PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat
merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah
kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Dengan melihat akhir-akhir ini
banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.
diantaranya ialah kerugian keuangan Negara.1 Arti kerugian negara dalam Pasal 1
Keuangan yaitu:
1
Komisi pemberantasan korupsi, Memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami
tindak pidana korupsi, Jakarta:KPK, 2006, hlm 4.
1
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.”
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 30 tahun 1999
nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat
dihitung oleh instansi yang berwenang yaitu di lakukan oleh Badan Pemeriksa
tidak. Dalam kasus tindak pidana korupsi, suatu instansi pemerintah atau pejabat
Fungsi BPK selaku yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab atas
2
Loc.Cit
2
hukum keuangan negara. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan
Undang- Undang No.15 tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
yang merupakan salah satu bertugas untuk menghitung kerugian negara dalam
bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang keras dalam memberantas tindak pidana korupsi ini. Salah satunya melalui
3
Ikhwan, Hussain, Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dan Surat Dari Instansi Yang
Berwenang Menghitung Kerugian Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Poenale,
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Vol.5 No.5, 2017, hlm. 3
4
Ibid., hlm.4
5
Evi Hartanti. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Sinar Grafika, Hlm. 2
3
pembuktian, karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan
Hasil kegiatan peradilan akan diperoleh suatu konstruksi peristiwa yang terjadi,
diperlukan alat bukti dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang ada
tentang pembuktian sesuatu. Atas dasar apa yang diperoleh dari kegiatan itu,
maka dibentuklah konstruksi peristiwa yang sudah berlalu yang sebisanya sama
(objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan
cara- cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai
proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak: hakim,
jaksa dan terdakwa yang (dapat) didampingi penasihat hukum, segala seginya
yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum
pembuktian. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek
4
lebih mendalam ada polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikatagorisasikan ke
dalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari
hukum perdata sehingga aspek pembuktian ini masuk dalam katagori hukum
perdata materiil dan hukum perdata formal ( hukum acara perdata). Akan tetapi
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
Korupsi tidak menentukan lain, maka segala ketentuan hukum acara pidana yang
terdapat dalam KUHAP berlaku bagi proses peradilan tindak pidana korupsi,
termasuk pembuktian.
menggunakan KUHAP dalam bidang atau hal tertentu berlaku ketentuan khusus
6
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik ( Bandung :
Alumni, 2008), halaman 91.
5
sesuai yang ditentukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seperti
dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
korupsi, hanya saja khusus untuk alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat
bukti lain yang berupa informasi elektronik, ataupun dari dokumen rekaman data
Kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK sebagaimana dalam
Jawab Keuangan Negara, dan juga Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang
7
Ikhwan, Loc.Cit.
6
Keuangan harus segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang.8
Peranan Polri sendiri sebagai penyidik pada tindak pidana korupsi selain
dimana hasil audit investigasi yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berfungsi sebagai alat bukti bagi
penyidik Polri, yang berupa surat-surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya
suatu tindak pidana korupsi. Selain hasil audit yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti surat, auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun
juga dapat diminta keterangannya untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti
keterangan ahli.9
adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara, yang berarti Badan
declare, dan dalam hal tertentu hakim dapat menilai adanya kerugian negara dan
8
Loc,Cit.
9
Loc.Cit
10
Loc.Cit
7
Berdasarkan uraian diatas memberikan gambaran bahwa kewenangan audit
B. Perumusan Masalah
sebagai berikut :
C. Kerangka Teori
8
mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem
pembuktian di suatu negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem
atau teori pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction
batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau
atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat
pidana menganut sistem pembuktian Negative wettelijk ada dua hal yang
merupakan syarat:12
a. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh Pasal
184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Negative, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, belum cukup untuk
memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih
dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Alat-alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan
causal (sebab akibat). Menurut Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum Acara
11
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011, Hlm.
11
12
Ikhwan, Op.Cit, hlm.6
9
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya".
Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan yang
ditetapkan undang-undang dan keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu benar-
terdapat empat, lima atau enam saksi yang diajukan Penuntut Umum, akan tetapi
hakim pidana tidak meyakini bahwa tindakan pidana itu telah terjadi dan
dilakukan oleh terdakwa, maka hakim pidana akan membebaskan terdakwa atau
akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu, sistem
untuk menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan
oleh undang-undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh Pasal 184 KUHAP. Alat
bukti berupa pengetahuan hakim atau keyakinan hakim tidak merupakan alat
bukti yang ditetapkan oleh KUHAP, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 184 yang
Juangga Saputra, Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang Mempengaruhi Keyakinan
13
Hakim untuk Mengambil Keputusan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Negeri
10
Dari pengertian diatas merupakan syarat materil seseorang dapat dikatakan
sebagai seorang ahli, dan kualifikasi ahli dapat ditentukan atas dasar latar
memberikan kesaksian bertindak atas nama lembaga. Dalam hal ahli memberikan
kesaksian harus disertai surat penugasan sebagai ahli dari lembaga terkait.
Sedangkan syarat formil seseorang dapat dikatakan sebagai seorang ahli diatur
dalam:14
keterangan saksi dan keterangan ahli yaitu keterangan saksi ialah keterangan
yang diberikan mengenai hal yang ia alami, ia lihat atau ia dengar sendiri,
sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas keahlian yang ia
11
memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih
dahulu. 15
Keterangan ahli merupakan hal yang penting karena merupakan alat bukti
keterangan ahli dikesampingkan harus berdasarkan alasan yang jelas, tidak bisa
184 KUHAP itu dapat diperluas lagi. Pasal 26A Undang-Undang Nomor: 31
15
Ikhwan.,Op.Cit.,hlm 5
16
Juangga,Loc.Cit.
12
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 menentukan bahwa alat
bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 alat bukti lain dari pasal 188 ayat (2)
KUHAP, yakni:17
petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi
dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti yang
kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti ; keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa (pasal 188 ayat 2). Dalam rumusan pasal 26A
huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan
dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dengan alasan itu, maka alat bukti
petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan
dokumen saja, tanpa menggunakan alat bukti lain. Tentu saja, berdasarkan pasal
183 alat bukti petunjuk tidak boleh berdiri sendiri, artinya hanya satu-satunya alat
bukti. Karena informasi dan dokumen yang dimaksud pasal 26A tidak dapat
17
Syaibatul Hamdi, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pidana. Jurnal Ilmu Hukum.
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh. Vol.1 No.4, 2017, hlm 12
13
pasal 183 KUHAP tersebut, fungsi dokumen dan informasi sebagai alat bukti
hanya bernilai sebagai alat bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk saja, tidak
dapat digunakan untuk kepentingan lain selain membentuk alat bukti petunjuk.
Oleh karena itu, apabila telah diperoleh alat bukti petunjuk berdasarkan alat bukti
informasi dan dokumen, tetap masih diperlukan satu alat bukti lain lagi yang
isinya sama dan bersesuaian, misalnya keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa, tetapi tidak dari keterangan ahli. Keterangan ahli dapat dipergunakan
tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah
sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar
keterangan ahli dan bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti
yang dimaksud pasal 183. Keyakinan hakim sesungguhnya harus berpijak pada
keadaan (objektif) dari isi setidak-tidaknya dua alat bukti yang dapat
pidana korupsi, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan harus
bukti petunjuk yang dibentuk melalui alat bukti informasi dan alat bukti dokumen
tadi perlu ditambah dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lain yang sah. Jika
secara objektif telah terpenuhi syarat minimal bukti tersebut, barulah hakim dapat
membentuk keyakinannya.19
18
Ibid.,hlm 14
19
Loc,Cit.
14
Dalam Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 terdapat beberapa pasal
“Ahli adalah orang yang ditunjuk oleh BPK karena kompetensinya untuk
memberikan keterangan mengenai kerugian Negara/daerah yang dimuat dalam
laporan hasil pemeriksaan BPK atau Laporan hasil perhitungan kerugian
Negara/daerah, dalam proses peradilan”.
Pasal 2 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 :
(1) BPK dapat memberikan Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai
kerugian Negara/daerah
(2) BPK dapat menugaskan Anggota BPK, Pejabat pelaksana BPK, Pemeriksa
atau Tenaga ahli dari luar yang bekerja untuk dan atas nama BPK untuk
memberikan Keterangan Ahli
Pasal 3 Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2010 :
20
Juangga,Op.Cit.,hlm 6
15
Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang
Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya
kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara, yang berarti Badan Pemeriksa
dalam hal tertentu Hakim dapat menilai adanya kerugian Negara besarnya
menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi dapat membantu
Negara”menjelaskan:22
“Untuk dapat menjadi seorang ahli di muka pengadilan si Auditor BPK minimal
mempunyai jabatan sebagai Pengendali Mutu atau Pengendali Teknis atau
Pimpinan Tim. Persyaratan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) di mana salah satu alat bukti adalah keterangan ahli, maka
auditor yang menjadi pimpinan tim pemeriksa atau telah menjabat sebagai
pengendali mutu atau pengendali teknis adalah sebagai seorang ahli atau tenaga
profesional. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP dijelaskan bahwa “Keterangan
ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu
tidak diberikan waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka
pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat
dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.”
21
Ibid.,hlm.7
22
Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 317, Jakarta, 2012,
hlm 41
16
Hal ini sesuai dengan Nooredyono seorang Hakim Tindak Pidana Korupsi
Sehingga hakim sebagai juru pemutus melihat seorang ahli dan keterangan yang
diberikan dapat semakin paham akan duduk perkara yang terjadi. Terkait dengan
membuat hakim meyakini kebenaran dari sebuat perkara dalam hal adanya
dengan Sugeng, selaku Jaksa Muda Tindak Pidana Korupsi pada Kejaksaan
23
Auria Patria, Pengaruh Keterangan Ahli Terhadap Keyakinan Hakim dalam Putusan
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Vol. 8 No. 2.
2013, Hlm 6
17
Ahli tersebut memiliki kompetensi yang berbeda-beda dalam hal keahlian
khusus yang dimilikinya. Jika dilihat dari keterangan Bapak Sugeng dapat
bahwa seorang ahli memiliki kedudukan atau posisi dalam pembuktian di sidang
24
Ibid.,hlm6
18
atau melihat kejadian atau suatu perkara secara langsung maka seorang ahli dapat
dengan keahlian khusus yang dimilikinya untuk membuat hakim mengerti dan
yakin dari sebuah perkara korupsi sehingga keyakian hakim yang didasarkan
pada persesuaian dari keterangan saksi, ahli, terdakwa dan barang bukti lain serta
“Kedudukan keterangan ahli dalam KUHAP termasuk alat bukti yang nantinya
akan membantu menemukan kebenaran materiil namun belum tentu juga
keterangan seorang ahli akan dipakai hakim, jika memang ahli yang dihadapkan
tidak berkompeten.Semua tergantung hakimnya”
“. . .Kalau keyakinan hakim dinilaia dari seberapa besar pengaruh keterangan
ahli, saya mengatakan itu berpengaruh asalkan keterangan ahli disampaikan
secara ideal dimuka persidangan dan ahli yang dihadapkan berkompeten karena
keyakinan hakim inilah yang akan memutus perkara”.
Berdasarkan hal tersebut diatas kedudukan seorang ahli dilihat dari sistem
pembuktian dipandang sama oleh hakim, Jaksa dan Akademisi namun, jika dalam
terkait dengan keahlian khusus yang dimilikinya, majelis hakim akan menilai dan
25
Ibid.,hlm.113
26
Ibid,hlm.114
27
Ibid.,hlm 114
19
mempertimbangkan dengan logika berfikir hakim sehingga jika
memang keterangan ahli yang diberikan ideal atau layak maka akan memperkuat
keyakinan hakim dalam membuat putusan tindak pidana korupsi. Berbeda jika
sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang mengatur
keberadaan alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Kedudukan
keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, bagi hakim sendiri
tergantung dari materi perkara, jika sesuatu hal tersebut memang hakim tidak
sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan hal
keuangan negara adalah Auditor BPK. Dan untuk menentukan kerugian negara,
28
Ibid.,hlm 114-115
29
Jaidun dan Tumbur Ompu Sunggu, Kerugian Negara dalam Pengelolaan Keuangan Negara
oleh Badan Usaha Milik Daerah. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam
Samarinda. Vol.8 No.2, 2017, hlm 105
20
Berdasarkan dari rumusan masalah faktor-faktor penghambat dalam
menggunakan alat bukti keterangan ahli dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
untuk menghitung kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi teori yang
kehidupan masyarakat.
sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup
30
Soerjono Soekanto.2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum. Jakarta :
Rajawali Pers
21
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
d. Faktor masyarakat
peran yang strategis karena bukan hanya sebagai badan pengawas/auditor internal
22
Negara, dan Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.
D. Tujuan Penelitian
pidana korupsi.
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
2. Kegunaan Praktis
23
Hasil dari penelitian ini diharapkan harapkan bermanfaat pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa
organisatie (RO. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan
organisasi kehakiman; Inladsch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang
mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka
24
strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara
landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur
Volksraad pada tahun 1941. HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan
golongan Eropa. Dengan demikian acara pidanapun tidak berubah. HIR dan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan
25
tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt
tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap penuntut umum
semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada HIR
diharapkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan
maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang
lengkap. Dalam arti, seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran)
memadai lagi. Pandangan dan perkembangan nilai yang ada didalam masyarakat,
26
yang secara khusus dibuat, yang berbeda dengan KUHAP dan diatur dalam
untuk merevisi KUHAP setelah hampir 30 tahun diberlakukan. Saat ini draft
RUU KUHAP telah selesai dibuat untuk selanjutnya diajukan pembahasan dan
pengesahannya di DPR31
Konstitusi.
27
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang”.
juga RIB (reglemen indonesia yang di baharui) (s.1848 No. 16, s 1941
untuk daerah seberang (s.1927 no. 227) untuk luar jawa & madura.
3) Landgerechts reglement (S. 1914 No. 317, S. 1917 no. 323 untuk
Acara pidana disingkat KUHAP (LN. 1981 -76 & TLN – 3209) dan Peraturan
Kehakiman.
28
dengan Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua
Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum
yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi
pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang
KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai
hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang
dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota
29
masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang
menyangkut KUHAP.32
Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana tersebut
adalah :
cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-
martabat manusia.
Azas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,
cepat,tepat, sederhana dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa
berhak :
30
4. Berhak segera diadili oleh pengadilan.
Azas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP.
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau
accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusator
menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan:
Untuk menjamin agar azas praduga tak bersalah dapat ditegakan dalam
33
M. Yahya, Harahap, Op. Cit, hlm. 40
31
inkuisatur. Prinsip akusatur ini menempatkan kedudukan tersangka atau
wenang.
periode HIR. Prinsip ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan
yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan
34
Harahap,M.Yahya,2013, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 30
35
Ibid. Hlm. 45
32
1. Sudah apriori menganggap tersangka atau terdakwa bersalah. Seolah-olah
3) Azas Oportunitas.
(Pasal 1 butir a dan b serta Pasal (137) dan seterusnya dalam KUHAP).
Oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut untuk menuntut atau
Menurut A,Z Abidin Farid36 yang dikutip dalam buku Andi Hamzah
36
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 15.
33
“Azas Opportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan
atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan
delik demi kepentingan umum.”
Andi Hamzah37 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:
37
Ibid. hlm. 16.
38
M Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.56.
39
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 19.
34
“Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim
diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi
apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum.”
KUHAP berbunyi :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 :
Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut
dalam suatu perkara pokok pidana untuk dapat mengadakan persiapan lagi
35
tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya
diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau
satu sama lain secara lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan
41
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 21.
36
Azas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam
“Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam
memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak
boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa
maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan
dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang
sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau
keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi
tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki.
Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya
keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti,
tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan
isi dan nilai keterangan.”
42
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.113.
37
Pengecualian dari asas ini adalah kemungkinan putusan yang
serta masyarakat.
cek, saham, surat berharga, transfer rekening dan lain-lain. Dewasa ini,
38
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan alat bukti tersebut adalah
kedokteran.43
akan berpengaruh terhadap perkembangan alat bukti yang ada. Hal ini
masyarakat, dan lebih khususnya oleh para pelaku tindak pidana, bahkan
hukum
perubahan cara bertukar informasi kearah yang lebih cepat dan praktis.
orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya
informasi melalui ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka
informasi yang berada di tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak
bisa disimpan lama. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak
bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Setelah itu
43
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Sinar Grafika .
Hlm.108
39
Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain.
Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Kemudian
informasi yang lebih efisien dari cara yang sebelumnya. Suatu gambar
elektronik ini nantinya akan makin memperoleh posisi yang sentral dalam
40
Sedangkan perkembangan ilmu kedokteran akan sangat berpengaruh dalam
bidang forensik.44
berdampak juga pada alat bukti dalam suatu tindak pidana, disini terkait
tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana dan
informasi dalam arti khusus. Misalnya saja pada modus operandi suatu
maka alat bukti dari tindak pidana itu akan semakin banyak dan kompleks
alat bukti lain yang berkaitan dengan komputer. Kemudian kejahatan yang
41
penggunaan alat bukti akan lebih condong ke arah alat bukti surat dan
kearangan ahli, tidak saja pada keterangan saksi seperti pada tindak pidana
konvensional.
c. Masyarakat
dan imitasi. Kemudian juga ada ungkapan lain yang menyatakan “crime is
perkembangan alat bukti pun tentunya terdapat hubungan yang cukup erat.
Perkembangan alat bukti yang digunakan pada tindak pidana tentunya akan
selalu terpengaruh dengan keunikan atau sifat dari masyarakat itu sendiri.
42
keberadaannya sebagai suatu alat yang dapat dijadikan bukti pada suatu
tindak pidana.
karakteristiknya berupa modus operandi dari tindak pidana itu sendiri. Hal
sifatnya berupa perluasan dari sumber alat bukti petunjuk dalam KUHAP,
bukti petunjuk juga dapat dibentuk dari 2 alat bukti lain dari Pasal 188 ayat
46
Syaibatul Hamdi, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pidana. Jurnal Ilmu Hukum.
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh. Vol.1 No.4, 2017, hlm 12
43
b) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.
Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat
bukti petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa
informasi dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat 2). Dalam
rumusan Pasal 26A huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya,
kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah
sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Dengan alasan itu, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah
menggunakan alat bukti lain. Tentu saja, berdasarkan Pasal 183 alat bukti
petunjuk tidak boleh berdiri sendiri, artinya hanya satu-satunya alat bukti.
Karena informasi dan dokumen yang dimaksud Pasal 26A tidak dapat
sebagai alat bukti hanya bernilai sebagai alat bukti untuk membentuk alat
bukti petunjuk saja, tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain
membentuk alat bukti petunjuk. Oleh karena itu, apabila telah diperoleh
alat bukti petunjuk berdasarkan alat bukti informasi dan dokumen, tetap
masih diperlukan satu alat bukti lain lagi yang isinya sama dan
44
bersesuaian, misalnya keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa,
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari
mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga
hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa47.
Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang lama tentu
47
Yahya Harahap, 2002..Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 277.
45
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam
terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
b. Conviction-Raisonee
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas
maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”.48 Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan
terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee,
harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
“reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim
harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat
diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa
uraian alasan yang masuk akal.38 Sistem atau teori pembuktian ini disebut
48
Yahya Harahap, Loc. Cit.
46
juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrije bewijstheorie).49
c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief
Wettelijke Stelsel)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat
cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi
nuraninya.51
berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika
49
Ibid., hlm. 278.
50
Yahya Harahap, Loc. Cit.
51
Ibid.
47
apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan
sistem ini, terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang
Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk menyatakan salah atau tidak
2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
4. Parameter Pembuktian
52
Ibid, hlm. 278 - 279
53
Ibid, hlm. 278 - 279
48
pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim.54 Pembuktian
positif karena sistem pembuktian ini dalam mencari suatu kekuatan didalam
keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang
atas alasan yang logis (conviction raisinnee) dan yang kedua ialah teori
Dimana dasar pembuktian disebutkan secara jelas didalam Pasal 183 Undang-
49
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam menentukan kebenaran yang obyektif maka diperlukan menggunakan
alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.58
yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam hukum acara. Seperti dalam
hukum acara pidana Indonesia, alat bukti yang diakui dipengadilan sama
dengan alat bukti yang digunakan dibanyak negara. Seperti di Indonesia alat
bukti yang sah tercantum dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
diperoleh dengan jalan yang tidak sah, maka konsekuensinya demi hukum
Bahwa apabila bukti tersebut bukti didapatkan dengan cara atau jalan yang
58
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23.
59
Eddy O.S Hiariej, Op.cit Hlm 18-20
50
tidak sah, maka demi hukum hal tersebut akan menggugurkan perkara yang
bahwa suatu bukti illegally acquired evidence (perolehan bukti secara tidak
dakwaan adalah jaksa penuntut umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari
terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian ini menjadi otoritas dari hakim yang
kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya. Kekuatan
60
Ibid, Hlm 20-22
61
Ibid, Hlm 22-25
51
pembuktian juga terletak kepada bukti yang diajukan tersebut relevan ataukah
tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan,
dapat diterima atau tidak dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat
yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana bahwa hakim dalam memutus suatu perkara harus
bewijstheorie
Pidana, namun bahwa terdapat perluasan alat bukti yang sah menurut
62
Ibid, Hlm 25-26
63
Ibid, Hlm 26
52
E. Kedudukan dan Kekuatan Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara
Pidana
merupakan salah satu dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang
bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain,
sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang
mengenai alat bukti tersendiri yang diantaranya terdapat pengaturan alat bukti
Terorisme
53
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Perdagangan Orang
pidana formil di luar KUHAP tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang
diatur dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti yang diatur dalam
Korupsi.
dikenal sebagai alat bukti tersendiri. Pasal 295 HIR menyebutkan alat-alat
bukti yang sah terdiri dari kesaksian, surat-surat, pengakuan dan petunjuk-
petunjuk.
hukum acara pidana dalam HIR, keterangan ahli termasuk menjadi salah satu
alat bukti yang sah, hal ini terlihat pada Pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP.
Selain di Indonesia, keterangan ahli juga menjadi salah satu alat bukti dalam
64
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 267
54
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang,
sebagai alat bukti tidak bisa dipahami hanya dengan bertumpu pada Pasal 186
KUHAP. Uraian Pasal 186 yang tidak diikuti rincian lebih lanjut mengenai
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur yang
Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang
55
a. Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan. Demi
kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permintaan
tersebut dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara
tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
b. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan.
Laporan itu dapat berupa surat keterangan atau juga dalam bentuk
visum et repertum.
c. Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan
mengingat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
d. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli seperti itu, keterangan yang
dituangkan dalam laporan atau visum et repertum, mempunyai sifat dan
nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan
keterangan ahli. Tetapi bisa juga terjadi walaupun penyidik atau penuntut
pengadilan. Sehingga tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan
56
atau pekerjaan, tetapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang
pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
e. Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian
dalam pemeriksaan sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut
menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus
keterangan ahli yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
b. Kekuatan Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana
Jika seorang ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucap
sumpah di muka penyidik, maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang
sumpah, karena sudah disandera, tetapi tetap tidak mau bersumpah ataupun
keyakinan hakim.65
atau “vrij bewijskracht”. Alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang
bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai
65
Hari Sasangka dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : Mandar Maju. Hal. 60
57
kesempurnaannya dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk
alasan yang jelas, tidak bisa mengenyampingkan suatu keterangan ahli begitu
183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh
salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk
ditunjang dengan alat bukti lainya. Jika dalam suatu pemeriksaan perkara, alat
buktinya hanya terdiri dari beberapa keterangan ahli, Yahya Harahap hanya
menilai hal tersebut tetaplah bernilai satu pembuktian. Alasannya, apa yang
diungkapkan dan diterangkan kedua alat bukti keterangan ahli itu hanya
berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu, namun mengenai pelaku
66
Ibid. Hlm. 287
58
kejahatan sama sekali tidak terungkap dalam keterangan ahli-ahli tersebut.
Selain itu, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakan pendapat ahli
atau mencukupi nilai pembuktian alat bukti yang lain. Keterangan ahli
sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana
yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang
semata-mata terdiri dari beberapa keterangan ahli, yang satu keterangan ahli
berupa laporan yang diberikan pada waktu penyidikan dan yang satu lagi
tersebut.68
dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap telah
memenuhi Pasal 183 dan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. Misalnya, menurut
dicekik dengan tangan. Kemudian menurut keterangan ahli sidik jari, bekas
cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Hal
67
Ibid. Hlm. 305
68
Muhammad Taufik Makarao. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.
Bogor : Ghalia Indonesia. Hlm. 126
59
ini dapat dibenarkan dengan alasan lain, karena kedua keterangan ahli
jangan hanya mengumpulkan dan meminta keterangan dari para ahli yang
tetap dianggap satu saja apabila yang mereka terangkan hanya tentang suatu
negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
69
Ibid. Hlm. 127
60
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
61
digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
teknik yang semakin canggih. Dalam kondisi demikian terjadi kendala dalam
pandangan bahwa legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini “telah
70
Beni Kurnia, Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Kerja Sama
BPK dan KPK, Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, Vol.3 No.2, 2017, hlm 54
62
Sesungguhnya gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi tindak
Jika ditelisik pada fakta yuridis dalam rangka upaya penindakan kasus
terhadap kerja sama antar lembaga pemberantas tindak pidana korupsi dengan
lembaga pemeriksa keuangan. Dengan dasar itu, maka sistem regulasi tindak
filosofi dan realitas kearifan nilai-nilai moral, etika, dan budaya yang ada di
Indonesia. Akan tetapi, sesungguhnya KPK tidak akan bisa berjalan maksimal
63
apabila tidak ada lembaga yang kemudian sebagai tameng dalam
Penegak Hukum (APH), khususnya KPK dalam hal menangani tindak pidana
BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa
Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah
71
Ibid.,hlm 55
72
Ibid.,hlm 56
64
13 dan 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi
sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 8 ayat (3) dan (4) serta Pasal (10)
dan (11) berkaitan dengan unsur pidana dan “kerugian negara” dijelaskan
bahwa:
65
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dalam ayat (2)
menjelaskan bahwa penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan
pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
3. Pasal 11 (c) menjelaskan bahwa BPK dapat memberikan: keterangan ahli
dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.74
korupsi ini tidak akan membuahkan hasil yang maksimal apabila tidak adanya
kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, seperti KPK. Aparat Penegak
Hukum berperan dalam proses hukum atas tindak pidana korupsi, sedangkan
publik dan usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu
perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
74
Ibid.,hlm 58
66
Berkaitan dengan penghitungan dan penentuan nilai kerugian
keuangan negara dalam proses perkara tindak pidana korupsi yang menjadi
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
“Kerugian keuangan negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh
para ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara serta ahli analisis
hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”
diintervensi, didikte bahkan diatur oleh kekuasaan lain yang lebih tinggi atau
bisa dibeli dengan berbagai kepentingan, maka hasilnya tidak akan objektif
dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tidak memuat kebenaran yang hakiki.
67
dan “presumption of corruption” atau “presumption of guilt”, serta wajib
yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa, yang bersifat
dari arah dan tujuan audit investigatif, “Audit Investigatif diarahkan kepada
melawan hukum lainnya (seperti tindak pidana pencucian uang)”. Ini sangat
pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK dan BPK di Indonesia. Terminologi
oleh aparat penegak hukum seperti KPK dan hakim dalam peradilan tindak
68
pidana korupsi. Dalam rangka meningkatkan penegakan hukum (Law
2001, hal ini sesuai dengan Keputusan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998
Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Dalam
Pidana Korupsi tidak ditemukan rumusan atau definisi apa sebenarnya yang
positif) maka tidak salahnya apabila pada bagian ini diuraikan tipologi atau
76
Ibid.,hlm 61
69
menurut kedua undang-undang ini. Tidak ada definisi baku dari tindak pidana
Korupsi. Akan tetapi secara umum, pengertian tindak pidana korupsi adalah
orang lain.77
untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus diliat dalam
serta terdapat tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang
77
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 15.
70
dari Pasal 2 sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A
dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini
baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian banyak dibantu ahli dari BPK atau
BPKP, atau ahli lain yang ditunjuk. Namun demikian metode penghitungan
78
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2014)
71
maupun rumusan yang bisa dipakai dalam menghitung kerugian negara.
BPKP Perwakilan Jawa Tengah menyatakan bahwa tidak ada ketentuan baku
Negara yang sering menjadi acuan para auditor, yaitu sebagaimana pula yang
79
Arief Setiawan, Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Fakultas Hukum Universitas Sunan Kalijaga
Semarang, Vol.12. No.3, 2017, hlm.7-8
72
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
73
Penelitian hukum yang sosiologis mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial
undangan tersebut.80
B. Spesifikasi Penelitian
terhadap data primer dan juga data sekunder yang berhubungan dengan
C. Lokasi Penelitian
Jakarta
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sumber Data
80
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta, UI Press, 2010, hlm.53
74
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti
berhubungan dengan masalah yang dibahas sebagai obyek penelitian. Data ini
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada
peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui
berikut:
catatan resi, lembar negara dan risalah. Bahan hukum primer yang
75
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014
Tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001
Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
7. Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia Nomor:
KEP-109/A/JA/09/2007, Kepolisian Negara Republik Indonesia
NO.POL:B/2718/IX/2007 dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Nomor: KEP-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama
dalam Penaganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan
Negara yang Berindikasi Tidak Pidana Korupsi Termasuk Dana
Nonbudgeter
8. Surat Edaran Mahkamah agung No 4 Tahun 2016 tentang
pemberlakuan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2016
seabgai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
b. Bahan hukum sekunder, meliputi peraturan pemerintah, peraturan
faktor penghambat dalam pembuktian alat bukti keterangan ahli dari BPK
76
memahami permasalahan, berbagai bahan hukum, arsip dan dokumen,
1. Data Primer
2. Data Sekunder
dengan permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini studi pustaka dilakukan
77
yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian keterangan ahli dari BPK
yang disusun secara sistematis, rasional dan logis. Dalam arti keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang di nyatakan
oleh responden secara tertulis maupun lisan, dan perilaku nyata“. Metode
diambil kesimpulan.
78
79
80