Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Pemberdayaan Masyarakat

Isus Isu Pemberdayaan Masyrakat

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7:

Putri Kurnia Sari 1814301005

Tri Pangestu Rahmadhani 1814301034

M. Rifky Fery Fernando 1814301037

Dosen : Dr.Aprina.,S.Kp.,M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
T.A 2020/2021

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirannya Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW beserta para sahabatnya.

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kpemberdayaan Masyarakatdalam
materi “Isu IsuPemberdayaan Masyarakat”Penulis menyadari bahwa tanpa banuan dari
pihak lain maka penulis tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan makalah ini.

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.1 LatarBelakang...................................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1 Definisi ................................................................................................................ 5

2.2 Isu Isu Strategis.................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP................................................................................................

3.1.Kesimpulan.......................................................................................................... 17

3.2.Saran.................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat yang
karena ketidakmampuannya baik karena faktor internal maupun eksternal.
Pemberdayaan diharapkan mampu mengubah tatanan hidup masyarakat kearah yang
lebih baik, sebagaimana cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil,
demokratis, sejahtera dan maju.
Pemberdayaan masyarakat kini telah menjadi agenda penting pemerintah, terutama
sebagai kelanjutan dari kegagalan konsep pembangunan masa lalu. Tidak hanya
pemerintah, tapi dunia usaha juga memiliki program pemberdayaan masyarakat
sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat, (Corporat Social
Responsibility/CSR). Namun hal ini seringkali bertentangan dengan kenyataan
dilapangan. Program pemberdayaan kurang mengena sasaran, karena sering
dilakukan secara charity, ditambah lagi program pemberdayaan malah menguras
dan “memperdayai” rakyat. Sehingga praktek korupsi semakin merajalela, yang kaya
semakin berkuasa, yang miskin semakin tidak berdaya.
1.2. Rumusan Masalah
a. apa itu pemberdaya masyarakat:
b. apa itu isu strategis?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Empowerment atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti
pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari
perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat utamaya
Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat dan jernih
memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang
melahirkannya.
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemerkuasaan (empowerment)
berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Karena ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan kemampuan untuk membuat
orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan
minat mereka (Edi Suharto, 2005:57).
Pemberdayaan menurut (Suhendra, 2006:74-75) adalah “suatu kegiatan
yang berkesinambungan dinamis secara sinergis mendorong keterlibatan
semua potensi yang ada secara evolutif dengan keterlibatan semua
potensi”.
Selanjutnya pemberdayaan menurut Jim Ife (dari buku
Suhendra,2006:77) adalah “meningkatkan kekuasaan atas mereka
yang kurang beruntung (empowerment aims to increase the power of
disadvantage)”.Menurut (Moh. Ali Aziz dkk, 2005: 169) pemberdayaan
adalah sebuah konsep yang fokusnya adalah kekuasaan. Pemberdayaan
secara substansial merupakan proses memutus (breakdown) dari hubungan
antara subjek dan objek. Proses ini mementingkan pengakuan subjek
akan kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara garis besar proses
ini melihat pentingnya mengalirkan daya darisubjek ke objek. Hasil akhir
dari pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula
objek menjadi subjek (yang baru), sehingga relasi sosial yang nantinya
hanya akan dicirikan dengan relasi sosial antar subyek dengan subyek lain.

5
Dari beberapa definisi pemberdayaan diatas dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan merupakan suatu usaha atau upaya yang dilakukan dalam
rangka mengembangkan kemampuan dan kemandirian individu atau
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Masyarakat dapat tahu potensi
dan permasalahan yang dihadapinya dan mampu menyelesaikannya,
(Tantan Hermansyah dkk, 2009:31). Setelah kita memahami mengenai
definisi pemberdayaan, selanjutnya akan dibahas mengenai definisi
pemberdayaan masyarakat menurut para ahli.

2.2. Isu strategis


A. Penuruan angka stunting
a. Pengertian stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir, kondisi stunting baru terlihat setelah bayi
berusia 2 tahun.Stunting menurut Keputusan Menteri Kesehatan
tahun 2010 adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang
badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil
pengukuran yang berada pada nilai standar atau z-score< -2 SD
sampai dengan -3 SD untuk pendek (stunted) dan < -3 SD untuk
sangat pendek (severely stunted).
b. Faktor penyebab stunting
Stunting dipengaruhi oleh banyak faktor dan faktor tersebut saling
terkait antara satu dengan yang lainnya. UNICEF
(1998) menggambarkan faktor yang berhubungan dengan status
gizi termasuk stunting. Pertama, penyebab langsung dari stunting
adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Asupan gizi yang
tidak seimbang, tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi
yang memenuhi syarat gizi seimbang seperti makanan yang
beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak
memeperoleh ASI eksklusif. Kedua, penyebab tidak langsung, yaitu

6
ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, perilaku atau asuhan ibu
dan anak, dan pelayanan kesehatan dan lingkungan. Ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga khususnya pangan untuk bayi 0-6
bulan yaitu ASI eksklusif dan bayi usia 6-23 bulan yaitu MP-ASI,
dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil.
Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak.Ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga, perilaku atau asuhan ibudan anak,
dan pelayanan kesehatan dan lingkungan dipengaruhi oleh masalah
utama berupa kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan,
dan kesempatan kerja. Keseluruhan dari penyebab masalah gizi di
atas dipengaruhi oleh masalah dasar, yaitu krisis politik dan
ekonomi.
c. dampak stunting
Stunting dapat menimbulkan dampak yang buruk, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek
stunting dapat menyebabkan gagal tumbuh, hambatan
perkembangan kognitif dan motorik sehingga berpengaruh pada
perkembangan otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak
optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan

metabolisme. Stunting merupakan wujud dari adanya


gangguanpertumbuhan pada tubuh, bila ini terjadi, maka salah
satu organ tubuh yang cepat mengalami risiko adalah otak.
Dalam otak terdapat sel-selsaraf yang sangat berkaitan dengan
respon anak termasuk dalam melihat, mendengar, dan berpikir
selama proses belajar. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan
stunting adalah menurunnya kapasitas intelektual, gangguan
struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat
permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan menyerap
pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada produktivitas
saat dewasa, dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti
diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner dan stroke.Anak
mengalami stunting memiliki potensi tumbuh kembang yang tidak
sempurna, kemampuan motorik dan produktivitas rendah, serta

7
memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit tidak
menular. Stunting pada balita berdampak pada timbulnya potensi
kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas kerja dan
biaya perawatan.Kesemuanya itu akan menurunkan kualitassumber
daya manusia, produktivitas dan daya saing bangsa.

d. Upaya pencegahaan stunting


Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development
Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan
berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala
bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting
hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program
prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk
menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
 Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
 Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
 Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan
 Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori,
protein, dan mikronutrien (TKPM)
 Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
 Pemberantasan kecacingan
 Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke
dalam Buku KIA;
 Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan
ASI eksklusif; dan
 Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita

8
 Pemantauan pertumbuhan balita
 Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) untuk balita
 Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
 Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
 Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
 Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
 Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS);
dan
 Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba
4. Remaja
 Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan
mengonsumsi narkoba; dan
 Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
 Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
 Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
 Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang,
tidak merokok/mengonsumsi narkoba.
e. Strategi mengatasi stunting
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting
terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan
dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan
pangan, maka berikut ini mencoba untuk membahas dari sisi pola
asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga. Dari kedua kondisi ini
dikaitkan dengan strategi implementasi program yang harus
dilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk di dalamnya adalah
Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif sampai dengan 6
bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan

9
pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun merupakan
proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.
Amanat pada UU Nomor 36 Tahun 2009 adalah:
 Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak
dilahirkan selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
 Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi
secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Amanat UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013
tentang ASI yang menyebutkan:
a) Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI
Eksklusif. Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan
untuk:
 menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan
ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya;
 memberikan perlindungan kepada ibu dalam
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan
 meningkatkan peran dan dukungan keluarga,
masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah
terhadap pemberian ASI Eksklusif.
b) Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap
bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama
1 (satu) jam. Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud
dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara tengkurap

10
di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada
kulit ibu.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:


1) Tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/ kota;
2) Air Susu Ibu Eksklusif;
3) Penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya;
4) Tempat kerja dan tempat sarana umum;
5) Dukungan masyarakat;
6) Pendanaan; dan
7) Pembinaan dan pengawasan. Amanat UU, dan PP
tersebut sudah masuk ke Renstra Kemenkes 2015-2019,
dengan menargetkan:
a. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat
ASI eksklusif sebesar 50%.
b. Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) sebesar 50 %.
B. Kematian ibu dan bayi
1. Angka kematian

Angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia masih tinggi.
Bukan hanya ibu, keprihatinan juga masih tinggi pada angka neonatal.
Neonatal adalah keadaan yang ada dalam kehidupan pertama pada bayi.
Kehidupan pertama yang dialami oleh bayi tersebut biasanya pada usia
28 hari terhitung dari awal kelahiran bayi.

Setiap 1 jam, 2 ibu dan 8 bayi baru lahir meninggal di Indonesia. Angka
neonatal ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup
(2015) dan angka kematian neonatal mencapai 15 per 1.000 kelahiran
hidup (2017).Dengan angka ini,  Indonesia termasuk 10 negara dengan
jumlah kematian ibu dan bayi baru lahir yang paling tinggi.

Penyebab utama ibu hamil meninggal dunia di Indonesia adalah


hipertensi saat kehamilan yaitu sebanyak 32 persen, dan pendarahan

11
pasca persalinan sebanyak 20 persen.Deteksi dini dan penanganan yang
tepat sebenarnya bisa mencegah kedua kondisi tersebut.Tingginya angka
perkawinan di usia muda juga banyak memengaruhi risiko kematian ibu
dan neonatal.Ibu muda yang melahirkan pertama kali di bawah 20 tahun
bisa memiliki risiko lebih besar.Selain itu, jika ia mengalami persalinan
di atas usia 40 tahun juga akan kembali menemukan risiko kematian ibu
dan neonatal
2. Upaya penanggululangan (strategi penanggululangan)
Safe Motherhood Initiative dan Gerakan Sayang Ibu (GSI)
Tingginya angka kasus kematian ibu sebenarnya bukanlah masalah
yang terbilang baru. Upaya penanganan kasus kematian ibu
merupakan diskursus level global yang telah diperbincangkan sejak
abad ke 17. Dalam penelitiannya yang berjudul “Death in Childbed
from the Eighteent Century to 1935,” Loudon menjelaskan bahwa
catatan-catatan terkait kasus kematian ibu mulai muncul pada awal
abad ke-17, seiring dengan berkembangnya praktik kebidanan di
masyarakat Inggris (Loudon, 1986). Akan tetapi, komitmen
masyarakat global terkait penanganan kasus kematian ibu agaknya
baru hadir di akhir abad ke-20. Pada tahun 1987, kekhawatiran
terkait dampak dari tingginya kasus kematian ibu mendorong WHO
dan organisasi-organisasi internasional lain untuk melahirkan The
Safe Motherhood Initiative (Women & Children First, 2015).
Konsep safe motherhood sendiri mencakup serangkaian upaya,
praktik, protokol, dan panduan pemberian pelayanan yang didesain
untuk memastikan perempuan menerima layanan ginekologis,
layanan keluarga berencana, serta layanan prenatal, delivery,
dan postpartum yang berkualitas, dengan tujuan untuk menjamin
kondisi kesehatan sang ibu, janin, dan anak agar tetap optimal pada
saat kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan (USAID, 2005).
Mengacu pada modul yang disusun oleh The Health Policy
Project (2003), konsep safe motherhood sendiri memiliki enam
pilar utama, yaitu:

12
 Keluarga Berencana – Memastikan bahwa baik individu
maupun pasangan memiliki akses terhadap informasi, dan
layanan keluarga berencana untuk merencanakan waktu,
jumlah, dan jarak kehamilan.
 Perawatan Antenatal – Menyediakan vitamin, imunisasi,
dan memantau faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan
komplikasi kehamilan; serta memastikan bahwa segala
bentuk komplikasi dapat terdeteksi secara dini, dan
ditangani dengan baik.
 Perawatan Persalinan – Memastikan bahwa tenaga
kesehatan yang terlibat dalam proses persalinan memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat kesehatan untuk
mendukung persalinan yang aman; serta menjamin
ketersediaan perawatan darurat bagi perempuan yang
membutuhkan, terkait kasus-kasus kehamilan berisiko dan
komplikasi kehamilan.
 Perawatan Postnatal – Memastikan bahwa perawatan
pasca-persalinan diberikan kepada ibu dan bayi, seperti
bantuan terkait cara menyusui, layanan keluarga berencana,
serta mengamati tanda-tanda bahaya yang terlihat pada ibu
dan anak.
 Perawatan Post-aborsi – Mencegah terjadinya komplikasi,
memastikan bahwa komplikasi aborsi terdeteksi sejak dini
dan ditangani dengan baik, membahas tentang permasalahan
kesehatan reproduksi lain yang dialami oleh pasien, serta
memberikan layanan keluarga berencana jika dibutuhkan.
 Kontrol Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan
AIDS – mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan
penularan IMS, HIV dan AIDS kepada bayi; menghitung
risiko infeksi di masa yang akan datang; menyediakan
fasilitas konseling dan tes IMS, HIV dan AIDS untuk
mendorong upaya pencegahan; dan – jika memungkinkan –

13
memperluas upaya kontrol pada kasus-kasus transmisi IMS,
HIV dan AIDS dari ibu ke bayinya.

C. Perbaikan pengelola sistem JKN


Penguatan  upaya  kesehatan  dasar  (primary  health  care)  yang 
berkualitas merupakan salah satu arah kebijakan kesehatan dalam
RPJMN 2015-2019. Namun,  akses  dan  mutu  pelayanan  kesehatan 
dasar  saat  ini  masih  belum menjangkau  seluruh  penduduk, 
terutama  di  daerah  tertinggal,  terpencil  dan kepulauan (DTPK).
Sementara itu, tantangan pembangunan kesehatan terus meningkat 
mencakup  transisi  demografi  dan  epidemiologi,  serta  perubahan
kebijakan  dan  tata  kelola  seperti  desentralisasi,  pelaksanaan  JKN, 
dan pemenuhan SPM. Pelayanan kesehatan dasar yang dilakukan oleh
Puskesmas, sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, masih
tetap relevan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Oleh
karena itu, perlu dirumuskan kebijakan  dan  strategi  penguatan 
pelayanan  kesehatan  dasar  di  Puskesmas melalui  pelaksanaan 
Kajian  Komprehensif  Penguatan  Pelayanan  Kesehatan Dasar di
Puskesmas pada tahun 2017.
Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) Sasaran Program Terselenggaranya
Penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat
(KIS).
Indikator tercapainya sasaran adalah jumlah penduduk yang menjadi
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebanyak 109,9 juta jiwa.
Pengembangan Pembiayaan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan
Nasional(JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) Sasaran kegiatan ini
adalah dihasilkannya bahan kebijakan teknis pengembangan
pembiayaan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu
Indonesia Sehat (KIS). Indikator pencapaian sasaran tersebut adalah: a.
Jumlah do kumen hasil studi/monitoring dan evaluasi pelaksanaan
JKN/KIS sebanyak 52 dokumen. b. Jumlah dokumen hasil Health

14
Technology Assessment (HTA) yang disampaikan kepada Menteri
Kesehatan sebanyak 16 dokumen. Jumlah dokumen kebijakan realisasi
iuran peserta Penerima Bantuan Iuran JKN/KIS sebanyak 14 dokumen.
D. Penguatan pelayanan kesehatan
Pemerintah, organisasi profesi, bahkan masyarakat memiliki semangat
cita-cita yang sama untuk pembangunan kesehatan di Indonesia, yakni
pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk itu, penguatan layanan
kesehatan sangat dibutuhkan.
“Pemerintah melakukan lima upaya guna menguatkan pelayanan
kesehatan”, tutur Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, dr.
Bambang Wibowo, SpOG, MARS.
1. peningkatan akses. Upaya ini dilakukan melalui pemenuhan tenaga
kesehatan, peningkatan sarana pelayanan primer (Puskesmas, klinik
pratama, dokter praktek mandiri), pemenuhan prasarana pendukung
(alat kesehatan, obat, dan bahan habis pakai), serta inovasi untuk
pelayanan di daerah terpencil dan sangat terpencil, dengan
pendekatan pelayanan kesehatan bergerak, gugus pulau,
atau telemedicine.
2. peningkatan mutu baik fasilitas penyelenggara layanan, maupun
sumber daya  manusia kesehatan diantaranya melalui penyediaan
norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) atau standar prosedur
operasional (SPO), peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
(Nakes), dokter layanan primer (DLP) dan akreditasi fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP).
3. regionalisasi rujukan melalui penguatan sistem rujukan baik di
tingkat Kabupaten, Regional, maupun Nasional. Sejak jaminan
kesehatan nasional (JKN) dilaksanakan mulai awal 2014, kebutuhan
penataan sistem rujukan semakin dibutuhkan. Di era JKN,
mekanisme rujukan penting untuk menjamin mutu pelayanan dan
efisiensi pembiayaan.
4. penguatan peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas
Kesehatan Provinsi melalui sosialisasi advokasi dan capacity
building.

15
5. penguatan dukungan bagi penguatan pelayanan kesehatan dari lintas
sektor, baik itu berupa regulasi, infrastruktur, maupun pendanaan.

E. Isu terkait obat dan alat kesehatan


Isu strategis aksebilitas, mutu dan keamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan :
1. Penguatan rantai suplai obat di sektor publik, termasuk JKN.
2. Penggunaan obat yang bertanggung jawab.
3. Peningkatan puskesmas dengan ketersedian obat dan vaksin.
4. Pengawasan alat kesehatan dan perbekalan rumah tangga (PKRT)
yang beredar.
5. Percepatan pengembangan dan transformasi industri sediaan
farmasi dan alkes (pemermenkes No.17 tahun 2017).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

16
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah pemberdayaan masyarakat
merupakan sasaran utama dalam promosi kesehatan yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan status
kesehatannya menjadi lebih baik dengan menggunakan prinsip pemberdayaan
dimana petugas kesehatan berperan untuk memfasilitasi masyarakat dalam
meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuannya untukmemelihara dan
meningkatkan status kesehatannnya.

3.2 Saran
Tidak hanya pemerintah yang membuat strategi untuk memberdayakan
masyarakat tetapi juga masyrakat harus ikut serta dalam upaya agar semua
strategi yang dirancang pemerintah dapat berjalan semsetinya.

DAFTAR PUSTAKA

17
Buletin jendela.2018.Situasi Balita Pendek di Indonesia.Pusat data dan
informasi.Kemnetrian Kesehatan Indonesia. Buletin-Stunting-2018.pdf
Rokom.2016.Kuatkan Layanan Kesehatan Pemerintah.
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20161104/2918732/kuatkan-
layanan-kesehatan-pemerintah-lakukan-lima-upaya-secara-simultan/
Sitanggang,linda.2017.Program Prioritas Dan Inovitif.
https://slideplayer.info/slide/12672676/
PKBI.2019. Kematian Ibu Dan Penanggululangannya. https://pkbi.or.id/kematian-
ibu-dan-upaya-upaya-penanggulangannya/

18

Anda mungkin juga menyukai