Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SISTEM KEPARTAIAN

Oleh :

DANIANTA SIHOTANG (2018090


JOJOR MARITO TAMPUBOLON (201809032)

PRODI ILMU ADMINISTRAI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GRAHA NUSANTARA PADANGSIDIMPUAN

T.A.2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya kami masih diberi kesehatan sehingga kami dapat menyusun makalah
ini dengan baik demi memenuhi salah satu mata kuliah Prodi Ilmu Administrasi
negara yaitu Sistem Kepartaian Dan Pemilu Di Indonesia.

Kami berharap dengan adanya makalah yang telah kami buat ini dapat
membantu kita semua untuk dapat memahami Sistem kepartaian dan pemilu di
indonesia. Dengan adanya makalah ini kami juga berharap dapat mempermudah kita
diruang lingkup perkuliahan maupun diluar perkuliahan.

Namun kesempurnaan hanya ada ditanga Tuhan, sehingga jika ada


kekurangan pada makalah kami ini kami selaku penyusun makalah Sistem kepartaian
dan pemilu di indonesia ini memohon maaf atas segala kekurangan dan kejanggalan
tersebut. Kami selalu menerima kritik dan saran yang membangun dari teman-teman
sekalian untuk pembuatan makalah yg lebih baik lagi kedepannya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkembangnya sistem kepartaian di Indonesia, yang disertai dengan


banyaknya berbagai aspirasi-aspirasi dari masyarakat yang tidak dapat dikoordinir
dengan baik, dengan sendirinya menyebabkan banyaknya usaha-usaha dari para elite
politik yang berkuasa untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi atau
kelompok diatas kepentingan rakyat. Banyaknya kasus KKN yang masih tak
terselesaikan di negeri ini salah satunya adalah akibat dari sistem partai politik yang
diterapkan di negeri ini dinilai tidak sesuai.

Suatu sistem kepartaian di suatu negara disebut kokoh dan adaptabel, apabila
sistem kepartaian tersebut mampu menyatukan berbagai aspirasi menjadi satu
kesepakatan bersama yang mengutamakan kepentingan rakyat. Dari sudut pandang
ini, jumlah partai sangat menentukan keefektifan partai politik pada suatu negara
dalam mengkoordinir berbagai aspirasi yang mengutamakan kepentingan masyarakat
banyak atau rakyat. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus
memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai,
sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan.
Kedua, mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru
dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi
oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan
organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna
mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.

B. Rumusan Masalah

1. Sistem kepartaian apa yang dianut oleh negara Indonesia?

2. Apa kelebihan dan kekurangan dari sistem kepartaian yang ada ?

3. Apakah sistem kepartaian yang dianut oleh negara Indonesia sudah sesuai dengan
harapan bangsa Indonesia jika dikaitkan pula dengan sistem pemerintahan
presidensial yang dianut oleh Indonesia?

4. Bagaimana upaya penyelesaian permasalahan mengenai sistem kepartaian di


Indonesia yang dinilai tidak sesuai untuk diterapkan?
C. Tujuan penulisan

1. Mengetahui dan memahami sistem kepartaian yang dianut oleh negara Indonesia .

2. Mengetahui dan memahami kekurangan dan kelebihan dari sistem kepartaian.

3. Mengidentifikasi dan memahami manfaat yang telah dirasakan bangsa Indonesia


mengenai sistem kepartaian yang dianut apabila dikaitkan dengan sistem
pemerintahan presidensial.

4. Mengetahui cara penyelesaian permasalahan mengenai sistem kepartaian di


Indonesia yang dinilai tidak sesuai untuk diterapkan.

D. Manfaat penulisan

1. Manfaat teoritis

Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan mengenai


sistem kepartaian yang di terapkan di Indonesia yang kemudian dapat memahami
sistem yang sesuai dengan perpolitikan di Indonesia.

2. Manfaat praktis

Penulisan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi atau acuan bagi pembaca
dalam memahami sistem kepartaian di suatu negara khususnya di Indonesia untuk
diterapkan dalam kehidupan berpolitik sehari-hari.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Kepartaian Negara Indonesia

Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem


kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi
mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal
tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dari
pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang
berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai
politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik” artinya paling
sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden
untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan
demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling
sedikit terdapat tiga partai politik.

Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak


Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No
X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multi partai di Indonesia.
Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu
yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai politik
dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik yang
mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%),
Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%),
PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%).

Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap
sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun 1950an –
1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang
stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama di masa
Orde Baru, thaun 1971, terdapat 10 partai politik, termasuk partai pemerintah
(Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden
Suharto melakukan restrukturisasi partai politik, yaitu melakukan penyederhanaan
partai melalui penggabungan partai-partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai
politik tersebut adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP
merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU,
Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai
nasionalis dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar
adalah partai politik bentukan pemerintah Orde Baru.

Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia pada
saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem multi partai,
banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem kepartaian yang dianut pada era
Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada juga yang menyebut sistem kepartaian
era Orde Baru adalah sistem partai dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi
antar partai politik yang ada pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada
adalah lebih dari dua parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi
partai. Namun jika dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga
partai politik di dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari
pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.

Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi disemua sektor


kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik. Salah satu
reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk
mendirikan partai politik yang dianggap mampu merepresentasikan politik mereka.
Liberalisasi politik dilakukan karena partai politik warisan Orde Baru dinilai tidak
merepresentasikan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Hasilnya tidak kurang
dari 200 partai politik tumbuh di dalam masyarakat. Dari ratusan parpol tersebut
hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilu 1999. Pemilu 1999 menghasilkan
beberapa partai politik yang mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat
Indonesia adalah PDI.Perjuangan, P.Golkar, PKB, PPP, dan PAN.

Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah parpol pemilu
1999, yaitu 24 parpol. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta di dalam pemilu
2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang batas (threshold).
Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam
UU No 3/1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk
mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-
kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas
tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung dengan partai lain atau
membentuk partai politik baru.

Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang mendapatkan suara
signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET). Meskipun persentasi ET dinaikan
dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu 2004 menghasilkan lebih banyak
partai politik yang mendapatkan suara signifikan dan lolos ET untuk pemilu 2009.
Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang mencapai ambang batas tersebut.
Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar, PDI. Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat,
PKS, dan PAN.

Pemilu 1995

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik


Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3
Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian
partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan
secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik
(juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru
diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.

Pemilu 1971

Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor
16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan
memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh
rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan
golongan fungsional oleh Presiden.

Pemilu 1977

Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975. Pemilu
ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang
digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem
proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2
Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di
mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh
Presiden Suharto.

Pemilu 1982

Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu
1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya
sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96
orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No.
2 tahun 1980.

Pemilu 1987

Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan
pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia
adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh
Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya,
yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
Pemilu 1992

Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem
Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan
varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi
DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah
adalah 97.789.534.[12] Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara
(68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara
(17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara
(10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75
orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.

Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut
yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di
sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45
orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden


Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah
memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah
Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289
kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.
[13] Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga
berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga
berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak
atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat.

Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang
sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30
tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang;
dan di atas 65 tahun 2 orang.

Pemilu 1999

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto.


Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini
terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai
peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar,
PPP, dan PDI.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan
tiga rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999,
yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh
yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dariInstitut Ilmu Pemerintahan. Setelah
disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan
Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat
(7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan
stelsel daftar dengan varian Roget.

Dalam pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat


Dapil) adalah Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi)
yang merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II
dapilnya Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR
untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan
memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya
dilakukan oleh KPU.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat


Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih
presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius
mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah
Indonesia.

Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon


Terbuka.Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional
dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD,
digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV).
Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas
dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).

B. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Kepartaian

Klasifikasi sistem kepartaian jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi
keanggotaannya maka partai politik dapat dibagi menjadi dua jenis; partai massa dan
partai kader. Jika dilihat dari segi sifat dan orientasinya partai politik dibagi dua
jenis; partai lindungan dan partai ideologi atau azas. Di dalam buku Dasar-dasar Ilmu
Politik yang ditulis Prof. Miriam Budiardjo sistem klasifikasi kepartaian yang lebih
banyak digunakan dalam ranah demokrasi yakni :

1. Sistem Partai Tunggal


2. Sistem Dwi Partai

3. Sistem Multi Partai

1. Sistem Partai Tunggal

Sitem partai tunggal ini merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara,
maupun partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai
lainnya.

Sistem partai tunggal mengandung kelemahan-kelemahan dalam parkteknya antara


lain:

1. Sistem partai tunggal tidak pernah akan menjamin adanya perlindungan terhadap
HAM,

2. Tidak tercapainya perwujudan masyarakat yang sejahtera

3. Tidak adanya sistem kontrol sosial.

4. Sistem partai tunggal tidak mengakui doktrin-doktrin politik demokrasi yang


berlaku dinegara-negara liberal ataupun negara demokrasi lainnya.

5. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat
negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi
negara dan hak azasi manusia.

6. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya kebebasan pers.

7. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-
haknya.

2. Sistem Dwi Partai

Sistem dwi partai atau dua partai merupakan adanya dua partai dalam sebuah
negara atau pemerintahan atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan
dominan dari dua partai. Partai-partai ini terbagi kedalam partai yang berkuasa
(karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilu).

Kelebihan sistem dwi partai ini antara lain:

1. Dalam sistem distrik suara pemilu yang dihasilkan selalu suara mayoritas,

2. Terwujudnya stabilitas pemerintahan yang dapat berjalan sesuai dengan kurun


waktu yang telah ditetapkan,
3. Pergantian pemerintahan dalam sistem ini dengan pemilu sistem distrik cenderung
berjalan normal,

4. Program-program pemerintah dapat berjalan dengan baik,

5. Adanya keterikatan pada konstitusi negara.

3. Sistem Multi Partai

Sistem multi partai adalah adanya partai-partai politik yang lebih dari dua
partai dalam sebuah negara atau pemerintahan.

Beberapa kelemahan sistem multi partai ini antara lain:

1. Pemerintahan selalu dalam keadaan tidak stabil.

2. Program-program pemerintah kurang berjalan dengan efektif.

3. Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup
suatu bangsa, Sistem ini cenderung lamban dalam mengembangkan pertumbuhan
ekonomi makro maupun mikro,

4. Sistem ini mengurangi fungsi nasionalisme dalam suatu negara,

5. Sistem ini belum pernah melahirkan negara yang super power.

Sedangkan kelebihan dari sistem multi partai adalah:

1. Setiap individu diberikan kesempatan menjadi pimpinan sebuah partai politik,

2. Kontrol sosial lebih banyak terjadi dilakukan oleh partai-partai politik,

3. Sistem ini memberikan alternatif banyak pilihan pada warga negara.

C. Efektitivitas Sistem Kepartaian yang Dianut oleh Negara Indonesia dikaitkan


dengan Sistem Pemerintahan Presidensial.

Permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah di Indonesia tidak saja


dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil presiden saja. Efektivitas
dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem
kepartaian yang dilaksanakan. Sistem presidensial dan sistem multi partai dengan
jumlah partai yang terlalu banyak ternyata merupakan faktor lain yang krusial.
Observasi dan kajian yang dilakukan oleh Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa
sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai yang
dilaksanakan di beberapa negara gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal.
Amerika Serikat berhasil menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena
menggunakan kombinasi sistem presidensial dan dwi – partai.

Di Indonesia dengan masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan


dibawa menuju sistem dwi – partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah
antara kombinasi sistem presidensial dengan multi partai yang sederhana. Multi
sistem partai yang sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping,
disiplin dan mengikat.

Untuk menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua


mekanisme yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan
ambang batas (PT) dan memperkecil district magnitude.

Dikutip dari artikel yang bersumber dari metrotvnews.com Pengamat hukum


dan politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang Nicolaus Pira Bunga mengatakan
Indonesia tak cocok dengan sistem multipartai. Hal itu dikarenakan sistem
pemerintahan di Indonesia adalah presidensil. Pemerintahan yang dipilih langsung
oleh rakyat, seharusnya lebih kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya, sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya
dalam menata kehidupan berdemokrasi ke arah yang lebih baik. Mantan pembantu
dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu
mengemukakan pandangannya tersebut terkait dengan penerapan sistem multipartai
di Indonesia yang bertentangan dengan sistem negara yang menganut paham
presidensil.

Pira Bunga mengatakan penerapan ambang batas perolehan suara di parlemen


(parliamentary threshold), bukan menjadi jaminan untuk mengurangi jumlah partai
politik di Indonesia, karena aturan untuk mendirikan partai politik di negeri ini
terlalu mudah dan murah. Penerapan parliamentary threshold sampai 10 persen pun
tetap tidak akan mengurangi jumlah parpol di Indonesia, karena parpol yang
tereleminasi dari ketentuan tersebut pasti akan mendirikan parpol baru. Perlu ada
ketegasan dari elemen bangsa untuk menetapkan jumlah parpol sebagai penyeimbang
sistem pemerintahan yang menganut paham presidensil, agar demokrasi di negeri ini
dapat bertumbuh dengan baik. Jika semua parpol telah mengakui Pancasila sebagai
asas tunggal, maka sangat elegan jika Indonesia hanya memiliki lima partai politik
dengan menggunakan simbol-simbol dari lima sila Pancasila itu sebagai lambang
partainya.

D. Upaya Penyelesaian atas Ketidak efektifan Sistem Kepartaian yang Dianut oleh
Negara Indonesia

Tujuan utama penataan sistem politik Indonesia ditujukan untuk menciptakan


pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada beberapa alternatif jawaban yang
patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Beberapa alternatif tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Mengubah Sistem Presidensial menjadi Sistem Parlemen

Sepertinya pilihan pertama ini sangat sulit, kalau tidak dibilang mustahil,
untuk dilakukan. Selain pengalaman traumatis yang pernah dialami Indonesia pada
masa demokrasi parlementer, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa sistem
pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Tidak mudah untuk melakukan
amandemen terhadap UUD, akan memerlukan perdebatan yang panjang dan pasti
akan mendapatkan resistensi yang sangat besar. Pilihan ini adalah tidak realistik
untuk dipilih.

2. Mengubah Sistem Kepartaian

Contoh negara yang mengimplementasikan sistem presidensial yang sukses


adalah Amerika dimana sistem presidensial di dukung oleh sistem dwi – partai.
Kalau bangsa Indonesia ingin berkiblat kepada Amerika di dalam menata sistem
politiknya maka sistem multi partai haruslah diubah menjadi sistem dwi – partai.
Tawaran solusi ini sepertinya juga sulit untuk direalisasikan karena akan melawan
arus demokrasi. Masyarakat Indonesia yang sifatnya plural tidak akan bisa
direpresentasikan oleh dua partai politik saja.

3. Mengurangi Jumlah Partai Politik

Jumlah partai politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor
penyumbang tidak efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai
politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk
mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu “gemuk” karena melibatkan banyak
parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat
berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan. Jika saja
partai politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka koalisi parpol yang dibangun
juga tidak akan menjadi “gemuk”. Presiden terpilih idealnya berasal dari koalisi yang
sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50% dari jumlah kursi DPR
dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau tiga partai saja.

Usulan solusi ini lebih moderat jika dibandingkan dengan pilihan 1 dan 2
karena masih mempertahankan sistem presidensial dan sistem multi partai. Hanya
saja jumlah partai di Indonesia yang terlalu banyak ini perlu disederhanakan.
Penyederhanaan partai politik sebenarnya sudah dilakukan sejak pemilu 1999 dengan
mengimplementasikan ambang batas bagi partai politik untuk ikut serta dalam
pemilu berikutnya (Electoral Threshold) dan ambang batas bagi partai politik untuk
mengirimkan wakilnya di parlemen (Parliamentary Threshold) – akan diberlakukan
pada pemilu 2009.

4. Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif secara Bersama-sama


(Concurrent Elections)

Beberapa pengamat politik berpendapat penyelenggaraan pemilu legislatif


dan presiden secara bersama-sama, concurrent elections, akan menciptakan
pemerintahan yang efektif. Dengan concurrent elections presiden terpilih akan
mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dan mendapatkan dukungan yang kuat
dari parlemen. Di dalam masyarakat/negara yang menganggap pemilihan presiden
lebih penting dibandingkan pemilihan legislatif, pemilih akan cenderung memilih
partai poltitik yang mencalonkan presiden yang didukungnya. Akibatnya partai
politik yang mendukung calon presiden terpilih akan memiliki peluang besar untuk
memenangkan pemilu legislatif. Dengan demikan mayoritas anggota parlemen
berasal dari partai tersebut.

Solusi yang ditawarkan

Alternatif solusi ketiga, mengurangi jumlah partai dan dibarengi dengan


koalisi partai yang disiplin dan mengikat, adalah solusi yang paling memungkinkan
dalam konteks Indonesia. Berapa jumlah partai politik yang efektif dan ideal bagi
bangsa Indonesia yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Beberapa pengamat
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup diwakili oleh 5 partai politik saja.
Sedangkan berdasarkan survey yang pernah diselenggarakan oleh salah satu lembaga
survey jumlah partai politik yang dikehendaki oleh publik adalah 5 – 7 partai.

Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana maka akan


mendorong koalisi partai politik yang lebih ramping, disiplin dan mengikat.
Bagaimana mekanisme untuk mendorong agar supaya partai politik membangun
koalisi yang disiplin dan mengikat? Tentu yang pertama adalah memperbaiki
disiplin internal partai politik masing-masing. Partai politik harus mampu
mengontrol anggota-anggotanya di parlemen untuk mengikuti kebijakan partainya
dalam mendukung pemerintahan. Jika perlu, partai politik memberikan sanksi tegas
kepada anggotanya di parlemen yang tidak mendukung program dan kebijakan
pemerintah. Kedua, fatsoen politik harus ditegakkan. Para politisi yang ada di DPR
dan kabinet harus sejalan dan seiring dengan program dan kebijakan presiden.
Pejabat partai politik yang dipilih di kabinet seharusnya mengundurkan diri dari
jabatan di masing-masing partai untuk mengurangi conflict of interest.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Negara Indonesia menganut Sistem Kepartaian Multi Partai. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilu berjumlah lebih dari dua
partai. Di samping itu diisyaratkan pula pada pasal 6A (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam
pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik.

Dalam sistem kepartaian terdapat 3 jenis :

a. Sistem Partai Tunggal, yang mana pada sistem ini hanya ada satu partai yang
berkuasa pada suatu negara, sehingga tidak ada kompetisi partai dalam negara
tersebut. Namun dalam sistem ini partai-partai kecil tidak diberi keleluasaan.

Sistem partai tunggal mengandung kelemahan-kelemahan dalam parkteknya


antara lain:

1.Sistem partai tunggal tidak pernah akan menjamin adanya perlindungan


terhadap HAM,

2. Tidak tercapainya perwujudan masyarakat yang sejahtera

3. Tidak adanya sistem kontrol sosial.

4. Sistem partai tunggal tidak mengakui doktrin-doktrin politik demokrasi yang


berlaku dinegara-negara liberal ataupun negara demokrasi lainnya.

5. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat
negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi
negara dan hak azasi manusia.

6. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya kebebasan pers.

7. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-
haknya.

b. Sistem Dwi Partai, yang mana dalam partai ini hanya terdapat dua partai yang
bersaing, sehingga dengan adanya sistem ini cenderung akan menghambat
perkembangan partai-partai kecil. Namun di sisi lain program-program
pemerintah akan berjalan dengan baik.

Kelebihan sistem dwi partai ini antara lain:


1. Dalam sistem distrik suara pemilu yang dihasilkan selalu suara mayoritas,

2. Terwujudnya stabilitas pemerintahan yang dapat berjalan sesuai dengan kurun


waktu yang telah ditetapkan,

3. Pergantian pemerintahan dalam sistem ini dengan pemilu sistem distrik


cenderung berjalan normal,

4. Program-program pemerintah dapat berjalan dengan baik,

5. Adanya keterikatan pada konstitusi negara.

c. Sistem Multi Partai, yang mana pada sistem kepartaian ini terdapat lebih dari tiga
partai, sehingga program-program pemerintah cenderung tidak berjalan dengan
baik. Namun sistem ini lebih memberi kesempatan kepada setiap individu untuk
menjadi pemimpin.

Beberapa kelemahan sistem multi partai ini antara lain:

1. Pemerintahan selalu dalam keadaan tidak stabil.

2. Program-program pemerintah kurang berjalan dengan efektif.

3. Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup
suatu bangsa, Sistem ini cenderung lamban dalam mengembangkan
pertumbuhan ekonomi makro maupun mikro,

4. Sistem ini mengurangi fungsi nasionalisme dalam suatu negara,

5. Sistem ini belum pernah melahirkan negara yang super power.

Sedangkan kelebihan dari sistem multi partai adalah:

1. Setiap individu diberikan kesempatan menjadi pimpinan sebuah partai politik,

2. Kontrol sosial lebih banyak terjadi dilakukan oleh partai-partai politik,

3. Sistem ini memberikan alternatif banyak pilihan pada warga negara.

Indonesia tidak cocok dengan sistem multi partai. Hal itu dikarenakan sistem
pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Pemerintahan yang dipilih langsung
oleh rakyat, seharusnya lebih kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya, sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya
dalam menata kehidupan berdemokrasi ke arah yang lebih baik.
Ada beberapa alternatif sebagai bentuk upaya penyelesaian masalah yang terjadi di
dalam sistem multi partai diantaranya :

a. Mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlemen

b. Mengubah sistem kepartaian

c. Mengurangi jumlah partai politik

d. Melaksanakan pemilu presiden dan legislatif secara bersama-sama

B. SARAN

Pemerintah yang berperan sebagai penampung dan pelaksana aspirasi rakyat


sebaiknya lebih peka terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi, sehingga
ketidak stabilan perpolitikan dan kepentingan-kepentingan golongan di pemerintahan
akan terminimalisir.

C. DAFTAR PUSTAKA

Partono. 2010. Sistem Mulati Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas


Pemerintah ., Jakarta.

http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/438-sistem-multi-partai-
presidensial-dan-persoalan-efektivitas-pemerintah.html

Metrotvnews. 2011. Indonesia Dinilai Tak Cocok dengan Multipartai. Jakarta.

http://metrotvnews.com/metromain/newscat/polkam/2011/05/29/53063/Indonesia-
Dinilai-Tak-Cocok-dengan-Multipartai.html

TrionoMuhammad. Sistem Kepartaian. Jakarta.

http://pojokmastri.blogspot.com/2009/04/bahan-ajar-kuliah-pertemuan-ke-7.html

Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Redaksi Great Publisher. 2009 Buku Pintar Politik, Jogja Great Publisher

Anda mungkin juga menyukai