian VCT
Konseling dan tes HIV menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2014 ada dua, yaitu konseling
dan tes HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatanan (KTIP) dan
konseling dan tes HIV sukarela (KTS) atau sering disebut VCT. KTIP
adalah tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas
kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai
komponen pelayanan standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut.
b. Tujuan dan Sasaran VCT
Tujuan utama VCT yaitu mendorong orang yang sehat dan orang
sehat tanpa gejala HIV (asimtomatik) untuk mengetahui status HIV
sehingga mereka dapat mengurangi tingkat penularan HIV,
mendorong seseorang untuk merubah perilaku, memberikan informasi
tentang HIV AIDS, tes, pencegahan dan pengobatan bagi orang
dengan HIV AIDS (ODHA).
c. Proses Konseling Pada VCT
Konseling adalah komunikasi informasi untuk membantu klien/pasien
agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya dan
bertindak sesuai keputusan yang dipilihnya. Proses konseling dalam
VCT meliputi:
1. Konseling Pra-tes
Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian
informasi, penilaian risiko dan respon kebutuhan emosi klien.
Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes
HIV karena berbagai alasan seperti ketidaksiapan menerima hasil
tes, perlakuan diskriminasi, dan stigmatisasi masyarakat dan
keluarga.
Ruang lingkup konseling pra-tes meliputi alasan
kunjungan, informasi dasar dan klarifikasi fakta dan mitos HIV,
penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko,
menyiapkan klien untuk tes HIV, memberikan pengetahuan
tentang implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara
menyesuaikan diri dengan status HIV.
2. Konseling Pasca tes HIV
Konseling pasca tes HIV adalah konseling untuk
menyampaikan hasil pemeriksaan kepada klien secara individual
guna memastikan klien/pasien mendapat tindakan sesuai hasil tes
terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Proses ini
membantu klien/pasien memahami penyesuaian diri dengan hasil
pemeriksaan. Proses konseling pasca tes tetap dilanjutkan dengan
konseling lanjutan yang sesuai dengan kondisi klien/pasien yaitu
konseling HIV pada ibu hamil, konseling pencegahan positif
(positive prevention), konseling adherence pada kepatuhan minum
obat, konseling pada gay, waria, lesbian dan pekerja seksual,
konseling HIV pada pengguna napza.
d. Prinsip Dasar VCT
Dalam pelaksanaannya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang
telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut
5C:
1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh
pasien/klien atau wali setelah mendapatkan dan memahami
penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas
kesehatan.
2. Confidentiality, adalah semua isi informasi atau konseling
antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil
laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain
tanpa persetujuan pasien/klien
3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat
dimengerti klien/pasien.
4. Correct test results, hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV
harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang
berlaku.
5. Connections to care, treatment and prevention services,
pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang
didukung dengan system rujukan yang baik dan terpantau.

C. Ringkasan

Jurnal 1
Judul Jurnal Analisis Implementasi Pelayanan Voluntary
Counselling And Testing (VCT) Di Puskesmas
Salatiga.
Penulis Rida Krita Imaroh, Ayun Sriatmi, Antono
Suryoputro
Jurnal Jurnal Kesehatan Masyarakat ( Bahasa Indonesia )
Volume Volume 6
Tahun Terbit Januari, 2018
Ringkasan Metode penelitian jurnal 1 Merupakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Sementara pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskripsi isi (content
analysis). informan utama dari penelitian ini
berjumlah 6 orang yang terdiri dari 3 perawat dan 3
dokter. Keenam informan utama tersebut adalah
penanggung jawab VCT yang berada di masing-
masing puskesmas di Kota Salatiga. 5 orang berjenis
kelamin perempuan dan 1 orang laki-laki, usianya
antara 30-48 tahun dengan masa kerja 4 – 24 tahun.
pulkan bahwa secara umum implementasi pelayanan
Voluntary Counseling and Testing (VCT) di
puskesmas Kota Salatiga masih belum optimal.
Dilihat dari beberapa variabel impelementasi Van
Metter Van Horn yang masih belum terlaksana
pelayanan VCT dengan baik. Terlebih lagi konselor
di 5 puskesmas masing-masing hanya satu dan di
satu puskesmas lainnya belum memiliki konselor
karena belum terlatih atau belum mengikuti
pelatihan konselor, sehingga di puskesmas tersebut
belum melaksanakan alur pelayanan VCT dengan
lengkap. Dan sangat di sayangkan lagi bahwa di
puskesmas tersebut ternyata tidak memiliki SOP
terkait pelayanan VCT. Mereka hanya memiliki
SOP IMS dan beranggapan bahwa SOP IMS sama
dengan SOP VCT. Sikap tenaga kesehatan kepada
pasien juga kurang ramah bahkan ada yang pernah
diusir oleh nakes, hal tersebut membuat pasien
enggan untuk datang ke puskesmas tersebut. Tim
VCT juga belum konsisten dalam penjadwalan
pelayanan, terkadang sampai tidak ada orang di
pelayanan padahal itu jam pelayanan VCT. Sarana
prasarana penunjang VCT seperti ruangan untuk
konseling di seluruh puskesmas di Kota Salatiga
sangat sempit, bahkan 5 dari 6 puskesmas ruangan
VCT menjadi satu dengan ruangan penyakit menular
lainnya dan membuat pasien tidak nyaman. Terkait
stigma masyarakat sendiri masih menaggap
pelayanan VCT menjadi hal yang tidak enak untuk
dibicarakan dan dilakukan, karena masyarakat
beranggapan hanya melakukan hubungan seks
dengan suaminya dan aman jadi masyarakat enggan
untuk datang dan melaksanakan pelayanan VCT di
puskesmas.

Jurnal 2
Judul Jurnal Faktor Pendorong Pemanfaatan Layanan Voluntary
Counselling and Testing (VCT) oleh lelaki suka
dengan lelaki (LSL) Di LSM GAYa Nusantara
Penulis Niken Ariska Prawesti, Purwaningsih, Ni Ketut Alit
Armini
Jurnal Jurnal Ners dan Kebidanan
Volume Volume 5
Tahun Terbit Agustus, 2018
Ringkasan Penelitian ini menggunakan desain penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel
dependennya yaitu pemanfaatan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) oleh Lelaki Seks
dengan Lelaki(LSL) dan variabel independen
meliputi perceived susceptibility, perceived
seriousness, perceived benefits, perceived barriers
dan cues to action. Peneliti menggunakan teknik
deskriptif analitik dengan instrumen yang digunakan
yaitu kuesioner, Sampel sebanyak 53 orang Lelaki
Suka dengan Lelaki (LSL) yang telah memanfaatkan
ataupun belum memanfaatkan VCT . Semua
variabel memiliki hubungan dalam penelitian ini.
Tidak semua orang yang memiliki persepsi tinggi
mau melakukan pemanfaatan layanan VCT karena
variabel perceived susceptibility, perceived
seriousness, perceived benefits, perceived barriers
dan cues to action dalam pemanfaatan layanan VCT
tidak terlepas dari faktor sosiodemografi LSL yang
juga dapat memberi pengaruh terhadap persepsi
masing-masing individu. Namun Cues to action
(isyarat untuk bertindak) dipengaruhi sangat
dipengaruhi oleh sumber informasi yang didapatkan
LSL terkait HIV. Penyuluhan terkait VCT telah
dilakukan petugas VCT dari puskesmas maupun
petugas lapangan LSM, namun masih terdapat LSL
yang belum memanfaatkan layanan VCT.

Jurnal 3
Judul Jurnal Program Pelayanan Voluntary Counselling and
Testing (VCT) Di Puskesmas
Penulis Nisrina Dwi Risqi dan Bambang Wahyono
Jurnal Jurnal Ilmu kesehatan
Volume Volume 4
Tahun Terbit 2018
Ringkasan Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk mamahami fenomena tentang
apa yang dialami subjek. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
suatu metode yang dimaksudkan untuk mengamati
dan menganalisis secara cermat, dengan
memberikan gambaran layanan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) melalui pemahaman
peneliti tentang pengalaman atau deskripsi dari
informan penelitian. upaten Semarang. Sumber data
dalam penelitian ini menggunakan sumber data
primer dan sumber data sekunder. Data primer
dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi dan
wawancara mendalam (indepth interview) kepada
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan VCT di
Puskesmas Duren. Penentuan informan dilakukan
dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Informan utama dalam penelitian ini berjumlah lima
orang yang terdiri dari Kepala Puskesmas Duren,
Penanggung Jawab Klinik VCT, Petugas
Administrasi, Konselor VCT, dan Petugas
Laboratorium VCT. program pelayanan VCT di
Puskesmas Duren belum berjalan baik dikarenakan
kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana serta
sumber daya manusia, pelaksanaan VCT belum
sesuai dengan pedoman serta jumlah kunjungan
VCT mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir
dan belum mencapai target.

D. Pembahasan dan kesimpulan

Pelayanan Voluntary Conseling and Testing(VCT) oleh tenaga


kesehatan puskesmas, dan Sosialisasi pelayanan VCT belum berjalan
optimal karena pelaksanaan sosialisasi dengan kader kesehatan setiap
bulannya tidak selalu mebahas tentang VCT bahkan program lain juga
sehingga berpengaruh terhadap berkurangnya peluang informasi VCT
yang tersampaikan pada kader kesehatan. Selain itu juga, dari aspek alur
pelaksanaan seluruh puskesmas sudah melaksanakan VCT tetapi alur ada
yang tidak lengkap bahkan tahapannya masih kurang. Hambatan yang
terjadi pasien malu untuk menceritakan kehidupan pribadinya padahal
petugas puskesmas memiliki prinsip konfidensial.

Ada beberapa konselor di puskesmas tersebut belum memiliki


pelatihan. jadi konselor di puskesmas tersebut belum bisa melakukan
tugasnya untuk melakukan konseling di pelayanan VCT. Dari sumberdaya
peralatan belum baik, berdasarkan hasil observasi, peneliti tidak
menemukan banner dan leaflet di puskesmas terkait pelayanan VCT.
Dilihat juga dari ruangan untuk pelayanan VCT (konseling pra-test dan
konseling post test) sebenarnya ruangannya tersedia tapi dari segi
kelayakan kurang layak karena ruangan VCT kebanyakan digabung
dengan ruang IMS dan penyakit menular lainnya jadi jika ada yang
mengakses ruangan tersebut harus menunggu dulu sesuai antrian.

secara umum implementasi pelayanan Voluntary Counseling and


Testing (VCT) di puskesmas masih belum optimal. Dilihat dari beberapa
variabel impelementasi Van Metter Van Horn yang masih belum
terlaksana pelayanan VCT dengan baik. Terlebih lagi masih banyak
puskesmas yang memilikisatu konselor dan puskesmas lainnya belum
memiliki konselor karena belum terlatih atau belum mengikuti pelatihan
konselor, sehingga di puskesmas tersebut belum melaksanakan alur
pelayanan VCT dengan lengkap. Dan sangat di sayangkan lagi bahwa di
puskesmas tersebut ternyata tidak memiliki SOP terkait pelayanan VCT.
Sarana prasarana penunjang VCT seperti ruangan untuk konseling di
seluruh puskesmas sangat sempit, bahkan beberapapuskesmas ruangan
VCT menjadi satu dengan ruangan penyakit menular lainnya dan membuat
pasien tidak nyaman. Terkait stigma masyarakat sendiri masih menaggap
pelayanan VCT menjadi hal yang tidak enak untuk dibicarakan dan
dilakukan, karena masyarakat beranggapan hanya melakukan hubungan
seks dengan suaminya dan aman jadi masyarakat enggan untuk datang dan
melaksanakan pelayanan VCT di puskesmas.

E. Daftar Pustaka

Rida Krita Imaroh, Ayun Sriatmi, Antono Suryoputro.(2018). Analisis


Implementasi Pelayanan Voluntary Counselling And Testing (VCT) Di
Puskesmas Salatiga. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-
Journal). Volume 6, Nomor 1, Januari 2018.

Nisrina Dwi Risqi1& Bambang Wahyono. (2018) . Program Pelayanan


Voluntary Counseling And Testing (VCT) di Puskesmas. Program
Pelayanan Vountary HIGEIA 2 (4) (2018).

Niken Ariska Prawesti, Purwaningsih, Ni Ketut Alit Armini. (2018) .


FAKTOR PENDORONG PEMANFAATAN LAYANAN VOLUNTARY
COUNSELLING AND TESTING (VCT) OLEH LELAKI SUKA
DENGAN LELAKI (LSL) DI LSM GAYa NUSANTARA. Jurnal Ners
dan Kebidanan, Volume 5, No. 2, Agustus 2018.

Anda mungkin juga menyukai