Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat

merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah

kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Dengan melihat akhir-akhir ini

banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak

sekali memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia

yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri yang seharusnya

mengabdi untuk kemajuan bangsa ini. Undang-Undang No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3, yang termasuk dalam

tindak pidana korupsi adalah:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 30 jenis

Tindak Pidana Korupsi, dan dapat dikelompokan dalam tujuh kelompok,

diantaranya ialah kerugian keuangan Negara.1 Arti kerugian negara dalam Pasal 1

angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan yaitu:

1
Komisi pemberantasan korupsi, Memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami
tindak pidana korupsi, Jakarta:KPK, 2006, hlm 4.

1
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.”
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 30 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan “secara

nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat

dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau

akuntan publik yang ditunjuk. Kerugian negara yang jumlah kerugiannya

dihitung oleh instansi yang berwenang yaitu di lakukan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) dan Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Pengawasan BPK atas pengelolaan dan penanggulangan terjadinya tindak pidana

korupsi dilakukan BPK dengan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang hasil akhirnya menyatakan bahwa

instansi pemerintah atau pejabat pemerintah tersebut telah melakukan

penyelewengan dana sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau

tidak. Dalam kasus tindak pidana korupsi, suatu instansi pemerintah atau pejabat

pemerintah dikatakan telah melakukan penyelewengan dana yang mengakibatkan

kerugian keuangan negara dapat dilihat dengan adanya Laporan Hasil

Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan.2

Fungsi BPK selaku yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab atas

keuangan negara berperan penting untuk memeriksa apakah telah terjadi

penyimpangan dana yang merugikan keuangan negara yang disebut dengan

Tindak Pidana Korupsi. BPK berwenang melakukan tindakan yang dibenarkan

2
Loc.Cit

2
hukum keuangan negara. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan

seperangkat Undang- Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu: Undang-

Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.1

tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan

Undang- Undang No.15 tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

yang merupakan salah satu bertugas untuk menghitung kerugian negara dalam

tindak pidana korupsi, lembaga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) juga berwenang mengaudit kerugian tindak pidana korupsi.3

Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya

yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.4

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun.

Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus

yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana

yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh

aspek kehidupan masyarakat.5

Luasnya dampak yang diakibatkan dari korupsi, maka diperlukan usaha

yang keras dalam memberantas tindak pidana korupsi ini. Salah satunya melalui

3
Ikhwan, Hussain, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dan Surat Dari Instansi Yang
Berwenang Menghitung Kerugian Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Poenale,
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Vol.5 No.5, 2017, hlm. 3
4
Ibid., hlm.4
5
Evi Hartanti. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Sinar Grafika, Hlm. 2

3
pembuktian, karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan

penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian

inilah ditentukan nasib pelaku tindak pidana. Kegiatan pembuktian yang

dijalankan dalam peradilan, pada dasarnya adalah suatu upaya untuk

merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu peristiwa yang sudah berlalu.

Hasil kegiatan peradilan akan diperoleh suatu konstruksi peristiwa yang terjadi,

bentuk sempurna tidaknya atau benar tidaknya rekonstruksi itu sepenuhnya

bergantung pada pekerjaan pembuktian. Dalam hal merekonstruksi peristiwa itu

diperlukan alat bukti dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang ada

tentang pembuktian sesuatu. Atas dasar apa yang diperoleh dari kegiatan itu,

maka dibentuklah konstruksi peristiwa yang sudah berlalu yang sebisanya sama

persis dengan peristiwa yang sebenarnya

Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu

(objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan

cara- cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai

terbukti ataukah tidak menurut Undang-Undang. Sebagaimana diketahui bahwa

proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak: hakim,

jaksa dan terdakwa yang (dapat) didampingi penasihat hukum, segala seginya

telah ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Keseluruhan ketentuan hukum

yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum

pembuktian. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek

pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum

acara pidana/hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil.Apabila dikaji

4
lebih mendalam ada polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikatagorisasikan ke

dalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari

hukum perdata sehingga aspek pembuktian ini masuk dalam katagori hukum

perdata materiil dan hukum perdata formal ( hukum acara perdata). Akan tetapi

setelah berlakunya KUHAP aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan

Hukum Pidana Formal.6

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam

Undang-Undang tersendiri yaitu Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam beracara di pengadilan tetap berlaku

KUHAP. Sesuai dengan Pasal 26 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak

pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Artinya berdasarkan bunyi pasal

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selama Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi tidak menentukan lain, maka segala ketentuan hukum acara pidana yang

terdapat dalam KUHAP berlaku bagi proses peradilan tindak pidana korupsi,

mulai dari proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

termasuk pembuktian.

Kegiatan pembuktian tindak pidana korupsi, disamping tetap

menggunakan KUHAP dalam bidang atau hal tertentu berlaku ketentuan khusus
6
Lilik Mulyadi,  Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik ( Bandung :
Alumni, 2008), halaman 91.

5
sesuai yang ditentukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seperti

mengenai sistem pembebanan pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang

menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang.

Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan sesuai

dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Aturan tersebut berlaku untuk perkara

korupsi, hanya saja khusus untuk alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat

bukti lain yang berupa informasi elektronik, ataupun dari dokumen rekaman data

atau informasi sesuai Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.7

Hasil audit investigasi dalam tindak pidana korupsi sebenarnya bukan

merupakan domain Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK sebagaimana dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara, Undang-

Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara, dan juga Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang

Badan Pemeriksa Keuangan.

Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara diatur mengenai kewenangan Badan

Pemeriksa Keuangan Negara yang dapat melaksanakan audit Investigasi guna

mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, dan

apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana maka Badan Pemeriksa

7
Ikhwan, Loc.Cit.

6
Keuangan harus segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang

berwenang.8

Peranan Polri sendiri sebagai penyidik pada tindak pidana korupsi selain

bertugas menyelidiki adanya perbuatan koruptor oleh oknum-oknum tertentu

dibantu oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),

dimana hasil audit investigasi yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berfungsi sebagai alat bukti bagi

penyidik Polri, yang berupa surat-surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya

suatu tindak pidana korupsi. Selain hasil audit yang dapat dijadikan sebagai alat

bukti surat, auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun

juga dapat diminta keterangannya untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti

keterangan ahli.9

Pada Bagian A, Angka 6 SEMA No,4 Tahun 2016 menyebutkan bahwa:

“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara


adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional
sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang
melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak
berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara”
Dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai

adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara, yang berarti Badan

Pemeriksa Keuangan yang berhak menghitung kerugian Negara secara men-

declare, dan dalam hal tertentu hakim dapat menilai adanya kerugian negara dan

besarnya kerugian negara berdasarkan fakta di persidangan.10

8
Loc,Cit.
9
Loc.Cit
10
Loc.Cit

7
Berdasarkan uraian diatas memberikan gambaran bahwa kewenangan audit

investigatif secara atributif ada pada BPK sebagaimana dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 15

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara, dan juga Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksaan Keuangan. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

hukum dengan mengangkat permasalahan mengenai “Kekuatan Pembuktian

Keterangan Ahli dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Untuk

Menghitung Kerugian Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan ahli dari BPK (Badan

Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam kasus

tindak pidana korupsi?

2. Apakah faktor-faktor penghambat dalam pembuktian menggunakan alat

bukti keterangan ahli dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk

menghitung kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi?

C. Kerangka Teori

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang

menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan di sidang

pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem pembuktian

8
mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem

pembuktian di suatu negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem

atau teori pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction

intime atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata,

conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam

batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau

teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang

disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie

atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat

bukti dalam undang-undang secara negatif.11

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses di

pengadilan, karena dapat menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Hukum

pidana menganut sistem pembuktian Negative wettelijk ada dua hal yang

merupakan syarat:12

a. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh Pasal
184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Negative, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, belum cukup untuk
memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih
dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Alat-alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan

causal (sebab akibat). Menurut Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) adalah:

11
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011, Hlm.
11
12
Ikhwan, Op.Cit, hlm.6

9
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya".
Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan yang

ditetapkan undang-undang dan keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu benar-

benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Sehingga meskipun

terdapat empat, lima atau enam saksi yang diajukan Penuntut Umum, akan tetapi

hakim pidana tidak meyakini bahwa tindakan pidana itu telah terjadi dan

dilakukan oleh terdakwa, maka hakim pidana akan membebaskan terdakwa atau

akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu, sistem

KUHAP menganut sistem Negative Wettelijk, tidak mengizinkan hakim pidana

untuk menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan

oleh undang-undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh Pasal 184 KUHAP. Alat

bukti berupa pengetahuan hakim atau keyakinan hakim tidak merupakan alat

bukti yang ditetapkan oleh KUHAP, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 184 yang

menyatakan alat bukti yang sah, yaitu :

“Alat bukti yang sah ialah:


a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa”.

Pengertian keterangan ahli berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu:

“Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus


tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.” 13

Juangga Saputra, Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang Mempengaruhi Keyakinan
13

Hakim untuk Mengambil Keputusan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Negeri

10
Dari pengertian diatas merupakan syarat materil seseorang dapat dikatakan

sebagai seorang ahli, dan kualifikasi ahli dapat ditentukan atas dasar latar

belakang pendidikannya, maupun pekerjaannya. Sehingga ahli dalam

memberikan kesaksian bertindak atas nama lembaga. Dalam hal ahli memberikan

kesaksian harus disertai surat penugasan sebagai ahli dari lembaga terkait.

Sedangkan syarat formil seseorang dapat dikatakan sebagai seorang ahli diatur

dalam:14

Pasal 186 KUHAP:


“Keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”
Pasal 160 ayat 3 KUHAP:
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberi keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya”
Bunyi Pasal 160 ayat 3 KUHAP juga berlaku bagi seorang ahli. Perbedaan

keterangan saksi dan keterangan ahli yaitu keterangan saksi ialah keterangan

yang diberikan mengenai hal yang ia alami, ia lihat atau ia dengar sendiri,

sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas keahlian yang ia

miliki, yang memberikan penghargaan atas sesuatu keadaan dengan memberikan

kesimpulan atau sesuatu pendapat. Sehingga letak perbedaanya seorang Ahli

dapat memberikan kesimpulan, sedangkan seorang saksi tidak diperbolehkan.

Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum

No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn). Jurnal Hukum. Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara. Vol. 3.


No. 2, 2016, hlm 4
14
Hadi Alamri,Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum. Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Vol.5,
No.1, 2016, hlm 4

11
memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih

dahulu. 15

Keterangan ahli merupakan hal yang penting karena merupakan alat bukti

yang sah, sehingga akan mempermudah bagi hakim dalam melakukan

pembuktian dan memperkuat keyakinan. Kekuatan alat bukti keterangan ahli

bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang hakim untuk menggunakannya

apabila bertentangan dengan keyakinannya. Apabila bersesuaian dengan

kenyataan yang lain di persidangan, keterangan ahli diambil sebagai pendapat

hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja

dikesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat bahwa apabila

keterangan ahli dikesampingkan harus berdasarkan alasan yang jelas, tidak bisa

begitu saja mengesampingkan tanpa alasan. Karena hakim masih mempunyai

wewenang untuk meminta penelitian ulang bila memang diperlukan.

Kegiatan pembuktian tindak pidana korupsi, disamping tetap

menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang

tertentu berlaku hukum pembuktian khusus sebagai perkecualiannya. Adapun

hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi,

terdapat pada 2 hal pokok:16

a. Mengenai bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membentuk alat


bukti.( Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001)
b. Mengenai sistem pembebanan pembuktian.( Pasal 37 Undang-Undang
Nomor: 20 Tahun 2001)
Menurut hukum pembuktian tindak pidana korupsi , alat bukti dalam Pasal

184 KUHAP itu dapat diperluas lagi. Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 31
15
Ikhwan.,Op.Cit.,hlm 5
16
Juangga,Loc.Cit.

12
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 menentukan bahwa alat

bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 alat bukti lain dari pasal 188 ayat (2)

KUHAP, yakni:17

a. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik


dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.

Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti

petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi

dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti yang

kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti ; keterangan saksi,

surat, dan keterangan terdakwa (pasal 188 ayat 2). Dalam rumusan pasal 26A

huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan

dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan

saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dengan alasan itu, maka alat bukti

petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan

dokumen saja, tanpa menggunakan alat bukti lain. Tentu saja, berdasarkan pasal

183 alat bukti petunjuk tidak boleh berdiri sendiri, artinya hanya satu-satunya alat

bukti. Karena informasi dan dokumen yang dimaksud pasal 26A tidak dapat

digunakan untuk membentuk keyakinan hakim sebagaimana yang dimaksud

17
Syaibatul Hamdi, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pidana. Jurnal Ilmu Hukum.
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh. Vol.1 No.4, 2017, hlm 12

13
pasal 183 KUHAP tersebut, fungsi dokumen dan informasi sebagai alat bukti

hanya bernilai sebagai alat bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk saja, tidak

dapat digunakan untuk kepentingan lain selain membentuk alat bukti petunjuk.

Oleh karena itu, apabila telah diperoleh alat bukti petunjuk berdasarkan alat bukti

informasi dan dokumen, tetap masih diperlukan satu alat bukti lain lagi yang

isinya sama dan bersesuaian, misalnya keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa, tetapi tidak dari keterangan ahli. Keterangan ahli dapat dipergunakan

sebagai bahan/bukti tambahan membentuk alat bukti petunjuk.18

Dalam hal membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan

tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah

sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar

keterangan ahli dan bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti

yang dimaksud pasal 183. Keyakinan hakim sesungguhnya harus berpijak pada

keadaan (objektif) dari isi setidak-tidaknya dua alat bukti yang dapat

membuktikan terjadinya tindak pidana in casu korupsi. Untuk terbuktinya tindak

pidana korupsi, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan harus

terbukti semuanya. Untuk membuktikan terjadinya, peran dan kedudukan alat

bukti petunjuk yang dibentuk melalui alat bukti informasi dan alat bukti dokumen

tadi perlu ditambah dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lain yang sah. Jika

secara objektif telah terpenuhi syarat minimal bukti tersebut, barulah hakim dapat

membentuk keyakinannya.19

18
Ibid.,hlm 14
19
Loc,Cit.

14
Dalam Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 terdapat beberapa pasal

yang memuat mengenai keterangan ahli dari BPK. Beberapa diantaranya: 20

Pasal 1 Angka 2 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 yaitu:

“Ahli adalah orang yang ditunjuk oleh BPK karena kompetensinya untuk
memberikan keterangan mengenai kerugian Negara/daerah yang dimuat dalam
laporan hasil pemeriksaan BPK atau Laporan hasil perhitungan kerugian
Negara/daerah, dalam proses peradilan”.
Pasal 2 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 :

(1) BPK dapat memberikan Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai
kerugian Negara/daerah
(2) BPK dapat menugaskan Anggota BPK, Pejabat pelaksana BPK, Pemeriksa
atau Tenaga ahli dari luar yang bekerja untuk dan atas nama BPK untuk
memberikan Keterangan Ahli
Pasal 3 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 :

(1) Keterangan ahli diberikan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK


(2) Dalam hal permintaan Keterangan ahli tidak didasarkan pada Laporan Hasil
Pemeriksaan BPK, Keterangan ahli dapat diberikan setelah BPK melakukan
penilaian dan perhitungan kerugian Negara/daerah.
(3) Penilaian dan perhitungan kerugian Negara/daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan mempergunakan data/dokumen yang
diperoleh dari pemohon berdasarkan permintaan BPK.

Pasal 16 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 :

Dalam memberikan keterangan, seorang ahli harus:


a. Bersikap objektif
b. Mematuhi seluruh tata tertib yang berlaku dalam proses peradilan; dan
c. Memberikan keterangan berdasarkan pengetahuan dan keahliannya
Pada Bagian A, Angka 6 SEMA No,4 Tahun 2016 menyebutkan bahwa

Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara

adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional

sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan

20
Juangga,Op.Cit.,hlm 6

15
Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang

melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak

berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara.

Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya

kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara, yang berarti Badan Pemeriksa

Keuangan yang berhak menghitung kerugian Negara secara men-declare, dan

dalam hal tertentu Hakim dapat menilai adanya kerugian Negara besarnya

kerugian Negara berdasarkan fakta di persidangan. Dengan demikian kekuatan

pembuktian keterangan ahli dari BPK (Badan Pemeriksan Keuangan) untuk

menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi dapat membantu

hakim untuk menemukan fakta dalam persidangan.21

Sebagai tambahan, Surachmin, Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah

Agung, dalam tulisannya “Siapa Yang Harus Menghitung Kerugian

Negara”menjelaskan:22

“Untuk dapat menjadi seorang ahli di muka pengadilan si Auditor BPK minimal
mempunyai jabatan sebagai Pengendali Mutu atau Pengendali Teknis atau
Pimpinan Tim. Persyaratan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) di mana salah satu alat bukti adalah keterangan ahli, maka
auditor yang menjadi pimpinan tim pemeriksa atau telah menjabat sebagai
pengendali mutu atau pengendali teknis adalah sebagai seorang ahli atau tenaga
profesional. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP dijelaskan bahwa “Keterangan
ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu
tidak diberikan waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka
pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat
dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.”
21
Ibid.,hlm.7
22
Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 317, Jakarta, 2012,
hlm 41

16
Hal ini sesuai dengan Nooredyono seorang Hakim Tindak Pidana Korupsi

pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan sebagai berikut:

“Hakim melihat apa-apa yang dipersidangan, jika keterangan ahli


yang dihadirkan berkualitas maka hal tersebut akan menambah pemahaman
hakim dalam perkara tersebut, cara hakim melakukannya dengan memeriksa
identitas ahli, menanyakan dan jawaban ahli serta dari pembawaan ahli yang
dihadirkan,hakim dapat menilai bahwa keterangan yang diberikan sama dengan
logika pikiran dari hakim itu”

Pandangan tersebut merujuk pemahaman bahwa hakim semakin mengerti

duduk perkara ketika dihadapkannya seorang ahli yang berkompeten dalam

bidang tersebut, hal ini dibuktikan dalam frase “menambah pemahaman hakim”.

Sehingga hakim sebagai juru pemutus melihat seorang ahli dan keterangan yang

diberikan dapat semakin paham akan duduk perkara yang terjadi. Terkait dengan

hal itu tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa seorang ahli dapat juga

membuat hakim meyakini kebenaran dari sebuat perkara dalam hal adanya

persesuaian keterangan ahli sehingga akan ada fakta persidangan. Keterangan

ahli sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya. Dari hasil wawancara

dengan Sugeng, selaku Jaksa Muda Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan

Negeri Semarang,sebagai berikut:23

“Ada 8 kategori ahli yang seringkali dihadapkan dalam sidang pengadilan


yang sebelumnya dipanggil oleh jaksa penuntut umum, yakni: ahli yang berkaitan
dengan kerugian negara, ahli yang berkaitan dengan pengadaan barang dan
jasa,ahli yang berkaitan dengan mesin, ahli yang berkaitan dengan bidang
elektrik mekanikan, ahli yang berkaitan dengan teknik sipil, ahli yang berkaitan
dengan bidang topografi, ahli yang berkaitan dengan perbankan, ahli yang
berkaitan dengan IT”

23
Auria Patria, Pengaruh Keterangan Ahli Terhadap Keyakinan Hakim dalam Putusan
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Vol. 8 No. 2.
2013, Hlm 6

17
Ahli tersebut memiliki kompetensi yang berbeda-beda dalam hal keahlian

khusus yang dimilikinya. Jika dilihat dari keterangan Bapak Sugeng dapat

dipetakan tentang fakta yang akan disampaikan terkait dengan keahlian khusus

yang dimiliki ahli,diantaranya:24

1. Ahli yang berkaitan dengan kerugian negara, akan menjelaskan


tentang pengetahuannya akan kerugian negara yang akan terjadi, terjadi dan
telah terjadi akibat dari tindak pidana korupsi tersebut.
2. Ahli yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, akan membuka fakta
tentang besaran nilai barang dan jasa prosedur serta penilaian terkait dengan
kompetensi ahli barang dan jasa atas tindak pidana korupsi tersebut.
3. Ahli yang berkaitan dengan mesin,akan mengungkapkan seputar
pengetahuannya tentang mesin biasanya untuk perkara-perkara yang memiliki
keterkaitan dengan pengadaan kendaraan atau pembuatan bangunan yang
melibatkan mesin
4. Ahli yang berkaitan dengan bidang elektrik mekanikan, akan menjelaskan
tentang bidang elektrik dan susuai dengan keilmuan yang dimilikinya
5. Ahli yang berkaitan dengan teknik sipil, akan menjelaskan
tentang pengetahuannya sebagai teknik sipil.
6. Ahli yang berkaitan dengan bidang topografi, akan menjelaskan
tentang pengetahuannya dalam bidang topografi.
7. Ahli yang berkaitan dengan perbankan,akan menjelaskan seputar
perbankan,transaksi, kepemilikan rekening gendut,dan hal lain.
8. Ahli yang berkaitan dengan IT, akan menjelaskan tentang informasi
elektronik, dan hal lain yang masih dibidang IT. Dari keterangan diatas dapat
diperoleh bahwa fakta yang diungkap oleh keterangan ahli memang bervariasi
tergantung dari keahlian khusus yang dimilikinya. Dalam persidangan hal ini
memiliki dampak terhadap persesuaian dengan keterangan ahli yang akan
dihadirkan disidang pengadilan sehingga hakim akan melihat fakta
persidangan secara keleluruhan dan fakta yang diungkap keterangan ahli
dengan keahlian khusus yang dimilikinya sebagai alat bukti yang diselaraskan
dengan bukti yang lain.
Data dari penuntut umum diatas dan jenis ahli yang sering dihadirkan

dalam sidang pengadilan perkara tindak pidana korupsi diperoleh pemahaman

bahwa seorang ahli memiliki kedudukan atau posisi dalam pembuktian di sidang

pengadilan. Kedudukan ahli dalam pembuktian bukan semata-matahanya bersifat

limitatif atas pengetahuannya namun jika seorang ahli mengalami,mendengar

24
Ibid.,hlm6

18
atau melihat kejadian atau suatu perkara secara langsung maka seorang ahli dapat

pula menjelaskan apa yang dia ketahui sebagai saksi.25

Dari sisi tata urutan, Harahap(1988:819), menyatakan sebagai berikut:26

”. . .melihat pada letak keterangan ahli berada kedua setelah keterangan


saksi.Pembuat undang-undang menyadari perkembangan ilmu dan teknologi
semakin pesat dan keterangan ahli akan memegang peranan untuk menyelesaikan
perkara pidana.”
Dari pemahaman diatas seorang ahli mendapatkan posisi yang penting

dengan keahlian khusus yang dimilikinya untuk membuat hakim mengerti dan

yakin dari sebuah perkara korupsi sehingga keyakian hakim yang didasarkan

pada persesuaian dari keterangan saksi, ahli, terdakwa dan barang bukti lain serta

petunjuk membuat hakim meyakini bahwa patut dipidana atau tidaknya

seseorang. Berdasarkan hasil dengan Nyoman Serikat Putra Jaya, memberikan

pemahaman tentang keterangan ahli, sebagai berikut:27

“Kedudukan keterangan ahli dalam KUHAP termasuk alat bukti yang nantinya
akan membantu menemukan kebenaran materiil namun belum tentu juga
keterangan seorang ahli akan dipakai hakim, jika memang ahli yang dihadapkan
tidak berkompeten.Semua tergantung hakimnya”
“. . .Kalau keyakinan hakim dinilaia dari seberapa besar pengaruh keterangan
ahli, saya mengatakan itu berpengaruh asalkan keterangan ahli disampaikan
secara ideal dimuka persidangan dan ahli yang dihadapkan berkompeten karena
keyakinan hakim inilah yang akan memutus perkara”.

Berdasarkan hal tersebut diatas kedudukan seorang ahli dilihat dari sistem

pembuktian dipandang sama oleh hakim, Jaksa dan Akademisi namun, jika dalam

hal keterangan ahli dalam persidangan memberikan pemahaman kepada hakim

terkait dengan keahlian khusus yang dimilikinya, majelis hakim akan menilai dan

25
Ibid.,hlm.113
26
Ibid,hlm.114
27
Ibid.,hlm 114

19
mempertimbangkan dengan logika berfikir hakim sehingga jika

memang keterangan ahli yang diberikan ideal atau layak maka akan memperkuat

keyakinan hakim dalam membuat putusan tindak pidana korupsi. Berbeda jika

dipandang dari sistem pembuktian, kekuatan pembuktian dan fungsi dari

keterangan ahli dalam sitem pembuktian.Kedudukan seorang ahli dalam

persidangan dianggap tidak lebih dalam kompetensi sebagai alat bukti

sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang mengatur

keberadaan alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Kedudukan

keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, bagi hakim sendiri

tergantung dari materi perkara, jika sesuatu hal tersebut memang hakim tidak

membidangi hal tersebut.28

Dari uraian tersebut jelas bahwa Auditor BPK berwenang untuk

menghitung kerugian negara dan berwenang menjadi ahli di depan sidang

pengadilan untuk memberikan keterangan sebagai ahli yang dapat dijadikan

sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.  Berdasarkan hal

tersebut, maka disimpulkan bahwa yang berwenang menghitung kerugian

keuangan negara adalah Auditor BPK. Dan untuk menentukan kerugian negara,

maka Jaksa mendasarkannya pada bukti-bukti dari Laporan Hasil Pemeriksaan

audit BPK (bukti surat/tertulis) atau keterangan si Auditor BPK di muka

persidangan di bawah sumpah (keterangan ahli). 29

28
Ibid.,hlm 114-115
29
Jaidun dan Tumbur Ompu Sunggu, Kerugian Negara dalam Pengelolaan Keuangan Negara
oleh Badan Usaha Milik Daerah. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam
Samarinda. Vol.8 No.2, 2017, hlm 105

20
Berdasarkan dari rumusan masalah faktor-faktor penghambat dalam

menggunakan alat bukti keterangan ahli dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

untuk menghitung kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi teori yang

digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu30:

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)


2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas
4. Faktor masyarakat
Berdasarkan faktor-faktor diatas maka dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri.

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya

adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya,

agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam

kehidupan masyarakat.

b. Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang

yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang

peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat

atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

c. Faktor sarana atau fasilitas

Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor

sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup

30
Soerjono Soekanto.2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum. Jakarta :
Rajawali Pers

21
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

d. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut

tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Badan pengawas keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki

peran yang strategis karena bukan hanya sebagai badan pengawas/auditor internal

pemerintah tetapi diberdayakan pula sebagai lembaga investigasi memalui Nota

Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: KEP-

109/A/JA/09/2007, Kepolisian Negara Republik Indonesia NO.POL:

B/2718/IX/2007 dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Nomor:

KEP- 1093/K/D6/2007 tentang kerjasama dalam penanganan kasus

Penyimpangan Pengelolan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana

Korupsi Termasuk Dana Nonbudgeter, Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan sebagai pendukung utama Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk menunjang tugasnya BPK RI

didukung dengan seperangkat Undang- Undang di bidang Keuangan Negara,

yaitu: Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-

Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No.

15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

22
Negara, dan Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan pembuktian keterangan ahli

dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara

dalam kasus tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penghambat dalam

pembuktian menggunakan alat bukti keterangan ahli dari BPK (Badan

Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam kasus tindak

pidana korupsi.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah kehasanah keilmuan

terutama dalam bidang hukum yang kelak dapat pengembangan disiplin

ilmu hukum khususnya disiplin ilmu hukum pidana serta kaitannya

dengan tindak pidana korupsi

2. Kegunaan Praktis

23
Hasil dari penelitian ini diharapkan harapkan bermanfaat pada

masyarakat pada umumnya dan lembaga penegakan hukum di Indonesia

dalam perumusan kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi.

Khususnya dalam mengkaji pembuktian keterangan ahli dari BPK

(Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam

kasus tindak pidana korupsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Acara Pidana.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, adanya perubahan perundang-

undangan di Negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula di

Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa

kodifikasi peraturan hukum acara pidana, seperti reglement op de rechterlijke

organisatie (RO. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan

organisasi kehakiman; Inladsch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang

mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka

yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement op de

24
strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara

pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan;

landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur

acara di depan pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua

golongan penduduk. Disamping itu diterapkan pula ordonansi-ordonansi untuk

daearah luar Jawa dan Madura yang diatur secara terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan “Inlandsch Reglement” diperbaharui

menjadi “Het Herzien Inlandsch Reglement” (HIR), yang mendapat persetujuan

Volksraad pada tahun 1941. HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan

pembaharuan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan

pendahuluan. Dengan hadirnya HIR ini, munculah Lembaga Penuntut Umum

(Openbare Ministrie) yang tidak lagi dibawah pamongpraja, tetapi langsung

berada dibawah Officer van Justitie dan Procucuer General.

Pada pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan yang

fundamental kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk

golongan Eropa. Dengan demikian acara pidanapun tidak berubah. HIR dan

reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtreglment berlaku untuk

pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan agung.

Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dilakukan berbagai upaya

perubahan dengan mencabut dan menghapus sejumlah peraturan masa

sebelumnya, serta melakukan unifikasi hukum acara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan

25
tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt

tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap penuntut umum

semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada HIR

dengan perubahan dan tambahan.

Barulah pada tahun 1981, melalui UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), segala peraturan yang

sebelumnya berlaku dinyatakan dicabut. KUHAP yang disebut-sebut sebagai

“karya agung” bangsa Indonesia merupakan suatu unifikasi hukum yang

diharapkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan

keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan terciptanya KUHAP,

maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang

lengkap. Dalam arti, seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran)

penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung

Namun demikian dalam penerapannya, KUHAP masih memerlukan aturan

pelaksana yang diatur oleh lembaga masing-masing (kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan). Selain itu dalam perkembangannya sekarang, terutama sebagai

akibat dari pengaruh perkembangan teknologi yang mempengaruhi system

pembuktian, pengaturan yang ada didalam KUHAP dipandang sudah tidak

memadai lagi. Pandangan dan perkembangan nilai yang ada didalam masyarakat,

baik didalam lingkungan nasional maupun global juga berpengaruh terhadap

cara-cara penanggulangan tindak kriminal atau kejahatan yang demikian

kompleks. Sehingga kemudian mengakibatkan munculnya berbagai prosedur

26
yang secara khusus dibuat, yang berbeda dengan KUHAP dan diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan.

Perkembangan yang demikian itu, mengharuskan pemerintah kemudian

untuk merevisi KUHAP setelah hampir 30 tahun diberlakukan. Saat ini draft

RUU KUHAP telah selesai dibuat untuk selanjutnya diajukan pembahasan dan

pengesahannya di DPR31

B. Sumber dan Dasar Hukum Acara Pidana

Di dalam pelaksanaan hukum acara pidana di Indonesia,maka sumber dan

dasar hukumnya antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

2. Pasal 24 ayat (1) A Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 “

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

http://acarapidana.bphn.go.id/sekilas-hukum-acara-pidana/ diakses pada tanggal 24


31

Desember 2018, pukul 21.25 WIB

27
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-

undang”.

3. Pasal 5 ayat (1) UU (drt) No. 1 tahun 1951 (sudah dicabut):

1) HIR (het herziene indlandsche/indonesisch reglement) atau disebut

juga RIB (reglemen indonesia yang di baharui) (s.1848 No. 16, s 1941

No. 44) untuk daerah jawa & madura.

2) Rbg. (rechtreglement buitengewesten) atau disebut juga reglement

untuk daerah seberang (s.1927 no. 227) untuk luar jawa & madura.

3) Landgerechts reglement (S. 1914 No. 317, S. 1917 no. 323 untuk

perkara ringan (rol).

4. Undang-undang RI No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara pidana disingkat KUHAP (LN. 1981 -76 & TLN – 3209) dan Peraturan

Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. dan

Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP RI

No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

5. Undang-undang RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman, diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999,

kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir

diubah dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

6. Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian

diubah dengan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah

28
dengan Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua

Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

7. Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, kemudian

diubah dengan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang

RI No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undnag-Undang RI No. 2

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

8. Undang-Undang RI No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002.

9. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No.16 Tahun 2004.

10. Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

C. Azas Hukum Acara Pidana

Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum

yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi

pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang

berkepentingan dengan hukum acara pidana.

KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai

dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi

jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Mengenai

hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang

dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota

29
masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang

menyangkut KUHAP.32

Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana tersebut

adalah :

1) Peradilan Cepat,Sederhana dan Biaya Ringan.

Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar

pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas:

cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-

belit. Apalagi jika keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan

martabat manusia.

Azas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,

sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada

tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Azas ini juga

terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf E KUHAP yang berbunyi:

“Peradilan yang haru dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya


ringan serta bebas,jujur dan tidak memihak hrus ditetapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran azas peradilan yang

cepat,tepat, sederhana dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa

berhak :

1. Segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik,


2. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik,
3. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum,

M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan


32

Dan Penuntutan,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.35.

30
4. Berhak segera diadili oleh pengadilan.

2) Azas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence.

Azas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP.

Azas ini juga dirumuskan ke dalam Pasal (8) Undang-Undang No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau


dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Mengenai asas praduga tak bersalah, M. Yahya Harahap33 berpendapat:

“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau
accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusator
menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan:

 Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu


tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,
 Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator
adalah“kesalahan”(tindak pidana), yang dilakukan
tersangka/terdakwa.Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.

Untuk menjamin agar azas praduga tak bersalah dapat ditegakan dalam

setiap tingkat pemeriksaan, KUHAP telah memberikan perlindungan

kepada tersangka atau terdakwa berupa hak-hak kemanusiaan yang wajib

dihormati dan dilindungi oleh penegak hukum. Adapun Prinsip yang

menunjang Asas Praduga Tak Bersalah yaitu Asas Oportunitas

Asas praduga tidak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis

ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau

33
M. Yahya, Harahap, Op. Cit, hlm. 40

31
inkuisatur. Prinsip akusatur ini menempatkan kedudukan tersangka atau

terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:34

1. Adalah subjek, bukan sebagai obyek pemeriksaan, oleh karena itu

tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam

kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri

2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator ini adalah,

“kesalahan‟ (tindakan pidana) yang dilakukan tersangka atau terdakwa,

ke arah itulah pemeriksaan ditujukan

Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut, KUHAP

memberikan pedoman kepada aparat penegak hukum untuk

mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang,

“inkuisatur‟ yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam

pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-

wenang.

Prinsip inkuisitur ini dulu di jadikan landasan pemeriksaan dalam

periode HIR. Prinsip ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan

yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan

mempertahankan hak dan kebenarannya, sebab sejak semula aparat

penegak hukum dalam bersikap:35

34
Harahap,M.Yahya,2013, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 30

35
Ibid. Hlm. 45

32
1. Sudah apriori menganggap tersangka atau terdakwa bersalah. Seolah-olah

tersangka sudah divonis sejak saat pertama diperiksa di hadapan penyidik.

2. Tersangka atau terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek

pemeriksaan tanpa mempedulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk

membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya.

Akibatnya, sering terjadi dalam praktek, seorang yang benar-benar tidak

bersalah terpaksa menerima nasib meringkuk dalam penjara.

3) Azas Oportunitas.

Ketentuan dalam Hukum Acara Pidana mengenal suatu badan

khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke

pengadilan yang disebut Penuntut Umum, yang dikenal Jaksa di Indonesia

(Pasal 1 butir a dan b serta Pasal (137) dan seterusnya dalam KUHAP).

Pasal (35) c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas

itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi :

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan


kepentingan umum.”
Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum. Azas

Oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut untuk menuntut atau

tidak menuntut seseorang ke pengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya

diberikan kepada Kejaksaan.

Menurut A,Z Abidin Farid36 yang dikutip dalam buku Andi Hamzah

memberikan rumusan tentang Azas Opportunitas sebagai berikut:

36
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 15.

33
“Azas Opportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan
atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan
delik demi kepentingan umum.”
Andi Hamzah37 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

“Menurut azas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut


seseorang yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan
merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan
bersama,seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.”

4) Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum.

Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam

Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang


dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:

“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)


mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.
Mengenai asas pemeriksaan perkara persidangan terbuka untuk umum,

M.Yahya Harahap38 berpendapat :

“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan


pemeriksaan perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan
pintu tertutup. Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan
membawa akibat psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si
anak.”
Asas ini memberikan makna bahwa penegakan hukum di Indonesia

harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya

penerapan system musyawarah dan mufakat.

Andi Hamzah39 menjelaskan juga bahwa :

37
Ibid. hlm. 16.

38
M Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.56.
39
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 19.

34
“Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim
diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi
apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum.”

5) Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Azas yang umum dianut negara-negara berdasarkan hukum ini

tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor.48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a

KUHAP berbunyi :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-


bedakan orang”
Pendapat Andi Hamzah40mengenai asas semua orang diperlakukan sama

didepan hukum adalah :

“Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan


hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun kedudukan
manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara
Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.”

6) Tersangka atau terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum

Azas tersangka mendapat bantuan hukum terdapat pada Pasal 54 KUHAP

yang menyatakan bahwa:

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak


mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata
cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut

dalam suatu perkara pokok pidana untuk dapat mengadakan persiapan lagi

bagi pembelaannya mupun untuk mendapat nasehat atau penyuluhan


40
Ibid. hlm. 20

35
tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya

sebagai tersangka. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat

penjelasan atau definisi mengenai pengertian bantuan hukum.

M. Yahya Harahap41 menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur

didalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya

diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau

terdakwa. Kebebasan itu antara lain :

a) Bantuan Hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau ditahan.


b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka
atau terdakwa.

7) Pemeriksaan hakim Langsung dan Lisan.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang

pengadilan melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau

orang lain yang terlibat, dengan mengadakan pembicaraan lisan, berupa

tanya jawab dengan majelis hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara

pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan dengan berbicara

satu sama lain secara lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan

yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun.

41
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 21.

36
Azas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam

Pasal 254 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk


dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas;
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak
hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti
apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah;
(3) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, hakim ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi
untuk hadir pada sidang berikutnya;
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, pemeriksaan tersebut
tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi;
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak
semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa
yang hadir dapat dilangsungkan;
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir
tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya,
dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya;
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya
kepada hakim ketua sidang.

Mengenai asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan M.

Yahya Harahap berpendapat42:

“Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam
memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak
boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa
maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan
dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang
sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau
keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi
tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki.
Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya
keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti,
tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan
isi dan nilai keterangan.”

42
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.113.

37
Pengecualian dari asas ini adalah kemungkinan putusan yang

dijatuhkaan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) yaitu dalam acara

pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas di jalan. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 213 KUHAP, yang berbunyi :

“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili


disidang”
D. Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana

Pengaturan mengenai alat bukti pada Hukum Acara Pidana di

Indonesia secara garis besar terbagi dalam KUHAP, yaitu sebagai

pengaturan umumnya dan pada perundang-undangan khusus, sebagai lex

specialis-nya. Alat bukti baik pada KUHAP maupun perundang-undangan

khusus, seiring dengan perkembangan konsep-konsep hukum akan turut

berkembang. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, perkembangan kejahatan dan modus operandi,

serta masyarakat.

1. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Alat Bukti

a. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sepanjang sejarah, manusia dalam kehidupannya selalu berusaha

untuk memenuhi kehidupannya dengan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Dahulu dilakukan barter untuk memenuhi

kebutuhan manusia, kemudian uang digunakan, lalu sekarang uang tidak

hanya digunakan secara konvensional namun dimasukkan dalam bentuk-

bentuk yang lebih praktis penggunaan ataupun penyimpanannya, seperti

cek, saham, surat berharga, transfer rekening dan lain-lain. Dewasa ini,

38
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan alat bukti tersebut adalah

dalam hal teknologi informasi dan komunikasi, serta dalam ilmu

kedokteran.43

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini secara langsung

akan berpengaruh terhadap perkembangan alat bukti yang ada. Hal ini

terkait dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut di

masyarakat, dan lebih khususnya oleh para pelaku tindak pidana, bahkan

digunakan sebagai sarana untuk mengungkap kejahatan oleh para penegak

hukum

Perkembangan di bidang teknologi informasi dapat dilihat dari

perubahan cara bertukar informasi kearah yang lebih cepat dan praktis.

Pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Bahasa

memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh

orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya

bertahan sebentar saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan

informasi melalui ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka

informasi yang berada di tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak

bisa disimpan lama. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak

tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan lewat

bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Setelah itu

teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan

gambar jangkauan informasi bisa lebih jauh.

43
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Sinar Grafika .
Hlm.108

39
Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain.

Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Kemudian

ditemukannya alfabet dan angka arabik memudahkan cara penyampaian

informasi yang lebih efisien dari cara yang sebelumnya. Suatu gambar

yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi alfabet, atau

dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan 1943. Lalu

munculnya teknologi percetakan, teknologi elektronik seperti radio, tv,

computer mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area

yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.

Teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi berbagai

tatanan kehidupan masyarakat, antara lain dalam bidang perdagangan,

pemerintahan, bahkan terhadap perilaku masyarakat (social behaviour)

yaitu semula berbasis kertas (paper based) dan berkembang ke system

elektronik ( electronic based ).

Sekarang dan apalagi di masa-masa mendatang, kegiatan ekonomi,

sosial, politik, dan bahkan kebudayaan tanpa dapat dihindarkan akan

makin banyak dilakukan dengan memanfaatkan jasa jaringan komputer

dan telekomunikasi elektronik. Jasa komputer dan telekomunikasi

elektronik ini nantinya akan makin memperoleh posisi yang sentral dalam

kegiatan umat manusia sehari-hari. Otomatis, perkembangan teknologi ini

juga akan mempengaruhi perkembangan alat bukti, misalnya

penggunaanya sebagai sarana tindak pidana yang tentunya dalam

pembuktiannya, seorang penegak hukum akan memerlukannya juga.

40
Sedangkan perkembangan ilmu kedokteran akan sangat berpengaruh dalam

bidang forensik.44

b. Perkembangan Kejahatan dan Modus Operandi

Kejahatan berkembang sesuai dengan masyarakat dan

perkembangan zaman. Kejahatan pada masa kini, berdasarkan ilmu

kepolisian akan berkembang ke arah New Dimention Of Crime, New Type

Of Crime, Organize Crime, White Collar Crime, dan Terorism.

Perkembangan dari suatu modus operandi tentunya akan

berdampak juga pada alat bukti dalam suatu tindak pidana, disini terkait

dengan material evidence yaitu barang yang digunakan untuk melakukan

tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana dan

informasi dalam arti khusus. Misalnya saja pada modus operandi suatu

tindak pidana pencucian uang yang sudah menggunakan sarana teknologi

informasi dan teknologi komputer, dan masuk pada system perbankan,

maka alat bukti dari tindak pidana itu akan semakin banyak dan kompleks

juga, seperti seluruh sistem administrasi perbankan itu sendiri, kemudian

alat bukti lain yang berkaitan dengan komputer. Kemudian kejahatan yang

mengarah ke arah Organize Crime, White Collar Crime, dan Terorism ,

tentunya dalam pembuktiannya tidak akan sama dengan kejahatan

konvensional, begitu juga dalam alat buktinya. Misalnya Organize Crime,

kejahatan yang terorganisir, maka modusnya akan semakin rapi, kemudian

subyek tindak pidananya juga dimungkinkan korporasi, sehingga


44
Alcadini Wijayanti, Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana
Berdasarkan Undang Undang Khusus dan Implikasi Yuridis Terhadap KUHAP, Jurnal Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol.1 No.4, hlm 7

41
penggunaan alat bukti akan lebih condong ke arah alat bukti surat dan

kearangan ahli, tidak saja pada keterangan saksi seperti pada tindak pidana

konvensional.

c. Masyarakat

Kejahatan berkembang sesuai dengan masyarakat dan

perkembangan zaman, ini dikarenakan kejahatan merupakan gejala

sosiologik. Setiap perbuatan manusia dilakukan karena proses peniruan

dan imitasi. Kemudian juga ada ungkapan lain yang menyatakan “crime is

product of society it self”. Perkembangan kejahatan akan mengikuti

perkembangan dari masyarakat itu sendiri.45

Seperti telah dijelaskan pada poin sebelumnya, hubungan antara

perkembangan kejahatan dan masyarakat sangatlah erat, dan kaitan dengan

perkembangan alat bukti pun tentunya terdapat hubungan yang cukup erat.

Perkembangan alat bukti yang digunakan pada tindak pidana tentunya akan

selalu terpengaruh dengan keunikan atau sifat dari masyarakat itu sendiri.

Apakah bentuknya seperti penggunaan teknologi pada masyarakat, suatu

budaya tertentu dalam komunitas, penerimaan alat-alat dalam aktivitas

masyarakat, hingga perubahan sikap hukum dari masyarakat itu sendiri.

Misalnya saja pada masyarakat modern yang sudah menggunakan system

komputerisasi dalam segala bidang dan sudah digunakannya alat

pendeteksi orang dengan teknologi tinggi seperti scanner mata, organ,

sampai DNA dalam identifikasi seseorang sebagai password, maka secara

otomatis penerimaannya di masyarakat akan mempengaruhi


45
Ibid.,hlm 8

42
keberadaannya sebagai suatu alat yang dapat dijadikan bukti pada suatu

tindak pidana.

2. Perkembangan mengenai Alat Bukti pada Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.

Pengaruh yang paling besar dalam perkembangan alat bukti pada

perundang-undangan ini adalah perkembangan kejahatan dan

karakteristiknya berupa modus operandi dari tindak pidana itu sendiri. Hal

ini dikarenakan tindak pidana korupsi sendiri terkait dengan berbagai

bidang, seperti administrasi, perpajakan, birokrasi, pemerintahan,

akuntansi, serta bidang perbankan.

Pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 26A, yang

sifatnya berupa perluasan dari sumber alat bukti petunjuk dalam KUHAP,

yaitu berupa informasi yang tersimpan dan digunakan/dikeluarkan secara

elektronik serta dokumen. Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 menentukan bahwa alat

bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 alat bukti lain dari Pasal 188 ayat

(2) KUHAP, yakni:46

a) Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara


elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

46
Syaibatul Hamdi, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pidana. Jurnal Ilmu Hukum.
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh. Vol.1 No.4, 2017, hlm 12

43
b) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.
Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat

bukti petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa

informasi dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti

yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti ;

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat 2). Dalam

rumusan Pasal 26A huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya,

kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah

sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Dengan alasan itu, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah

dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja, tanpa

menggunakan alat bukti lain. Tentu saja, berdasarkan Pasal 183 alat bukti

petunjuk tidak boleh berdiri sendiri, artinya hanya satu-satunya alat bukti.

Karena informasi dan dokumen yang dimaksud Pasal 26A tidak dapat

digunakan untuk membentuk keyakinan hakim sebagaimana yang

dimaksud Pasal 183 KUHAP tersebut, fungsi dokumen dan informasi

sebagai alat bukti hanya bernilai sebagai alat bukti untuk membentuk alat

bukti petunjuk saja, tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain

membentuk alat bukti petunjuk. Oleh karena itu, apabila telah diperoleh

alat bukti petunjuk berdasarkan alat bukti informasi dan dokumen, tetap

masih diperlukan satu alat bukti lain lagi yang isinya sama dan

44
bersesuaian, misalnya keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa,

tetapi tidak dari keterangan ahli. Keterangan ahli dapat dipergunakan

sebagai bahan/bukti tambahan membentuk alat bukti petunjuk

3. Macam Macam Teori Pembuktian

Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara

meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil

dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup

memadai membuktikan kesalahan terdakwa.

Macam-macam teori system pembuktian adalah sebagai berikut :

a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari
mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga
hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa47.
Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang lama tentu

mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada

seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa

didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa

membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun

47
Yahya Harahap, 2002..Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 277.

45
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang

lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam

sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah

cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh

keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak

terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan

bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim

yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya

terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan

kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud

kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.35 Sistem ini memberi

kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

b. Conviction-Raisonee
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas
maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”.48 Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan
terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee,
harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
“reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim
harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat
diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa
uraian alasan yang masuk akal.38 Sistem atau teori pembuktian ini disebut
48
Yahya Harahap, Loc. Cit.

46
juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrije bewijstheorie).49
c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief
Wettelijke Stelsel)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah

atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti

yang sah”. Terpenuhinya syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut

undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa

mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak

tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.50

Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada

nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang

diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali

hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan

cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi

menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati

nuraninya.51

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih

dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan

hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah

kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang

berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika

49
Ibid., hlm. 278.
50
Yahya Harahap, Loc. Cit.
51
Ibid.

47
apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.Sistem ini, disebut juga

teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).52

d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (negative


wettelijk stelsel).
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan

teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan

sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction – in time). Dalam

sistem ini, terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang

didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang, serta dibarengi dengan keyakinan hakim.53

Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk menyatakan salah atau tidak

seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara

negatif, terdapat dua komponen:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah dan menurut undang-undang

2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

4. Parameter Pembuktian

Dari setiap definisi pembuktian sebagaimana yang telah disebutkan

sebelumnya terdapat paling tidak terdapat enam hal parameter pembuktian.

Yang pertama adalah bewijstheorie dimana mempunyai pengertian teori

52
Ibid, hlm. 278 - 279
53
Ibid, hlm. 278 - 279

48
pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim.54 Pembuktian

yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang diatur didalam

undang-undang disebut sistem pembuktian berdasar undang-undang secara

positif (positef wettelijk bewijstheorie).55 Disebut sistem berdasarkan secara

positif karena sistem pembuktian ini dalam mencari suatu kekuatan didalam

alat buktinya tersebut hanya melihat didalam undang-undang saja, maksudnya

terdakwa terbukti suatu perbuatan tersebut karena sesuai dengan alat-alat

bukti yang berada didalam suatu peraturan perundang-undangan saja, dimana

keyakinan hakim disini tidak diperlukan untuk menentukan apakah perbuatan

itu telah terbukti.

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar

keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang

pertama yang disebutkan diatas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim

atas alasan yang logis (conviction raisinnee) dan yang kedua ialah teori

pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke

bewijstheorie).56 Dimana yang secara umum dianut didalam dalam sistem

peradilan pidana termasuk Indonesia, dimana negatief wettelijke

bewijstheorie adalah dimana dasar pembuktian menurut keyakinan hakim

yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif, 57

Dimana dasar pembuktian disebutkan secara jelas didalam Pasal 183 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.


54
Eddy O.S Hiariej, Op.cit Hlm 15
55
Op.cit Hlm 229
56
Ibid, Hlm 231-232
57
Eddy O.S Hiariej, Op.cit, Hlm 17

49
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam menentukan kebenaran yang obyektif maka diperlukan menggunakan

alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan

suatu perbuatan, dimana dengan alat–alat bukti tersebut, dapat digunakan

sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas

kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.58

Parameter pembuktian kedua adalah bewijsmiddelen dimana

mempunyai pengertian adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk

membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Mengenai apa saja

yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam hukum acara. Seperti dalam

hukum acara pidana Indonesia, alat bukti yang diakui dipengadilan sama

dengan alat bukti yang digunakan dibanyak negara. Seperti di Indonesia alat

bukti yang sah tercantum dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana.59

Parameter Pembuktian yang ketiga adalah bewijsvoering diartikan

sebagai penguraian bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di

pengadilan. Maksud dari bewijsvoering tersebut adalah apabila bukti yang

diperoleh dengan jalan yang tidak sah, maka konsekuensinya demi hukum

adalah pemeriksaan perkara tersebut harus dibatalkan (unlawful legal advice).

Bahwa apabila bukti tersebut bukti didapatkan dengan cara atau jalan yang
58
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23.
59
Eddy O.S Hiariej, Op.cit Hlm 18-20

50
tidak sah, maka demi hukum hal tersebut akan menggugurkan perkara yang

diperiksa tersebut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Herbert L. Packer,

bahwa suatu bukti illegally acquired evidence (perolehan bukti secara tidak

sah) adalah tidak patut dijadikan bukti dalam pengadilan.60

Parameter pembuktian yang keempat adalah bewijslast atau burden of

proof adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-

undang untuk membuktikan sesuatu peristiwa hukum. Dalam konteks perkara

pidana secara universal yang berlaku di dunia kewajiban untuk membuktikan

dakwaan adalah jaksa penuntut umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari

asas diferensiasi fungsional dalam criminal process yang menyerahkan

fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadil dan pelaksanaan

pidana kepada lembaga-lembaga yang berwenang yakni kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakaran. Senada dengan konsep

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, bahwa

penuntut umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan perbuatan

dan kesalahan terdakwa tersebut.61

Yang selanjutnya adalah bewijskracht yang dapat diartikan sebagai

kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangka penilaian

terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian ini menjadi otoritas dari hakim yang

memeriksa perkara. Hakimlah yang menilai perkara dan menentukan

kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya. Kekuatan

60
Ibid, Hlm 20-22
61
Ibid, Hlm 22-25

51
pembuktian juga terletak kepada bukti yang diajukan tersebut relevan ataukah

tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan,

kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah kepada apakah alat bukti tersebut

dapat diterima atau tidak dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat

bukti pada hakikatnya adalah sama tidak ada yang diutamakan.62

Parameter pembuktian yang terakhir adalah bewijs minimmum yang

dapat diartikan bukti minimum yang dperlukan dalam pembuktian untuk

mengikat kebebasan hakim.63 Dalam hukum acara pidana di Indonesia telah

diatur untuk minimum pembuktian yang mengikat kebebasan hakim yaitu

yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana bahwa hakim dalam memutus suatu perkara harus

berdasarkan minimal dua alat bukti untuk memperoleh keyakinannya

sebagaimana hukum acara pidana di Indonesia menganut negatief wettelijk

bewijstheorie

Setelah melihat parameter pembuktian seperti yang sudah

dikemukakan sebelumnya maka sekarang dapat melihat alat bukti yang

mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya yang berada didalam Pasal 184

Undang- dang-UndaUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, namun bahwa terdapat perluasan alat bukti yang sah menurut

Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Unng Nomor: 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

62
Ibid, Hlm 25-26
63
Ibid, Hlm 26

52
E. Kedudukan dan Kekuatan Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara

Pidana

a. Kedudukan Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana

merupakan salah satu dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal

184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah membatasi

bahwa alat bukti yang sah diantaranya :

a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang

dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat

bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain,

sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang

ditentukan saja. Akan tetapi, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang

pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian. Beberapa

undang-undang pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur

mengenai alat bukti tersendiri yang diantaranya terdapat pengaturan alat bukti

elektronik. Adapun beberapa undang-undang pidana formil di luar KUHAP

yang mengatur mengenai alat bukti antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana

Terorisme

53
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Namun secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang

pidana formil di luar KUHAP tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang

diatur dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti yang diatur dalam

undang-undang pidana formil di luar KUHAP hanya terbatas pada perluasan

alat bukti terkait dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Pada masa diberlakukannya Het Herzienne Inlands Reglement (HIR)

sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, keterangan ahli tidak

dikenal sebagai alat bukti tersendiri. Pasal 295 HIR menyebutkan alat-alat

bukti yang sah terdiri dari kesaksian, surat-surat, pengakuan dan petunjuk-

petunjuk.

Setelah KUHAP berlaku di Indonesia sebagai pengganti ketentuan

hukum acara pidana dalam HIR, keterangan ahli termasuk menjadi salah satu

alat bukti yang sah, hal ini terlihat pada Pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP.

Selain di Indonesia, keterangan ahli juga menjadi salah satu alat bukti dalam

hukum acara pidana modern di sejumlah negara, termasuk Belanda.64

64
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 267

54
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang,

dirumuskan dalam Pasal 186 KUHAP. Persoalan keterangan ahli terutama

sebagai alat bukti tidak bisa dipahami hanya dengan bertumpu pada Pasal 186

KUHAP. Uraian Pasal 186 yang tidak diikuti rincian lebih lanjut mengenai

keterangan ahli dalam pasal-pasal selanjutnya tidak mampu menjelaskan

masalah yang dikandungnya. Untuk memahami keterangan ahli sebagai alat

bukti, maka diperlukan penjajakan lebih lanjut atas ketentuan-ketentuan yang

terkait dengan keterangan ahli yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP.

Pasal 1 angka 28 KUHAP memuat pengertian keterangan ahli yaitu

keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan. Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan

meminta keterangan ahli adalah membuat terang tindak pidana.

Tata cara pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti dapat

ditempuh pada tahap penyidikan maupun keterangan secara lisan dan

langsung di muka sidang pengadilan. Jenis dan tata cara pemberian

keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur yang

sesuai dengan ketentuan KUHAP:

1. Diminta penyidik pada tahap pemeriksaan penyidikan.

Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang

sah pada tahap pemeriksaan penyidikan :

55
a. Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan. Demi
kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permintaan
tersebut dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara
tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
b. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan.
Laporan itu dapat berupa surat keterangan atau juga dalam bentuk
visum et repertum.
c. Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan
mengingat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
d. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli seperti itu, keterangan yang
dituangkan dalam laporan atau visum et repertum, mempunyai sifat dan
nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan

Permintaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta

keterangan ahli. Tetapi bisa juga terjadi walaupun penyidik atau penuntut

umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika

hakim atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan

menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan dapat

meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberikan keterangan di sidang

pengadilan. Sehingga tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan

diberikan di sidang pengadilan, yaitu :

a. Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim karena


jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau
penasehat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.
b. Keterangan ahli berbentuk keterangan lisan dan secara langsung
diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan .
c. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara
pemeriksaan di sidang pengadilan.
d. Ahli yang akan memberikan keterangan, terlebih dahulu mengucapkan
sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan. Ahli dalam
memberikan keterangan di sidang pengadilan, tidak dapat diberikan
hanya berdasarkan sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan

56
atau pekerjaan, tetapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang
pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
e. Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian
dalam pemeriksaan sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut
menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus
keterangan ahli yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
b. Kekuatan Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana

Suatu keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian apabila ahli

tersebut di muka hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum

memberikan keterangan, dengan seorang ahli bersumpah sebelum

memberikan keterangan baru keterangan ahli tersebut mempunyai nilai

sebagai alat bukti.

Jika seorang ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucap

sumpah di muka penyidik, maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang

diucapkan dalam sidang. Tetapi apabila keterangan ahli diberikan tanpa

sumpah, karena sudah disandera, tetapi tetap tidak mau bersumpah ataupun

tidak hadir dan ketika pemeriksaan di depan penyidik tidak bersumpah

terlebih dahulu, maka keterangan ahli tersebut hanya bersifat menguatkan

keyakinan hakim.65

Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang

mengikat, atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas

atau “vrij bewijskracht”. Alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang

bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai

65
Hari Sasangka dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : Mandar Maju. Hal. 60

57
kesempurnaannya dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk

menganggap sempurna atau tidak, dimana tidak ada keharusan untuk

menerima kebenaran setiap keterangan ahli. Guna keterangan ahli di

persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran.

Hakim bebas untuk menerima ataupun mengenyampingkan suatu keterangan

ahli. Apabila keterangan ahli bersesuaian dengan kenyataan yang lain di

persidangan, maka keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri.

Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh

hakim. Namun keterangan ahli yang dikesampingkan harus berdasarkan

alasan yang jelas, tidak bisa mengenyampingkan suatu keterangan ahli begitu

saja tanpa ada alasan. Karena dalam mempergunakan wewenang kebebasan

dalam penilaian pembuktian, hakim harus benar-benar bertanggungjawab,

atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran serta kepastian hukum.66

Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal

183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh

salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, keterangan ahli harus

ditunjang dengan alat bukti lainya. Jika dalam suatu pemeriksaan perkara, alat

buktinya hanya terdiri dari beberapa keterangan ahli, Yahya Harahap hanya

menilai hal tersebut tetaplah bernilai satu pembuktian. Alasannya, apa yang

diungkapkan dan diterangkan kedua alat bukti keterangan ahli itu hanya

berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu, namun mengenai pelaku

66
Ibid. Hlm. 287

58
kejahatan sama sekali tidak terungkap dalam keterangan ahli-ahli tersebut.

Selain itu, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakan pendapat ahli

mengenai hal atau keadaan tertentu menurut pengetahuan dalam bidang

keahliannya. Maka keterangan ahli pada umumnya hanya bersifat melengkapi

atau mencukupi nilai pembuktian alat bukti yang lain. Keterangan ahli

sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana

yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang

masih kurang terang tentang suatu hal atau keadaan67

Jadi, misalnya dalam pemeriksaan suatu perkara, alat buktinya hanya

semata-mata terdiri dari beberapa keterangan ahli, yang satu keterangan ahli

berupa laporan yang diberikan pada waktu penyidikan dan yang satu lagi

berupa keterangan ahli yang diberikan dalam sidang pengadilan. Tetapi

keduanya hanya menerangkan bahwa matinya korban karena keracunan. Alat

bukti keterangan ahli ini tidak mengungkapkan siapa pelaku kejahatan

tersebut.68

Sebaliknya, dalam keadaan tertentu, keterangan beberapa ahli dapat

dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap telah

memenuhi Pasal 183 dan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. Misalnya, menurut

keterangan ahli kedokteran kehakiman, kematian korban adalah kerena

dicekik dengan tangan. Kemudian menurut keterangan ahli sidik jari, bekas

cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Hal

67
Ibid. Hlm. 305
68
Muhammad Taufik Makarao. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.
Bogor : Ghalia Indonesia. Hlm. 126

59
ini dapat dibenarkan dengan alasan lain, karena kedua keterangan ahli

tersebut merupakan dua keterangan ahli yang diberikan oleh masing-masing

ahli dalam bidang keahlian yang berbeda.69

Apabila demikian halnya, penyidik atau pengadilan harus berhati-hati

jangan hanya mengumpulkan dan meminta keterangan dari para ahli yang

mempunyai keahlian di bidang keahlian yang sama. Nilai pembuktian mereka

tetap dianggap satu saja apabila yang mereka terangkan hanya tentang suatu

keadaan yang serupa.

F. Badan Pemeriksa Keuangan

1. Pengertian, Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan


Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (disingkat BPK RI)

adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang

memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan

mandiri. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan

memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan

oleh Presiden. Anggota BPK sebelum memangku jabatannya wajib

mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua

Mahkamah Agung.

BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga

Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
69
Ibid. Hlm. 127

60
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang

mengelola keuangan negara.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:

1. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta

menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;

2. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh

setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,

Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik

Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan

lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;

3. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang

milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata

usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-

perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran,

pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan

pengelolaan keuangan negara;

4. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib

disampaikan kepada BPK;

5. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah

konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib

61
digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara;

6. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara;

7. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK

yang bekerja untuk dan atas nama BPK;

8. membina jabatan fungsional Pemeriksa;

9. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan

10. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern

Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah

2. Peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pencegahan dan


Pemberantasan Kasus Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi korupsi di Indonesia penyebarannya semakin

masif di masyarakat dengan modus operandi yang semakin beragam dan

teknik yang semakin canggih. Dalam kondisi demikian terjadi kendala dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi, berbagai pendekatan telah

dilakukan dalam rangka “pencegahan dan pemberantasan” termasuk

pandangan bahwa legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini “telah

ketinggalan zaman”, tidak bisa menjawab pergeseran modus kejahatan,

termasuk adanya pengaruh dominan tuntutan implementasi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003).70

70
Beni Kurnia, Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Kerja Sama
BPK dan KPK, Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, Vol.3 No.2, 2017, hlm 54

62
Sesungguhnya gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi tindak

pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya, antara

lain pengesahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, kemudian direvisi untuk Pasal tertentu dengan UU Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

setelah itu dalam kerangka memperkuat proses “pencegahan, penyidikan, dan

penuntutan” dibentuk KPK RI, penetapan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, termasuk telah meratifikasi UNCAC

dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Corruption Tahun 2003.

Jika ditelisik pada fakta yuridis dalam rangka upaya penindakan kasus

korupsi putusan pengadilan tindak pidana korupsi selama ini berorientasi

pada pendekatan “simptomatic” dengan penegakan hukum atau “penal

sanction” (the principle of legality) bukan pada pendekatan “causatif”, the

principle of justice dan the principle of humanity. Namun, jika upaya

penindakan masih terkesan minim, maka yang perlu diperkuat sesungguhnya

adalah upaya pencegahannya. Dalam hal ini perlu dilakukan penguatan

terhadap kerja sama antar lembaga pemberantas tindak pidana korupsi dengan

lembaga pemeriksa keuangan. Dengan dasar itu, maka sistem regulasi tindak

pidana korupsi di Indonesia perlu dievaluasi kembali sehingga lebih

kontekstual dan menjawab tuntutan perkembangan, tetapi berpijak dari

filosofi dan realitas kearifan nilai-nilai moral, etika, dan budaya yang ada di

Indonesia. Akan tetapi, sesungguhnya KPK tidak akan bisa berjalan maksimal

63
apabila tidak ada lembaga yang kemudian sebagai tameng dalam

menyelamatkan keuangan negara.71

Lembaga dimaksud ada di tubuh BPK sebagai organ konstitusional

dalam memeriksa segala pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan

negara. BPK sebagai institusi negara, harus memiliki peran dalam

mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika diyakini adanya

indikasi kerugian negara, BPK harus segera melaporkannya kepada Aparat

Penegak Hukum (APH), khususnya KPK dalam hal menangani tindak pidana

korupsi. Terkait dengan akuntabilitas dan transparansi sektor publik, sebagai

otoritas pemeriksa keuangan negara, BPK memliki peranan yang sangat

penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran yang

pertama adalah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Pemeriksaan

BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa

pemeriksaan secara umum (keuangan dan kinerja). Kelompok kedua, adalah

pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang ditujukan untuk mendeteksi

terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan

khusus (investigative and fraud audit). 72

Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah

terjadinya tindak pidana korupsi. Kewenangan atributif BPK melalui UUD

1945 dan Peraturan Perundang-undangan dalam melakukan pemeriksaan

investigatif, penentuan kerugian negara, dan unsur pidana. Berdasarkan Pasal

71
Ibid.,hlm 55
72
Ibid.,hlm 56

64
13 dan 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara menjelaskan bahwa pemeriksa dapat

melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi

kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana dan apabila dalam pemeriksaan

ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi

yang berwenang, secara rinci ketiga unsur disebutkan sebagai berikut:73

1. Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigative guna


mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
2. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
bersama oleh BPK dan Pemerintah.

Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam perombakan

sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak

akuntabel. Proses tersebut dapat dilakukan BPK dengan mengkolaborasi

kewenangannya bersama dengan KPK. Menurut UU Nomor 15 Tahun 2006

tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 8 ayat (3) dan (4) serta Pasal (10)

dan (11) berkaitan dengan unsur pidana dan “kerugian negara” dijelaskan

bahwa:

1. Pasal 8 ayat (3) menjelaskan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan


unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu)
bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dalam ayat (4)
menjelaskan, laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan
dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 10 ayat (1) menjelaskan bahwa apabila BPK menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh Bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
73
Ibid.,hlm 57

65
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dalam ayat (2)
menjelaskan bahwa penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan
pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
3. Pasal 11 (c) menjelaskan bahwa BPK dapat memberikan: keterangan ahli
dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.74

Peran penting BPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

korupsi ini tidak akan membuahkan hasil yang maksimal apabila tidak adanya

kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, seperti KPK. Aparat Penegak

Hukum berperan dalam proses hukum atas tindak pidana korupsi, sedangkan

BPK berperan dalam peningkatan transparansi serta akuntabilitas sektor

publik dan usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu

perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja

serta memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan

(seperti BPK, Itjen, Bawasda dan PPATK) dengan penegak hukum

(Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Kekuasaan Kehakiman) dalam

menentukan kerugian keuangan negara. Penentuan kerugian keuangan negara

dalam proses pengadilan tindak pidana korupsi didasari pada beberapa

pemahaman. Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

74
Ibid.,hlm 58

66
Berkaitan dengan penghitungan dan penentuan nilai kerugian

keuangan negara dalam proses perkara tindak pidana korupsi yang menjadi

dasar kerangka berpikir dapat dilihat dari 3 (tiga) pendekatan yaitu:75

Pertama, penghitungan kerugian keuangan negara dalam tindak

pidana korupsi oleh instansi yang berwenang dengan pendekatan pemeriksaan

investigatif (sesuai penjelasan Pasal 32 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang

menjelaskan, “yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya

berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang

ditunjuk”) sedangkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 003/PUU-

IV/2006. Tanggal 24 Juli 2006 pada diktum menimbang menyatakan:

“Kerugian keuangan negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh
para ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara serta ahli analisis
hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”

Dari rumusan tersebut yang paling penting dalam suatu proses

pemeriksaan adalah kegiatannya dilakukan secara “independen, objektif, dan

profesional”, karena instansi negara atau pemerintah dalam melakukan

penghitungan kerugian keuangan negara jika tidak independen, bisa

diintervensi, didikte bahkan diatur oleh kekuasaan lain yang lebih tinggi atau

bisa dibeli dengan berbagai kepentingan, maka hasilnya tidak akan objektif

dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tidak memuat kebenaran yang hakiki.

Pelaksanaan penghitungan kerugian keuangan negara perlu dilakukan dengan

pendekatan pemeriksaan investigatif, karena dalam pemeriksaan investigatif

harus selalu berpegang pada prinsip atau azas “presumption of innocence”,


75
Ibid.,hlm 59

67
dan “presumption of corruption” atau “presumption of guilt”, serta wajib

mempertahankan sifat “independensi” dan pendekatn “profesional” dalam

melakukan sehingga diharapkan hasil pemeriksaan investigative benar-benar

berdasarkan bukti-bukti valid yang diperoleh dari hasil pemeriksaan,

disajikan secara “objektif” dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemeriksaan

investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan

dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja,

yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa, yang bersifat

reaktif dan merupakan pemeriksaan “lanjutan” dari pemeriksaan sebelumnya,

pemeriksaan yang lebih khusus dan mendalam, menuju pada pengungkapan

penyimpangan. Selanjutnya, Theodorus M. Tuanakotta menekankan esensi

dari arah dan tujuan audit investigatif, “Audit Investigatif diarahkan kepada

pembuktian ada atau tidaknya fraud (termasuk) korupsi dan perbuatan

melawan hukum lainnya (seperti tindak pidana pencucian uang)”. Ini sangat

membantu sekali dalam mendorong upaya pencegahan dan penindakan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK dan BPK di Indonesia. Terminologi

seperti itu secara tegas memisahkan wilayah kewenangan pembuktian aspek

perbuatan melawan hukum positif (peraturan perundangan) pengelolaan dan

tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh instansi pemeriksa, dan

kesimpulan “kerugian keuangan negara” sebagai ranah hukum administrasi,

dengan kewenangan pembuktian aspek perbuatan melawan hukum ranah

pidana atau “unsur tindak pidana korupsi” yang pembuktiannya dilakukan

oleh aparat penegak hukum seperti KPK dan hakim dalam peradilan tindak

68
pidana korupsi. Dalam rangka meningkatkan penegakan hukum (Law

Enforcement) di Indonesia saat ini, khususnya dalam menindak kasus korupsi,

tentunya BPK dan KPK harus betul-betul bersinergi dalam menjalankan

kewenangannya. Karena semua tahapan pemeriksaan investigative tersebut

harus dilakukan secara objektif, karena prinsip pemeriksaan investigatif

hanya “memotret” bukti pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

pemerintah, “bukan menggambar atau mengarang”.76

G. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi


1. Tindak Pidana Korupsi Secara Umum
Hukum tindak pidana Korupsi di Indonesia Dasar Hukumnya adalah

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001, hal ini sesuai dengan Keputusan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998

kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi tidak ditemukan rumusan atau definisi apa sebenarnya yang

dimaksud dengan tindak pidana korupsi. Namun demikian, mengingat kedua

undang-undang ini adalah undang-undang yang saat ini berlaku (hukum

positif) maka tidak salahnya apabila pada bagian ini diuraikan tipologi atau

bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi

76
Ibid.,hlm 61

69
menurut kedua undang-undang ini. Tidak ada definisi baku dari tindak pidana

Korupsi. Akan tetapi secara umum, pengertian tindak pidana korupsi adalah

suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara. Atau

penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan

orang lain.77

Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan dalam

pasal pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu,

untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus diliat dalam

rumusan pasal-pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya

serta terdapat tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai

korupsi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak

pidana Korupsi adalah :

“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

2. Macam-Macam Tindak Pidana Korupsi


Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk pada dasarnya terjadi

sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang

paling rendah. Marwan Mas mengklarifikasikan setidaknya 7 (tujuh) bentuk

dan 30 jenis perbuatan korupsi (diatur dalam 13 pasal UU Korupsi), mulai

77
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 15.

70
dari Pasal 2 sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A

sebagai berikut :78

1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara


a. Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau
sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)
a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri
karena jabatannya, pegawai negeri menerima suap, atau pegawai negeri
menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya).
b. Menyuap hakim.
c. Menyuap advokat.
d. Hakim dan advokat menerima suap
3. Penggelapan dalam Jabatan
a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan
penggelapan.
b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.
c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi).
d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti.
e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti.
4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang
a. Pemborong berbuat curang.
b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang.
c. Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
7. Gratifikasi (pemberian hadiah)
3. Metode Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi

perdebatan antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya,

dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini

baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian banyak dibantu ahli dari BPK atau

BPKP, atau ahli lain yang ditunjuk. Namun demikian metode penghitungan

kerugian keuangan negara bervariasi. Selama ini belum ada pembakuan

78
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2014)

71
maupun rumusan yang bisa dipakai dalam menghitung kerugian negara.

Berdasarkan pendapat auditor BPK RI Perwakilan Jawa Tengah maupun

BPKP Perwakilan Jawa Tengah menyatakan bahwa tidak ada ketentuan baku

metode penghitungan kerugian Negara, metode penghitungan kerugian

keuangan Negara tergantung pada masing-masing kasus. Namun demikian,

ada beberapa metode pendekatan dalam penghitungan kerugian keuangan

Negara yang sering menjadi acuan para auditor, yaitu sebagaimana pula yang

dirumuskan oleh Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya “Menghitung

Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Adapun konsep

penghitungan kerugian keuangan Negara dimaksud adalah : 79

a. Kerugian Total ( Total Loss )


b. Kerugian Total dengan Penyesuaian
c. Kerugian Bersih ( Net Loss )
d. Harga Wajar
e. Opportunity Cost
f. Bunga Sebagai Unsur Kerugian Keuangan Negara
Dalam praktek yang telah dilakukan oleh baik auditor BPK maupun

BPKP dalam menentukan perhitungan kerugian keuangan Negara ada lima

konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara yaitu:

a. Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian.


b. Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga
pokok produksi.
c. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu.
d. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke Kas Negara.
e. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan
pribadi atau pihak-pihak tertentu.

79
Arief Setiawan, Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Fakultas Hukum Universitas Sunan Kalijaga
Semarang, Vol.12. No.3, 2017, hlm.7-8

72
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Yuridis Sosiologis (Social Legal Approach). Pendekatan yuridis

sosiologis dimaksudkan sebagai penerapan dan pengkajian hubungan aspek

hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjanya hukum di masyarakat.

73
Penelitian hukum yang sosiologis mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial

khususnya sosiologi sehingga penelitian ini disebut Sociolegal Research.

Penelitian hukum sosiologis atau empiris hendak mengadakan pengukuran

terhadap peraturan perundang undangan tertentu mengenai efektivitasnya,

maka definisi-definisi operasional dapat diambil dari peraturan perundang

undangan tersebut.80

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analitis yaitu

suatu penelitian yang berusaha untuk memperoleh gambaran dan penjelasan

sebenarnya mengenai masalah yang diteliti. Deskripsi dimaksudkan adalah

terhadap data primer dan juga data sekunder yang berhubungan dengan

kekuatan pembuktian keterangan ahli dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

untuk menghitung kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan

peraturan perundang-undangan dan teori yang relevan.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian tersebut akan dilakukan di Kejaksaan Tinggi DKI

Jakarta

D. Jenis Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sumber Data

Sekunder, yang meliputi :

80
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta, UI Press, 2010, hlm.53

74
a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti

berhubungan dengan masalah yang dibahas sebagai obyek penelitian. Data ini

diperoleh melalui wawancara sebagai pendukung penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada

peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui

dokumen. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup hal-hal

berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu Bahan Hukum yang bersifat autoritatif,

artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum

primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,

catatan resi, lembar negara dan risalah. Bahan hukum primer yang

digunakan antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum


Pidana.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

75
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014
Tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001
Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
7. Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia Nomor:
KEP-109/A/JA/09/2007, Kepolisian Negara Republik Indonesia
NO.POL:B/2718/IX/2007 dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Nomor: KEP-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama
dalam Penaganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan
Negara yang Berindikasi Tidak Pidana Korupsi Termasuk Dana
Nonbudgeter
8. Surat Edaran Mahkamah agung No 4 Tahun 2016 tentang
pemberlakuan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2016
seabgai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
b. Bahan hukum sekunder, meliputi peraturan pemerintah, peraturan

pelaksanaan, dan peraturan-peraturan lainnya, serta hasil-hasil penelitian

yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian keterangan ahli dari BPK

(Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam

kasus tindak pidana korupsi, hubungan koordinasi/kerjasama penyidik

dengan Instansi yang berwenang menghitung kerugian negara dalam

pembuktian kasus tindak pidana korupsi ,dan untuk mengetahui faktor-

faktor penghambat dalam pembuktian alat bukti keterangan ahli dari BPK

(Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam

kasus tindak pidana korupsi.

c. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan

hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisis serta

76
memahami permasalahan, berbagai bahan hukum, arsip dan dokumen,

brosur, makalah, dan sumber internet karya-karya ilmiah, bahan-bahan

seminar, dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok

permasalahan yang dibahas. Termasuk pula dalam bahan hukum tersier,

yaitu karya-karya ilmiah, bahan-bahan seminar, dan pendapat para sarjana

yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

E. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan penelitian dan sumber data yang dibutuhkan,

maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Data Primer

Data yang diperoleh melalui wawancara. Wawancara merupakan dialog

yang dilakukan oleh pewawancara dengan narasumber yaitu Jaksa

Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk

mendapatkan informasi. Wawancara dimaksudkan untuk mengumpulkan

data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan melalui inventarisasi terhadap peraturan-

peraturan perundang-undangan serta literatur yang ada relevansinya

dengan permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini studi pustaka dilakukan

dengan mempelajari berbagai sumber misalnya peraturan perundang-

undangan, buku-buku, jurnal penelitian, makalah, majalah, serta artikel

77
yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian keterangan ahli dari BPK

(Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menghitung kerugian negara dalam

kasus tindak pidana korupsi.

F. Metode Penyajian Data

Bahan Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian

yang disusun secara sistematis, rasional dan logis. Dalam arti keseluruhan

data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan

diselaraskan dengan pokok permasalahan sehingga merupakan satu kesatuan

yang utuh dengan pokok permasalahan yang sedang diteliti.

G. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.

Menurut Seorjono Soekanto “analisis data kualitatif adalah merupakan tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang di nyatakan

oleh responden secara tertulis maupun lisan, dan perilaku nyata“. Metode

analisis kualitatif dalam penelitian ini mengikuti pola deduksi untuk

menjawab permasalahan dalam objek penelitian, yaitu data yang sudah

diperoleh disusun dengan bentuk penyusunan data, kemudian dilakukan

reduksi atau pengelolaan data, menghasilkan sajian data dan seterusnya

diambil kesimpulan.

78
79
80

Anda mungkin juga menyukai