M
NIM: 180610024
MODUL 3
LEUKEMIA
SKENARIO 3 :
Seorang anak laki-laki usia 18 bulan dibawa orangtua ke IGD dengan keluhan pucat dan
mimisan, Riwayat kelahiran, anak lahir pada usia kehamilan 32 minggu secara sectio caesarea, berat
badan lahir 2200 gr dan panjang badan 44 cm, sesuai masa kehamilan. Pemeriksaan fisik saat di IGD
didapatkan berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm, dengan laju pernafasan 62 x / menit dengan
retraksi epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi 128 x/menit, lingkar kepala 46 cm, dan fontanella datar.
Selain itu, pada wajah didapatkan fasies mongoloid tersangka sindroma Down, abdomen distensi dan
hernia scrotalis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 %
Leukosit 138.6 ribu/uL. Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8 %. Glukosa
darah sewaktu 34 mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus darah tepi didapatkan sel
blas 69%, batang 1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas
yang dijumpai berukuran sedang hingga besar, kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki
vakuola dalam sitoplasma. Sebagian blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi
blas ini mengarah kepada mieloblas, monoblas, dan megakarioblas. Bagaimana Anda menjelaskan kasus
yang terjadi pada anak tersebut?
Jump 1
1) Leukemia: Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak teratur dan tidak terkendali dengan
manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi..keganasan dari hematopoesis,akibat
penurunan proliferasi darah
2) Retraksi epigastrial: Penarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam Pleural tap, Membuang
kelebihan cairan yang berada diantara paru dan dinding dada
3) Fontanela: adalah bagian lunak di antara pelat tengkorak kepala pada bagian atas dan belakang
kepala bayi
4) Facies mongoloid : sebutan lama dari sindrom down salah satu ciri dr orang yg mengidap trisomy 21
5) CRP Kuantitatif: px hitungan kadar protein-C, sbg penanda peradangan
6) Syndrome down: merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21 (trisomy
21),Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri
saat terjadi pembelahan. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan
mental anak ini pertamakali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down.
7) Abdomen distensi: ggambarkan kejadian yang terjadi ketika ada zat (gas atau cairan) menumpuk di
dalam perut
8) Mieloblas : sel termuda diantara seri granulosit. Sel ini memiliki inti
bulat yang berwarna biru kemerah-merahan, dengan satu atau lebih anak inti,
kromatin inti halus dan tidak menggumpal. Sitoplasma berwarna biru dan sekitar
inti menunjukkan warna yang lebih muda. Mieloblast biasanya lebih kecil
daripada rubriblast dan sitoplasmanya kurang biru dibandingkan rubriblast.
Jumlahnya dalam sumsum tulang normal adalah < 1% dari jumlah sel berinti.
9) Megakarioblas: sel precursor paling muda yang membentuk trombosit
10) Monoblas: adalah bentuk muda sistem penghancuran benda asing (fagositosis)
11) Sel blast: sel darah putih tidak normal yg belum matur
Jump 2
Epistaksis sering dijumpai pada anak dan angka kejadian epistaksis menurun setelahpubertas.1
Epistaksis atau perdarahan darihidung, dijumpai pada 60% dari populasiumum, insiden terbanyak pada
usia kurang dari 10tahun dan lebih dari 50 tahun. Seringkali seorang anak dibawa berobat ke Unit Rawat
Jalan dengan keluhanperdarahan dari hidung yang berulang. Tidakbergantung pada tingkat keparahan
perdarahan, halini selalu menimbulkan kecemasan pada orang tua.
Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia11-14 tahun melaporkan bahwa 9%
mengalamiepisode epistaksis sering.
Berdasarkan atas daerah asal perdarahanepistaksis dibagi atas dua kategori, yaitu epistaksisanterior dan
posterior.Daerah asal perdarahan yangpaling sering adalah pleksus Kiesselbach, yaitudaerah septum
anterior tempat pembuluh darahyang berasal dari arteri karotid internal dan karotideksternal bertemu.
Daerah ini memiliki mukosa tipissehingga rentan terhadap paparan udara dantrauma.
Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokalmaupun sistemik. Penyebab lokal termasuk
epistaksisidiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular,iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-
obatan sepertisemprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainanhematologi, lingkungan (temperatur,
kelembaban danketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagalorgan (uremia dan gagal hati),
serta penyebab lainmisalnya hipertensi.
Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokalmaupun sistemik. Penyebab lokal termasuk
epistaksisidiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular,iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-
obatan sepertisemprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainanhematologi, lingkungan (temperatur,
kelembaban danketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagalorgan (uremia dan gagal hati),
serta penyebab lainmisalnya hipertensi.7 Sandoval dkk.8 yang meneliti 178anak dengan epistaksis
berulang mendapati bahwasepertiga di antaranya didiagnosis koagulopati, danpenyakit Von Willebrand
yang ditemukan pada 33 pasien.
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian pada
umur 2-5 tahun
3 kenapa pasien tersebut bisa,memiliki wajah dengan fasies mongoloid tersangka sindrom down serta
faktor risiko tjs SD, apakah ada hubungannnya dg leukemia?
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down. Namun, diketahui bahwa kegagalan
dalam pembelahan sel inti yang terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang
sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan.
Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada
manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita
Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik
dengan kromosom lain.
Ekspansi sel leukemik pada sumsum tulang dan infiltrasi ekstramedular menyebabkan terjadinya
anemia(sbg penyebab timbulny puct dan gejala lain dr anemia) trombositopenia (sebagai penyebab
epitkaksis/mimisan) dan atau neutropenia, yang dapat mengakibatkan infeksi, perdarahan pada
berbagai organ, dan gangguan pertumbuhan.
Faktor resiko
Px fisik
Pemeriksaan fisik tidak terlihat kelainan organ yang mengarahkan pada infeksi kongenital. Namun
demikian kemungkinan infeksi kongenital belum sepenuhnya dapat disingkirkan karena pemeriksaan
serologis untuk diagnosis sifilis dan TORCH belum dilakukan
Px lab
Pemeriksaan laboratorium sebagian besar pasien didapati hiperleukositosis, yang dapat menimbulkan
komplikasi leukostasis, yaitu terjadinya sumbatan leukosit pada pembuluh darah mikro, menyebabkan
gagal jantung, gangguan pernafasan, dan kelainan neurologis.
menyerupai kelainan lain, sehingga beberapa literatur menetapkan kriteria diagnosis sebagai
berikut: (a) penyakit dijumpai segera setelah lahir (<30 hari) (b) proliferasi leukosit imatur,
(c) infiltrasi sel leukemik ke sumsum tulang atau jaringan non hematopoetik, (d) tidak ada
penyakit lain yang menyebabkan reaksi leukemoid. Diagnosis leukemia kongenital pada pasien kami
berdasarkan dijumpainya
hiperleukositosis dengan blas 64% segera setelah lahir, disertai hydrops fetalis dan distensi
leukemik. Fasies mongoloid yang dijumpai mengarahkan kecurigaan akan adanya sindroma
Down. Kemungkinan reaksi leukemoid pada pasien disingkirkan berdasarkan hitung jenis
darah tepi yang didominasi sel blas, air ketuban jernih, suhu afebris, dan CRP yang normal
tidak mendukung infeksi berat. Pemeriksaan fisik tidak terlihat kelainan organ yang
DD
Limfoma maligna
Leukemoid reaction
Anemia aplastik
Mononukleus infeksiosa
ITP
menumpuk di dalam perut yang menyebapkan perut atau pinggang mengembung melebihi ukuran
normal. Kejadian ini biasanya merupakan gejala dari suatu penyakit atau adanya pengurangan fungsi
anggota tubuh. Orang yang mengalami kondisi ini sering menggambarkannya sebagai "merasa
kembung." Penderita sering mengalami sensasi kenyang, tekanan perut dan mungkin mual
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-rata 4 – 4,5
kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun.
8 penyebab hernia scrotalis pada anak tsb dan hubungan dengan leukemia?
Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis, karena keluar dari rongga peritoneum
melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian
hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis, jika cukup panjang akan menonjol keluar dari anulus inguinalis
eksternus. Apabilahernia inguinalis lateralisberlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum, yangdisebut
hernia skrotalis. Kantong hernia berada dalam muskulus kremaster terletak anteromedialterhadap vas
deferendan struktur lain dalam funicullus spermatikus. Pada anak,hernia inguinalis lateralisdisebabkan
oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneumsebagai akibat proses
penurunan testis ke skrotum. Hernia inguinalis lateralis merupakan bentuk hernia yang paling sering
ditemukan dan diduga mempunyai penyebab kongenital.
Pemeriksaan fisik
- Apakah ditemukan tanda dan gejala utama LMA yaitu adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi
yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang
- Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di
ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina
- Perdarahan yang lebih berat terjadi apabila disertai DIC dan dijumpai pada kasus LMA tipe M3
- Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-
organ tsb harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam
- Pada kulit, ditemukan benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit
- Adanya rasa nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan
- Pembengkakan gusi
-Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk melihat apakah ada sel leukemia pada cairan
serebrospinalis. Pada anak dengan leukemia, lumbal pungsi dilakukan sebagai
terapi metastasis ke susunan saraf pusat untuk kemoterapi. Melalui lumbal pungsinya
diberikan bahan kemoterapi menuju cairan serebrospinal sehingga mencegah sel- sel leukemia ada di
sistem saraf pusat.
dengan leukemia hal ini jarang dilakukan. Biopsi kelenjar limfe dilakukan
Pengecatan sitokimia
- Pengecatan sitokima yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO).
- Kedua pengecatan sitokimia tsb akan memberikan hasil (+) pada pasien LMA tipe M1, M2, M3,
M4 dan M6.
Immunophenotyping
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang dikembangkan
berdasarkan reaksi antigen dan antibodi.
- Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel tsb dapat diidentifikasi dengan antibodi
yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tigkat maturasinya yang lebih akurat.
- Selain berfungsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai
prognostik dan terapi.
Terapi suportif
Hygiene
Antibiotic
Transfuse darah
Cangkok sumsum tulang (CST) merupakan salah satu alternatif untuk menangani penderita LMA. Dikenal
3 macam CSTyaitu :'l) CSTalogenikyang memerlukan sumsum tulang dari donor orang lain, 2) CST
autolog yang memerlukan sumsum tulang dari dirinya sendiri sebagai donor,3) PBCST (Peiferal Blood
Sten Cells Transplantation)
Sampaisaatini CSTalogenikmerupakan terapi anti leukemik yang terbaik, mengingat angka relapsnya
yang paling rendah. Problema utama pada CST alogenik dan PBCST alogenik adalah : sulitnya mencari
donor yang kompatibel, tingkat mortalitas dini yang tinggi yang disebabkan oleh toksisitas pada organ,
infeksi, rejeksi dan cvHD. Kecenderungan lerjadinya penurunan tingkat
mortalitas yang dini dan meningkatnya "leu- kemic free survival", disebabkan karena i seleksi yang baik
untuk penderita, perbaikan lerapi suportif, radiasi terhadap sel T untuk mencegah GvHD, maupun
penggunaan Antithymocyte globulin dan Thiotepa untuk mencegah rejeksi.
CST autolog juga makin banyak diguna- kan. CST aulolog ini angka mortalitas dini rendah. tetapi angka
relapsnya tinggi. Penggunaan purgirg meningkatkan jumlah penderita LMA yang dapat mencapai RK.
Prognosis leukemia megakarioblastik akut di orang dewasa atau pun anak-anak buruk, kecuali diburuk,
kecuali di anak yang bersindroma Down. Prognosis leukemia megakarioblastik akut pada sindroma
Down lebih baik dibanding penderita leukemia megakarioblastik akut tanpa sindroma Down.
Leukemia kongenital memiliki prognosis buruk, hanya 23% pasien yang bertahan
setelah 24 bulan.6 Survival ALL neonatal dilaporkan <10%, dengan kekambuhan pasca
kemoterapi sekitar 73%. AML neonatal diperkirakan meiliki survival sekitar 25%, dengan
kekambuhan 25%.1 Hiperleukositosis, hidrops fetalis, organomegali masif dengan gagal nafas
merupakan faktor yang meningkatkan risiko kematian, seperti yang dijumpai pada pasien ini.
Pasien kami meninggal pada usia 2 hari, sebelum tindakan diagnostik lebih lanjut dapat
dan adanya kelainan sitogenetik yang khas untuk sindroma Down belum dapat ditentukan.
Faktor-faktir yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis
2. Umur pasien pada saat diagnosis dan hasil pengobatan kurang dari 2 tahun
5. Respon terapi yang buruk pada saat pemberian kemoterapi inisial, dilihat
Gagal jantung
Gangguan endokrin
Neoplasma lainnya
Komplikasi dini :
• Infesi serius
• Alopecia
• Emesis
• Malnutrisi
• Kematian
Komplikasi lanjut :
• Kelainan Pertumbuhan
• Malignansi sekunder
• Kematian
JUMP 4 Skema
Leukemia
Akut Kronik
Anamnesis
DIAGNOSA
Px Fisik
Rujukan
Px penunjang
TATALAKSANA (FARMAKOLOGI &
NONFARMAKOLOGI)
Jump 5
1 Leukemia akut
a (anak)
b (dewasa)
2 Leukemia kronik
a CLL
b CML
Jump 7
LO 1. LEUKEMIA AKUT
a. Leukemia Akut pada Anak
Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) Leukimia limfoblastik akut merupakan leukemia yang
berasal dari sel induk limfoid dimana terjadi proliferasi monoklonal dan ekspansi progresif dari
progenitor limfosit B dan T yang imatur dalam sumsum tulang dan beredar secara sistemik.
Proliferasi dan akumulasi dari sel leukemia menyebabkan penekanan dari hematopoesis
normal.
Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak
yaitu 25-30% dari seluruh kanker pada anak dan merupakan 78% dari seluruh leukemia pada
anak. Insidens LLA semakin meningkat setiap tahun. Insidens LLA di Eropa Barat adalah
4/100.000 anak dan 3-3,5/100.000 anak di Eropa timur (Coebergh, 2006). Insidens LLA di
Amerika Serikat mencapai 3/100.000 anak usia kurang dari 20 tahun, dengan puncak insidens
pada usia 3-5 tahun (Hunger dan Mullighan, 2015). Leukimia limfoblastik akut lebih banyak
terjadi pada anak di Asia dibandingkan di Eropa Timur dan Amerika Serikat, dengan insidens di
Jepang mencapai 4/100.000 anak dan 1000 kasus baru setiap tahunnya (Permono dan
Ugrasena, 2010). Penelitian yang dilakukan pada unit kanker di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada
tahun 1998 sampai 2009 diperoleh data bahwa dari seluruh pasien anak yang dirawat dengan
keganasan, sebanyak 720 kasus atau 59% merupakan leukemia dan sebanyak 68,9% dari kasus
leukemia tersebut adalah LLA.
Etiologi & Faktor yang mempengaruhi
Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa
faktor risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa faktor risiko tersebut antara
lain faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi non-ion, hidrokarbon, zat-zat kimia, alkohol,
rokok maupun obat-obatan (Belson dkk., 2007). Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor
genetik yaitu riwayat keluarga, kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga
dipengaruhi Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu saat
melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir (Ross dkk., 1994).
Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa anak-anak, pestisida, fungisida serta
sampo insektisida juga merupakan faktor risiko terjadinya LLA (Menegaux dkk., 2006).
Gangguan regulasi sitem imun sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama
kehidupan juga dapat menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak (Roman dkk., 2007).
Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan magnet,
pemakaian marijuana, dan diet.
Patofisiologi
Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi, kelainan
sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi. Sebagian besar LLA mempunyai
homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan
bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. yang berproliferasi hingga mencapai
jumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui,
namun pada penelitian mengenai proses leukemiogenesis pada binatang percobaan ditemukan
bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA. Kemampuan
ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu kelainan genetik tertentu seperti
translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler. Hal ini menguatkan anggapan bahwa
leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya suatu klonal
yang abnormal.
Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan progresif seperti
penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal jantung akibat anemia. Pada LLA
sering terjadi neutropenia yang menyebabkan infeksi dan demam. Trombositopenia dapat
menyebabkan perdarahan seperti ptekie, ekimosis atau manifestasi perdarahan lainnya.
Keluhan pada sistem saraf pusat (SSP) .
Diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan fisik & Penunjang)
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan darah tepi.
1. Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi
normokromik normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi
leukemia yang lebih panjang, sedangkan kadar Hb yang tinggi menunjukkan
leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat (Permono dan Ugrasena, 2010;
Lanzkowsky, 2011).
2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat (Lanzkowsky, 2011).
3. Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal (Lanzkowsky,
2011).
4. Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada
pasien dengan leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak tampak.
Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit lebih dari 10
x 103
/µL
Tatalaksana (Farmakologi & Nonfarmakologi)
Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang menyertai leukemia
seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat anti jamur, pendekatan nutrisi
yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif bertujuan untuk membunuh sel-sel leukemia
melalui kemoterapi dengan menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatiska. Prinsip
kerjanya adalah melalui efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau
fungsi DNA sel leukemia.
Berdasarkan risiko relapsnya pengobatan LLA dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan untuk
risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam risiko standar apabila terdiagnosis
saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit 10 tahun, jumlah leukosit >50 x 103 /µL,
terdapat massa di mediastinum, terdapat keterlibatan SSP dan testis atau jumlah limfoblast
absolut pada sirkulasi 1000/mm3 . Klasifikasi risiko standar dan risiko tinggi menentukan
protokol kemoterapi yang dipergunakan.
Prognosis & Komplikasi
Komplikasi pengobatan LLA pada bayi bisa akut dan jangka panjang.
Hipogammaglobulinemia fisiologi pada bayi dapat berlarut-larut dan dengan mielosupresi,
infeksi bakteri dan jamur dan infeksi jalur vena sentral sering terjadi. Sepsis, mikositis,
perdarahan, toksisitas kardiak, dan pneumonitis interstisial menyebabkan kematian yang lebih
sering terjadi pada bayi dibandingkan pada anak.
Faktor prognosis adalah faktor yang memprediksi hasil akhir suatu penyakit. Hasil akhir
yang dimaksud dapat berupa kematian atau kesembuhan. Terdapat beberapa faktor prognosis
lain yang tidak secara universal diterapkan untuk stratifikasi risiko seperti Hb dan trombosit.
Faktor-faktor ini digunakan oleh kelompok uji klinis ketika menentukan intensitas dan durasi
terapi, serta dikatakan memengaruhi angka kesintasan pada LLA.
c. Penderita sindrom down, suatu penyakit yang disebabkan oleh kromosom abnormal mungkin
meningkatkan risiko leukemia, yang memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari
orang normal.
d. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia menjadi retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada
dewasa.
Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat
produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Sel darah putih
terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel
leukemia memblok produksi sel darah putih yang normal, merusak kemampuan tubuh
terhadap infeksi. Sel leukemia juga dapat merusak produksi sel darah lain pada
sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari sitem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan yang terjadi sering kali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom) menganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel yang
membelah tidak dapat terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini
menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan
sel-sel darah normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya,
Manifestasi klinis
Gejala-gejala pada leukemia akut yang nampak dan memburuk secara cepat
antara lain muntah, bingung, kehilangan kontrol otot, dan epilepsi. Leukemia juga
antara lain yaitu kulit pucat (karena anemia), infeksi yang berulang-ulang seperti sakit
tenggorokan, pendarahan normal yang keluar dari gusi dan kulit, periode yang berat
pada wanita, kehilangan nafsu makan dan berat badan, gejala-gejala seperti flu antara
lain kecapekan dan tidak enak badan, luka di tulang sendi, perdarahan hidung dan
lebih mudah mendapat memar dari biasanya tanpa sebab yang jelas.
Minimal (3%)
M1 Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-20%)
abnormal (5-10%)
M5 Leukimia Monositik Akut (2-9%)
M6 Eritroleukimia (3-5%)
Klasifikasi tersebut kemudian digantikan dengan klasifikasi menurut World Health Organization
(WHO) dengan kriteria abnormalitas genetika atau genetika molekuler.
a. Darah tepi
Terdapat sel blas pada darah tepi yang merupakan gejala leukemia.
b. Sumsum tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan gambaran yang monoton
yaitu hanya terdiri dari sel lomfopoetik patologis sedangkan sistem lain
tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan
adanya leukemia gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
yang matang, tanpa sel antara). Sistem hemopoesis normal mengalami depresi.
Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam
c. Biopsy limpa
jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, ranulosit, pulp cell.
d. Kimia darah
hipogamaglobulinemia.
Tatalaksana (Farmakologi&Nonfarmakologi)
Menurut Desmawati (2013) terapi pengobatan yang dapat diberikan pada
yang berat dan perdarahan masih, dapat diberikan tranfusi trombosit dan bila
Setelah tercapai, remisi dosis dapat dikurangi sedikit demi sedikit dan
akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti
kandidiasis.
d. Imunoterapi
jumlah sel leukemia yang cukup rendah, kemudian imunoterapi mulai diberikan
AML yang tidak diterapi bersifat fatal dengan median survival 11-20 minggu. Saat ini
penyakit ini sembuh (tidak terjadi kekambuhan dalam 5 tahun) pada 35-40% pasien dewasa usia
≤ 60 tahun dan 5-15% pasien usia > 60 tahun.
LO. 2 LEUKOMIA KRONIK
a.Chronic Lymphoid Leukemia (CLL)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai
oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah.
Epidemiologi
LLC merupakan kelainan ringan mengenail individu usia 50 sampai 70 tahun. Manifestasi
pasien tidak menunjukan gejala, baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penangan
penyakit lain. Usia rerata pasien saat didiagnosis berusia 65 tahun, hanya 10-15% kurang dari
50 tahun. Angka kejadian di negara barat 3/100.000. Pada populasi geriatri, insiden di atas usia
70 tahun sekitar 50/100.000. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah 2,8:1 perempuan
tua. Kebanyakan pasien memiliki ras kaukasia dan berpendapatan menengah.
Etiologi
Penyebab LLK belum diketahui, ada kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas
kromosom, onkogen dan retrovirus (RNA tumour virus).
Patofisisologi
Pada CLL, banyak sel induk darah yang berubah menjadi B-limfosit (sel leukemia) tidak
normal yang dewasa namun tidak bisa berfungsi dengan baik pada sumsum dan darah.
B-limfosit yang tidak normal ini hidup lebih lama dari biasanya dan terkumpul di dalam
darah. Sel ini tidak bisa memerangi infeksi dengan baik. Hal ini menyebabkan infeksi,
anemia, dan mudahnya terjadi perdarahan. Beberapa CLL diasosiasikan dengan gejala
penyakit auto-imun.
Manifestasi klinis
Leukemia kronis biasanya tidak menimbulkan gejala apa pun pada stadium awal.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada saat melakukan tes darah rutin. Beberapa pasien CLL
terdiagnosis ketika kelenjar getah bening yang bengkak ditemukan oleh dokter pada saat
melakukan pemeriksaan rutin.
• Demam dan sering mengalami infeksi
• Merasa lelah (akibat anemia)
• Mudah berdarah atau mengalami perdarahan secara berlebihan
• Pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak atau selangkangan tanpa rasa sakit
• Kehilangan berat badan yang tidak jelas penyebabnya
Diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan fisik & Penunjang)
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menimbulkan gejala,. Pada pasien
dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan
kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihan/olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang terjadi pada awalnya, tetapi
semakin mencolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B
neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami
limfadenopati, splenomegali dan hepato megali. Gambaran laboratorium ditemukan adanya
limfositosis, anemia normositik normokrom terdapat pada stadium lanjut akibat infiltrasi
sumsum tulang atau hipersplenisme.Trombositopenia terjadi pada banyak pasien. Pada aspirasi
sumsum tulang menunjukkan adanya penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit.
Tatalaksana (Farmakologi & Nonfarmakologi)
CLL umumnya merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan-lahan. Biasanya
penyakit ini diderita oleh pasien berusia lanjut. Tindakan pengobatan biasanya tergantung pada
usia pasien, adanya gejala penyakit, fase penyakit, dan kesehatan pasien secara umum.
Sebagian besar pasien, terutama mereka yang telah didiagnosis dengan penyakit stadium awal,
tidak menunjukkan gejala apa pun pada saat diagnosis dan tidak membutuhkan terapi.
Non-Farmakologi
Dokter mungkin akan merekomendasikan observasi (menunggu sambil memperhatikan)
dengan pemeriksaan rutin, untuk memantau kondisi kesehatan dan kemajuan penyakit pasien
dengan saksama. Makan dan tidur dengan kualitas yang baik: Makan hingga kenyang sangatlah
penting, khususnya jika Anda harus menghadapi tuntutan fisik secara ekstra karena leukemia
dan tindakan pengobatannya. Anda harus menetapkan pola makan yang seimbang yang
menyediakan energi dan nilai gizi yang baik bagi tubuh. Makanan harus dimasak hingga
matang. Olahraga secara berkala, istirahat dan tidur yang berkualitas juga bisa membantu.
Pasien dengan CML atau CLL didorong untuk menjalani gaya hidup yang normal seperti
sediakala.
Farmakologi
Tindakan pengobatan biasanya dimulai ketika penyakit tersebut telah berkembang atau
mulai menunjukkan gejala penyakit. Pada tahap ini, pengobatan bisa dilakukan dengan
kemoterapi atau penggunaan antibodi monoklonal. Pasien juga mungkin akan memerlukan
transfusi darah atau tindakan pengobatan pendukung apabila terjadi komplikasi seperti infeksi
atau anemia. Minumlah obat secara teratur: Pasien harus mengetahui dosis dan efek samping
dari berbagai macam obat (obat kemoterapi atau antibiotik).
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis CML, tergantung pada fase yang dijumpai pada penyakit tersebut,
yaitu :3
1. Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat
pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat,
dispneu dan takikardi.
2. Fase accelerasi terdiri atas :
Kriteria untuk mendiagnosis fase ini adalah adanya sel blast >15%, sel blast dan promyelocytes
sebanyak >30%, basophil >20%, platelet <100x109.
Tatalaksana
Farmakologi
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun
setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3 . Efek samping dapat berupa
aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup. Dosis mulai dititrasi dari 500
mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk
mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit
Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup
menjadi 1-2 tahun. IFN-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit
telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan bagi
kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua
untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki
sumsum tulang donor yang cocok.
Non-farmakologi
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinarsinar tenaga tinggi secara external
radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan
sebelum transplantasi sumsum tulang
Komplikasi & Prognosis
Prognosis dari CML dikatakan buruk apabila: