LEUKEMIA
SKENARIO 3 :
Seorang anak laki-laki usia 18 bulan dibawa orangtua ke IGD dengan keluhan pucat dan mimisan,
Riwayat kelahiran, anak lahir pada usia kehamilan 32 minggu secara sectio caesarea, berat badan lahir
2200 gr dan panjang badan 44 cm, sesuai masa kehamilan. Pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan
berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm, dengan laju pernafasan 62 x / menit dengan retraksi
epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi 128 x/menit, lingkar kepala 46 cm, dan fontanella datar. Selain itu,
pada wajah didapatkan fasies mongoloid tersangka sindroma Down, abdomen distensi dan hernia
scrotalis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 % Leukosit
138.6 ribu/uL. Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8 %. Glukosa darah
sewaktu 34 mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus darah tepi didapatkan sel blas
69%, batang 1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas yang
dijumpai berukuran sedang hingga besar, kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki vakuola
dalam sitoplasma. Sebagian blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi blas ini
mengarah kepada mieloblas, monoblas, dan megakarioblas. Bagaimana Anda menjelaskan kasus yang
terjadi pada anak tersebut?
1.apa yang menyebabkan anak tersebut mengalami keluhan pucat dan mimisan?
Epistaksis sering dijumpai pada anak danangka kejadian epistaksis menurun setelahpubertas.1 Epistaksis
atau perdarahan darihidung, dijumpai pada 60% dari populasiumum, insiden terbanyak pada usia
kurang dari 10tahun dan lebih dari 50 tahun. Seringkali seorang anak dibawa berobat ke Unit Rawat
Jalan dengan keluhanperdarahan dari hidung yang berulang. Tidakbergantung pada tingkat keparahan
perdarahan, halini selalu menimbulkan kecemasan pada orang tua.
Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia11-14 tahun melaporkan bahwa 9%
mengalamiepisode epistaksis sering.
Berdasarkan atas daerah asal perdarahanepistaksis dibagi atas dua kategori, yaitu epistaksisanterior dan
posterior.Daerah asal perdarahan yangpaling sering adalah pleksus Kiesselbach, yaitudaerah septum
anterior tempat pembuluh darahyang berasal dari arteri karotid internal dan karotideksternal bertemu.
Daerah ini memiliki mukosa tipissehingga rentan terhadap paparan udara dantrauma.
Pada pemeriksaan fisis, setelah memeriksa keadaanumum pasien dan memastikan tanda vital
stabil,perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harusdiperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi
danpenyebab perdarahan. Lampu kepala atau cerminkepala, dan spekulum nasal sebaiknya digunakan
untukvisualisasi yang optimal.Jika pasien mengalamitrauma nasal, perhatikan adanya septal
hematoma,yang tampak berupa masa hitam kebiruan pada septumanterior memenuhi kavum nasal.
Terkadang dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasi. Jikatidak dijumpai sumber perdarahan
namun dijumpaidarah yang mengalir di tenggorokan, kemungkinanasal perdarahan dari daerah
posterior.
Perhatikan apakah terdapat hemangioma atauteleangiektasia pada kulit, yang dapat juga dijumpaidalam
kavum nasal. Jaundice, petekie, purpura,limfadenopati, dan hepatosplenomegali dapatmengarahkan
pada gangguan perdarahan. Pucat,takikardi, irama gallop, atau perubahan ortostatiktanda vital dapat
menunjukkan kehilangan darah yangsignifikan.Tekanan darah yang tinggi, meskipunjarang, dapat
menyebabkan epistaksis.
Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidungpertama kali ataupun yang tidak sering berulang,tidak
diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai dengan adanya riwayat trauma. Jika dicurigai
kehilangan darah yang bermakna, leukemia ataupunkeganasan, perlu dilakukan pemeriksaan
darahlengkap. Jika dicurigai adanya koagulopati, dilakukanpemeriksaan darah lengkap, prothrombin
time (PT),activated partial thromboplastin time (aPTT), danwaktu perdarahan.
2.kenapa pasiem tersebut bisa,memiliki wajah dengan fasies mongoloid tersangka sindrom down?
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down. Namun, diketahui bahwa kegagalan
dalam pembelahan sel inti yang terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang
sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan.
Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada
manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita
Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik
dengan kromosom lain.
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah anaphase lag, yaitu kegagalan dari
kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan
sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang
tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis.
Hall menuliskan bahwa Sindrom Down disebabkan oleh adanya kromosom ekstra pada pasangan
kromosom ke 21, yang dapat mengambil bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi, translokasi,
mosaik, dan duplikasi.Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang paling umum,
meliputi 95% dari semua kasus, yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel sehingga
terdapat 3 buah kromosom 21 pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak diwariskan walaupun
peluang untuk mendapat anak lain dengan Sindrom Down meningkat menjadi 1 banding 100 pada
populasi umum.
Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi 3-4% dari seluruh kasus, di mana lengan
panjang kromosom 21 menempel pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX, t(14;21q)), atau
pada kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom (45, XX, t(21q,21q)). Pada tipe ini salah satu dari
orang tua akan membawa materi kromosom dengan urutan yang tidak lazim sehingga diperlukan
konseling genetik.
Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja.
Pada bentuk ini, terdapat sel yang mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin sedikit
sel yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan yang ditimbulkan. Duplikasi bagian dari kromosom
21 (46, XX, dup(21q)) merupakan bentuk yang sangat jarang. Duplikasi ini akan menyebabkan
bertambahnya gen pada kromosom 21.
Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa karakteristik fisik khusus,
meliputi:
- bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microche phaly) dengan area
datar di bagian tengkuk.
- ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata usia 2 tahun).
- bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).- bentuk mulut
yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga tampak menonjol keluar.
- saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran
jika tidak diterapi.
- tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata.
- gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana mestinya.
Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120 karakteristik fisik yang digolongkan
sebagai Sindrom Down seperti yang tercantum dalam tabel berikut.
Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang menutupi sudut bagian dalam mata inilah yang
membuat John Langdon Down menamakannya dengan istilah “mongolism”. I s t i l a h ini kemudian
dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom Down pada tahun 1961.
3.bagai mana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab pada pasien tersebut?
Pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm, dengan laju
pernafasan 62 x / menit dengan retraksi epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi 128 x/menit, lingkar kepala
46 cm, dan fontanella datar.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 % Leukosit 138.6
ribu/uL. Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8 %. Glukosa darah sewaktu 34
mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus darah tepi didapatkan sel blas 69%, batang
1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas yang dijumpai
berukuran sedang hingga besar, kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki vakuola dalam
sitoplasma. Sebagian blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi blas ini mengarah
kepada mieloblas, monoblas, dan megakarioblas.
Distensi abdomen adalah kesan secara inspeksi adanya abdomen lebih besar dari ukuran biasa pada
anak. Distensi abdomenmungkin disebabkan oleh adanya masa abdomenatau oleh karena penumpukan
cairan atau gasDistensi abdomen pada bayi dan anak biasanya merupakan manifestasi suatu
penyakit.Distensi dapat timbul secara akut maupun kronik.
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan
gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya
terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Di antara
waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction.
Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction
ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang bersifat
teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga menyebabkan
perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. RadiasiRadiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinalpada Sindrom Down. Sekitar 30%
ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan
penyebab beberapa kejadian Sindrom Down di Berlin.
3. Penuaan sel telur. Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan
menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami
kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang
akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada
saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada
saat dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya
disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan
tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan
sel sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu
sendiri jugadapatberperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah. 4. Usia ibu. Wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan
dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun,
sebesar 1 dalam 400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1
dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, peningkatan hormon LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya nondisjunction.
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik
dengan kromosom lain.
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah anaphase lag yang merupakan
kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk
pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase.
Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis
ataupun mitosis.
terkait kelahiran, atau perdarahan berat. Faktor lain yang dapat menimbulkan
reaksi leukemoid adalah keganasan dan pemberian obat sepeti kortikosteroid.
Hemolytic disease of the newbornditandai banyaknya prekusor eritrosit di
darah tepi. bisa terjadi akibat dan adanya sel blas dalam sirkulasi. Seringpula
disertai hepatosplenomegali akibat hematopoiesis ekstramedular dan adanya
nodul kulit. Berbeda dengan leukemia akut, pada pemeriksaan darah tepi
pasien dengan reaksi leukemoid tidak dijumpai populasi sel monoklonal dan
pada sumsum tulang biasanya ditemukan peningkatan jumlah seri mieloid
pada berbagai tahap maturasi, dan bukan sel leukemik. Selain itu pada
pasien dengan reaksi leukemoid akibat infeksi biasanya ditandai dengan
retardasi pertumbuhan intra uteri dan atau mikrosefali.1,5,7 Transient abnormal
myelopoiesis(TAM) yang dikenal pula dengan transient myeloproliferative
disorder(TMD), pada sindroma Down memiliki gambaran klinis dan
laboratorium yang sulit dibedakan dengan AML, ditandai adanya blas,
terutama megakarioblas, di darah tepi. Pada neuroblastoma secara klinis
dapat dijumpai hepatosplenonogmegali dan blueberry muffin baby, namun
biasanya tidak ada hiperleukositosis.