Anda di halaman 1dari 5

C.

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBUDAYAAN

Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam bidang
perekonomian terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Wilayah kerajaan Majapahit
terdiri atas pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang dagangan.
Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh,
pala, kapas dan kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting.
Sebagai kerajaan produsen, Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi tanah
yang sangat subur. Banyaknya daerah subur tersebut menjadikan kerajaan Majapahit menjadi
produsen barang dagangan. Sementara itu sebagai kerajaan perantara, Kerajaan Majapahit
membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Keadaan masyarakat yang
teratur mendukung terciptanya karya-karya budaya yang bermutu. Bukti-bukti perkembangan
kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini:

Candi: Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegowangi dan Candi Tikus (Trowulan).

candi penataran

Gambar: Candi Penataran


candi tegowangi

Gambar: Candi Tegowangi

candi tikus

Gambar: Candi Tikus


KEHIDUPAN SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN

KERAJAAN MAJAPAHIT

Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat yang perbedaannya lebih
bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal
dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana. Pola ini dibedakan atas
empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula
golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan
golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.

Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu: mengajar;
belajar; melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain; membagi dan menerima derma
(sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup; dan bersatu dengan Brahman (Tuhan). Mereka
juga mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan
dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi, yaitu pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan
agama Buddha (Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan
tempat pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan
bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi).

Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji. Para
rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu: mandala, dharma, sima, wihara, dan
sebagainya.

Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai
tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari
kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga
kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara
meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja masing-masing
diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan
nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang akan
mereka kuasai sebagai wakil raja.

Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja
sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah, dan beternak.
Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang mempunyai
kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.

Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai pancama
(warna kelima), yaitu:

Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan
wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya). Sehingga sang anak
mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya.

Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yaitu para
pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu.

Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat.
Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi hukuman mati kepada
pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni sesama, mananung,
mengamuk, merusak, dan memfitnah kehormatan perempuan.

Dari aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status yang lebih rendah
dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para
suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur
rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak
boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari
pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.

2.4. Kehidupan Ekonomi dan Mata Pencaharian Kerajaan Majapahit

Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan sebagai negara
agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara
maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh
Majapahit di seluruh nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit
menitikberatkan pada bidang pertanian dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya
amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah, dan lain-lain kecuali gandum.
Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa,
dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak.

Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah
bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan Bendungan Trailokyapur untuk mengairi
daerah hilir.

Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog merupakan uang logam yang
terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan
lubang di tengahnya.

Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga
menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan seorang pedagang
dari Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua.
Sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari
besi.

Anda mungkin juga menyukai