SISTEM KEPARTAIAN
Oleh :
T.A.2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya kami masih diberi kesehatan sehingga kami dapat menyusun makalah
ini dengan baik demi memenuhi salah satu mata kuliah Prodi Ilmu Administrasi
negara yaitu Sistem Kepartaian Dan Pemilu Di Indonesia.
Kami berharap dengan adanya makalah yang telah kami buat ini dapat
membantu kita semua untuk dapat memahami Sistem kepartaian dan pemilu di
indonesia. Dengan adanya makalah ini kami juga berharap dapat mempermudah kita
diruang lingkup perkuliahan maupun diluar perkuliahan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu sistem kepartaian di suatu negara disebut kokoh dan adaptabel, apabila
sistem kepartaian tersebut mampu menyatukan berbagai aspirasi menjadi satu
kesepakatan bersama yang mengutamakan kepentingan rakyat. Dari sudut pandang
ini, jumlah partai sangat menentukan keefektifan partai politik pada suatu negara
dalam mengkoordinir berbagai aspirasi yang mengutamakan kepentingan masyarakat
banyak atau rakyat. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus
memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai,
sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan.
Kedua, mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru
dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi
oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan
organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna
mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.
B. Rumusan Masalah
3. Apakah sistem kepartaian yang dianut oleh negara Indonesia sudah sesuai dengan
harapan bangsa Indonesia jika dikaitkan pula dengan sistem pemerintahan
presidensial yang dianut oleh Indonesia?
1. Mengetahui dan memahami sistem kepartaian yang dianut oleh negara Indonesia .
D. Manfaat penulisan
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
Penulisan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi atau acuan bagi pembaca
dalam memahami sistem kepartaian di suatu negara khususnya di Indonesia untuk
diterapkan dalam kehidupan berpolitik sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap
sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun 1950an –
1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang
stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama di masa
Orde Baru, thaun 1971, terdapat 10 partai politik, termasuk partai pemerintah
(Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden
Suharto melakukan restrukturisasi partai politik, yaitu melakukan penyederhanaan
partai melalui penggabungan partai-partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai
politik tersebut adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP
merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU,
Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai
nasionalis dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar
adalah partai politik bentukan pemerintah Orde Baru.
Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia pada
saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem multi partai,
banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem kepartaian yang dianut pada era
Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada juga yang menyebut sistem kepartaian
era Orde Baru adalah sistem partai dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi
antar partai politik yang ada pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada
adalah lebih dari dua parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi
partai. Namun jika dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga
partai politik di dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari
pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.
Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah parpol pemilu
1999, yaitu 24 parpol. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta di dalam pemilu
2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang batas (threshold).
Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam
UU No 3/1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk
mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-
kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas
tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung dengan partai lain atau
membentuk partai politik baru.
Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang mendapatkan suara
signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET). Meskipun persentasi ET dinaikan
dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu 2004 menghasilkan lebih banyak
partai politik yang mendapatkan suara signifikan dan lolos ET untuk pemilu 2009.
Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang mencapai ambang batas tersebut.
Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar, PDI. Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat,
PKS, dan PAN.
Pemilu 1995
Pemilu 1971
Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor
16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan
memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh
rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan
golongan fungsional oleh Presiden.
Pemilu 1977
Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975. Pemilu
ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang
digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem
proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2
Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di
mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh
Presiden Suharto.
Pemilu 1982
Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu
1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya
sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96
orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No.
2 tahun 1980.
Pemilu 1987
Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan
pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia
adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh
Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya,
yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
Pemilu 1992
Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem
Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan
varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi
DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah
adalah 97.789.534.[12] Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara
(68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara
(17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara
(10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75
orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.
Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut
yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di
sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45
orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.
Pemilu 1997
Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang
sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30
tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang;
dan di atas 65 tahun 2 orang.
Pemilu 1999
Pemilu 2004
Klasifikasi sistem kepartaian jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi
keanggotaannya maka partai politik dapat dibagi menjadi dua jenis; partai massa dan
partai kader. Jika dilihat dari segi sifat dan orientasinya partai politik dibagi dua
jenis; partai lindungan dan partai ideologi atau azas. Di dalam buku Dasar-dasar Ilmu
Politik yang ditulis Prof. Miriam Budiardjo sistem klasifikasi kepartaian yang lebih
banyak digunakan dalam ranah demokrasi yakni :
Sitem partai tunggal ini merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara,
maupun partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai
lainnya.
1. Sistem partai tunggal tidak pernah akan menjamin adanya perlindungan terhadap
HAM,
5. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat
negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi
negara dan hak azasi manusia.
7. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-
haknya.
Sistem dwi partai atau dua partai merupakan adanya dua partai dalam sebuah
negara atau pemerintahan atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan
dominan dari dua partai. Partai-partai ini terbagi kedalam partai yang berkuasa
(karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilu).
1. Dalam sistem distrik suara pemilu yang dihasilkan selalu suara mayoritas,
Sistem multi partai adalah adanya partai-partai politik yang lebih dari dua
partai dalam sebuah negara atau pemerintahan.
3. Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup
suatu bangsa, Sistem ini cenderung lamban dalam mengembangkan pertumbuhan
ekonomi makro maupun mikro,
D. Upaya Penyelesaian atas Ketidak efektifan Sistem Kepartaian yang Dianut oleh
Negara Indonesia
Sepertinya pilihan pertama ini sangat sulit, kalau tidak dibilang mustahil,
untuk dilakukan. Selain pengalaman traumatis yang pernah dialami Indonesia pada
masa demokrasi parlementer, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa sistem
pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Tidak mudah untuk melakukan
amandemen terhadap UUD, akan memerlukan perdebatan yang panjang dan pasti
akan mendapatkan resistensi yang sangat besar. Pilihan ini adalah tidak realistik
untuk dipilih.
Jumlah partai politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor
penyumbang tidak efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai
politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk
mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu “gemuk” karena melibatkan banyak
parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat
berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan. Jika saja
partai politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka koalisi parpol yang dibangun
juga tidak akan menjadi “gemuk”. Presiden terpilih idealnya berasal dari koalisi yang
sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50% dari jumlah kursi DPR
dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau tiga partai saja.
Usulan solusi ini lebih moderat jika dibandingkan dengan pilihan 1 dan 2
karena masih mempertahankan sistem presidensial dan sistem multi partai. Hanya
saja jumlah partai di Indonesia yang terlalu banyak ini perlu disederhanakan.
Penyederhanaan partai politik sebenarnya sudah dilakukan sejak pemilu 1999 dengan
mengimplementasikan ambang batas bagi partai politik untuk ikut serta dalam
pemilu berikutnya (Electoral Threshold) dan ambang batas bagi partai politik untuk
mengirimkan wakilnya di parlemen (Parliamentary Threshold) – akan diberlakukan
pada pemilu 2009.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Negara Indonesia menganut Sistem Kepartaian Multi Partai. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilu berjumlah lebih dari dua
partai. Di samping itu diisyaratkan pula pada pasal 6A (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam
pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik.
a. Sistem Partai Tunggal, yang mana pada sistem ini hanya ada satu partai yang
berkuasa pada suatu negara, sehingga tidak ada kompetisi partai dalam negara
tersebut. Namun dalam sistem ini partai-partai kecil tidak diberi keleluasaan.
5. Sistem partai tunggal tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat
negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi
negara dan hak azasi manusia.
7. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-
haknya.
b. Sistem Dwi Partai, yang mana dalam partai ini hanya terdapat dua partai yang
bersaing, sehingga dengan adanya sistem ini cenderung akan menghambat
perkembangan partai-partai kecil. Namun di sisi lain program-program
pemerintah akan berjalan dengan baik.
c. Sistem Multi Partai, yang mana pada sistem kepartaian ini terdapat lebih dari tiga
partai, sehingga program-program pemerintah cenderung tidak berjalan dengan
baik. Namun sistem ini lebih memberi kesempatan kepada setiap individu untuk
menjadi pemimpin.
3. Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup
suatu bangsa, Sistem ini cenderung lamban dalam mengembangkan
pertumbuhan ekonomi makro maupun mikro,
Indonesia tidak cocok dengan sistem multi partai. Hal itu dikarenakan sistem
pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Pemerintahan yang dipilih langsung
oleh rakyat, seharusnya lebih kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya, sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya
dalam menata kehidupan berdemokrasi ke arah yang lebih baik.
Ada beberapa alternatif sebagai bentuk upaya penyelesaian masalah yang terjadi di
dalam sistem multi partai diantaranya :
B. SARAN
C. DAFTAR PUSTAKA
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/438-sistem-multi-partai-
presidensial-dan-persoalan-efektivitas-pemerintah.html
http://metrotvnews.com/metromain/newscat/polkam/2011/05/29/53063/Indonesia-
Dinilai-Tak-Cocok-dengan-Multipartai.html
http://pojokmastri.blogspot.com/2009/04/bahan-ajar-kuliah-pertemuan-ke-7.html
Redaksi Great Publisher. 2009 Buku Pintar Politik, Jogja Great Publisher