Anda di halaman 1dari 10

MODUL 3

LEUKEMIA

SKENARIO 3 :

ANAK YANG MALANG

Seorang anak laki-laki usia 18 bulan dibawa orangtua ke IGD dengan keluhan pucat dan mimisan,
Riwayat kelahiran, anak lahir pada usia kehamilan 32 minggu secara sectio caesarea, berat badan lahir
2200 gr dan panjang badan 44 cm, sesuai masa kehamilan. Pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan
berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm, dengan laju pernafasan 62 x / menit dengan retraksi
epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi 128 x/menit, lingkar kepala 46 cm, dan fontanella datar. Selain itu,
pada wajah didapatkan fasies mongoloid tersangka sindroma Down, abdomen distensi dan hernia
scrotalis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 % Leukosit
138.6 ribu/uL. Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8 %. Glukosa darah
sewaktu 34 mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus darah tepi didapatkan sel blas
69%, batang 1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas yang
dijumpai berukuran sedang hingga besar, kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki vakuola
dalam sitoplasma. Sebagian blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi blas ini
mengarah kepada mieloblas, monoblas, dan megakarioblas. Bagaimana Anda menjelaskan kasus yang
terjadi pada anak tersebut?

1.apa yang menyebabkan anak tersebut mengalami keluhan pucat dan mimisan?

Epistaksis sering dijumpai pada anak danangka kejadian epistaksis menurun setelahpubertas.1 Epistaksis
atau perdarahan darihidung, dijumpai pada 60% dari populasiumum, insiden terbanyak pada usia
kurang dari 10tahun dan lebih dari 50 tahun. Seringkali seorang anak dibawa berobat ke Unit Rawat
Jalan dengan keluhanperdarahan dari hidung yang berulang. Tidakbergantung pada tingkat keparahan
perdarahan, halini selalu menimbulkan kecemasan pada orang tua.

Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia11-14 tahun melaporkan bahwa 9%
mengalamiepisode epistaksis sering.

Berdasarkan atas daerah asal perdarahanepistaksis dibagi atas dua kategori, yaitu epistaksisanterior dan
posterior.Daerah asal perdarahan yangpaling sering adalah pleksus Kiesselbach, yaitudaerah septum
anterior tempat pembuluh darahyang berasal dari arteri karotid internal dan karotideksternal bertemu.
Daerah ini memiliki mukosa tipissehingga rentan terhadap paparan udara dantrauma.

Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantungpada lokasi dan penyebab perdarahan.1


Kebanyakankasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik.Epistaksis idiopatik berulang adalah
perdarahan darihidung dan berulang, self limiting, yang penyebab spesifik tidak diketahui. Tidak ada
konsensus tentangfrekuensi atau keparahan rekurensi.
Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokalmaupun sistemik. Penyebab lokal termasuk
epistaksisidiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular,iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-
obatan sepertisemprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainanhematologi, lingkungan (temperatur,
kelembaban danketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagalorgan (uremia dan gagal hati),
serta penyebab lainmisalnya hipertensi.7 Sandoval dkk.8 yang meneliti 178anak dengan epistaksis
berulang mendapati bahwasepertiga di antaranya didiagnosis koagulopati, danpenyakit Von Willebrand
yang ditemukan pada 33 pasien.

Pada pemeriksaan fisis, setelah memeriksa keadaanumum pasien dan memastikan tanda vital
stabil,perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harusdiperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi
danpenyebab perdarahan. Lampu kepala atau cerminkepala, dan spekulum nasal sebaiknya digunakan
untukvisualisasi yang optimal.Jika pasien mengalamitrauma nasal, perhatikan adanya septal
hematoma,yang tampak berupa masa hitam kebiruan pada septumanterior memenuhi kavum nasal.
Terkadang dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasi. Jikatidak dijumpai sumber perdarahan
namun dijumpaidarah yang mengalir di tenggorokan, kemungkinanasal perdarahan dari daerah
posterior.

Perhatikan apakah terdapat hemangioma atauteleangiektasia pada kulit, yang dapat juga dijumpaidalam
kavum nasal. Jaundice, petekie, purpura,limfadenopati, dan hepatosplenomegali dapatmengarahkan
pada gangguan perdarahan. Pucat,takikardi, irama gallop, atau perubahan ortostatiktanda vital dapat
menunjukkan kehilangan darah yangsignifikan.Tekanan darah yang tinggi, meskipunjarang, dapat
menyebabkan epistaksis.

Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidungpertama kali ataupun yang tidak sering berulang,tidak
diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai dengan adanya riwayat trauma. Jika dicurigai
kehilangan darah yang bermakna, leukemia ataupunkeganasan, perlu dilakukan pemeriksaan
darahlengkap. Jika dicurigai adanya koagulopati, dilakukanpemeriksaan darah lengkap, prothrombin
time (PT),activated partial thromboplastin time (aPTT), danwaktu perdarahan.

2.kenapa pasiem tersebut bisa,memiliki wajah dengan fasies mongoloid tersangka sindrom down?

Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down. Namun, diketahui bahwa kegagalan
dalam pembelahan sel inti yang terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang
sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan.
Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada
manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita
Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.

Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik
dengan kromosom lain.
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah anaphase lag, yaitu kegagalan dari
kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan
sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang
tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis.

Hall menuliskan bahwa Sindrom Down disebabkan oleh adanya kromosom ekstra pada pasangan
kromosom ke 21, yang dapat mengambil bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi, translokasi,
mosaik, dan duplikasi.Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang paling umum,
meliputi 95% dari semua kasus, yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel sehingga
terdapat 3 buah kromosom 21 pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak diwariskan walaupun
peluang untuk mendapat anak lain dengan Sindrom Down meningkat menjadi 1 banding 100 pada
populasi umum.

Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi 3-4% dari seluruh kasus, di mana lengan
panjang kromosom 21 menempel pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX, t(14;21q)), atau
pada kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom (45, XX, t(21q,21q)). Pada tipe ini salah satu dari
orang tua akan membawa materi kromosom dengan urutan yang tidak lazim sehingga diperlukan
konseling genetik.

Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja.
Pada bentuk ini, terdapat sel yang mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin sedikit
sel yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan yang ditimbulkan. Duplikasi bagian dari kromosom
21 (46, XX, dup(21q)) merupakan bentuk yang sangat jarang. Duplikasi ini akan menyebabkan
bertambahnya gen pada kromosom 21.

KARAKTERISTIK FISIK ANAK SINDROM DOWN

Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa karakteristik fisik khusus,
meliputi:

- bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microche phaly) dengan area
datar di bagian tengkuk.

- ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata usia 2 tahun).

- bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).- bentuk mulut
yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga tampak menonjol keluar.

- saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran
jika tidak diterapi.

- garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease)

- penurunan tonus otot (hypotonia)


- jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan jalan napas lebih kecil sehingga
anak Sindrom Down mudah mengalami hidung buntu.

- tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata.

- dagu kecil (micrognatia)

- gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana mestinya.

- spot putih di iris mata (Brushfield spots).

Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120 karakteristik fisik yang digolongkan
sebagai Sindrom Down seperti yang tercantum dalam tabel berikut.

Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang menutupi sudut bagian dalam mata inilah yang
membuat John Langdon Down menamakannya dengan istilah “mongolism”. I s t i l a h ini kemudian
dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom Down pada tahun 1961.

3.bagai mana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab pada pasien tersebut?

Pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm, dengan laju
pernafasan 62 x / menit dengan retraksi epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi 128 x/menit, lingkar kepala
46 cm, dan fontanella datar.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 % Leukosit 138.6
ribu/uL. Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8 %. Glukosa darah sewaktu 34
mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus darah tepi didapatkan sel blas 69%, batang
1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas yang dijumpai
berukuran sedang hingga besar, kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki vakuola dalam
sitoplasma. Sebagian blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi blas ini mengarah
kepada mieloblas, monoblas, dan megakarioblas.

Diagnosis leukemia kongenital pada pasien kami berdasarkan dijumpainya


hiperleukositosis dengan blas 64% segera setelah lahir, disertai hydrops
fetalis dan distensi abdomen akibat hepatosplenomegali masif yang
kemungkinan disebabkan infiltrasi sel leukemik. Fasies mongoloid yang
dijumpai mengarahkan kecurigaan akan adanya sindroma Down.
Kemungkinan reaksi leukemoid pada pasien disingkirkan berdasarkan hitung
jenis darah tepi yang didominasi sel blas, air ketuban jernih, suhu afebris, dan
CRP yang normal tidak mendukung infeksi berat. Pemeriksaan fisik tidak
terlihat kelainan organ yang mengarahkan pada infeksi kongenital. Namun
demikian kemungkinan infeksi kongenital belum sepenuhnya dapat
disingkirkan karena pemeriksaan serologis untuk diagnosis sifilis danTORCH
belum dilakukan. Golongan darah ibu dan bayi sama, tidak menunjukkan
kemungkinan inkompatibilitas yang dapat menyebabkan hemolitik, serta tidak
terlihat tanda perdarahan. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan banyak
eritrosit makrositik dan peningkatan prekusor eritrosit, namun hal ini dapat
pula dijumpai pada AML kongenital. Sediaan hapus darah tepi menunjukkan
morfologi blas mengarah kepada seri mieloid, yaitu mieloblas, monoblas, dan
megakarioblas. Hal ini sesuai dengan berbagai literatur yang menyebutkan
bahwa sebagian besar kasus leukemia kongenital adalah LMA, dan pada
leukemia akut terkait sindroma Down merupakan leukemia megakarioblastik
akut. Namun demikian untuk memastikan jenis sel leukemik diperlukan
pemeriksaan immunophenotyping. Pemeriksaan sitogenetik untuk mendeteksi
trisomy 21 dan pemeriksaan molekuler untuk menemukan mutasi faktor
transkripsi GATA1 yang khas untuk sindroma Down belum dilakukan pada
pasien.

4.apa yang menyebabkan terjadinya abdomen distensi?

Distensi abdomen adalah kesan secara inspeksi adanya abdomen lebih besar dari ukuran biasa pada
anak. Distensi abdomenmungkin disebabkan oleh adanya masa abdomenatau oleh karena penumpukan
cairan atau gasDistensi abdomen pada bayi dan anak biasanya merupakan manifestasi suatu
penyakit.Distensi dapat timbul secara akut maupun kronik.

5.bagaimana bias terjadi hernia scrotalis pada pasien tersebut?

Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis, karena


keluar dari rongga peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang
terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia
masuk ke dalam kanalis inguinalis, jika cukup panjang akan menonjol
keluar dari anulus inguinalis eksternus. Apabilahernia inguinalis
lateralisberlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum, yangdisebut
hernia skrotalis. Kantong hernia berada dalam muskulus kremaster
terletak anteromedialterhadap vas deferendan struktur lain dalam
funicullus spermatikus. Pada anak,hernia inguinalis
lateralisdisebabkan oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya
prosesus vaginalis peritoneumsebagai akibat proses penurunan testis
ke skrotum. Hernia inguinalis lateralis merupakan bentuk hernia yang
paling sering ditemukan dan diduga mempunyai penyebab kongenital.
6.apa diagnosis pada pasien tersebut?

Leukemiakongenital merupakan kasus yang sangat jarang terjadi, namun


demikian perlu dipikirkan sebagai salah satu kelainan yang mungkin terjadi
bila pada fetus didapatkan hidrops fetalis atau sindroma Down. Dalam
menegakkan diagnosis keganasan ini perlu dibedakandengan kelainan lain
seperti reaksi leukemoid, TAM, dan neuroblastoma, yang memerlukan
kerjasama dan komunikasi yang baik antara bidang Fetomaternal,
Perinatologi, dan Patologi Klinik. Pemeriksaan immunophenotypingsangat
penting untuk menentukan jenis leukemia, yang akan sangat mempengaruhi
jenis terapi. Pemeriksaan ini diperlukan di RS sebagai rumah sakit rujukan.
7.apa saja faktor resiko terjadinya sindrom down?

Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan
gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya
terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Di antara
waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction.

Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction
ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang bersifat
teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga menyebabkan
perubahan jumlah maupun struktur kromosom.

2. RadiasiRadiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinalpada Sindrom Down. Sekitar 30%
ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan
penyebab beberapa kejadian Sindrom Down di Berlin.

3. Penuaan sel telur. Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan
menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami
kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang
akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada
saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada
saat dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya
disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan
tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan
sel sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu
sendiri jugadapatberperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah. 4. Usia ibu. Wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan
dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun,
sebesar 1 dalam 400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1
dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, peningkatan hormon LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya nondisjunction.

Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik
dengan kromosom lain.

Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah anaphase lag yang merupakan
kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk
pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase.
Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis
ataupun mitosis.

8.bagaimana prognosa pada pasien ini?

Leukemia kongenital memiliki prognosis buruk, hanya 23% pasien yang


bertahan setelah 24 bulan.Survival ALL neonatal dilaporkan <10%, dengan
kekambuhan pasca kemoterapi sekitar 73%. AML neonatal diperkirakan
meiliki survival sekitar 25%, dengan kekambuhan 25%.Hiperleukositosis,
hidrops fetalis, organomegali masif dengan gagal nafas merupakan faktor
yang meningkatkan risiko kematian, seperti yang dijumpai pada pasien ini.
Pasien kami meninggal pada usia 2 hari, sebelum tindakan diagnostik lebih
lanjut dapat dilakukan, yaitu immunophenotypingdan pemeriksaan sitogenetik,
sehingga jenis leukemia dan adanya kelainan sitogenetik yang khas untuk
sindroma Down belum dapat ditentukan.
Angka kejadian leukemia akut pada 5 tahun kehidupan meningkat 50 kali lipat
pada penderitasindroma Down dibandingkan dengan orang normal, dan untuk
LMA 150 kali lipat. WHO mengelompokkan kelainan hematologi pada
sindroma Down ke dalam kategori myeloid proliferation related to Down
syndrome, yang terdiri atas transient abnormal myelopoiesis(TAM) dan
myeloid leukemia associated with Down syndrome. TAM merupakan
proliferasi mieloid klonal yang bersifat transien, dijumpai pada sekitar 10%
neonatus dengan sindroma Down, sebagian besar di antaranya mengalami
remisi spontan tanpa pemberian terapi dalam 2-3 bulan, namun 20-30% akan
berkembang menjadi AML dalam 1-3 tahun. Gambaran klinis, morfologi, dan
immunophenotyping pada TAM dan AML serupa, sebagian besar merupakan
megakarioblastik. Selain trisomi 21, pada kedua keadaan ini dapat ditemukan
mutasi somatik gen yang mengkode faktor transkripsi GATA1, yang dianggap
patognomonik.

Leukemia kongenital dapat menunjukkan gambaran klinis bervariasi.


Hepatosplenomegali ditemukan pada 80% pasien, sedangkan limfadenopati
dijumpai pada 25% pasien. Sekitar 60% pasien menunjukkan infiltrasi sel
leukemik ke jaringan kulit, yang dikenal dengan leukemia kutis. Keadaan ini
ditandai nodul berwarna biru, merah, atau ungu yang terdistribusi ke seluruh
tubuh, menyebabkan terjadinya ‘blueberry muffin baby’. Pemeriksaan
laboratorium sebagian besar pasien didapati hiperleukositosis, yang dapat
menimbulkan komplikasi leukostasis, yaitu terjadinya sumbatan leukosit pada
pembuluh darah mikro, menyebabkan gagal jantung, gangguan pernafasan,
dan kelainan neurologis. Tanda gangguan pernafasan akibat leukostasis
biasanya tidak spesifik, meliputi takipnea, dispnea hipoksia, infiltrat pada paru,
atau gagal nafas. Kelainan neurologis dapat tampak sebagai kesadaran
somnolens atau koma, edema papil, distensi vena retina, dan
perdarahanretina.

Ekspansi sel leukemik pada sumsum tulang dan infiltrasi ekstramedular


menyebabkan terjadinya anemia, trombositopenia, dan atau neutropenia,
yang dapat mengakibatkan infeksi, perdarahan pada berbagai organ, dan
gangguan pertumbuhan. Tanda in uteroadanya leukemia neonatus dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, berupa hepatosplenomegali,
hidrops, dan polihidramnion. Pemeriksan fetoskopi dan dan darah umbilical
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis leukemia. Isaacs, seperti yang
dikutip oleh Linden1, melaporkan 5 dari 145 pasien pasien yang terdiagnosis
leukemia kongenital lahir dalam keadaan meninggal. Pada keadaan ini
plasenta terlihat berukuran besar, dan sel leukemik dapat ditemukan pada
organ ekstramedular.

Leukemia kongenital dapat menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium


menyerupai kelainan lain, sehingga beberapa literatur menetapkan kriteria
diagnosis sebagai berikut: (a) penyakit dijumpai segera setelah lahir (<30 hari)
(b) proliferasi leukosit imatur, (c) infiltrasi sel leukemik ke sumsum tulang atau
jaringan non hematopoetik, (d) tidak ada penyakit lain yang menyebabkan
reaksi leukemoid.5-6Hiperleukositosis pada leukemia kongenital, seperti yang
ditemukan pada pasien ini, harus dibedakan dengan kelainan lain dengan
gambaran mirip yaitu reaksi leukemoid, transient abnormal
myelopoiesis(TAM), dan keganasan kongenital lain seperti
neuroblastoma.1,5Reaksi leukemoid merupakan kelainan hematologi yang
ditandai peningkatan leukosit lebih dari 50.000/uL terutama terdiri atas
neutrofil matang, sebagai akibat kelainan di luar sumsum tulang tulang, atau
yang dikenal dengan istilah reaktif.7Penyebab terbanyak reaksi leukemoid
adalah infeksi, pada neonatus antara lain infeksi kongenital akibat
Cytomegalovirus, Sifilis, Toksoplasmosis, Rubella, Listeria monocytogenes,
Herpes, atau sepsis. Selain itu reaksi leukemoid pada neonatus dapat pula
terjadi pada penyakit hemolitik seperti inkompatibilitas golongan darah, dan
hipoksia.

terkait kelahiran, atau perdarahan berat. Faktor lain yang dapat menimbulkan
reaksi leukemoid adalah keganasan dan pemberian obat sepeti kortikosteroid.
Hemolytic disease of the newbornditandai banyaknya prekusor eritrosit di
darah tepi. bisa terjadi akibat dan adanya sel blas dalam sirkulasi. Seringpula
disertai hepatosplenomegali akibat hematopoiesis ekstramedular dan adanya
nodul kulit. Berbeda dengan leukemia akut, pada pemeriksaan darah tepi
pasien dengan reaksi leukemoid tidak dijumpai populasi sel monoklonal dan
pada sumsum tulang biasanya ditemukan peningkatan jumlah seri mieloid
pada berbagai tahap maturasi, dan bukan sel leukemik. Selain itu pada
pasien dengan reaksi leukemoid akibat infeksi biasanya ditandai dengan
retardasi pertumbuhan intra uteri dan atau mikrosefali.1,5,7 Transient abnormal
myelopoiesis(TAM) yang dikenal pula dengan transient myeloproliferative
disorder(TMD), pada sindroma Down memiliki gambaran klinis dan
laboratorium yang sulit dibedakan dengan AML, ditandai adanya blas,
terutama megakarioblas, di darah tepi. Pada neuroblastoma secara klinis
dapat dijumpai hepatosplenonogmegali dan blueberry muffin baby, namun
biasanya tidak ada hiperleukositosis.

Diagnosis leukemia kongenital pada pasien kami berdasarkan dijumpainya


hiperleukositosis dengan blas 64% segera setelah lahir, disertai hydrops
fetalis dan distensi abdomen akibat hepatosplenomegali masif yang
kemungkinan disebabkan infiltrasi sel leukemik. Fasies mongoloid yang
dijumpai mengarahkan kecurigaan akan adanya sindroma Down.
Kemungkinan reaksi leukemoid pada pasien disingkirkan berdasarkan hitung
jenis darah tepi yang didominasi sel blas, air ketuban jernih, suhu afebris, dan
CRP yang normal tidak mendukung infeksi berat. Pemeriksaan fisik tidak
terlihat kelainan organ yang mengarahkan pada infeksi kongenital. Namun
demikian kemungkinan infeksi kongenital belum sepenuhnya dapat
disingkirkan karena pemeriksaan serologis untuk diagnosis sifilis danTORCH
belum dilakukan. Golongan darah ibu dan bayi sama, tidak menunjukkan
kemungkinan inkompatibilitas yang dapat menyebabkan hemolitik, serta tidak
terlihat tanda perdarahan. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan banyak
eritrosit makrositik dan peningkatan prekusor eritrosit, namun hal ini dapat
pula dijumpai pada AML kongenital. Sediaan hapus darah tepi menunjukkan
morfologi blas mengarah kepada seri mieloid, yaitu mieloblas, monoblas, dan
megakarioblas. Hal ini sesuai dengan berbagai literatur yang menyebutkan
bahwa sebagian besar kasus leukemia kongenital adalah LMA, dan pada
leukemia akut terkait sindroma Down merupakan leukemia megakarioblastik
akut. Namun demikian untuk memastikan jenis sel leukemik diperlukan
pemeriksaan immunophenotyping. Pemeriksaan sitogenetik untuk mendeteksi
trisomy 21 dan pemeriksaan molekuler untuk menemukan mutasi faktor
transkripsi GATA1 yang khas untuk sindroma Down belum dilakukan pada
pasien.

Anda mungkin juga menyukai