Anda di halaman 1dari 10

MODUL 5

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK PADAT


DARI LIMBAH AMPAS TEBU

Kompetensi :
1. Mahasiswa mampu membuat pupuk organik padat dari limbah ampas tebu.
2. Mahasiswa mampu mempelajari pengaruh berat biomassa pada proses
pengomposan.
3. Mahasiswa mampu mengukur pH pupuk padat.
4. Mahasiswa mampu menghitung randemen pupuk padat.
5. Mahasiswa mampu menganalisa rasio C/N pupuk padat.

5.1 Pendahuluan
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan
mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan aktivitas
manusia menyebabkan bertambahnya sampah (Wellang, 2015).
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah
diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan dan sudah tidak
bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi
lingkungan dapat menyababkan pencemaran atau gangguan alam (Amurwarahaja,
2006).
Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah
organik dan sampah anaorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia
menunjukkan bahwa 80% merupakansampah organik, dan diperkirakan 78% dari
sampah tersebut dapat digunakan kembali (Outerbridge, ed, 1991). Salah satu
upaya mengatasi permasalahan adalah dengan melakukan daur ulang sampah
organik dengan penekanan pada proses pengompsan. Pengomposan merupakan
suatu teknik pengolahan limbah padat yang mengandung bahan organik
biodegradable (dapat diuraikan mikroorganisme). Selain menjadi pupuk organik
maka kompos juga dapat memperbaiki struktur tanah dan memperbesar
kemampuan tanah dalam menyerap air. Pengomposan alami akan memakan waktu
yang relatif lama, yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Pengomposan dapat
berlangsung dengan fermentasi yang lebih cepat dengan penambahan bioaktivator
effective mikroorganism 4 (EM4) (Damanhuri, 1988).
Salah satu sampah yang sering kita temui saat ini adalah ampas tebu.
Ampas tebu memiliki rasio C/N sebesar 110-120, Apabila bahan organik
mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah yaitu
10-12 maka bahan tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman dan apabila
lebih tinggi maka tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh
tanaman. Oleh karena itu ampas tebu tersebut lebih baik di dilakuan pengomposan
dimana prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan organik
sehingga sama dengan tanah. Dengan semakin tingginya rasio C/N bahan maka
proses pengomposan akan semakin lama karena rasio C/N harus diturunkan.
Untuk mengurangi waktu feermentasi tersebut dapat menambahkan mikroba
seperti EM4.

5.2 Dasar Teori


Menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang
tidak dipakai, tidak disenangi atau yang harus dibuang, yang umumnya berasal
dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi
bukan biologis (karena humanwaste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya
bersifat padat.
Purwendro dan Nurhidayati (2006), membagi sampah dalam tiga jenis,
yaitu :
1. Sampah Organik
Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan, sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah
organik basah dan sampah organik kering. Istilah sampah organik basah
dimaksudkan sampah yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi,
contohnya kulit buah dan sisa sayuran. Sedangkan bahan yang termasuk
sampah organik kering adalah sampah yang mempunyai kandnngan air
yang rendah, contohnya kayu, ranting kering dan dedaunan kering.
2. Sampah Anorganik
Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini berasal
dari bahan yang dapat diperbaharui (recycle) dan sampah ini sulit terurai
oleh jasad renik. Jenis sampah ini misalnya bahan yang terbuat dari plastik
dan logam.
3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Sampah B3 yang dikategorikan beracun dan berbahaya bagi manusia.
Umumnya sampah ini mengandung merkuri seperti kaleng bekas cat
semprot atau minyak wangi.

Pupuk organik (kompos) adalah pupuk yang sebagian besar atau


seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, dan atau
hewan yang telah mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunkan
untuk memasok bahan organik, memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pupuk organik merupakan hasil akhir peruraian bagian dari sisa tanaman dan
hewan. Pupuk organik berasal dari bahan organik yang mengandung berbagai
macam unsur, meskipun ditandai dengan adanya nitrogen dalam bentuk
persenyawaan organik, sehingga mudah diserap oleh tanah. Pupuk organik tidak
meninggalkan sisa asam anorganik di dalam tanah dan mempunyai kadar
persenyawaan C-organik yang tinggi. Pupuk organik kebanyakan tersedia di alam
(terjadi secara alamiah), misalnya kompos, pupuk kandang dan pupuk hijau
(Yuniwati et al, 2012).
Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat
menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pengomposan antara lain :
1. Ukuran bahan
Semakin kecil ukuran bahan baku maka semakin cepat proses pengomposan
karena permukaan bahan baku akan bertambah dan memperudah mikroorganisme
melakukan penguraian atau dekomposisi. Bahan organik yang memiliki ukuran
yang besar sebaiknya dicacah terlebih dahulu namun pencacahan harus
disesuaikan berdasarkan bahan organik tersebut.

2. Rasio C/N
Pengujian kimiawi termasuk pengkuran C, N, dan nisbah C/N merupakan
indikator kematangan kompos. Apabila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil
berarti kompos tersebut siap digunakan. Akan tetapi, nisbah C/N bahan kompos
yang baik dapat berkisar antara 5 dan 20.

3. Aerasi
Aerasi berkaitan dengan pengaturan udara terutama pada proses
pengomposan aerobik yang memerlukan udara. Dalam pelaksanaannya aerasi
dilkukan dengan cara membolak balikkan bahan organik yang dikomposkan agar
seluruh bahan yang terdekomposisi dapat dialiri oksigen.

4. pH
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 -
7,5.Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan
organik dan pH bahan itu sendiri.pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral.

5. Suhu
Suhu pada proses pengomposan sangat penting dikontrol untuk keperluan
mikroorganisme melakukan penguraian, suhu optimum yaitu 30°C -40°C. Apabila
suhu terlalu rendah atau pun terlalu tinggi maka bakteri yang ada pada
pengomposan akan mati. Organisme memegang peranan penting dalam
pembentukan limbah padat menjadi kompos.

6. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay
oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan
organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran
optimum untuk metabolisme mikroba.

7. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya
terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh
mikroba selama proses pengomposan.

8. Jumlah Mikroorganisme
Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, actinomycetes dan
protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme kedalam bahan yang
dikomposkan. Dengan bertambahnya jumlah mikroorganisme, diharapkan proses
pengomposan akan lebih cepat.

9. Aktivator
Proses pengoposan dapat dipercepat dengan bantuan aktivator. Fungsi
aktivator adalah membantu proses pengomposan baik secara alamiah atau
rekayasa agar dapat lebih dipercepat. Aktivator terdiri atas dua kategori yaitu
aktivator biotik dan aktivator abiotik. Salah satu contoh bioaktivator yang sering
digunakan yaitu EM4.

5.3 Percobaan
5.3.1 Tujuan
1. Pembuatan pupuk padat dari ampas tebu.
2. Mempelajari pengaruh konsentrasi bioaktivator pada proses pengomposan.
3. Mengukur pH dan mengukur kadar air.
4. Menghitung rendemen.
5.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah:
1. ampas tebu
2. sekam padi
3. kotoran ternak

5.3.3 Alat
Alat yang digunakan adalah :
1. kerancang untuk wadah 5. gelas ukur
fermentasi 6. labu ukur
2. plastik sebagai pembungkus 7. timbangan
3. sekop kecil 8. corong
4. termometer 9. cawan

5.4 Percobaan
5.4.1 Pembuatan Arang Ampas Tebu
Langkah-langkah pembuatan arang ampas tebu yaitu:
1. Ampas tebu yang didapat dijemur dibawah sinar matahri langsung,
perlakuan ini bertujuan untuk mempermudah proses pengarangan.
2. Ampas tebu yang telah dikeringkan lalu potong-potong kecil dengan
ukuran 2-3 cm di bakar untuk mendapatkan arang.

5.4.2 Pembuatan Kompos


1. Siapkan wadah untuk melakukan proses pengomposan
2. Arang ampas tebu dicampur dengan sekam dan kotoran sapi secara merata
dengan perbandingan 3:1:1 (ampas tebu 500 gr; sekam 166,67 gr; kotoran
sapi).
3. Tambahkan EM-4 2% sebanyak 100 ml.
4. Campuran tersebut di aduk hingga semua bahan tercampur rata
5. Kompos ditutup menggunakan plastik hitam.
6. Kompos di cek suhunya selama 4 hari berturut-turut dengan menggunakan
termometer (suhu tidak melebihi 50 ℃), kompos lalu dibalik dimana
bagian atas menjadi bagian bawah menggunakan sekop kecil.
7. Setelah 4 hari pertama, pembalikan dilakukan setiap 1 minggu sekali
sampai kompos titak berbau dan berwarna coklat kehitaman serta mudah
di hancurkan seperti tanah biasa, maka kompos dapat digunakan
8. Kompos diayak dan dilakukan pengujian kadar air, warna, bau, ukuran
partikel, pH, karbon, nitrogen dan rasio C/N.

5.4.3 Proses Pembuatan Larutan EM4 2%


1. Larutan EM4 100% dipipet dan dimasukkan kedalam gelas ukur sebanyak
2 ml.
2. Larutan EM4 100% lalu dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml.
3. Aquades ditambahkan kedalam labu ukur yang berisi larutan EM4 100%
sampai tanda batas yang berada pada labu ukur 100 ml.
4. Labu ukur lalu dikocok hingga larutan menjadi homogen.

5.4.4 Analisa Pupuk Organik


5.4.4.1 Kadar Air
1. Cawan dibersihkan lalu dikeringkan di dalam oven selama ± 15 menit dan
didinginkan di dalam desikator. Kemudian ditimbang berat cawan
kosongnya dan dicatat sebagai berat W.
2. Sampel pupuk organik padat ditimbang sebanyak 10 gram di dalam cawan
yang telah dikeringkan dan dicatat sebagai berat W1.
3. Sampel pupuk yang didalam cawan dipanaskan didalam oven pada
temperatur 105℃ selama 2 jam dan segera dimasukkan kedalam desikator
selama 15 menit lalu ditimbang.
4. Langkah kerja 5 diulangi hingga mendapatkan berat konstan dan dicatat
sebagai berat W2.
5. Kemudian hitung kadar air pupuk organik padat dengan rumus :
W 1−W 2
Kadar Air= x 100 %
W 1−W
Keterangan :
W = berat cawan kosong (gram)
W1 = berat cawan + pupuk organik padat awal (gram)
W2 = berat cawan + pupuk organik padat setelah dikeringkan (gram)

5.4.4.2 Kadar Karbon


1. Pupuk organik ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam
labu erlenmeyer 500 ml.
2. Tambahkan K2Cr2O7 0,5 N sebanyak 10 ml dengan pipet sambil
menggoyangkan erlenmeyer perlahan-lahan.
3. Tambahkan H2SO4 sebanyak 20 ml sambil digoyang hingga tercampur
dengan rata.
4. Campuran tersebut dibiarkan diruang asam hingga mencapai suhu kamar (
± 30 menit).
5. 100 ml aquades diencerkan dan ditambahkan 4 tetes indikator ferroi 0,025
M.
6. Kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4 0,5 N hingga berubah warna
menjadi merah anggur.
7. Penentuan kadar bahan organik dengan menggunakan rumus :
( me K 2 Cr 2 O7−me FeS O4 ) x 0,003 x x 100
Kadar karbon organik ( % ) =
bkm sample pupuk yang digunakan

Keterangan :  = 1,33
me = normalitas (N) x volume (v)
bkm = bobot kering oven 105 oC
% bahan organik = % karbon organik x 1,729

5.4.4.3 Kadar Nitrogen


1. Pupuk organik ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian dimasukkan ke
dalam labu kjedahl 25 ml.
2. Katalis campuran (Se, CuSO4 dan Na2SO4) ditambahkan sebanyak 1,9
gram.
3. 5 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu kjedahl kemudian
digoyangkan perlahan-lahan.
4. Selanjutnya ditambahkan 5 tetes parafin cair.
5. Panaskan larutan tersebut didalam ruang asam dengan api kecil, api
perlahan-lahan diperbesar hingga diperoleh suatu cairan yang berwarna
terang (hijau sampai dengan biru). Pemanasan diteruskan hingga 15 menit,
setelah api dimatikan biarkan labu kjedahl menjadi dingin.
6. Tambahkan aquades sebanyak 60 ml (goyangkan sebentar) kemudian
campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu destilasi.
7. Tambahkan 5 ml NaOH 50% didalam labu destilat dan didestilasi.
8. Destilat ditampung didalam erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml
H3BO4 4% dan 5% indikator Conway hingga mencapai 100 ml.
9. Hasil distilat dititrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna dari
hijau ke merah muda.
10. Penentuan kadar nitrogen pada sampel dapat menggunakan rumus :
HCl ( ml ) x N HCl x 14 x 100
Kadar Nitrogen total ( % ) =
bobot sampel kompos(mg)
DAFTAR PUSTAKA

Amurwaraharja, I.P. 2006. Analisa Teknologi Pengolahan Sampah Dengan


Proses Hirarki Analitik Dan metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di
Jakarta Timur Mkalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Azwar, Asrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber
Widya. Jakarta.
Damanhri, E. 1988. Optimasi LahanSanitary Landfill Suatu Konsep. Jurnal
Teknik Penyehatan Edisi Mei.
Outerbridge, Thomas. 1991. Limbah Padat Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Purwendri, S, dan Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan
Pestisida Organik Seri Agritekno. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wellang, R.M. 2015. Studi kelayakan Kompos Menggunakan Variasi
Bioaktivator EM4 Dan Ragi. Universitas Hasanuddin : Makassar.
Yuniwati, M. Iskarima dan Padulemba, A. 2012. Optimasi Kondisi Proses
Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik Dengan Cara Fermentasi
Mneggunakan EM4. Institut Sains & Teknologi AKPRIND : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai