Anda di halaman 1dari 22

BLOK MEDICAL EMERGENCY

CASE STUDY

SELF LEARNING REPORT

“DISLOKASI TMJ DAN AVULSI”

Disusun oleh:

Adellia Pramaissela Hanafie

G1B015005

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2019
DISLOKASI TMJ DAN AVULSI

Seorang pasien laki-laki usia 35 tahun datang ke IGD RSGM karena tidak dapat
menutup mulut kembali setelah menguap, pada saat menaiki motor sportnya yang
mengakibatkan kecelakaan dan berakibat pada lepasnya 2 gigi depan karena terbentur
stang motor dan gigi tersebut sudah dimasukkan ke dalam plastic yang diisi air mineral.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengalami kecelakaan 30 menit sebelumnya. Dari
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital, diperoleh hasil sebagai berikut kesadaran
compos mentis, tekanan darah normal 120/80 mmHg, nadi 78 kali/menit, suhu 36,3 ºC,
pernafasan 18 kali/menit. Penyakit sistemik tidak ditemukan. Pemeriksaan intraoral 11
21 mengalami avulsi, terlihat kondisi gigi tersebut bersih dan tidak terjadi fraktur dan
adanya karies profunda pada gigi 37 36 35. Pemeriksaan Ekstra oral ditemukan
eksoriasi dan vulnus laceratum pada bibir atas. Pasien kooperatif untuk dilakukan
perawatan. Menurut penuturan istri pasien yang mengantar, pasien tersebut mempunyai
riwayat yang sama yaitu tidak dapat menutup mulut saat menguap sekitar 1 tahun yang
lalu. Pasien mempunyai riwayat mengunyah hanya disatu sisi yaitu disisi kanan.

A. Pemeriksaan Subyektif
1. CC : Seorang pasien laki-laki usia 35 tahun datang ke IGD RSGM karena
tidak dapat menutup mulut kembali setelah menguap, pada saat menaiki
motor sportnya yang mengakibatkan kecelakaan dan berakibat pada lepasnya
2 gigi depan karena terbentur
2. PI : Kehilangan gigi karena terbentur stang motor dan gigi tersebut sudah
dimasukkan ke dalam plastic yang diisi air mineral. Pasien mengalami
kecelakaan 30 menit sebelumnya
3. PMH : Penyakit sistemik tidak ditemukan
4. PDH :-
5. FH :-
6. SH :-
B. Pemeriksaan Obyektif
1. Pemeriksaan Ekstraoral : Kesadaran compos mentis, tekanan darah normal
120/80 mmHg, nadi 78 kali/menit, suhu 36,3 ºC, pernafasan 18 kali/menit.
ditemukan eksoriasi dan vulnus laceratum pada bibir atas
2. Pemeriksaan Intraoral : 11 21 mengalami avulsi, terlihat kondisi gigi
tersebut bersih dan tidak terjadi fraktur dan adanya karies profunda pada gigi
37 36 35.
C. Diagnosis
Dislokasi TMJ disertai avulsi gigi
D. Rencana Perawatan
Kunjungan pertama
1. Replantasi gigi 11 21
2. Mengembalikan posisi TMJ dalam keadaan normal

Kunjungan kedua

1. Perawatan saluran akar gigi 11 dan 21


2. Evaluasi perawatan TMJ
3. Perawatan endodontik pada gigi 37 36 35

E. Jenis-Jenis Luka
Luka adalah sebuah trauma pada jaringan yang menganggu proses seluler
normal (Advance Wound Care). Luka adalah suatu keadaan ketidak
sinambungan jaringan tubuh yang terjadi akibat kekerasan. Luka adalah
terjadinya gangguan atau kerusakan kontinuitas jaringan pada kulit yang semula
normal menjadi tidak normal sehingga dapat menimbulkan trauma dan
gangguan aktifitas bagi penderitanya (Delima, 2014). Luka dapat
diklasifikasikan atas luka terbuka, seperti luka yang diakibatkan benda tajam
atau tumpul, luka tertutup seperti luka yang diakibatkan oleh benda tumpul
(Krakata dan Bachsinar, 1995):
1. Luka tertutup
Luka tertutup merupakan luka dimana kulit korban tetap utuh dan tidak
ada kontak antara jaringan yang ada di bawah dengan dunia luar,
kerusakannya diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Luka tertutup
umumnya dikenal sebagai luka memar yang dapat digolongkan menjadi 2
jenis yaitu:
a. Luka memar (vulnus contusum), luka yang disebabkan oleh dorongan
tumpul, kulit tidak mengalami cidera akan tetapi terjadi cidera berat pada
bagian yang lunak dan pembuluh darah subkutan dapat rusak sehingga
terjadi hematom dan pembengkakan.
b. Luka trauma (vulnus traumaticum) terjadi di dalam tubuh, tetapi tidak
tampak dari luar. Dapat memberikan tanda-tanda dari hematom hingga
gangguan system tubuh. Bila melibatkan organ vital, maka keselamatan
jiwaa penderita dapat terancam karena terjadi kerusakan pada organ
dalam.
2. Luka terbuka yaitu luka yang terjadi langsung melibatkan kulit sehingga
terjadi hubungan langsung antara luka dengan dunia luar. Terdiri dari :
a. Luka lecet (vulnus excoriatio) merupakan luka yang paling ringan dan
paling mudah sembuh. Luka ini disebabkan karena adanya gesekan
tubuh dengan benda-benda rata, misalnya aspal atau tanah.
b. Luka sayat (vulnus scissum/incisivum) merupakan luka dengan tepi yang
tajam dan licin, biasanya disebabkan oleh potongan menggunakan
instrument tajam misalnya luka yang dibuat oleh ahli bedah dalam
prosedur operasi.
c. Luka robek (vulnus laceratum) adalah luka dengan tepi yang bergerigi,
tidak teratur, seperti luka yang disebabkan oleh kaca atau goresan kawat.
Biasanya perdarahan lebih sedikit karena mudah terbentuk cincin
thrombosis akibat pembuluh yang hancur dan memar.
d. Luka tusuk (vulnus punctum) luka ini merupakan bukaan kecil pada kulit
yang disebabkan oleh benda runcing memanjang. Luka bisa terlihat kecil
dari luar akan tetapi bagian dalamnya mungkin rusak berat. Derajat
bahaya luka ini tergantung pada benda yang menusuk dan daerah yang
tertusuk, luka tusuk sering juga disebut dengan luka tembus (vulnus
penetrosum)
e. Luka potong (vulnus caesum) adalah luka yang disebabkan oleh tekanan
benda tajam yang besar, misalnya pedang, pisau, belati, dsb. Ditandai
dengan tepi luka yang tajam dan rata. Kemungkinan infeksi pada luka ini
besar karena luka lebih sering terkontaminasi.
f. Luka tembak (vulnus sclopetorum) terjadi karena tembakan ataupun
granat. Luka ini ditandai dengan tepi luka bisa tidak teratur dan sering
ditemukan benda asing (corpus alienum) didalam luka misalnya peluru
dan pecahan granat sehingga kemungkinan infeski karena bakteri
anaerob dan gangrene lebih besar.
g. Luka gigit (vulnus morsum) disebabkan oleh gigitan binatang maupun
manusia. Bentuk luka tergantung gigi penggigit dan kemungkinan infeksi
lebih besar.
Menurut Taylor & Lilis (2006), berdasarkan waktu Penyembuhannya luka dapat
diklasifikasikan menjadi luka akut dan luka kronis :

1. Luka akut luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan waktu yang telah
diperkirakan dan biasanya dapat sembuh dalam hitungan hari atau minggu.
Pada keadaan ini bentuk tepian luka msih dapat diperkirakan dengan baik
dan resiko terjadinya infeksi masih lebih rendah. Kriteria luka akut adalah
luka baru, terjadi secara mendadak dan sembuh sesuai dengan waktu yang
diperkirakan, contohnya pada luka tusuk, luka bakar, luka sayat, serta luka
operasi yang dibuat oleh ahli bedah.
2. Luka kronis merupakan luka yang berlangsung lama atau timbul kembali
karena terdapat kegagalan dlam proses penyembuhan. Pada luka kronis,
penyembuhan luka tidak melalui suatu proses yang normal sebagaimana
mestinya sehingga waktu normal penyembuhannya menjadi tertunda.
Keadaan tepian lukanya tidak dapt diperkirakan dengan baik sehingga resiko
infeksi meningkat. Contoh luka kronis yaitu pada ulkus dekubitus, ulkus
diabetic, ulkus venous, luka bakar dll.
Brunner & Saddarth (2006) menyatakan bahwa luka dapat dibagi sebagai
1. Luka bersih
Luka bersih adalah luka bedah tidak terinfeksi dan tidak terdapat
inflamasi, saluran pernafasan, pencernaan, genital atau saluran kemih yang
tidak terinfeksi. Biasanya dijahit tertutup dan kemungkinan relatif infeksi
luka adalah 1% sampai 5%.
2. Luka kontaminasi - bersih
Luka ini merupakan luka bedah dimana saluran pernafasan, pencernaan,
genital atau saluran kemih dimasuki dibawah kondisi yang terkontrol dan
tidak terdapat kontaminasi yang tidak lazim. Kemungkinan relatif infeksi
luka adalah 3% sampai 11%.
3. Luka terkontaminasi
Luka ini mencakup luka terbuka baru, luka akibat kecelakaan dan
prosedur bedah dengan pelanggaran dalam teknik aseptik atau semburan
banyak dari gastrointestinal termasuk dalam kondisi ini adalah dimana
terdapat inflamasi akut, nonpurulen. Kemungkinan relatif infeksi adalah
10% sampai 17%. Luka kotor atau terinfeksi Luka jenis ini adalah luka
dimana terdapat organism yang bisa menyebabkan infeksi pascaoperatif pada
lapang operatif sebelum pembedahan. Hal ini mencakup luka traumatik yang
sudah lama dengan jaringan yang terkelupas tertahan dan luka yang
melibatkan infeksi klinis yang sudah ada atau visera yang mengalami
perforasi. Kemungkinan relatif infeksi luka adalah lebih dari 27%
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dibagi sebagi berikut :
1. Stadium 1: Luka Superficial (Non-Blanching Erithema) yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2. Stadium II : Luka “Partial Thickness" yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister, atau lubang yang dangkal.
3. Stadium III : luka "Full Thickness" yaitu hilangnya keseluruhan kulit
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang yang mendasarinya. Luka
sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.
Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau
tanpa merusak
4. Stadium IV : Luka "Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas.
A. Pemeriksaan pada trauma orofacial
1. Anamnesis (Ajmal dkk., 2007)
Anamnesis mengenai riwayat terjadinya trauma dan pemeriksaan klinis yang
menyeluruh merupakan hal yang wajib dilakukan untuk mendapatkan
diagnosis dan perawatan yang tepat. Riwayat kejadian yang lengkap
memberikan informasi penting bagi perawatan.Anamnesis dilakukan untuk
menanyakan beberapa hal mengenai riwayat trauma, antara lain:
a. Usia pasien
b. Waktu terjadinya trauma karena hasil perawatan sangat tergantung dari
seberapa cepat perawatan dilakukan terutama dalam kasus avulsi dan
luksasi lateral
c. Lokasi dan kronologi trauma terjadi
d. Status imunisasi tetanus anak untuk menentukan kebutuhan akan
suntikan ATS (Anti Tetanus Serum).
e. Menanyakan gejala lain seperti kehilangan kesadaran, sakit kepala,
muntah, atau gejala trauma kepala lain untuk mengetahui kebutuhan
akan pertolongan medis secara khusus secepat mungkin
f. Terdapat luka di bagian tubuh yang lain
g. Perawatan darurat yang telah diberikan
2. Pemeriksaan Klinis (Balaji, 2007)
a. Pemeriksaan leher dan Kepala
Catat luka-luka pada wajah mengenai lokasi, panjang, kedalaman
dan kemungkinan terlibatnya struktur dibawahnya seperti arteri, saraf,
dan glandula saliva. Palpasi secara hati-hati dimulai dari bagian belakang
kepala dan cranium diselidiki akan adanya luka serta injuri tulang.
Kemudian jari-jari dirabakan pelan-pelan diatas tulang zigomatik dan
lengkungnya, dan disekeliling pinggiran orbita. Tempat-tempat yang
terasa lunak, deformitas step, dan mobilitas yang tidak normal
hendaknya diperhatikan Edema fasial diobservasi, dan dievaluasi karena
ini bisa merupakan tempat yang terkena benturan/ trauma atau
merupakan tanda adanya kerusakan struktur dibawahnya misalnya
hematom, fraktur atau keduanya, setiap deformitas tulang yang nyata,
perdarahan atau kebocoran cairan serebrospinal hendaknya dicatat.
b. Pemeriksaan syaraf-syaraf cranial
Nervus cranialis (III, IV, V, VI,VII) dites untuk mengetahui
apakah terjadi palsi, dapatkah pasien mengangkat alis dan meretraksi
sudut mulut, apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil
bereaksi terhadap sinar. Kelopak mata dipisahkan secara hati-hati,
pembukaan mata merupakan alat pemeriksaan yang berharga untuk
menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan
pasien membuka matanya jika diberi stimulasi tertentu, termasuk
stimulasi menyakitkan jika diperlukan.
c. Pemeriksaan wajah bagian tengah
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat
adanya kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau
zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk
mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya
edema maupun untuk melihat adanya fraktur.
d. Pemeriksaan Mandibula
Memeriksa relasi mandibula dengan maksila, perhatikan letak
mandibula dan maksila tetap dalam garis median atau jika terjadi
pergeseran lateral atau inferior. Pergerakan mandibula juga dievaluasi
dengan cara memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu,
dan apabila ada penyimpangan dicatat. Pada fraktur subcondylus
tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang amat sangat atau caput
mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula
dipalpasi mulai dari processus condylaris sampai ke symphisis
mandibula. Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral
semua area inferior dan lateral mandibula serta sendi
temporomandibular. Pemeriksaan maksila dilakukan dengan stabilisasi
kepala pasien terlebih dahulu dengan menahan kening pasien
menggunakan salah satu tangan kemudian ibu jari dan telunjuk menarik
maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.
e. Pemeriksaan mulut
Oklusi adalah hal pertama dilihat secara intraoral, dataran oklusal
dari maksila dan mandibula diperiksa continuitas, dan adanya step
deformitas. Bagian yang giginya mengalami pergerakan karena trauma
atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi juga dicatat. Dasar mulut dan
orofaring diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi,
dan beku darah. Maksila harus dicoba digerakkan dengan memberi
tekanan pada prosesus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan
kepala. Dan gigi-gigi dan prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui
nyeri tekan atau mobilitas
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang
setelah pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tahap perkembangan
akar, trauma yang terjadi pada akar, ukuran pulpa, jarak dengan garis fraktur,
dan kelainan pada jaringan pendukung seperti adanya benda asing yang
masuk ke dalam jaringan lunak. Pemeriksaan radiografis pada mandibula
biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s
view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto
diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto
oklusal dan periapikal. Computed Tomography (CT) scans dapat juga
memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak
memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa
B. Penatalaksanaan Avulsi
1. Diagnosis dan perencanaan perawatan
Jika gigi akan ditanam kembali di lokasi cedera, catat riwayat pasien
untuk menilai prognosis perawatan yang akan dilakukan. Selain itu, posisi
gigi yang ditanamkan kembali harus dinilai dan disesuaikan jika perlu. Pada
beberapa kasus dimana gigi masih duduk pada soket, gigi mungkin akan
diambil dengan hati hati untuk mempersiapkan soket ditanam gigi kembali
dan meningkatkan prognosis perawatan. Jika gigi pasien sudah keluar dari
mulut, maka media penyimpanan harus dievaluasi dan, jika perlu, gigi harus
diletakkan di tempat yang lebih tepat selagi operator melakukan anamnesis
dan evaluasi klinis. Hank’s solution dianggap sebagai media terbaik untuk
perawatan avulsi. Susu atau saline fisiologis juga dapat digunakan sebagai
media penyimpanan.
2. Pemeriksaan Klinis (Soket)
Pemeriksaan klinis harus mencakup pemeriksaan soket untuk
memastikan apakah soket dalam keadaan baik dan cocok untuk penanaman
kembali. Palpasi bukal dan palatal soket. Soket dibilas dengan lembut
dengan larutan saline dan ketika bersih dari gumpalan dan serpihan kotoran,
dinding soket diperiksa untuk mengetahui adanya kerusakan dinding soket.
Palpasi soket dan sekitarnya area apikal dan tekanan pada gigi di sekitarnya
digunakan untuk memastikan apakah ada fraktur alveolar
3. Persiapan gigi
Persiapan akar tergantung pada kematangan gigi (apeks terbuka atau
tertutup) dan pada waktu kering gigi sebelum ditempatkan dalam media
penyimpanan.
a. Apeks gigi tertutup sempurna. Gigi berada diluar mulut < 60 menit
(Wiley, 2011)
1) Rendam gigi dalam larutan saline sehingga kontaminasi dan sel-sel
mati dipermukaan akar hilang
2) Lakukan anastesi lokal
3) Irigasi soket dengan larutan saline
4) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dinding soket,
reposisi dengan instrumen yang sesuai
5) Replantasi gigi dengan perlahan dan tekanan ringan
6) Occlusal adjustment
7) Splinting
8) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,
dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula
profilaksis tetanus.
9) Inisiasi perawatan saluran akar selama 7-10 hari setelah replantasi
dan sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida
sebagai medikasi intra kanal.
b. Apeks gigi tertutup sempurna. Gigi berada di luar mulut > 60 menit
(Wiley, 2011)
1) Lakukan anastesi lokal
2) Irigasi soket dengan larutan saline
3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar,
jika terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen
yang sesuai.
4) Rendam gigi di larutan sodium flouride 2% selama 20 menit.
5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit
jika ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis
dan radiografi.
6) Splinting
7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus
c. Apeks gigi terbuka. Gigi berada diluar mulut <60 menit (Wiley, 2011)
1) Jika terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal
dengan salin. Hilangkan koagulum dari soket dengan salin lalu
replantasi gigi tersebut. Selubungi permukaan akar dengan
minocycline hydrocloride micropheres (ArestinTM, OraPharma Inc.)
sebelum replantasi jika bahan tersebut tersedia.
2) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dindingnya lakukan
reposisi dengan instrumen yang sesuai.
3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada
laserasi.
4) Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun
radiografi
5) Splinting
6) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari,
dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula
profilaksis tetanus.
7) Tujuan replantasi gigi immatur pada anak adalah untuk memfasilitasi
revaskularisasi pulpa gigi, jika tidak terjadi maka perawatan saluran
akar menjadi indikasi untuk dilakukan.
8) Lakukan perawatan saluran akar 7-10 hari setelah replantasi dan
sebelum pelepasan dari splint
d. Apeks gigi terbuka. Gigi berada diluar mulut > 60 menit. (Wiley, 2011)
1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain
2) Perawatan kanal akar dapat dilakukan 7-10 hari setelah replantasi
3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar,
jika terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen
yang sesuai.
4) Rendam gigi dalam larutan sodium flouride 2% selama 20 menit.
5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit
jika ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis
dan radiografi.
6) Splinting
7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus
8) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan
sikat gigi yang lembut setelah makan.
C. Syarat Splinting
Splint merupakan suatu piranti yang dibuat untuk menstabilkan atau
mengencangkan gigi-gigi yang goyang akibat suatu trauma atau penyakit.6
Berdasarkan bentuknya, splint dapat berupa splint cekat atau lepasan, yang dapat
dipasang di ekstraoronal maupun intrakoronal. Splint permanen antara lain
berupa gigitiruan jembatan (GTJ), gigitiruan sebagian lepasan (GTSL), atau
penggabungan tambalan dengan komposit resin. Kasus yang termasuk kedalam
indikasi splinting adalah mobilitas gigi yang semakin parah, mobilitas gigi yang
menggangu kenyamanan pasien, migrasi gigi, dan prostetik yang memerlukan
gigi abutmen yang banyak. Syarat splint yang baik diantaranya adalah (Djais,
2011):
1. Splint harus melibatkan gigi stabil sebanyak mungkin untuk mengurangi
tekanan
2. Menahan gigi dengan kuat dan tidak memberikan stres torsional pada gigi
yang dipegangnya
3. Splint diperluas ke sekitar lengkung rahang sehingga tekanan anteroposterior
dan tekanan fasiolingual yang terjadi dapat saling dinetralkan
4. Splint tidak menghalangi oklusi sehingga ketidakharmonisan oklusi yang
harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum pemasangan splint
5. Splint tidak boleh mengiritasi pulpa
6. Splint tidak boleh mengiritasi jaringan lunak, gingiva, pipi, bibir, atau lidah,
7. Splint harus dapat dibersihkan dengan mudah. Oleh karena itu daerah
embrasur interdental tidak boleh tertutup splint.
D. Penatalaksanaan Splinting Essig
1. Persiapan alat; siapkan ligature wire, burnisher, needle holder, dan alkohol
2. Potong kawat ukuran sebesar 20 cm sebagai kawat primer, dan kawat ukuran
10 cm sebagai kawat sekunder kemudian masukkan ke alkohol 70% terlebih
dahulu
3. Adaptasikan kawat primer pada semua gigi yang terlibat,kawat menembus
interdental distal gigi yang terlibat hingga bagian lingual, selanjutnya kawat
ditarik kembali sepanjang lingual hingga bagian distal gigi lain yang terlibat,
menembus interdental lalu melewati bagian bukal dan bertemu dengan
ujung kawat asalnya dan dieratkan di distobukal gigi awal. Kawat menyusur
daerah singulum.
4. Kawat sekunder dimasukkan dari arah palatinal/ lingual Potong kawat
sekunder yang 10 cm tadi menjadi 2 cm lalu masukkan salah satu ujung dari
permukaan lingual ke labial lalu kembalikan ke permukaan lingual lagi
melalui kawat primer. tarik kawat dengan menggunakan pinset
5. Pelintir kawat dengan needle holder searah jarum jam sampai ketat lalu
potong dan tekan kearah insisal dengan burnisher
6. Instruksikan pasien untuk makan makanan yang lunak, dan kontrol 1 bulan
kemudian
E. Anatomi TMJ
Komponen penyusun TMJ, terdiri atas fossa mandibular atau fossa
glenoidalis, eminensia artikularis atau tuberkel, kondilus, diskus, kapsula
fibrosa, dan ligamen ekstra kapsular (Riawan dan Yuza, 2018).
1. Kondilus
Kondilus merupakan bagian dari mandibula yang berbentuk oval
memanjang pada arah mediolateral dan bagian anteroposterior lebih konveks
daripada mediolateral. Permukaan atas kondilus yang berbentuk konveks
dilapisi oleh lapisan fibrokartilago yang tebal yang berlanjut menjadi lapisan
tipis jaringan fibrous yang lebih datar pada bagian posterior.
2. Diskus artikularis
Diskus artikularis terdiri atas dua bagian, yaitu ruang sendi atas dan
ruang sendi bawah. Ruang atas besar dan meluas ke dalam bidang sagital
dari posterior fossa glenoidalis dan ke depan menuju anterior tuberkel
artikularis. Ruang sendi bawah yang melapisi kondilus memiliki cekungan
posterior yang relatif besar dan cekungan anterior yang relatif lebih kecil.
Diskus artikularis berbentuk oval dan bagian sentral tampak lebih tipis
daripada bagian perifer.
3. Eminensia artikularis
Eminensia artikularis merupakan bagian transversal dari arkus
zigomatikus dan merupakan dinding anterior dari fossa glenoidalis. Bentuk
dari eminensia artikularis tampak seperti sadel, bila dilihat dari samping
berbentuk konkaf. Komposisi eminensia artikularis terdiri atas lapisan tebal
tulang padat yang dilapisi oleh jaringan fibrous.
4. Fossa glenoidalis
Fossa glenoidalis berbentuk konkaf dan merupakan tempat terpasangnya
kondilus pada tulang temporal. Dinding anterior fossa dibatasi oleh
eminentia artikularis, sedangkan dinding posterior dibatasi oleh pelat timpani
dan dinding anterior meatus arkustikus eksternal. Pada bagian medial
dibatasi oleh sutura antara skuamosa dengan sayap besar tulang sphenoid
yang dilapisi oleh lapisan fibrokartilago
F. Pergerakan Mandibula
Gerak mandibula dalam hubungannya dengan rahang atas dapat diklasifikasikan
sebagai berikut yaitu (Riawan dan Yuza, 2018):
1. Gerak membuka
Muskulus pterygoideus lateralis berfungsi menarik prosessus
kondiloideus ke depan menuju eminensia artikularis. Pergerakan akan diikuti
dengan relaksasi serabut posterior muskulus temporalis dan terjadi relaksasi
muskulus masseter, serabut anterior muskulus temporalis dan muskulus
pterygoideus medialis yang berlangsung cepat dan lancar. Keadaan ini akan
memungkinkan mandibula berotasi di sekitar sumbu horizontal, sehingga
prosessus kondilus akan bergerak ke depan sedangkan angulus mandibula
bergerak ke belakang. Dagu akan terdepresi, keadaan ini berlangsung dengan
dibantu gerak membuka yang kuat dari muskulus digastricus, muskulus
geniohyoideus dan muskulus mylohyoideus yang berkontraksi terhadap os
hyoideum yang relatif stabil, ditahan pada tempatnya oleh muskulus
infrahyoidei. Sumbu tempat berotasinya mandibula tidak dapat tetap stabil
selama gerak membuka, namun akan bergerak ke bawah dan ke depan di
sepanjang garis yang ditarik (pada keadaan istirahat) dari prosessus
kondiloideus ke orifisum canalis mandibularis .
2. Gerak menutup
Gerakan menutup mandibula dilakukan oleh muskulus masseter,
muskulus temporalis, dan muskulus pterygoideus medialis. Gerak menutup
pada posisi protrusi memerlukan kontraksi muskulus pterygoideus lateralis,
yang dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis. Kondil akan tetap pada
posisi ke depan pada eminensia artikularis. Pada gerak menutup retrusi,
serabut posterior muskulus temporalis akan bekerja bersama dengan
muskulus masseter untuk mengembalikan prosesus kondiloideus ke dalam
fosa glenoidalis, sehingga gigi geligi dapat saling berkontak pada oklusi
normal. Pada gerak menutup cavum oris, kekuatan yang dikeluarkan otot
pengunyahan akan diteruskan terutama melalui gigi geligi ke rangka wajah
bagian atas. Muskulus pterygoideus lateralis dan serabut posterior muskulus
temporalis cenderung menghilangkan tekanan dari kondil pada saat otot-otot
ini berkontraksi, yaitu dengan sedikit mendepresi kondil selama gigi geligi
menggeretak.
3. Protrusi
Prosesus kondilaris bergerak ke depan dan ke bawah pada eminensia
artikularis dan gigi geligi akan tetap pada kontak meluncur yang tertutup.
Penggerak utama pada keadaan ini adalah muskulus pterygoideus lateralis
dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis. Kontraksi muskulus
pterygoideus lateralis juga akan menarik discus artikularis ke bawah dan ke
depan menuju eminensia artikularis. Serabut posterior muskulus temporalis
relaksasi
4. Retusi
Kondilus bersama dengan discus artikularisnya akan meluncur ke arah
fosa mandibularis melalui kontraksi serabut posterior muskulus temporalis.
Muskulus pterygoideus lateralis adalah otot antagonis dan akan mengalami
relaksasi pada keadaan tersebut.
5. Gerak lateral
Prosesus kondilaris pada sisi tujuan arah mandibula yang bergerak akan
ditahan tetap pada posisi istirahat oleh serabut posterior muskulus temporalis
dan akan bergeser sedikit ke tengah lalu berotasi melalui sumbu vertical.
Pada sisi berlawanan prosesus kondilaris dan diskus artikularis akan
terdorong ke depan ke eminensia artikularis melalui kontraksi muskulus
pterygoideus lateralis dan medialis, dalam hubungannya dengan relaksasi
serabut posterior muskulus temporalis.
Gerakan mandibula Otot yang berperan
Elevasi (mengatupkan mulut) M. temporalis, M. massetericus,
M. pterygoideus medial
Depresi (membuka mulut) Penggerak utama adalah gravitasi,
dibantu oleh pterygoideus
lateralis, suprahyoideus dan
infrahyoideus
Protrusi (memajukan dagu) Penggerak utama adalah pterygoides
lateral, dibantu oleh masseter dan
pterygoideus medial
Retrusi (menarik dagu) Temporalis dan masseter
Gerakan lateral (grinding dan Temporal ipsilateral, pterygoideus
chewing) contralateral, dan masseter

G. Definisi dan Klasifikasi Temporomandibular Disorder (TMD)


Gangguan Temporomandibula (TMD) dapat didefinisikan sebagai rasa
sakit dan / atau disfungsi dalam otot-otot pengunyahan atau sendi
temporomandibular (TMJ), dan struktur terkait atau keduanya. Rasa nyeri pada
TMJ dan otot kraniofasial yang terkait dapat unilateral atau bilateral. Gangguan
sendi temporomandibula ini dianggap subdivisi patologi muskuloskeletal dan
menjadi sumber utama dari nyeri. Tanda-tanda klinis yang paling umum dan
gejala dari TMD adalah sakit pada palpasi sendi dan / atau otot-otot
pengunyahan, berkurang pembukaan mulut, pembatasan dalam gerakan rahang
excursive (kanan, kiri, dan tonjolan) dan mengklik atau suara kisi-kisi pada
sendi pada pergerakan mandibula. Gejala lain dari TMD ini adalah sakit atau
perih di sekitar TMJ, rasa sakit di sekitar telinga, kesulitan menelan atau
perasaan tidak mulus ketika mengunyah atau membuka mulut, rahang terkunci,
kaku, sehingga mulut sulit dibuka atau ditutup, sakit kepala, gigitan yang
rasanya tidak pas, gigi-gigi tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada
sebagian gigi yang mengalami kontak prematur, tinnitus, dan berbagai bunyi
suara sendi. TMD terdapat dua jenis yaitu extra capsular disorders ,dan intra
capsular problems.
1. Extra capsular disorders
Berhubungan dengan gangguan otot mastikasi meliputi nyeri miofacial,
miositis, miospasme atau trismus, mialgia, kontraksi otot, dan neoplasma
otot. Nyeri ekstrakapsular terutama yang bersumber dari otot disebut
mialgia. Nyeri miofacial ditandai dengan nyeri orofacial, bunyi sendi, nyeri
raba dengan otot bersangkutan, dan keterbatasan pergerakan mandibula.
2. Intra capsular problems
Berhubungan dengan gangguan konganital atau gangguan perkembangan,
gangguan disc derangement, dislokasi, gangguan inflamasi, osteoartritis
(gangguan bukan inflamasi), ankilosis dan fraktur. Nyeri yang bersumber
dari intrakapsular didefinisikan sebagai artralgia
H. Etiologi dan Faktor Presdiposisi TMD
Etiologi gangguan sendi temporomandibula multifaktoral. Secara umum
dibagi menjadi kelainan struktural dan gangguan fungsional. Kelainan struktural
adalah kelainan yang disebabkan perubahan struktur persendian akibat gangguan
pertumbuhan, trauma eksternal, dan infeksi. Gangguan fungsional adalah
masalah TMJ yang timbul akibat fungsi yang menyimpang karena adanya
kelainan pada posisi atau fungsi gigi geligi dan otot kunyah. Makro trauma
adalah tekanan yang terjadi secara langsung, dapat menyebabkan perubahan
pada bagian diskus artikularis dan prosesus kondilaris. Hal ini mengakibatkan
penurunan fungsi pada saat pergerakan, dan pada gangguan fungsional posisi
discus articularis dan processus condylaris dapat berubah secara perlahan–lahan
yang dapat menimbulkan gejala clicking . Faktor Predisposisi yang dapat
menyebabkan TMD adalah trauma kronis sebagaimana pada trauma oklusi,
kelainan fungsi dan anatomis struktur pembentuk TMJ, dan gangguan neuro-
muskular fungsi pengunyahan (Shofi dkk., 2014).
I. Pemeriksaan TMD
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan luas pergerakan, nyeri tekan, suara,
bruxisme, dan oklusi.
1. Luas pergerakan rahang
Mengukur luas pergerakan rahang dapat dilakukan menggunakan
penggaris atau kaliper, dari tepi bawah gigi insisvus yang terletak tepat
ditengah maksila sampai dengan tepi atas gigi insisivus yang terletak tepat di
rahang mandibula. Nilai terendah untuk pembukaan interinsisal maksimal
yang normal 35mm untuk wanita, 40mm untuk laki-laki atau ukurannya
sekitar dua jari pasien.
2. Pemeriksaan nyeri tekan dengan menggunakan palpasi di daerah sendi
dengan jari telunjuk pada saat rahang menutup, saat rahang membuka serta
palpasi intra-aurikular. Saat membuka mulut tanpa gerakan ke anterior,
rotasi kondilus akan teraba. Pada gerakan ke anterior kepala kondilus terasa
menjauh.
3. Bunyi pada sendi temporomandibula diperiksa dengan jari atau dapat
dilakukan dengan menggunakan stetoskop (Binbaum & Dunne, 2010).
J. Penatalaksanaan TMD
Penatalaksanaan dislokasi TMJ (temporomandibular joint) tergantung pada
kejadian dislokasi. Pada keadaan akut, sebaiknya segera dilakukan reposisi
secara manual sebelum spasme otot bertambah dalam. Sedangkan pada keadaan
kronis rekuren diperlukan tindakan pembedahan dan non pembedahan lainnya
untuk menghindari redislokasi. Prosedur terapi manual merupakan metode
reduksi yang telah lama diperkenalkan. Tahapan penatalaksanaannya adalah
sebagai berikut (Carlsson, 1999):
1. Lakukan rontgen foto terlebih dahulu jika kemungkinan ada fraktur. Jika
tidak ada fraktur, dapat dilakukan proses penanganan secara langsung.
2. Pasien ditempatkan pada kursi tegak atau dapat bersandar pada dinding
sehingga punggung dan kepala pasien bersandar pada dinding.
3. Balut ibu jari dengan kain kasa yang agak tebal untuk mencegah tergigitnya
ibu jari karena setelah berada pada posisi yang benar maka rahang akan
mengatup dengan cepat dan keras. Setelah itu gunakan sarung tangan.
4. Letakkan ibu jari pada daerah retromolar pad (di belakang gigi molar
terakhir) pada kedua sisi mandibula setinggi siku-siku operator dan jari-jari
yang lain memegang permukaan bawah mandibula
5. Berikan tekanan pada gigi-gigi molar rahang bawah untuk membebaskan
kondilus dari posisi terkunci di depan eminensia artikulare
6. Dorong mandibula ke belakang untuk mengembalikan ke posisi anatominya
7. Jika tidak mudah untuk direlokasi, operator dapat merujuk untuk dilakukan
rontgen foto
8. Untuk mengendorkan otot dapat dilakukan pemberian midazolam intra vena
dan 1-2 ml 1% lidokain intraarticular untuk mengurangi nyeri. Injeksi
dilakukan pada sisi kiri daerah yang tertekan dari kondilus yang
displacement.
9. Pemasangan Barton Head Bandage untuk mencegah relokasi dan
menghindari pasien membuka mulut terlalu lebar dalam 24-48 jam.
10. Pasien diinstruksikan untuk diet makanan lunak dan medikasi pasien berupa
analgetik, antiinflamasi dan pelemas otot (jika perlu)
K. Komplikasi TMD
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien TMD diantaranya adalah
nyeri otot sekitar wajah yang berkelanjutan akibat adanya pergeseran letak
meniskus yang tidak dapat hanya diatasi dgn memperbaiki posisi Imobilisasi
rahang menggunakan Fiksasi intermaksilar “elastic head bandage” meniskus
saja, tetapi harus dilanjutkan dgn fisioterapi, Infeksi pada perawatan dislokasi
non bedah jarang ditemui kemungkinan akibat kontaminasi mikroorganisma
patogen saat injeksi anestesi lokal, serta terjadi dislokasi rekuren yaitu dislokasi
akut berkembang menjadi kronis jika ditangani dengan cara yang tidak
sempurna, misalnya hanya dilakukan reposisi dan imobilisasi saja (Gross dan
Pertes, 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Ajmal, S., Khan A. K., Jadoon H., Malik S A, 2007, Management Protocol of
Mandibular Fractures at Pakistan Institute of Medical Sciences, Islamabad,
Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad, 19 :3
Balaji, S.M., 2007, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier, New Delhi.
Birnbaum W., Dunne S.M.,2010, Diagnosis Kelainan dalam Mulut:Petunjuk Bagi
Klinis, EGC, Jakarta
Carlsson, Magnusson T, 1999, Management of temporomandibular disorders in the
general dental practice, Quitessence Publishing, Jerman
Delima, M., 2014, Hubungan Perawatan Luka Dengan Proses Penyembuhan Luka Pada
Klien Luka Robek (Vulnus Laceratum) Di Ruangan Bedah Rsi Ibnu Sina
Bukittinggi Tahun 2013, Jurnal Ilmu Kesehatan Afiyah, 1(2):1-5
Djais, A.I., 2011, Berbagai jenis splint untuk mengurangi kegoyangan gigi sebagai
perawatan penunjang pasien penyakit periodontal, Dentofasial, 10(2): 124-127
Gross S. G, Pertes R. A., 1995 Clinical management of temporomandibular disorders
and orofacial pain, Quitessence Books, USA
Karakata, S., Bachsinar, B. 1995, Bedah Minor, Hippocrates, Jakarta
Riawan, L., Yuza, A.T., 2018, Penatalaksanaan Kelainan Sendi Temporomandibular,
Leutikaprio, Yogyakarta
Shofi, N., Cholil, Sukmana, B.I., 2014, Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder
Pada Pasien Di Rsud Ulin Banjarmasin Bulan Juni – Agustus 2013, Dentino
Jurnal Kedokteran Gigi, 2(1):70-73
Taylor, C.N.,Lilis,C., 2011, Fundamental Of Nursing The Art And Science Of Nursing
Care, Lippincott Williams& Wilkins., USA
Wiley, J., 2011, Avulsion of permanent teeth: theory to practice, Dental Traumatology,
1(3):1-15

Anda mungkin juga menyukai