Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU FAAL

“SISTEM RESPIRASI”

Oleh:
Kelompok 4
Semester 3
Angkatan 2019
1. Farah afanin H. (20191880002)
2. M. zulfan ahaditama. (20191880011)
3. Ziyan nabilla (20191880015)
4. Gusti ayu azzahra (20191880027)
5. Moch Hamammul Mukhyidin (20191880044)
6. Dewi pratiwi (20191880039)
7. Rifka florensia (20191880050)
8. Nuzula qutrunnada Firdaus (20191880063)
9. Nizar Fakhri idrus (20191880068)
10. Achmada nadia shobrina (20191880077)

PROGRAM STUDI S-1 KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURABAYA
2020
DAFTAR ISI

Bab 1 pendahuluan

1.1 studi kasus respirasi…………………………………………………3

Bab 2 pembahasan

2.1 LO system respirasi…………………………………………………5

2.2 pedoman praktikum ilmu faal………………………………………18

Daftar Pustaka…………………………………………………………..34
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 studi kasus respirasi

Seorang laki - laki bernama Tn. Harto umur 49 tahun berobat ke


Puskesmas dengan
keluhan batuk, sesak napas dan bila mengeluarkan napas berbunyi. Pada
anamnesa, penderita
mengatakan bahwa dia juga menderita hipertensi. Penderita sudah sering
berobat di
Puskesmas dan mendapatkan obat hipertensi yaitu propranolol
(adrenergic beta blocker non
selective). Selanjutnya penderita dilakukan pemeriksaan dengan hasil
sebagai berikut:
▪ Vital sign (Tanda vital) TB : 163 cm, BB : 60 Kg, T : 36,7o C, TD :
165/95 mmHg, N :
80/menit, Resp.: 28/menit
▪ Pemeriksaan laboratorium : Glukosa darah normal
▪ EKG : dalam batas normal
▪ PF (Pemeriksaan fisik / physical examination) :
- Compos mentis (sadar normal)
- Inspeksi, palpasi & perkusi thorax : DBN (dalam batas normal)
- Auskultasi : wheezing expirasi
▪ Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan menggunakan alat yaitu
spirometer :
Hasilnya menunjukkan penyempitan saluran napas (bronkhokonstriksi)
Diagnosa awal: Asthma bronchiale dan Hipertensi. Selanjutnya
mendapat obat Ipratropium
(merupakan antagonis muskarinik / antikolinergik, terapi dini untuk
mengurangi - mencegah
sesak napas atau mengi (wheezing) yang disebabkan asthma bronchiale /
penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK / COPD), dan emfisema paru) tergolong
bronchodilator (melebarkan
bronchus) dan anti anti-hipertensi (amlodipine - golongan calcium
blocker).
Selanjutnya dilakukan Tes Fungsi Paru secara spirometry portable
seperti pada VIDEO, untuk
mengetahui Volume dan Kapsitas paru serta Tes FEV1 untuk
mengetahui seberapa besar
obstruksi yang terjadi.
Hasil Tes Fungsi secara spirometris :
❖ Volume dan Kapasitas paru : DBN (dalam batas normal )
❖ FEV1 : silahkan dihitung dan diinterpretasi, dari hasil pengukuran
sebagai berikut.
2
Pengukuran FEV1 dapat dilakukan dengan spirometer maupun dengan
Peak Flow meter,
seperti gambar berikut.
Hasil pengukuran P. Harto :
VC (Vital Capacity / Kapasitas Vital) : 3,8 Liter
FVC (Forced VC) : 3,9 Liter
FVC1 (FVC 1 detik pertama ) : 2,3 Liter
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1lo modul respirasi


1. Secara anatomi sistem pernafasan dibagi dalam 3 bagian besar,
menurut Rosa M. Sacharin (1996) yang meliputi :
Traktus Respiratorius Bagian Atas

Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari banyak bagian dan


fungsinya yaitu :
Gambar 1.1 Traktus Respiratorius

a. Hidung

Bagian anterior dari hidung dari bagi dalam paruhan kiri dan kanan oleh
septum nasi. Setiap paruhan dibagi secara tidak lengkap menadi empat
daerah yang mengandung saluran nasal yang berjalan kebelakang
mengarah pada nasofaring. Area tepat dalam lubang hidung dilapisi oleh
kulit yang mengandung rambut yang kasar. Sisa dari interior dilapisi
oleh membrana mukosa
Fungsi dari hidung adalah membawa udara dari dan ke paru- paru dan
menghangatkan udara saat diinspirasi. Bulu di dalam lubang hidung dan silia
yang melapisi membrana mukosa bertindak untuk mengangkat debu dan
benda asing lain dari udara.

Jika terjadi infeksi, efek lokal utama adalah iritasi dari sel mulkus yang
menyebabkan produksi mukus yang berlebihan, pembengkakan dari
membrana mukosa akibat edema lokal dan kongesti dari pembuluh
darah. Saluran hidung cenderung menjadi terblokir oleh pembengkakan
mukosa dan sekresi virus, sekret jernih, tetapi jika terdapat invasi
sekunder bakteri, sekret menjadi kekuning- kuningan atau kehijauan
akibat adanya pus (neutrofil mati dan granulosa).
b. Sinus

Sinus paranasal melengkapi suatu sistem ruang udara yang terletak


dalam berbagai tulang pada muka. Sinus dilapisi dengan mukosa
sekretoris dan memperoleh suplai darah dan saraf dari hidung. Infeksi
dari hidung mengarah pada penuhnya pembuluh darah, peningkatan
sekresi mukus dan edema.
c. Laring

Laring terletak di depan faring dan diatas permulaan trakhea. Terutama


terdiri dari tulang rawan tiroid dan tricoid dan tujuh tulang rawan lain
yang dihubungkan secara bersama oleh membrana. Suatu struktur tulang
rawan tergantung diatas tempat masuk ke laring ini
merupakan epiglotis yang mengawal glotis selama menelan, mencegah
makanan masuk laring dan trakhea. Inflamasi dari epiglotis dapat
menimbulkan obstruksi terhadap saluran pernafasan.
Bagian interior laring mengandung dua lipatan membrana mukosa yang
terlentang melintasi ringga dari laring dari bagian tengah tulang rawan
tiroid ke tulang rawan arytenoid. Ini merupakan pita atau lipatan suara.
Selama pernafasan biasa pita suara terletak dalam jarak tertentu dari
garis tengah dan udara respirasi melintas secara bebas diantaranya tanpa
menimbulkan keadaan vibrasi. Selama insiprasi dalam yang dipaksaan
mereka berada dalam keadaan lebih abduksi, sementara selama berbicara
atau menyanyi mereka dalam keadaan adduksi. Perubahan ini
dipengaruhi oleh otot-otot kecil. Pada anak-anak, pita suara lebih pendek
dibandingkan dengan orang dewasa.
Laring berfungsi sebagai alat respirasi dan fonasi tetapi pada saat yang
sama ambil bagian dalam deglutisi, selama waktu mana laring akan
menutup dalam usaha mencegah makanan memasuki traktus
respiratorius makanan bagian bawah. Laring juga tertutup selama
regurgitasi makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi makanan.
Refleks penutupan ini tergantung pada koordinasi neurimuskuler yang
kemungkinan tidak bekerja secara penuh pada bayi, sehingga mengarah
pada spasme.
2. Traktur respiratorius bagian bawah

Struktur yang membentuk bagian dari traktur respiratorius ini adalah


trakea, bronki dan bronkiolus serta paru-paru.
Tiga yang pertama adalah, trakea, bronki dan bronkiolus, merupakan
tuba yang mengalirkan udara kedalam dan keluar dari paru- paru. Trakea
dimulai pada batas bagian bawah dari laring dan melintas dibelakang
sternum kedalam toraks. Trakea merupakan tuba membranosa fleksibel,
kaku karena adanya cincin tidak lengkap yang berspasi secara teratur.
Tuba dilaisi oleh membana mukosa, epitelium permukaan adalah
kolumner bersilia. Segera setelah memasuki toraks trakea membagi diri
menjadi beberapa cabang yang masuk kedalam suatu substansi paru-
paru. Didalam substansi dari paru-paru bronki membagi diri menjadi
cabang yang tidak terhitung dengan ukuran yang secara progresif
berkurang hingga cabang yang mempunyai penampang yang sangat
sempit, di mana mereka di sebut sebagai bronkiolus. Tuba ini dilapisi
oleh membrana mukosa ditutupi oleh epitelium kolumner bersilia,
berlanjut dengan lapisan dari trakea. Otot polos ditemukan secara
longitudinal dalam bronki yang lebih besar dan trakea. Dalam bronki
yang lebih kecil dan bronkioles hal ini dibatasi oleh dinding posterios.
Seluruh panjang dari percabangan bronkial disuplai dengan serat elastik
yang kaya, bersama dengan semua jaringan lain yang disebutkan, dapat
diubah oleh karena penyakit, sehingga mempengaruhi fungsi normal
Gambar: Traktus Respiratorius Bawah

3. Paru – paru

Secara anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru dipertimbangkan


adalah lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobulus ini membentuk
masing-masing paru. Setiap lobulus merupakan miniatur dari paru-paru
dengan percabangan bronkial dan suatu sirkulasi sendiri.
Setiap bronkiolus respiratorius berterminasi kedalam suatu alveolus.
Alveolus terdiri dari sel epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran
gas antara udara dan darah.
Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula dan dasarnya
bertumpu pada diaphragma. Kedua paru-paru dibagi kedalam lobus, yang
kanan dibagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada jaringan paru-paru
oleh darah melalui arteri bronkial; darah kembali dari jaringan paru-paru
melalui vena bronkial.
Paru-paru juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan dengan
mengangkut darah deoksigenasi dan oksigenasi. Paru- paru disuplai dengan
darah deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang datang dari ventrikel kanan.
Arteri membagi diri dan membagi diri kembali dalam cabang yang secara
progresif menjadi lebih kecil, berpenetrasi pada setiap bagian dari paru-paru
hingga akhirnya mereka membentuk anyaman kapiler yang mengelilingi dan
terletak pada dinding dari alveoli. Dinding dari alveoli maupun kapiler sangat
tipis dan disinilah terjadi pertukaran gas pernapasan. Darah yang dioksigenasi
kembali kedalam atrium dengan empat vena pulmonalis.

2. Jelaskan fungsi alveoli dan membran respirasi


Alveoli berfungsi sebagai tempat terjadinya pertukaran gas dalam tubuh. Darah
yang memiliki banyak CO2 di pompa dari tubuh menuju ke alveolaris dan
melewati difusi, selanjutnya CO2 akan dilepaskan kemudian menyerap O2
untuk kembali diedarkan ke tubuh. Dinding alveoli dan dinding kapiler sangat
berdekatan sehingga membentuk membran respirasi. Membran respirasi
membantu dalam proses pertukaran gas antara udara alveoli dengan darah pada
kapiler paru-paru.
Membran respirasi terdiri dari :
▪ Surfactant. Bergungsi menjaga tegangan permukaan alveoli agar dinding
alveoli tetap tipis dan proses difusi gas pernafasan menjadi lebih efisien
▪ Membran alveoli. Membrane alveolar adalah permukaan tempat terjadinya
pertukaran gas di dalam paru yang dikelilingi oleh kapiler
▪ Interstisial. Berfungsi memisahkan epitel alveolus dari endotel kapiler. Ruang
ini terdiri dari elastin kolagen, dan kemungkinan sabut saraf
▪ Endothel kapilaria. Merupakan sel yang membentuk sekat atau dinding
interalveolar.

3. pada pernapasan dada, Mekanismenya sendiri dapat dibedakan menjadi dua


fase, yakni fase inspirasi dan fase ekspirasi. Fase Inspirasi merupakan fase
yang diawali dengan berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga
membuat rongga dada terangkat atau membesar. Akibatnya, tekanan dalam
rongga dada menjadi lebih kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar
yang kaya oksigen masuk.

Fase Ekspirasi merupakan fase relaksasi atau kembali ditariknya otot antara


tulang rusuk ke belakang yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga
rongga dada menjadi kecil. Akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi
lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang
kaya karbon dioksida keluar.

Pada pernapasan perut, Pada fase inspirasi, terjadi kontraksi otot diafragma


sehingga rongga dada membesar. Akibatnya tekanan dalam rongga dada
menjadi lebih kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya
oksigen masuk.

Fase ekspirasi merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot diaframa ke


posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk. Hal ini menyebabkan
rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada
pun menjadi lebih besar daripada tekanan luar, memungkinkan udara dalam
rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar.

4. Jelaskan perbedaan VC dengan FVC!

VC/ Vital capacity/kapasitas vital merupakan jumlah udara dalam 1 liter


yang bisa diekspresikan secara maksimal setelah inspirasi
maksimal.Sedangkan FVC/ Force Vital Capacity/kapasitas vital paksa
merupakan jumlah udara dalam liter yang bisa diekspresikan secara paksa dan
cepat setelah inspirasi maksimal.Kapasitas Vital termasuk dalam pemeriksaan
volume paru statik yang bertujuan untuk menggambarkan kemampuan kerja
pernapasan dalam mengatasi resistensi elastik.Sedangkan Kapasitas vital
paksa termasuk dalam pemeriksaan volume dinamik yang bertujuan
menguukur kecepatan aliran udara dalam saluran pernapasan dibandingkan
dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja
pernapasan mengatasi resistensi nonelastik.

11.Pada tes spirometri, FEV1 bertujuan untuk mengukur besaran udara yang
dapat pasien hembuskan secara paksa dalam 1 detik. Sehingga dapat
menunjukkan tingkat keparahan dari masalah pernapasan yang pasien alami.
12.Berapakah nilai normal FEV1 dan apa satuannya
Forced Expiratory volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara
yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam liter. Bersama
dengan FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru.
Pada penelitian ini, dilakukan analisis nilai titik potong penurunan
FEV1 % prediksi yang mempunyai nilai klinis berkaitan dengan tekanan
rerata arteri pulmonalis >25 mmHg dan ≤25 mmHg. Dengan menggunakan
kurva ROC, didapatkan AUC 0,994 (IK 95% 0,981-1,000; p 25 mmHg dan
≤25 mmHg
• Gangguan Faal Paru Obstruksi :
- FEV1 <80% dari nilai prediksi
- Rasio FEV1/FVC <70%
- Obstruksi ringan jika rasio FEV1/FVC 60% - 80%
- Obstruksi sedang jika rasio FEV1/FVC 30% - 59%
- Obstruksi berat jika rasio FEV1/FVC <30%

13.Apa yang dimaksud dengan wheezing pada penderita tersebut dan apa
penyebabnya ?
wheezing atau mengi adalah suara memanjang yang disebabkan oleh
penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan.
Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan
jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit
pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase
ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi
polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien
PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi
pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus.
(Sylvia dan Lorraine, 2006)
14.Peranan Saraf Simpatis, Parasimpatis

Ada dua devisi sistem saraf otonomik yaitu saraf simpatis dan parasimpatis.
Saraf simpatis berasal dari medulla spinalis menuju ganglion simpatis dan
mengadakan sinap, kemudian melanjutkan diri menuju organ yang
diinervasinya, antara lain paru dan sekitarnya. Ujung saraf simpatis
mengeluarkan neurotransmitter yaitu nor-adrenalin. Rangsangan saraf
simpatis maupun kelompok adrenalin yaitu memberi efek relaksasi otot
polos dinding saluran pernapasan atau terjadinya bronkhodilatasi.

Saraf parasimpatis diwakili oleh saraf kranialis ke X yaitu vagus. Ujung


saraf parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yaitu asetilkholin.
Rangsangan saraf parasimpatis maupun asetilkholin yaitu memberi efek
kontraksi otot polos dinding saluran pernapasan atau terjadinya
bronkhonstriksi .

Adrenalin dan agonisnya memberi efek relaksasi otot polos dinding saluran
pernapasan atau terjadinya bronkhodilatasi. Agonis adrenalin antara lain
salbutamol, terbutalin, dan epedrin. Beberapa obat yang memberi efek pada
saluran napas yaitu:

1. Aminoflin, teofilin dan beberapa derivat xanthin menimbulkan


relaksasi otot polos dinding saluran pernapasan atau terjadinya
bronkhodilatasi, sehingga digunakan sebagai terapi penderita asma
bronkhiale.
2. Adrenergik agonis, antara lain salbutamol, terbutalin dan efedrin
menimbulkan relaksasi otot polos dinding saluran pernapasan atau
terjadinya bronkhodilatasi, sehingga digunakan sebagai terapi
penderita asma bronkhiale.
3. Adrenergik inhibitor dapat menimbulkan penyempitan saluran
pernapasan atau bronkhokonstriksi. Obat golongan ini digunakan
sebagai anti-hipertensi, antara lain propranolol, atenolol dan
metoprolol (Sherwood, 2017).
15.Karena Mekanisme kolinergik memegang peranan penting dalam mengatur
tonus dan kaliber saluran pernapasan. Pada penyakit asma dan PPOK, sistim
saraf parasimpatik kolinergik merupakan salah satu mekanisme yang
berperan atas terjadinya bronkospasme, dan pada PPOK tonus kolinergik
adalah satu-satunya komponen yang bersifat reversibel.
Penggunaan antikolinergik sebagai bronkodilator sebenarnya telah
dikenal sejak awal abad 19, walaupun bagaimana cara kerjanya belum
diketahui. Pada tahun 1833, Geiger dan Hess berhasil mengisolasi bahan
aktif alkaloid atropine (daturine) yang berasal dari daun tumbuhan Datura
stramonium.
16.Mengapa pada kasus di atas pasien tidak diberi adrenalin ataupun agonisnya
sebagai bronchodilator?

Pasien pada kasus diatas menderita hipertensi, sedangkan adrenalin adalah


sebagai bronchodilator yang kuat dan dapat membuat jantung berdetak lebih
cepat. Adrenalin juga dapat membuat kekuatan kontraksi jantung semakin
menguat. Maka dari itu, sangat bahaya mengonsumsi adrenalin sebagai
bronchodilator bagi pasien hipertensi. Adrenalin bisa dirubah menjadi obat
lain dan anti hipertensi.

17. Propanolol merupakan prototipe agonis beta. Toksisitas utama propranolol


terjadi karena blokade reseptor β di jantung, pembuluh darah, atau bronkus.
Perluasan efek blokade β yang terpenting ini terjadi pada pasien dengan
bradikardia atau gangguan hantaran jantung, asma, insufisiensi vaskular
perifer, dan diabetes.

Blokade reseptor β2 di otot polos bronkus dapat menyebabkan peningkatan


resistensi saluran napas, terutama pada pasien dengan asma. Antagonis
reseptor β1 misalnya metoprolol dan atenolol mungkin memiliki keunggulan
dibandingkan dengan antagonis βnon-selektif ketika diinginkan blokade
reseptor β1 di jantung namun tanpa blokade reseptor β2. Namun, sampai
saat ini belum ada antagonis selektif β1 yang cukup spesifik untuk secara
total tidak berinteraksi dengan adrenoseptor β2. Karena itu, obat-obat ini
umumnya harus dihindari pada pasien dengan asma. Di pihak lain, banyak
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).Jadi, propanolol yang
digunakan secara rutin dapat memiliki efek pada saluran napas

18. Karena obat Amlodipine bekerja dengan cara melemaskan dinding


pembuluh darah. Efeknya akan memperlancar aliran darah menuju jantung
dan mengurangi tekanan darah. Selain untuk mengatasi hipertensi,
amlodipine juga digunakan untuk meredakan gejala nyeri dada atau angina
pektoris pada penyakit jantung koroner. Dan juga bisa menurunkan tekanan
darah yang tinggi.
19. Jelaskan mengenai fungsi surfactant, dimana dan dihasilkan oleh apa?
Tubuh manusia menghasilkan beragam surfaktan. Surfaktan paru
(pulmonary surfactant) diproduksi di paru-paru untuk memfasilitasi
pernapasan dengan meningkatkan kapasitas paru-paru total, TLC, dan
pemenuhan paru-paru.

Surfaktan merupakan zat aktif pada permukaan udara-air di alveoli yang


memberikan penurunan tegangan permukaan paru. Tegangan permukaan
yang tinggi timbul akibat adanya ketidakseimbangan distribusi gaya molekul
pada molekul air di permukaan udara- cairan. Tegangan permukaan yang
rendah yang dihasilkan oleh surfaktan membantu mencegah alveolus kollaps
dan menjaga cairan interstisial agar tidak menggenangi alveolus.
Surfaktan juga mencegah bronchioli tergenagi oleh cairan, yang
mengakibatkan obstruksi luminal. Kepentingan fisologis surfaktan dapat
dijelaskan dengan membandingkan hubungan tekanan-volume selama inflasi
dan deflasi pada paru dengan system surfaktan yang normal dengan paru
yang mengalami gangguan atau defisiensi system surfaktan.
Peranan penting surfaktan yang lain dalam hal mempertahankan fungsi
normal paru yaitu sebagai pertahanan paru. Untuk memfasilitasi pertukaran
gas. paru-paru mengandung area permukaan yang tipis yang secara konstan
terpapar dengan partikel-partikel dan bahan infeksius. Untuk mencegah
inflamasi kronis dan untuk membersihkan material yang dihirup, paru - paru
memerlukan system pertahanan yaitu surfaktan. Komponen penting dari
surfaktan yang berperan penting untuk fungsi system pertahanan ini adalah
protein surfaktan-A dan protein surfaktan-D. Beberapa penelitian telah
membuktikan peran protein-protein tersebut dalam menstimulasi fagositosis
makrofag alveolar, merubah sel-sel imun dan sel-sel yang berperan dalam
proses peradangan, mempengaruhi produksi oksigen reaktif dan meregulasi
sitokin yang dilepaskan dari berbagai sel-sel inflamasi.
2.2pedoman praktikum ilmu faal

1. Apa bedanya bronchus dengan bronchioles?

Bronchus

Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua trakea
pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama.
Bronkus berjalan ke arah bawah dan samping menuju paru dan bercabang
menjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Bronkus kanan
mempunyai diameter lumen lebih lebar, ukuran lebih pendek dan posisi
lebih vertikal. Letak sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis serta
mengeluarkan sebuah cabang utama yang melintas di bawah arteri, yang
disebut bronkus kanan lobus bawah.
Sedangkan bronkus kiri memiliki ukuran lebih panjang, diameter lumennya
lebih sempit dibandingkan bronkus kanan dan melintas di bawah arteri
pulmonalis sebelum di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan
kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris, kernudian menjadi lobus segmentalis. Bronkus lobaris ini bercabang
terus menjadi bronkus yang lebih kecil, dengan ujung cabangnya yang
disebut bronkiolus. Setiap bronkiolus memasuki lobulus paru, dan
bercabang-cabang menjadi 5-7 bronkiolus terminalis.
Bronchiolus
Bronkiolus merupakan segmen saluran konduksi yang terdapat di dalam
lobulus paru. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan maupun kelenjar
dalam mukosanya tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian
ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Selain silia,
bronkiolus juga menghasilkan mukus yang berfungsi sebagai pembersih
udara. Epitelnya adalah epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel
goblet (kadang-kadang). Mukosanya berlipat dan otot polos yang
mengelilingi lumennya relatif banyak (Eroschenko, 2003).

2. Apa yang menyebabkan bronchus dapat menyempit dan melebar?

Karena bronkus adalah jalur masuknya udara sebelum mencapai paru-paru,


ketika udara masuk maka bronkus akan menebal. Jika udara keluar maka
bronkus akan menyempit kembali. Saat otot mengencang, saluran udara
(bronkus) akan menyempit, sehingga udara sulit untuk keluar masuk.
Oksigen yang seharusnya masuk ke paru dan karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan jadi terhambat dan terbatas jumlahnya. Penyempitan
saluran udara tersebut dapat mengurangi jumlah aliran udara sebesar 15%
atau lebih.

Ketika dinding bronkus rusak dan mengalami peradangan kronis, dimana sel
bersilia rusak dan pembentukan lendir meningkat. Ketegangan dinding
bronkus yang normal juga hilang. Area yang terkena menjadi lebar dan
lemas dan membentuk kantung yang menyerupai balon kecil. Penambahan
lendir menyebabkan kuman berkembang biak, yang sering menyumbat
bronkus dan memicu penumpukan sekresi yang terinfeksi dan kemudian
merusak dinding bronkus.
3. Apa yang dimaksud dengan dead space

Pertukaran gas terjadi di dalam alveoli ketika udara,inspirasi masuk dan terjadi
difusi dengan pembuluh darah kapiler Tidak semua udara inspirasi mencapai
alveoli dan, brpartisipasi dalam pertukaran gas Volume udara pada akhir
inspirasi yang tetap ada di, dalam saluran napas konduksi disebut ruang rugi
anatomis.

Ruang rugi fisiologis = ruang rugi anatomi + ruang rugi alveolar Ruang rugi
alveolar sangat sedikit sehingga ruang rugi, fisiologik sama dengan ruang rugi
anatomik. Volume gas di dalam alveolus yang tidak mendapa, perfusi disebut
shunt dan kelebihan volume gas dalam alveolus disebut dead space.

Volume ruang rugi anatomis (Vdan) pada laki-laki dewasa normal 150 – 180
ml. Volume ruang rugi fisiologis (VD ) orang muda normal sedikit lebih besar /
sekitar 25- 35% VT (rasio VD/VT) Volume udara yang berperan dalam
pertukaran gas disebut ventilasi alveolar (VA) dengan persamaan VA = VE –
VD

4. Bagaimana transport O2 di darah sehingga sampai pada sel yang


membutuhkannya?

Tahapan proses pernapasan yaitu :


1. Ventilasi paru : inspirasi (memasukkan udara pernapasan kedalam paru menuju
alveoli) dan ekspirasi (mengeluarkan hawa pernapasan didalam paru ke udara
luar).
2. Difusi gas pernapasan : O2 berdifusi melalui membran respirasi menuju
sirkulasi darah dan CO2 berdifusi dari darah kedalam lumen alveoli.
3. Transport gas pernapasan : transport O2 dan CO2 didalam darah menuju sel –
jaringan yang membutuhkan.
Oksigen (O2) diangkut oleh plasma. Oksigen (O2) berdifusi ke dalam
plasma tidak mengalami reaksi kimia, oksigen (O2) larut dalam plasma dan
diangkut melalui pemecahan secara fisik. Jumlah yang dapat diangkut oleh plasma
ini dalam keadaan normal, sangat sedikit. Di lain pihak, oksigen (O2) yang
berdifusi ke sel-sel darah merah bercampur secara kimiawi dengan hemoglobin
(Hb) untuk membentuk apa yang dinamakan Oksihemoglobin (oxyhemoglobin -
HbO2). Proses pengikatan ini meningkatkan kapasitas darah untuk mengangkut
oksigen sekitar 65 kali. Salah satu fungsi sel darah merah adalah mengangkut
oksigen (O2) yang kebanyakan tergantung pada globular protein yaitu hemoglobin
(Hb). Hemoglobin (Hb) memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan
dengan oksigen (O2) membentuk oksihemoglobin di daiam sel darah merah.
Oksigen (O2) diangkut oleh darah ditentukan oleh banyaknya hemoglobin (Hb)
yang ada di dalam sel darah merah. (Guyton, 2014)
5. Karbondioksida dari sel-sel yang berespirasi berdifusi ke dalam
plasma darah dan kemudian ke dalam eritrosit. CO2 yang berdifusi tersebut
bereaksi dengan air (dibantu oleh enzim karbonat anhidrase) dan membentuk
H2CO3, yang berdisosiasi menjadi H+ dan HCO3 - , sebagian besar H+ berkaitan
dengan hemoglobin dan protein-protein yang lain, sehingga meminimalisasi
perubahan dalam pH darah dan HCO3- berdifusi ke dalam plasma. Ketika darah
mengalir melalui paru-paru, tekanan parsial relative mendorong CO2 berdifusi
keluar dari darah menuju alveoli sehingga jumlah CO2 dalam darah berkembang.
Pengurangan ini menggeser kesetimbangan kimiawi yang mendorong konversi
HCO3- menjadi CO2, sehingga memungkinkan difusi neto CO2 lebih lanjut ke
dalam CO2.
6. vena pulmonalis mengalirkan darah ke vena azigos dan vena
hemiazigos. Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang arteriae
pulmonales. Darah yang terdeoksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli
masuk ke cabang-cabang vena pulmonalis yang mngikuti jaringan ikat septa
intersegmentalis ke radix pulmonalis. Dua vena pulmonales meninggalkan setiap
radix pulmonis untuk bermuara ke atrium dan sinistrum cor.
7. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing
berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler). Jika
salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa
kembali anak setelah 20 menit untuk menentukan terapi selanjutnya:

o Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat,


nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau
bila tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet (lihat di ).
o Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan
beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti
yang diterangkan di bawah.
Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri terapi
oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di bawah.
Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis
pertama steroid dengan segera.
Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih baik
saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi, beri
bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.
Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri aminofilin IV.

8. Sebutkan otot respirasi, otot utama dan otot tambahan :


 Inspirasi – ototnya apa saja
Otot utama:
1. Diafragma : n phrenicus (Cervical 3,4,5)
2. M Intercotalis externus : n intercostalis
Otot tambahan
Jika inspirasi dalam
1. m. Sternocleidomastoideus : mengangkat sternum ke atas
2. m. Scalenus : mengangkat costa 1,2
 Expirasi – ototnya apa saja
Ekspirasi pasif
1. jika otot inspirasi relaksasi
• Ekspirasi aktif
Jika otot ekspirasi kontraksi
1. Otot di abdomen : m rectus abdominis
2. m Intercostalis internus
9. gambarkan kurva volume paru dan kapasitas paru berdasarkan
pengukuran spirometris, beserta penjelasannya
Dalam mengevaluasi hasil pemeriksaan fungsi paru, harus terlebih
dahulu dinilai akseptabilitas dari hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan
akseptabilitas paling baik ditentukan dengan mempelajari kurva flow-
volume. Adapun kriteria akseptabilitas dari suatu pemeriksaan fungsi paru
mencakup hal sebagai berikut (Shifren, 2006), (Miller, 2005):
1. Bebas artefak (batuk, penutupan glottis, penghentian dini, usaha
yang kurang maksimal dan bervariasi).
2. Start yang baik (fase awal kurva merupakan bagian yang paling
dipengaruhi oleh usaha pasien sehingga harus bebas artefak).
3. Waktu ekspirasi yang cukup (ekspirasi paling sedikit 6 detik
atau dijumpai plateau paling tidak selama 1 detik pada kurva
volume-waktu).
Bila telah didapat 3 kali pengukuran spirometeri yang memenuhi kriteria
akseptabilitas maka selanjutnya dinilai reprodusibilitasnya. Adapun kriteria
reprodusibilitas dari pemeriksaan fungsi paru mencakup (Shifren, 2006):

1 Dua nilai pengukuran FVC yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L
atau 5% satu sama lain.

2 Dua nilai pengukuran FEV1 yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L
atau 5% satu sama lain. Jika kedua syarat ini terpenuhi maka pemeriksaan fungsi
paru dapat dihentikan dan dievaluasi hasilnya. Bila tidak memenuhi maka
pemeriksaan harus diulang sampai memenuhi kriteria di atas maksimal 8 kali
pengulangan (Fischbach, 2003), (Miller, 2005).
Penilaian spirometri dasar mencakup FEV1, FVC, dan FEV1/FVC.
Ketiga metode pengukuran ini luas dipergunakan, tidak mahal dan mudah diulang.
Spirometri dapat digunakan dalam mendeteksi gangguan aliran udara akibat
obstruksi saluran nafas dan mengindikasikan adanya suatu kelainan paru restriktif.
Ada banyak nilai hasil pengukuran spirometri yang lainnya, namun kegunaan
klinisnya masih belum dapat ditentukan (Winn, 2005), (Gomella, 2007).

Ketika nilai FEV1 berkurang, maka nilai FEV1/FVC juga akan


berkurang yang menunjukkan suatu pola obstruksi. Rasio FEV1/FVC yang normal
adalah >0,75 untuk individu yang berusia kurang dari 60 tahun dan >0,70 untuk
yang berusia diatas 60 tahun (Lang, 2006). Namun Adrien Shifren menyebutkan
bahwa suatu defek obstruksi dapat disangkakan bila FEV1/FVC 75% nilai
prediksi. Kelainan restriktif ringan bila FVC 60-80% nilai prediksi, restriksi
sedang bila FVC 50-60% nilai prediksi dan restriksi berat bila FVC.

gambarkan kurva volume paru dan kapasitas paru berdasarkan pengukuran


spirometris, beserta penjelasannya

Dalam mengevaluasi hasil pemeriksaan fungsi paru, harus terlebih


dahulu dinilai akseptabilitas dari hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan
akseptabilitas paling baik ditentukan dengan mempelajari kurva flow-volume.
Adapun kriteria akseptabilitas dari suatu pemeriksaan fungsi paru mencakup hal
sebagai berikut (Shifren, 2006), (Miller, 2005):
1. Bebas artefak (batuk, penutupan glottis, penghentian dini, usaha yang kurang
maksimal dan bervariasi).

2. Start yang baik (fase awal kurva merupakan bagian yang paling dipengaruhi
oleh usaha pasien sehingga harus bebas artefak).

3. Waktu ekspirasi yang cukup (ekspirasi paling sedikit 6 detik atau dijumpai
plateau paling tidak selama 1 detik pada kurva volume-waktu).

Bila telah didapat 3 kali pengukuran spirometeri yang memenuhi kriteria


akseptabilitas maka selanjutnya dinilai reprodusibilitasnya. Adapun kriteria
reprodusibilitas dari pemeriksaan fungsi paru mencakup (Shifren, 2006):

1 Dua nilai pengukuran FVC yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L
atau 5% satu sama lain.

2 Dua nilai pengukuran FEV1 yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L
atau 5% satu sama lain. Jika kedua syarat ini terpenuhi maka pemeriksaan fungsi
paru dapat dihentikan dan dievaluasi hasilnya. Bila tidak memenuhi maka
pemeriksaan harus diulang sampai memenuhi kriteria di atas maksimal 8 kali
pengulangan (Fischbach, 2003), (Miller, 2005).
Penilaian spirometri dasar mencakup FEV1, FVC, dan FEV1/FVC.
Ketiga metode pengukuran ini luas dipergunakan, tidak mahal dan mudah diulang.
Spirometri dapat digunakan dalam mendeteksi gangguan aliran udara akibat
obstruksi saluran nafas dan mengindikasikan adanya suatu kelainan paru restriktif.
Ada banyak nilai hasil pengukuran spirometri yang lainnya, namun kegunaan
klinisnya masih belum dapat ditentukan (Winn, 2005), (Gomella, 2007).

Ketika nilai FEV1 berkurang, maka nilai FEV1/FVC juga akan


berkurang yang menunjukkan suatu pola obstruksi. Rasio FEV1/FVC yang normal
adalah >0,75 untuk individu yang berusia kurang dari 60 tahun dan >0,70 untuk
yang berusia diatas 60 tahun (Lang, 2006). Namun Adrien Shifren menyebutkan
bahwa suatu defek obstruksi dapat disangkakan bila FEV1/FVC 75% nilai
prediksi. Kelainan restriktif ringan bila FVC 60-80% nilai prediksi, restriksi
sedang bila FVC 50-60% nilai prediksi dan restriksi berat bila FVC.

10. Gambarkan kurva FEV 1 berdasarkan pengukuran secara spirometris dan apa
kegunaan pengukuran FEV 1.Apa tujuan pengukuran FEV 1 dan satuannya apa ?

Forced expiratory volume (FEV 1) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak-
banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal.
FEV 1 bertujuan untuk mendeteksi dini adanya obstruksi jalan nafas,mempunyai peranan yang
hamper sama dengan PEF (peak ekspiratory flow).Diukur dalam satuan liter

11.Agonis beta

Contoh : albuterol (agonis beta 2 selektif) , salmeterol (agonis beta 2 selektif) ,


isoproterenol (

Mekanisme :

Obat-obat ini melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pengeluaran
berbagai mediator bronkokonstriksi dari sel mast. Mereka juga dapat meng-hambat
kebocoran mikrovaskular dan meningkatkan transpor mukosilia dengan
memperbesar aktivitas silia. Seperti di jaringan lain, agonis β merangsang adenilil
siklase dan meningkatkan pem-bentukan cAMP intrasel. Efek agonis adrenoseptor
pada saluran napas yang paling banyak diketahui adalah relaksasi otot polos
saluran napas. Meskipun belum ada bukti tentang persarafan simpatis langsung
otot polos saluran napas manusia, banyak bukti menunjukkan bahwa adrenoseptor
banyak ditemukan di otot polos saluran napas. Secara umum, stimulasi reseptor β2
melemaskan otot polos.

Tiga metilxantin yang penting adalah teofilin, teobromin, dan kafein.

Mekanisme: pada konsentrasi tinggi, obat golongan ini in vitro terbukti


menghambat beberapa anggota famili enzim fosfodiesterase (PDE) (Gambar 20-3).
Karena fosfodiesterase menghidrolisis nukleotida siklik, inhibisi ini menyebabkan
mening-katnya konsentrasi cAMP intrasel dan, di sebagian jaringan, cGMP. AMP
siklik memiliki efek pada beragam fungsi sel termasuk, tetapi tidak terbatas pada,
stimulasi fungsi jantung, relaksasi otot polos, dan penekanan aktivitas imun dan
inflamatorik sel-sel tertentu.Dari berbagai isoform fosfodiesterase yang telah
diketahui, PDE4 tampaknya yang paling terlibat langsung dalam kerja metilxantin
pada otot polos saluran napas dan pada sel radang. Inhibisi PDE4 di sel-sel radang
mengurangi pengeluaran sitokin dan kemokin, yang pada gilirannya menyebabkan
penurunan migrasi dan pengaktifan sel imun.Dalam upaya untuk mengurangi
toksisitas sekaligus tetap mempertahankan efikasi, dikembangkan inhibitor selektif
untuk berbagai isoform PDE4. Banyak yang diabaikan setelah uji-uji klinis
memperlihatkan bahwa efek samping mual, nyeri kepala, dan diare membatasi
dosis ke kadar subterapetik, tetapi satu, roflumilas,baru-baru ini disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) sebagai pengobatan untuk PPK, bukan
asma.Mekanisme lain yang diperkirakan berperan adalah inhibisi reseptor adenosin
di permukaan sel. Reseptor ini memodulasi akti-vitas adenilil siklase, dan adenosin
terbukti memicu kontraksi isolat otot polos saluran napas dan pelepasan histamin
dari sel mast saluran napas. Namun, telah diperlihatkan bahwa turunan xantin yang
tidak memiliki efek antagonis adenosin (mis., enprofilin) mungkin poten dalam
menghambat bronkokonstriksi pada pasien asma.Beberapa riset menyarankan
bahwa efikasi teofilin mungkin disebabkan oleh suatu mekanisme kerja ketiga:
peningkatan deasetilasi histon. Asetilasi histon inti diperlukan untuk meng-aktifkan
transkripsi gen inflamatorik. Kortikosteroid bekerja, paling tidak sebagian, dengan
merekrut histon deasetilaktilase ke tempat transkripsi gen peradangan, suatu efek
yang ditingkatkan oleh teofilin dosis rendah. Interaksi ini seyogianya dapat
memperkirakan bahwa pemberian teofilin dosis rendah akan meningkatkan
efektivitas terapi kortikosteroid, dan beberapa uji klinis memang menunjang
gagasan bahwa pengobatan teofilin efektif dalam memulihkan responsivitas
kortikosteroid pada pengidap asma yang merokok dan pada pasien dengan bentuk-
bentuk PPOK tertentu.

12. Pleura visceralis adalah Pleura bagian dalam menutupi paru-paru dan
menggabungkan struktur-struktur, seperti pembuluh darah, bronkus,
dan saraf-saraf.

Pleura parietalis adalah Pleura bagian luar menempel pada dinding rongga dada,
tetapi terpisah oleh fasia endotoraks.

Ruang interpleural adalah rongga tipis yang berisi cairan di antara dua pleura
(viseral dan parietal) dari paru-paru kiri maupun kanan.

Pleura efusi adalah Penumpukan cairan di antara jaringan yang melapisi paru-paru
dan dada.
Daftar Pustaka
Tandililing, Senfri. dkk. 2017. “PROFIL PENGGUNAAN OBAT PASIEN
HIPERTENSI ESENSIALDI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH I LAGALIGO KABUPATEN LUWU TIMUR PERIODE
JANUARI-DESEMBER TAHUN 2014” dalam GALENIKA Journal of Pharmacy
Vol. 3 (1), 49-56. Palu : Universitas Tadulako.

Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar & Klinik,
Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.k

Bakhtiar A,Tantri R.I.2017. “Jurnal respirasi faal paru


dinamis”.Surabaya:Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi,Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr/Soetomo.

Pedoman Praktikum Ilmu FAAL FK UM Surabaya.(2020).

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.

Sherwod, Lauralee. 2017. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta :
EGC

Djojodibroto, D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Rosa M. Sacharin .1996. Prinsip keperawatan pediatrik edisi 2. Jakarta:


EGC.
P. Jacques,2010. Essential drugs practical guidelines. Medecins San Frontierez.
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Volume

Jakarta: EGC; 2000. 2. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses


perjalanan penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

Saputri ND. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia pediatrik di


instalansi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tritonegoro Klaten Tahun 2011 [skripsi].
Suh rakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2013.

Anda mungkin juga menyukai