Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai dalam melaksanakan

pembangunan nasional telah berhasil meningkatkan kesejahteraan sosial

ekonomi pada masyarakat. Masyarakat memiliki kemudahan untuk

memperoleh dan memanfaatkan hasil-hasil industri baik produksi dalam negeri

maupun luar negeri (Depkes RI, 2007).

Namun disamping itu terdapat pula dampak negatif akibat terjadinya

kontak kulit manusia dengan produk-produk industri atau pekerjaan yang

dilakukannya. Diantaranya adalah penyakit dermatitis kontak yang merupakan

respon peradangan terhadap bahan eksternal yang kontak pada kulit. Dikenal

dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang

merupakan respon non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang

diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik, keduanya dapat bersifat akut

maupun kronis.

Bahan penyebab dermatitis kontak pada umumnya adalah bahan kimia

yang terkandung dalam alat-alat yang dikenakan oleh penderita (aksesoris,

pakaian, sepatu, kosmetika, obat topikal dan lain-lain), atau yang berhubungan

dengan pekerjaan atau hobi (semen, sabun cuci, pestisida, bahan pelarut,

1
bahan cat, tanaman dan lain-lain) dapat pula oleh bahan yang berada

disekitarnya (debu semen, bulu binatang atau polutan yang lain). Disamping

bahan penyebab ada faktor penunjang yang mempermudah timbulnya

dermatitis kontak tersebut yaitu suhu udara, kelembaban, gesekan dan oklusi.

Dermatitis kontak pada lingkungan kerja terjadi lebih sedikit dari pada

dermatitis kontak iritan, namun bila hanya ditinjau dari statistik yang ada hal ini

dapat menyesatkan karena sesungguhnya banyak dermatitis kontak alergi

yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dilaporkan. Salah satu penyebab

utamanya adalah tidak tersedianya alat/bahan uji tempel (patch test) sebagai

sarana diagnostik.

Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada

pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Antigen penyebab utamanya adalah

nikel, potasium dikromat dan parafenilendiamin. Konsultasi ke dokter kulit

sebesar 4-7% diakibatkan oleh dermatitis kontak. Dermatitis tangan mengenai

2% dari populasi dan 20% wanita akan terkena setidaknya sekali seumur

hidupnya. Anak-anak dengan dermatitis kontak 60% akan positif hasil uji

tempelnya. Di Skandinavia yang telah lama memakai uji tempel sebagai

standar, maka insiden dermatitis kontaknya lebih tinggi dari pada di Amerika

(WHO, 2009).

2
Di Indonesia laporan dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unsrat

Manado dari tahun 2007-2008 dijumpai insiden dermatitis kontak sebesar

4,45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat pada tahun

2009-2010 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17,76%. Sedangkan di

RS Dr. Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun 2011 sebanyak

37,54% tahun 2012 sebanyak 34,74% dan tahun 2013 sebanyak 40,05%.

Berdasarkan konsep segitiga epidemiologi disebutkan bahwa suatu

penyakit disebabkan oleh 3 faktor host, agent dan lingkungan (Bustan, 2000).

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor yang diduga menjadi

faktor risiko terhadap kejadian dermatitis kontak antara lain; faktor agentnya

yaitu mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, dan lain sebagainya

sedangkan factor manusianya meliputi karakteristik individu seperti umur,

masa kerja, dan pengatahuan. Faktor lingkungan yaitu berkaitan dengan

lingkungan fisik seperti kondisi lingkungan yang tidak mendukung dari aspek

sanitasi, kelembaban, suhu dan panas yang berlebihan serta kondisi posisi

kerja yang tidak ergonomis, dan berkaitan dengan manajemen perusahaan

seperti kebijakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, prosedur

kerja dan ketersediaan alat pelindung diri.

Menurut Suma’mur (2003) ada 5 faktor lingkungan kerja yang

mempengaruhi kesehatan dan keselamatan pekerja yaitu faktor fisik meliputi

3
penerangan, suhu udara, kelembaban, cepat rambat udara, suara, vibrasi

mekanis dan lain sebagainya. Kedua faktor kimia, yaitu gas, uap, debu, kabut,

asap, awan, cairan dan benda padat, ketiga faktor biologi baik golongan

tumbuhan atau hewan, keempat faktor ergonomis yaitu konstruksi mesin,

sikap dan cara kerja. Faktor mental psikologis, yaitu suasana kerja, hubungan

diantara pekerja atau dengan pengusaha, pemilihan kerja dan lain-lain.

Banyak faktor penyebab timbulnya penyakit Dermatitis, meliputi faktor dari

luar (eksogen) dan dari dalam (endogen). Pada faktor dari luar (eksogen)

terdiri dari beberapa bagian yaitu yang pertama berupa pengaruh bahan kimia

(contoh : Deterjen, asam, basa, oli dan semen), kedua berupa unsur fisik

(contoh: sinar dan suhu), ketiga berupa pengaruh mikroorganisme (contoh :

bakteri dan jamur), dan faktor terakhir berupa sumber air, tempat tinggal, dan

waktu kejadian. Sedangkan faktor dari dalam (endogen) yaitu faktor

karakteristik penduduk (contoh : umur, jenis kelamin, pekerjaan, status

perkawinan). Hal di atas merupakan bagian dari faktor resiko/penyebab yang

dapat menjadi faktor pendukung seseorang mudah untuk terinfeksi penyakit

kulit Dermatitis.

Hygiene perorangan adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara

dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mandi, mencuci tangan dengan

air bersih dan sabun. Hygiene adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang

4
menitik beratkan pada usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta

lingkungan tempat orang tersebut berada.

Dermatitis di sulawesi tenggara merupakan suatu masalah kesehatan bagi

masyarakat.insiden dermatitis terus meningkat dari tahun ke

tahun.Berdasarkan data profil kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara

prevalensi kejadian penyakit dermatitis pada tahun 2010 4,78% penderita yang

menyebar pada hampir seluruh wilayah Prop.Sultra, tahun 2011 meningkat

menjadi 5,9% dan tahun 2012 menjadi 6,5% (Dinkes Prop.Sultra

2012).Masalah penyakit dermatitis di kota kendari masuk dalam 10 kelompok

penyakit terbanyak yang di keluhkan masyarakat pada tahun 2010,penderita

penyakit dermatitis sebanyak 2.154 (2,8%) orang,tahun 2011 sebanyak 3.053

(3,2%),dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 3.716 (3,6) penderita.(Dinkes

Kota Kendari 2012).

Berdasrkan data profil puskesmas Poasia menunjukan bahwa penyakit

dermatitis masih cukup besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun.pada

tahun 2010 jumlah penderita dermatitis sebanyak 1359, pada tahun 2011

sebanyak 1763, dan termasuk urutan ketiga dari 10 besar penyakit yang ada,

dan pada tahun 2012 sebanyak 1783 orang dan termasuk urutan ke tujuh dari

10 besar penyakit yang ada di puskesmas Poasia, sedangkan pada tahun

5
2013 periode Januari jumlah penderita sebanyak 147 pasien, (Profil

Puskesmas Poasia, 2013).

Kejadian penyakit dermatitis pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas

poasia tersebut menjadikan penyakit dermatitis sebagai salah satu penyakit

terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak berdasarkan jumlah kunjungan

pasien rawat jalan dan perlu penanganan untuk mengurangi kejadian penyakit

tersebut.

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian

Penyakit Dermatitis Di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun

2013”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perumusan masalah

pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit

dermatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2013 ?

2. Apakah ada hubungan intoleransi zat makanan dengan kejadian dermatitis

di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2013 ?

6
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

penyakit dermatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari

Tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene perorangan dengan

kejadian Penyakit Dermatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota

Kendari Tahun 2013.

b. Untuk rnegetahui hubungan intoleransi zat makanan dengan kejadian

penyakit Dermatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari

Tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Untuk Puskesmas Poasia sebagai bahan masukan dan

pertimbangan dalam rangka penentuan arah kebijakan untuk

menurunkan prevalensi penyakit dermatitis pada masa yang akan

datang.

7
b. Untuk peneliti sebagai bahan tambahan

pengetahuan,refrensi dan bahan perbandingan dalam melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai dermatitis.

2. Manfaat Teoritis

a. Untuk STIKES Mandala Waluya sebagai tambahan

kepustakaan dan sebagai bahan tambahan informasi tentang Faktor-

Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Dermatitis

b. Untuk masyarakat sebagai bahan informasi tentang

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Dermatitis.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum Tentang Dermatitis Kontak

1. Pengertian

Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik

terhadap paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit. Dikenal dua

macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul

melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang

diakibatkan mekanisme imunologik dan dermatitis kontak alergik yang

diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik (Djuanda, 2010).

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari

bahan iritan pada sel-sel epidermis, dengan respon peradangan pada

dermis. Daerah yang paling sering terkena adalah tangan dan pada individu

atopi menderita lebih berat. Secara definisi bahan iritan kulit adalah bahan

yang menyebabkan kerusakan secara langsung pada kulit tanpa diketahui

9
oleh sensitisasi. Mekanisme dari dermatitis kontak iritan hanya sedikit

diketahui, tapi sudah jelas terjadi kerusakan pada membran lipid keratisonit.

Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi

hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantarai sel, akibat antigen

spesifik yang menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan

mediator protein akan menuju ke dermis, dimana sel limfosit T menjadi

tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi

alergi.

2. Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang

kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada

80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak

alergik kira-kira hanya 20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik

terjadi pada 3-4% dari populasi penduduk.

Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun dermatitis

kontak alergik lebih jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul

pada usia dewasa tapi dapat mengenai segala usia. Prevalensi pada wanita

dua kali lipat dari pada laki - laki.

10
Bangsa Kaukasian lebih sering terkena dari pada ras bangsa lain.

Nampaknya banyak juga timbul pada bangsa Afrika-Amerika namun lebih

sulit dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal penting terhadap tingginya

insiden dermatitis kontak.

Angka kematian dermatitis kontak akibat kerja menurut laporan dari

beberapa negara berkisar 20-90 dari penyakit kulit akibat kerja. Ada variasi

yang besar oleh karena tergantung pada derajat dan bentuk industrialisasi

suatu Negara dan minat dokter kulit setempat terhadap dermatitis kontak

akibat kerja. Di Amerika Serikat penyakit kulit akibat kerja perseribu pekerja

paling banyak dijumpai berturut-turut pada pekerja pertanian 2,8%, pekerja

pabrik 1,2%, tenaga kesehatan 0,8% dan pekerja bangunan 0,7%. Menurut

laporan Internasional Labour Organization terbanyak dijumpai pada tukang

batu & semen 33%, pekerja rumah tangga 17% dan pekerja industri logam

dan mesin 11% sedangkan tenaga kesehatan 1%. 15 Sejak tahun 1974

insiden penyakit kulit akibat kerja telah menurun di Amerika Serikat, namun

banyak kasus-kasus yang tidak pernah dilaporkan, baik akibat tidak

terdiagnosis sebagai penyakit akibat kerja oleh dokter atau penderita atau

telah diterapi sebagai dermatosis yang bukan disebabkan oleh pekerjaan.

Kasus-kasus yang tidak dilaporkan ini diperkirakan mencapai 20-50 kali lipat

dari jumlah yang dilaporkan.

11
Di Eropa insiden juga tinggi seperti Swedia dermatitis kontak

dijumpai pada 4,8% dari populasinya. Di Belanda 6%, di Stockholm 8% dan

Bergen 12%.

Di Indonesia terlihat bahwa frekuensi dermatitis kontak menunjukan

peningkatan di tahun-tahun terakhir ini. Di bagian Alergi-Imunologi RSCM

Jakarta tahun 1988 dilaporkan 35 kasus, berumur antara 6-67 tahun. 21

diantaranya dengan dugaan dermatitis kontak alergika yang tidak diketahui

penyebabnya dan 14 orang dengan dermatitis kronis non spesifik yang

penyebabnya tidak diketahui. Di Manado dari tahun 1988-1991 dijumpai 83

orang dengan dermatitis kontak (4,45%), di Singkawang Kalimantan Barat

pada tahun 1991-1992 dermatitis kontak dijumpai sebanyak 73 orang

(17,76%). Tahun 1992 di RS Dr. Pirngadi Medan Nasution malaporkan

terdapat 301 pasien dermatitis kontak (laki-laki 109 orang dan wanita 192

orang), tahun 1993 sebanyak 332 orang (109 orang laki-laki dan 223 orang

wanita), tahun 1994 dijumpai 427 kasus (122 orang laki-laki dan 305 orang

wanita).

Golongan usia tertinggi adalah 25-44 tahun 1992 dan 1994 adalah

kelompok pelajar dan mahasiswa (27,24% dan 32,55%), sedangkan pada

tahun 1993 adalah petani diikuti oleh penjual di pasar, tukang becak,

pembantu dan pengangguran.

12
3. Etiologi

a. Dermatitis Kontak Iritan

Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan ialah bahan yang

bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam,

alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh

ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, kohikulum, serta suhu bahan

iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud

yaitu : lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang) adanya

oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian juga gesekan dan

trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.

Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,

misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan

perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah umur 8 tahun lebih

mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan dari pada kulit putih); jenis

kelamin (insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi pada wanita);

penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang

terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopic

13
b. Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak alergi disebabkan karena kulit terpapar oleh

bahan-bahan tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk

timbulnya suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak

lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh

hapten memiliki berat mo lekul rendah, kurang dari 500- 1000 Da.

Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,

derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.

4. Patofisiologi

a. Dermatitis Kontak Iritan

Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat

kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi

maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa

menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi

melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-

komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka

fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan

14
membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan

dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari

komplemen dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit

serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin,

prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets yang akan

menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang

ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi

kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga

perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis

yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.

Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan

kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada

hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang

paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi,

misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai

andil pada terjadinya kerusakan tersebut.

b. Dermatitis Kontak Alergi

Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon

imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu:

1) Fase Sensitisasi

15
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen.

Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula

belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak

atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-

24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau

endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk

mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di

epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak

pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk

gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji

antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus

Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah

proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of

Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai

pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul

CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti),

merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk

ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen

tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi

pengenalan antigen (antigen recognition).

16
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1

(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan

IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga

terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke

seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase

elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini

pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat

ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi

yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak

alergik.

2) Fase elisitasi

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan

kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi

telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan

mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-

2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1

dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-

1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan

limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan

mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin

17
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.

Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,

edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.

Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui

beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen

oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit

serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel

makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan

produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan

keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan

dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan

antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+)

yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti

sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan

atau meredakan peradangan.

3) Toleransi Imunologis

Struktur kimia, dosis dan cara penyajian dari suatu antigen

sangat menentukan potensi sensitivitasnya. Pada aplikasi pertama

dari antigen akan menggerakkan dua mekanisme yang berlawanan

yaitu sensitisasi (pembentukan T helper cell) dan toleransi imunitas

18
spesifik (pembentukan T supresor cell). Kedua keadaan imunologik

ini selanjutnya dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor eksternal seperti

pemberian glukokortikoid topikal atau sistemik, radiasi sinar ultra

violet dan riwayat dermatitis atopik. Apabila dosis tinggi dari antigen

disapukan secara epikutan maka dapat timbul

toleransi.Kemungkinan oleh karena sejumlah besar antigen

menghindari sel Langerhans epidermal. Toleransi imunologis dapat

dirangsang oleh penggunaan bahan kimia yang sejenis seperti

propilgallat (antioksidan dalam makanan) dan 2-4-dinitro-1-

klorobenzen terhadap dinitroklorobenzen (DNCB), akan dapat

menurunkan sensitivitas DNCB, bahkan dapat menjadi tidak

responsive. Hal ini disebut proses hardening (pengerasan). Namun

proses hardening tidak timbul pada setiap orang dan dapat hilang

bila terjadi pemutusan hubungan dengan bahan kontak alergen.

Hiposensitisasi dapat dicapai dengan pemberian awal bahan

allergen berstruktur sejenis dalam dosis rendah yang kemudian

ditingkatkan secara bertahap. Hal ini dapat diterapkan pada

sulfonamid dan poison ivy. Akibatnya ambang rangsang untuk

reaksi positif terhadap uji tempel akan meningkat. Namun keadaan

desensitisasi penuh tidak dapat dicapai. Hiposensitisasi merupakan

19
keseimbangan antara sel efektor dan supresor. Keadaan toleransi

ini dapat dirusak oleh siklofosfamid yang secara selektif

menghambat sel supresor. Bila ini gagal secara teoritik dapat

dilakukan induksi secara intra vena sehingga timbul tolerans

terhadap alergen yang diberikan. Menurut Adam hal ini akan

merangsang makrofag di limpa untuk membentuk sel T supresor

dan menimbulkan toleransi imunitas spesifik. Secara teoritik dapat

timbul keadaan quenching yaitu terjadinya potensiasi dari respon

alergi dan iritan sehingga kombinasi dari bahan-bahan kimia dapat

menimbulkan efek pemedaman yaitu berkurangnya ekspresi atau

induksi sensitivitas.

5. Manifestasi Klinik

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan bergantung pada

keparahan dermatitis. Dermatitis kontak umumnya mempunyai gambaran

klinis dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan

berbatas tegas. Dermatitis kontak iritan umumnya mempunyai ruam kulit

yang lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan

dermatitis kontak alergik.

a. Fase akut.

20
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya

kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul

bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan

mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat

selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau

bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung

menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.

b. Fase Sub Akut

Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah

tidak ada maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada

fase ini akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan

pembentukan papul-papul.

c. Fase Kronis

Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari

fase akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi

cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi,

papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau

ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai

telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena

umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.

21
Selain berdasarkan fase respon peradangannya, gambaran klinis

dermatitis kontak alergi juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya.

Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya.

a. Tangan

Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di

tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula dermatitis

kontak akibat kerja paling banyak ditemukan di tangan. Sebagian besar

memang disebabkan oleh bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya

deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida.

b. Lengan

Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan

(nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila

umumnya oleh bahan pengharum.

c. Wajah

Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, obat

topikal, alergen yang ada di udara, nikel (tangkai kaca mata). Bila di bibir

atau sekitarnya mungkun disebabkan oleh lipstik, pasta gigi dan getah

buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat

kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.

22
d. Telinga

Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab lainnya seperti obat

topikal, tangkai kaca mata, cat rambut dan alat bantu pendengaran.

e. Leher dan Kepala

Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang

berasal dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian.

Kulit kepala relative tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga

terkena oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan

pengeriting rambut.

f. Badan

Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet

(elastis, busa ), plastik dan deterjen.

g. Genitalia

Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut

wanita dan alergen yang berada di tangan.

h. Paha dan tungkai bawah

Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon,

obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan

sepatu.

23
6. Pemeriksaan Penunjang

Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in vivo

dapat dilakukan dengan uji tempel. Berdasarkan tehnik pelaksanaannya

dibagi tiga jenis tes tempel yaitu:

a. Tes Tempel Terbuka

Pada uji terbuka bahan yang dicurigai ditempelkan pada daerah

belakang telinga karena daerah tersebut sukar dihapus selama 24 jam.

Setelah itu dibaca dan dievaluasi hasilnya. Indikasi uji tempel terbuka

adalah alergen yang menguap.

b. Tes Tempel Tertutup

Untuk uji tertutup diperlukan Unit Uji Tempel yang berbentuk semacam

plester yang pada bagian tengahnya terdapat lokasi dimana bahan

tersebut diletakkan. Bahan yang dicurigai ditempelkan dipunggung atau

lengan atas penderita selama 48 jam setelah itu hasilnya dievaluasi.

c. Tes tempel dengan Sinar

Uji tempel sinar dilakukan untuk bahan-bahan yang bersifat sebagai

fotosensitisir yaitu bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir yaitu

bahan yang dengan sinar ultra violet baru akan bersifat sebagai alergen.

Tehnik sama dengan uji tempel tertutup, hanya dilakukan secara duplo.

Dua baris dimana satu baris bersifat sebagai kontrol. Setelah 24 jam

24
ditempelkan pada kulit salah satu baris dibuka dan disinari dengan sinar

ultraviolet dan 24 jam berikutnya dievaluasi hasilnya. Untuk menghindari

efek daripada sinar, maka punggung atau bahan test tersebut dilindungi

dengan secarik kain hitam atau plester hitam agar sinar tidak bisa

menembus bahan tersebut.

Untuk dapat melaksanakan uji tempel ini sebaiknya penderita sudah

dalam keadaan tenang penyakitnya, karena bila masih dalam keadaan

akut kemungkinan salah satu bahan uji tempel merupakan penyebab

dermatitis sehingga akan menjadi lebih berat. Tidak perlu sembuh tapi

dalam keadaan tenang. Disamping itu berbagai macam obat dapat

mempengaruhi uji tempel sebaiknya juga dihindari paling tidak 24 jam

sebelum melakukan uji tempel misalnya obat antihistamin dan

kortikosteroid. Dalam melaksanakan uji tempel diperlukan bahan standar

yang umumnya telah disediakan oleh International Contact dermatitis

risert group, unit uji tempel dan penderita maka dengan mudah dilihat

perubahan pada kulit penderita. Untuk mengambil kesimpulan dari hasil

yang didapat dari penderita diperlukan keterampilan khusus karena bila

gegabah mungkin akan merugikan penderita sendiri. Kadang-kadang

hasil ini merupakan vonis penderita dimana misalnya hasilnya positif

maka penderita diminta untuk menghindari bahan itu. Penderita harus

25
hidup dengan menghindari ini itu, tidak boleh ini dan itu sehingga

berdampak negatif dan penderita dapat jatuh ke dalam neurosis

misalnya. Karenanya dalam mengevaluasi hasil uji tempel dilakukan

oleh seorang yang sudah mendapat latihan dan berpengalaman di

bidang itu.

Tes in vitro menggunakan transformasi limfosit atau inhibisi migrasi

makrofag untuk pengukuran dermatitis kontak alergik pada manusia dan

hewan. Namun hal tersebut belum standar dan secara klinis belum

bernilai diagnosis.

7. Pengobatan

Tujuan utama dari pengobatan adalah menghilangkan rasa gatal untuk

mencegah terjadinya infeksi. Ketika kulit terasa sangat kering dan

gatal,lotion dan krim pelembab sangat dianjurkan untuk membuat kulit

menjadi lebih lembab.Tindakan ini biasanya dilakukan saat kulit masih

sedikit basah,seperti saat habis mandi sehingga lotion yang dioleskan akan

mempertahankan kelembaban kulit.kompres dingin juga diduga dapat

mengurangi rasa gatal yang terjadi.Pengobatan yang diberikan dapat

berupa pengobatan topikal dan sistemik.

a. Pengobatan topical

26
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum

pengobatan dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres

terbuka), bila kering berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin

rendah prosentase bahan aktif. Bila akut berikan kompres, bila

subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum (pasta pendingin ),

bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila kering

superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering di

dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan

pada kasus-kasus ringan. Jenis-jenisnya adalah :

1) Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun.

Pemberian topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen

dari dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat aktivasi dan

proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena efek

langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid

topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-

DR sel Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi

penyaji antigennya. Juga menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T,

dengan demikian profilerasi sel T dihambat. Efek imunomodulator

ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis

27
kontak dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat

diberikan adalah hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon

asetonid. Cara pemakaian topikal dengan menggosok secara

lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan mempercepat

penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film

plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya

efek samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi

akneiformis.

2) Radiasi ultraviolet

Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis

kontak melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit

mengakibatkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan menginduksi

timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum tulang

yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di

kulit mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans

(CDI dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji

antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen dan UVA (PUVA)

dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara

imunologis dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan

epidermis, menurunkan jumlah sel Langerhans di epidermis, sel

28
mast di dermis dan infiltrasi mononuklear. Fase induksi dan

elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang

diperantarai TNF maka jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans

akan sangat berkurang jumlahnya dan sel Langerhans menjadi

tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada

keratinosit dan sel Langerhans.

3) Siklosporin A

Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari

hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada

manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan

oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis

atau dermis.

4) Antibiotika dan antimikotika

Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa

hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan

superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya

gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam

bentuk topikal.

b. Pengobatan Sistemik

29
Pada kasus dermatitis ringan diberi antihistamin, atau

kombinasi antihistamin-antiserotonin, antibradikinin, anti-SRS-A.

pada kasus akut dan berat dapat diberikan kortikosteroid (Djuanda,

2010).

8. Pencegahan

Pencegahan dermatitis kontak berarti menghindari berkontak

dengan bahan yang telah disebutkan di atas. Strategi pencegahan

meliputi:

Bersihkan kulit yang terkena bahan iritan dengan air dan sabun.

Bila dilakukan secepatnya, dapat menghilangkan banyak iritan dan

alergen dari kulit.

Gunakan sarung tangan saat mengerjakan pekerjaan rumah

tangga untuk menghindari kontak dengan bahan pembersih. Bila sedang

bekerja, gunakan pakaian pelindung atau sarung tangan untuk

menghindari kontak dengan bahan alergen atau iritan (Djuanda, 2010).

B. Tinjauan Umum Tentang Personal Hygiene Perorangan

1. Pengertian Personal Hygiene

30
Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang

artinya perorangan dan hygiene yang berarti sehat. Kebersihan

perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. (Tarwoto,

Wartonah, 2006:78).

Kebersihan perorangan disebut juga “kebersihan diri”, kesehatan

perorangan atau persoinal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea.

Hygea dikenal dalam sejarah Yunani sebagai dewi kebersihan. Gygiene

perorangan adalah suatu pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan

perorangan agar dapat memelihara sendiri. Memperbaiki dan

mempertinggi nilai kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit

(Syamsumir, A, 1978).

2. Tujuan Perawatan Personal Hygiene

a. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang

b. Memelihara kebersihan diri seseorang

c. Memperbaiki personal hygiene yang kurang

d. Pencegahan penyakit

e. Meningkatkan percaya diri seseorang

f. Menciptakan keindahan

31
Menurut Orem personal hygiene atau self care adalah suatu

tindakan praktek perindividu atau seseorang dan mengerjakan atas

kepentingan mereka dalam kelanjutan hidup, kesehatan, dan

kesejahteraan. Self care juga merupakan perubahan tingkah laku secara

lambat dan terus menerus didukung atas pengalaman sosial sebagai

hubungan interpersonal, self care akan meningkatkan harga diri

seseorang dan dapat mempengaruhi dalam perubahan konsep diri

(Hidayat, A, 2007).

Menurut Orem dalam Hidayat, A, (2007) bahwa model personal

hygiene adalah bentuk pelayanan dipandang dari suatu pelaksanaan

kegiatan dapat dilakukan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar

dengan tujuan mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesejahteraan

sesuai dengan keadaan sehat dan sakit, yang ditekankan pada kebutuhan

klien tentang perawatan diri sendiri.

Model perawatan diri ini memiliki keyakinan dan nilai diantaranya

dalam pelaksanaan berdasarkan tindakan atas kemampuan. Self care

didasarkan atas kesengajaan serta dalam pengambilan keputusan

dijadikan sebagai pedoman dalam tindakan, setiap manusia menghendaki

adanya self care dan sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia,

32
seseorang mempunyai hak dan tanggung jawab dalam perawatan diri

sendiri dan orang lain dalam memelihara kesejahteraan.

Menurut Orem dalam Hidayat, A, (2007) empat macam perawatan

personal hygiene diri sendiri yaitu :

1) Self care itu sendiri yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu

serta dilaksanakan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi serta

mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraan.

2) Self care agency merupakan suatu kemampuan individu dalam

melakukan perawatan diri sendiri yang dipengaruhi oleh usia,

perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain.

3) Adanya tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang

merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu

untuk perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat

dalam tindakan yang tepat.

4) Kebutuhan selfcare merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada

penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal dan

berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya

mempertahankan fungsi tubuh, self care yang bersifat universal itu

adalah aktifitas sehari-hari (ADL) dengan mengelompokkan kedalam

33
kebutuhan dasar manusianya. Faktor personal hygiene yang diteliti

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kebersihan Kulit

Kebersihan yang harus diutamakan adalah upaya:

a) Mencuci tangan dengan air sabun atau bahan lain setiap kali

buang air besar atau mandi.

b) Mandi bersih setiap hari

2. Kebersihan kaki dan tangan

Kebersihan yang harus diutamakan adalah :

a) Mencuci kaki dan tangan secara teratur

b) Mencegah timbulnya kuku ke dalam daging dengan cara

memotong rata.

3. Kebersihan Pakaian

Kebiasaan yang harus diutamakan adalah :

a) Pakaian untuk kerja, pakaian untuk tidur hendaknya berlainan.

b) Pemeliharaan baju sebersih mungkin, karena itu baju harus

sering dicuci dan disetrika.

C. Tinjauan Umum Tentang Intoleransi Zat Makanan

34
Intoleransi makanan adalah respon sistem pencernaan akibat respon

sistem kekebalan. Hal ini terjadi ketika terjadi iritasi pada sistem

pencernaan seseorang atau ketika seseorang tidak mampu mencerna atau

kegagalan  karena  makanan. Intoleransi laktosa, yang ditemukan dalam

susu dan produk susu lainnya, adalah makanan yang paling banyak terjadi.

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan mempertahankan tubuh

melawan zat-zat yang berbahaya seperti bakteri, virus dan racun.

Kadang suatu respon kekebalan dipicu oleh suatu zat (alergen) yang

biasanya tidak berbahaya dan terjadi alergi.

Penyebab dari alergi makanan tidak sepenuhnya dimengerti karena

alergi makanan bisa menimbulkan sejumlah gejala yang bervariasi.

Reaksi terhadap makanan bisa bersifat ringan atau fatal, tergantung

kepada jenis dan beratnya reaksi.

Alergi makanan sering terjadi. Sistem kekebalan melepaskan

antibodi dan zat-zat (termasuk histamin) sebagai respon terhadap

masuknya makanan tertentu. Gejalanya bisa terlokalisir di lambung dan

usus atau bisa menimbulkan gejala di berbagai bagian tubuh, setelah

makanan dicerna dan diserap, gejala biasanya akan timbul dengan segera,

jarang sampai lebih dari 2 jam setelah makan makanan tertentu.

35
Alergi makanan seringkali menyerupai keadaan lainnya, seperti

intoleransi makanan (terjadi akibat kekurangan enzim yang diperlukan

untuk mencerna makanan tertentu), irritable bowel syndrome, respon

terhadap stres emosi atau stres fisik, pencemaran makanan oleh racun

(keracunan makanan) dan penyakit lainnya. Alergi makanan berbeda

dengan penyakit-penyakit tersebut karena pada alergi makanan dilepaskan

antibodi, histamin dan zat-zat lainnya (Widodo, 2008).

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Pikir / Dasar Pemikiran

Penyakit dermatitis adalah penyakit inflamasi superficial kulit baik

karena faktor endogen maupun eksogen. Secara morfologis perubahan

dermatitis akut atau kronik adalah spesifik dan dapat dikenal. Penyakit

dermatitis adalah suatu penyakit yang dapat mengganggu konsep diri dari

seseorang individu didalam kehidupannya dan pergaulannya sehari-hari.

Sebab penyakit ini dapat menyebabkan kurangnya rasa percaya diri. Selain

36
itu penyakit ini dapat juga menyebabkan masalah yang serius yaitu penyakit

kanker kulit yang tentunya dapat menyebabkan kematian apabila tidak

mendapat perhatian yang serius dari penderitanya.

Beberapa faktor kejadian Penyakit Dermatitis dapat berasal dari,

hygiene perorangan dan intoleransi zat makanan yang menjadi variabel

bebas. Sedangkan pengunaan APD,umur,riwayat alergi dan lama kerja

dapat pula menjadi faktor pendukung yang menjadi penyebab penyakit

Dermatitis, namun faktor tersebut menjadi variabel yang tidak diteliti. Oleh

karena itu, untuk mengetahui hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat

dalam bentuk bagan berikut ini :

B. Kerangka Konsep Penelitian

Personal hygiene

Intoleransi zat
makanan

Penggunaan APD Kejadian Penyakit


Dermatitis

Umur

Riwayat Alergi

37
Lama Kerja

Keterangan :

= variabel independent yang diteliti

= variabel independent yang tidak diteliti

= variabel dependent yang diteliti

Gambar 1. Skema Kerangka Konsep

C. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah

1. Variabel Independent, yakni variabel yang tidak dapat dipengaruhi oleh

variable lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah personal

hygiene perorangan dan intoleransi zat makanan.

2. Variabel Dependent, yakni variabel yang dapat berubah karena

pengaruh variabel lain. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah

kejadian penyakit dermatitis.

38
3. Variabel Yang Tidak Diteliti, yakni variabel yang masuk dalam variabel

Independent. Variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini

adalah,penggunaan APD,umur,riwayat alergi,lama kerja.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

1. Dermatitis

Adalah suatu kejadian yang menurut hasil diagnosa dokter dan

perawat terlatih terindikasi penyakit dermatitis dan tercatat dalam

medical record Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2013 sejak

bulan Januari .

Kriteria Objektif :

Dermatitis : jika responden berdasarkan diagnosa dokter menderita


Dermatitis

Tidak Dermatitis : jika responden berdasarkan diagnosa dokter tidak

menderita Dermatitis.

2. Personal Hygine perorangan

Hygine perorangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

keadaan kebersihan diri dari penderita penyakit dermatitis kontak, yang

meliputi kebiasaan mandi dengan memakai sabun, kebiasaan mencuci

pakaian, kebiasaan ganti pakaian, kebiasaan membersihkan tempat

tidur, dan membersihkan kuku, kepala dan lain-lain. Untuk mengukur

39
tingkat Hygine perorangan responden maka peneliti memberikan 10

pertanyaan dengan menggunakan skala Gutman, yakni jawaban ‘’ya’’

diberi nilai 1 dan apabila jawaban ‘’tidak’’ diberi nilai 0.(Sugiyono, 2010).

Sehingga diperoleh skor:,

Skor tertinggi = Σ pertanyaan x bobot tertinggi


= 10 x 1
= 10 (100%)
Skor terendah = Σ pertanyaan x bobot terendah
= 10 x 0
= 0 (0%)
Kemudian diukur dengan menggunakan rumus Sugiyono (2006)

R
K
I=
Dimana :
I = Interval kelas
R = Range / rentang (100 + 0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)

R
jadi untuk I = K

100 %
= 2

= 50%

40
Kriteri objektif :
Baik : apabila skor jawaban responden ≥ 50% benar
Kurang : apabila skor jawaban responden < 50% benar
2. Intoleransi zat makanan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah reaksi tubuh terhadap

makanan yang dikonsumsi oleh penderita dermatitis seperti telur, makanan

laut, dan kacang-kacangan. Untuk mengukur tingkat Intoleransi zat

makanan responden maka peneliti memberikan 10 pertanyaan dengan

menggunakan skala Gutman, yakni jawaban ‘’ya’’ diberi nilai 1 dan apabila

jawaban ‘’tidak’’ diberi nilai 0.(Sugiyono, 2010).

Sehingga diperoleh skor:,

Skor tertinggi = Σ pertanyaan x bobot tertinggi


= 10 x 1
= 10 (100%)
Skor terendah = Σ pertanyaan x bobot terendah
= 10 x 0
= 0 (0%)
Kemudian diukur dengan menggunakan rumus Sugiyono (2006)

R
K
I=
Dimana :
I = Interval kelas

41
R = Range / rentang (100 + 0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)

R
jadi untuk I = K

100 %
= 2

= 50%

Kriteria objektif :

Menderita : Jika total skor jawaban responden ≥ 50%

Tidak menderita : Jika total skor jawaban responden < 50%

D. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu :

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan Hygiene Perorangan dengan Penyakit Dermatitis di

Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Tahun 2013.

b. Ada hubungan Intoleransi zat makanan dengan Penyakit Dermatitis di

Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Tahun 2013.

42
2. Hipotesis Nol (Ho)

a. Tidak ada hubungan Hygiene Perorangan dengan Penyakit Dermatitis di

Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Tahun 2013.

b. Tidak ada hubungan Intoleransi zat makanan dengan Penyakit

Dermatitis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Tahun 2013.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan metode penelitian survey analitik dengan

pendekatan Cross Sectional. Cross sectional adalah jenis penelitian yang

mempelajari dinamika korelasi antara factor-faktor resiko dengan efek, dengan

43
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat,

(Notoatmodjo, 2010).

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2013 di Puskesmas

Poasia Kota Kendari.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita penyakit

Dermatitis yang datang berobat ke Puskesmas Poasia, Kabupaten Kendari

yang berjumlah rata-rata kunjungan perbulan yaitu 147 pasien.

2. Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagian pasien

yang menderita penyakit Dermatitis yang datang berobat ke Puskesmas

Poasia. Jumlah sampel dihitung dengan berdasarkan rumus:

(Rumus Notoatmodjo, 2005)

N
n=
1+ N ( d 2 )

44
Keterangan :

N : Besar populasi

n : Besar sampel

d2 : tingkat kepercayaan (d = 0,1)

Sehingga di dapatkan :

147
n=
1+147( 0 ,012 )

147
n=
2
n=73

Berdasarkan hal tersebut jumlah sampel yang diambil yaitu 73 pasien

yang berkunjung di Puskesmas Poasia, Teknik yang digunakan yaitu

purposive sampling yaitu sebanyak 73 orang, yaitu jumlah sampel yang

dikumpulkan berdasarkan pertimbangan dari peneliti.

3. Kriteria sampel

a. Kriteria inklusi

1. Semua penduduk yang bertempat tinggal dan tercatat sebagai

penduduk di wilayah kerja Puskesmas Poasia

2. Dapat berkomunikasi dengan baik

45
3. Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

1. Tidak menetap atau bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Poasia.

2. Tidak dapat berkomunikasi dengan baik

3. Tidak bersedia menjadi responden

4. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis dan Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui :

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini yaitu diambil secara langsung dari

responden melalui wawancara dan kuesioner.

2. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data yang dikumpulkan

secara tidak langsung dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara, dan Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2013. Dalam

penelitian ini data sekunder mengenai jumlah penderita Dermatitis di

Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.

D. Pengolahan Analisis dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data

a. Editing

46
Data yang telah diisi oleh responden dikumpulkan dan kemudian

diperiksa kembali oleh peneliti yaitu seperti memeriksa kelengkapan,

pengisian koesioner, kejelasan jawaban dan keseragaman suatu

pengukuran.

b. Koding

Koding atau pengkodean pada lembaran observasi. Pada tahap

ini kegiatan yang dilakukan ialah mengisi daftar kode yang disediakan

pada lembaran observasi sesuai pengamatan yang dilakukan.

c. Skoring

Setelah melakukan pengkodean maka dilanjutkan dengan tahap

pemberian skor pada lembar observasi dalam bentuk angka.

d. Tabulasi

Data yang telah dikumpulkan dalam bentuk tabel dan dianalisis

dalam daftar statistik dengan menggunakan alat analisis (kalkulator).

e. Entry

Kegiatan memasukkan data kedalam program komputer untuk

selanjutnya dilakukan pengelompokan data atau analisis data

menggunakan uji statistik.

2. Analisis Data

a. Analisis univariat

47
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang

distribusi frekuensi masing-masing variabel independent yang meliputi

hygiene perorangan dan intoleransi zat makanan, serta variabel

dependent yaitu kejadian Dermatitis. Dengan rumus dibawah ini :

P= X 100 %

Keterangan : F = Frekuensi yang sedang dicari persentase

N = Number of cases (jumlah frekuensi / banyaknya

individu).

P = Angka persentase (Sugiyono, 2008 )

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat sejauh mana hubungan

variabel independen (hygiene perorangan dan intoleransi zat makanan ),

terhadap variabel dependent yaitu kejadian dermatitis

1) Uji Chi Square

Pada penelitian ini dilakukan uji statistik Chi-Square (X 2)

dengan rumus sebagai berikut :

48
Σ ( 0-E )2
X2 =
E
Keterangan :

X2 = Nilai Chi

O = banyaknya kasus diobservasi

E = banyaknya kasus yang diharapkan (Sugiyono, 2008)

Kriteria pengujian hipotesis :

Batas kemaknaan (α) yang digunakan adalah 0.05 (95%).

Penilaian :

a) Apabila x2hitung > x2tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya

ada hubungan antara variable independen dengan variabel

dependen

b) Apabila x2hitung < x2tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya

tidak ada hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen.

2) Uji Keeratan Hubungan

Untuk mengetahui besarnya hubungan antara besarnya

hubungan antara variabel yang telah diuji Chi-Square dilakukan

uji Cramers (uji K) dengan rumus :

49
x2
v 2=
√ n.t

Keterangan :

X2 = nilai chi

n = besar sampel

t = nilai R-1 atau C-1 yang terkecil

dengan interpretasi sebagai berikut :

1) Nilai 0,01 – 0,25 hubungan lemah

2) Nilai 0,26 – 0,50 hubungan sedang

3) Nilai 0,51 – 0,75 hubungan kuat

4) Nilai 0,76 – 1,0 hubungan sangat kuat (Sugiyono, 2008)

N ( ad−bc ) ❑2❑
x 2=
( a+b )( c +d ) ( a+c ) ( b+ d )

Untuk mengetahui perhitungan besar resiko relative kejadian

penyakit Dermatitis dengan rancangan penelitian Cross sectional

besar resiko relative dicerminkan dengan angka rasio prevalensi

menggunakan tabel 2 x 2 dengan rumus sebagai berikut :

Tabel 4.1

50
Tabel kontigensi 2 x 2 rasio prevalensi (point prevalence rate case)

Faktor Penyakit Jumlah


Ya Tidak
resiko
Ada (+) A B A+B
Tidak (-) C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D

Angka rasio Prevalens = A/ (A+B) : C/ (C+D)

Keterangan :

A : subjek dengan faktor resiko dan efek positif

B : subjek dengan faktor risiko positif dan efek negatif

C : subjek dengan faktor resiko negatif dan efek positif

D : subjek dengan faktor serta efek negative

Kaidah Keputusan :

a. Ho diterima dan Ha ditolak, Jika X2Hitung < X2Tabel

b. Ha diterima dan Ho ditolak, Jika X2Hitung > X2Tabel dengan tingkat

signifikansi (α=0,05 (Budiman Candra,2008)

3. Penyajian Data

51
Penyajian data dilakukan setelah data diolah dan disajikan dalam

bentuk tabel dan dipresentasikan disertai dengan penjelasan

(dinarasikan).

E. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Ketua Program Studi Keperawatan untuk mendapatkan persetujuan,

kemudian koesioner diberikan ke subyek yang diteliti dengan menekankan

pada masalah etika yang meliputi :

1. Lembar Persetujuan (Inforemend Consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden, tujunnya adalah

supaya mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang di

teliti selama pengumpulan data.Jika responden menolak untuk diteliti,

maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati haknya.

2. Tanpa Nama (Anomity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar instrumen dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian

yang akan disajikan.

52
3. Kerahasiaan (confidentiality)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

53
54

Anda mungkin juga menyukai