Anda di halaman 1dari 9

RESUME BIDANG BEDAH MULUT

COASS XV

EKSTRAKSI GIGI ANTERIOR BAWAH

Oleh:

Adellia Pramaissela Hanafie

G4B019007

Dokter Penanggung Jawab Pasien:

drg. Fadli Ashar

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

2020
A. Klasifikasi anestesi lokal
1. Klasifikasi menurut golongan kimiawi
Anestesi lokal dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan ester dan
golongan amide. Perbedaan kimia ini terdapat dalam perbedaan
tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme
oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide
terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga
berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana
golongan ester turunan dari pamino-benzoic acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar(Samodro dkk., 2011).
2. Klasifikasi menurut onset/mula kerja
Klasifikasi anestetikum lokal berdasarkan mula kerjanya, dibagi
menjadi mula kerja yang cepat seperti kloroprokain, lidokain,
mepivakain, prilokain dan etidokain. Mula kerja menengah seperti
bupivakain. Mula kerja lambat seperti prokain dan tetrakain(Samodro
dkk., 2011).
3. Klasifikasi menurut potensi dan masa kerja
Klasifikasi anestetikum lokal berdasarkan potensi dan masa kerja
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok I yang memiliki potensi
lemah dengan masa kerja singkat (≈30menit) seperti prokain dan
kloroprokain. Kelompok II adalah kelompok yang memiliki potensi
dan masa kerja menengah (≈60menit) seperti lidokain, mepivakain dan
prilokain. Kelompok III merupakan kelompok yang memiliki potensi
kuat dengan masa kerja panjang (>90menit). Contohnya tetrakain,
bupivakain, etidokain dan ropivakain(Samodro dkk., 2011).
B. Pengaruh Inflamasi pada anestesi
Ada beberapa teori yang menunjukkan hubungan inflamasi dengan
penurunan efektivitas anestesi lokal. Teori asidosis menunjukkan bahwa
inflamasi dapat menyebabkan asidosis jaringan yang terkena, sehingga dapat
mengurangi potensi anestetik lokal yang diberikan. Kondisi asidosis
menyebabkan peningkatan suasana asam pada jaringan sehingga
menyebabkan terjadinya ion trapping. Rendahnya pH jaringan karena asidosis
menyebabkan anestetik lokal terperangkap dalam bentuk asam sehingga tidak
dapat menembus membran sel untuk mencapai ikatan sitoplasmik ataupun
menembus kanal ion natrium. Inflamasi juga memiliki efek pada aliran darah
seperti vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi pembuluh darah yang diinduksi
oleh mediator inflamasi mengakibatkan peningkatan absorpsi di dalam tubuh
dan menurunkan konsentrasi anestesi lokal (Hargreaves, 2002)
C. Pengaruh alkohol pada anestesi
Alkohol yang mempengaruhi anestesi lokal tergantung pada dosis dan
kuantitas. Konsumsi alkohol digunakan untuk mengurangi rasa sakit telah
terbukti relevan tetapi ketika tubuh mengembangkan toleransi dan kecanduan
alkohol, pasien harus meningkatkan dosis dan kuantitas untuk mencapai
properti analgesik. Untuk mencapai efek analgesik, secara oral etil alkohol
yang diberikan (1 ml / kg 100% etil alkohol + 1 ml / kg air tonik)
menghasilkan toleransi terhadap rasa sakit sebanding dengan 0,17mg / kg s.q.
morfin. pH alkohol dan anestesi lokal berperan dalam efek anestesi lokal yang
diinduksi. pH alkohol bersifat asam di alam yang mengubah pH darah dengan
mengubah kemampuan ginjal untuk mempertahankan kadar fosfat dalam
darah. Alkohol menurunkan tingkat pH darah yang mengarah ke darah asam.
Ketika darah bersifat asam, akan menurunkan fungsi sel dan menciptakan
lingkungan mencegah disosiasi molekul anestesi lokal. pH yang sesuai untuk
bertindak anestesi lokal adalah sekitar 7,3-7,4 yang merupakan pH normal
darah dalam tubuh manusia. Racun dalam alkohol dapat mengikis sel-sel hati
yang pada gilirannya membuat proses metabolisme alkohol menjadi sulit.
Pada pasien menderita gagal hati atau penyakit hati, metabolisme alkohol
menjadi tidak mungkin. Jika anestesi lokal diberikan kepada pasien alkoholik,
dapat menyebabkan disfungsi hati dan menyebabkan pembekuan darah
abnormal yang kemudian akan menyebabkan kehilangan darah yang tidak
terkendali (Xin dkk., 2014).
Kebanyakan efek sistemik jangka panjang dari penyalahgunaan alkohol
diantaranya adalah cedera hati dan efek neurotoksik (kejang, Wernicke-
Korsakoff sindroma). Meskipun demikian, pemeriksaan laboratorium dapat
mengungkapkan peningkatan ϒ-glutamiltransferase, yang biasanya
merupakan enzim hati pertama yang meningkat sebagai akibat konsumsi
etanol yang berat. Alkohol mempengaruhi pilihan agen anestesi yang
digunakan dalam pengaturan rawat jalan. Toleransi terhadap agen anestesi
dipengaruhi pada alkoholik kronis. Perubahan fungsi hati menyebabkan
peningkatan toksisitas dengan agen anestesi yang menjalani metabolisme di
hati. Aktivitas yang berkepanjangan dan peningkatan kadar serum baik
suksinilkolin dan agen anestesi lokal adalah hasil dari penurunan aktivitas
cholinesterase plasma (Miloro, 2011)

D. Merokok post ekstraksi


Rongga mulut adalah bagian yang sangat mudah terpapar efek rokok,
karena merupakan tempat terjadinya penyerapan zat hasil pembakaran rokok
yang utama. Komponen toksik dalam rokok dapat mengiritasi jaringan lunak
rongga mulut, dan menyebabkan terjadinya karies, infeksi mukosa, dry socket,
kehilangan tulang alveolar, radang gusi, penyakit periodontal, memperlambat
penyembuhan luka, memperlemah kemampuan fagositosis, menekan
proliferasi osteoblas, serta dapat mengurangi asupan aliran darah ke
gingiva(Kusuma, 2013).
Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok juga dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh
derajat inhalasi asap rokok serta absorbsi nikotin kedalam jaringan. Terjadinya
vasokonstriksi pembuluh darah, menurunnya aktifitas PMNs, berkurangnya
aliran darah dan cairan sulkus gingiva, berakibat pada menurunnya suplai
oksigen dan nutrisi pada jaringan, sehingga dapat menghambat penyembuhan
luka(Kusuma, 2013).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, yang
menyatakan bahwa salah satu kandungan rokok yang paling
berpengaruh dalam proses penyembuhan pasca pencabutan gigi adalah
nikotin karena nikotin berperan dalam menghambat perlekatan dan
pertumbuhan sel fibroblast,ligament periodontal, menurunkan isi protein
fibroblast serta dapat merusak sel membrane. Komponen toksik dalam
rokok dapat mengiritasi jaringan lunak rongga mulut, dan menyebabkan
terjadinya infeksi mukosa, drysocket, memperlambat penyembuhan luka,
memperlemah kemampuan fagositosis, menekan proliferasi osteoblast serta
dapat mengurangi asupan aliran darah ke gingiva (Kusuma, 2013).

E. Dry Socket
Pencabutan yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh
atau akar gigi yang trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi
sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna. Kesatuan dari
jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam rongga mulut dapat mengalami
kerusakan yang menyebabkan adanya jalur terbuka untuk terjadinya infeksi
yang menyebabkan komplikasi dalam penyembuhan luka pasca pencabutan
gigi. Salah satu komplikasi dari pencabutan gigi adalah dry socket. Dry socket
(alveolar osteitis) adalah gangguan dalam penyembuhan luka berupa inflamasi
yang meliputi salah satu atau seluruh bagian dari lapisan tulang padat pada
soket gigi (lamina dura). Manifestasi klinis terlihat soket yang tidak memiliki
bekuan darah dan tulang yang terlihat. Soket biasanya terisi dengan sisa-sisa
makanan dan campuran air liur. Dry Socket terjadi akibat trauma selama
ekstraksi, infeksi bakteri dan agen biokimia. Fibrinolisis adalah proses
fisiologis normal yang menghilangkan deposit fibrin oleh pencernaan
enzimatik menjadi fragmen yang lebih kecil. Peningkatan lokal pada
fibrinolisis terjadi sebagai respons terhadap perdarahan. Terjadi peningkatan
aktivitas fibrinolitik dan aktivasi plasminogen ke plasmin dengan adanya
aktivator jaringan. Peningkatan fibrinolisis mengurangi kemungkinan larutnya
gumpalan darah sebelum hari kedua setelah operasi, karena gumpalan
mengandung antiplasmin, yang harus dinetralkan sebelum larutnya gumpalan
dapat terjadi. Gumpalan fibrin dibentuk oleh trombin dan fibrinogen dalam
soket pasca ekstraksi normal dilanjutkan dengan migrasi epitel. Pembuluh
darah baru tumbuh ke dalam gumpalan selama pembentukan jaringan
granulasi dan gumpalan ini terdegradasi melalui aktivitas fibroblast dan
fibrinolisis melalui plasmin sebelum dimulainya osteoproliferasi. Aktivitas
plasmin pada dry socket tidak ditemukan ada pada keadaan normal. Kinase
dibebaskan selama peradangan melalui aktivasi plasminogen langsung atau
tidak langsung dalam darah. Kinase ini menyebabkan lisis dan penghancuran
bekuan darah. Jaringan atau pro-aktivator plasma dan aktivator mengubah
plasminogen menjadi fibrin, menghasilkan larutnya gumpalan dengan
disintegrasi fibrin. Aktivasi jalur plasminogen ini, dapat berupa aktivator
langsung (fisiologis) atau tidak langsung (non fisiologis). Aktivator langsung
dilepaskan ke sel tulang alveolar disebabkan trauma sedangkan aktivator tidak
langsung dilepaskan oleh bakteri. Faktor disposisi dari dry socket diantaranya
adalah merokok, trauma, kontrasepsi, dan mikroorganisme. Perawatan dari dry
socket diantaranya adalah irigasi, dressing, kuretase, dan analgesik. Irigasi
dilakukan untuk menghilangkan debris dan bakteri menggunakan larutan NaCl
hangat atau menggunakan kasa dengan iodoform. Penempatan medikasi
berupa dressing disarankan sebagai kombinasi dengan intervensi bedah .
Beberapa dressing obat yang digunakan adalah antibakteri, anestesi topikal
atau kombinasi, seperti seng oksida dan eugenol pada cotton pellet, alvogil
(eugenol, iodoform dan butamen), dentalone, bismuth subnitrate dan iodoform
paste (BIPP) pada kasa dan metronidazol dan salep lidokain. Medikasi diganti
setiap 2-3 hari hingga rasa sakit mereda (Pretha,2014).
F. Jalur Intrinsik dan ekstrinsik
Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu sistem intrinsik dan
sistem ekstrinsik. Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi faktor XII
inaktif menjadi faktor XII aktif (XIIa). Sementara sistem ekstrinsik dipicu
oleh pelepasan faktor III (tromboplastin) dari jaringan yang mengaktifkan
faktor VII.
1. Jalur ekstrinsik
Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue faktor)
berasal dari luar darah. Faktor jaringan (TF III) dilepaskan oleh jaringan
vaskuler yang mengalami trauma dan bertindak sebagai cofaktor untuk
aktivasi jalur ekstrinsik. Factor jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan
mengaktifkannya (faktor VII merupakan glikoprotein yang mengandung
Gla beredar dalam darah dan disintesis di hati). Factor jaringan bekerja
sebagai kofaktor untuk faktor VIIa dengan menggalakkan aktivitas
enzimatik untuk mengaktifkan faktor X. Aktivasi faktor X menciptakan
hubungan yang penting antara lintasan intrinsic dan ekstrinsik. Interaksi
yang penting lainnya antara lintasan ekstrinsik dan intrinsic adalah bahwa
kompleks faktor jaringan dengan faktor VIIa juga mengaktifkan faktor IX
dalam lintasan intrinsic.
Faktor III dan faktor VIIa mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan
adanya fosfolipid, Ca2+, dan faktor V, maka faktor X akan mengkatalisis
konversi protrombin menjadi trombin. Selanjutnya trombin mengkatalisis
konversi fibrinogen menjadi fibrin.
2. Jalur intrinsik
Paparan faktor sirkulasi XII secara negatif menyerang konstituten dinding
pembuluh darah yang rusak menimbulkan aktivasi. Aktivasi jalur ini
dikatalisis oleh kininogen HMW dan kalikrein. Faktor XII aktif kemudian
mengaktifkan faktor XI, dan faktor XI aktif mengaktifkan faktor IX.
Faktor IX yang aktif membentuk suatu kompleks dengan faktor VIII aktif.
Kompleks IXa dan VIIIa mengaktifkan faktor X. Fosfolipid dari trombosit
dan Ca2+ diperlukan untuk mengaktifkan faktor X secara sempurna
3. Jalur bersama
Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan
intrinsik dan ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin(II) menjadi
thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Selain
mengubah fibrinogen menjadi fibrin, thrombin juga mengubah faktor XIII
menjadi XIIIa yang merupakan transglutaminase yang sangat spesifik dan
membentuk ikatan silan secara kovalen anatr molekul fibrin dengan
membentuk ikatan peptide antar gugus amida residu glutamine dan gugus
ε-amino residu lisin, sehingga menghasilkan bekuan fibrin yang lebih
stabil dengan peningkatan resistensi terhadap proteolisis. Fibrinolisis
merupakan mekanisme pecahnya benang fibrin (salah satu agen pembeku
darah yang diproduksi dalam darah sebagai produk akhir koagulasi).
Darah juga mengandungenzim fibrinolitik yang berguna mecegah
pembentukan gumpalan atau pembekuan darah pada area yang tidak
terluka, sehingga tidak akan menghalangi aliran darah, dan juga enzim ini
akan menghancurkan fibrin bila luka telah sembuh.

.
DAFTAR PUSTAKA
Durachim A., Astuti D., 2018, Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medis:
Hemostatis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Hargreaves K.M., 2002, Local Anesthetic Failure in Endodontic, Blackwell
Munksgaard, J Enddontic, 1:26-39
Kusuma A.R.P., 2013, Pengaruh merokok terhadap kesehatan gigi dan rongga
mulut, Majalah Ilmiah Sultan Agung, 49(124):1-8
Miloro M., 2011, Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery,
People’s Medical Publishing House, USA
Preetha, 2014, An Overview of Dry Socket and Its Management, Journal of
Dental and Medical Sciences, 13(5):32-35
Samodro R., Sutiyono D., Satoto H.H., 2011, Mekanisme Kerja Obat Anestesi
Lokal, Jurnal Anestesiologi Indonesia, 3(1):48-59
Xin L.Q., Kumar D.D., 2014, Efficacy of Local Anesthetics on Alcoholics,
International Journal of Advanced Research, 2(2):44-47

Anda mungkin juga menyukai