Anda di halaman 1dari 7

Nama : Aken Larasati

NIM : 132011123031
Kelas : AJ 1

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA DENGAN SINDROMA


GERIATRI: IMMOBILITY DAN INSTABILITY

A. Immobilitas
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat
bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas),
misalnya pengalaman trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ektermitas, dan sebagainya. Imobilitas dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya ganguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien
pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah
paralisi sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi
tekanan.
2. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional, keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
4. Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.

Penatalaksanaan imobilitas bisa dilakukan dengan praktik perawatan diri yang


dipuji oleh pedoman berbasis bukti termasuk aquatherapy, pelatihan
keseimbangan,chi,dan pengurangan berat badan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada
peningkatan perhatian pada jenis latihan holistik yang mengatasi keseimbangan,
mobilitas, dan koneksi tubuh-pikiran. Misalnya, banyak penelitian telah menemukan
bahwa efek menguntungkan chi termasuk penurunan risiko jatuh dan patah tulang
serta peningkatan koordinasi neuromuskular; stabilitas postural; dan kekuatan otot,
daya tahan, dan fleksibilitas (Ang, Goh, & Kunyah, 2009; Lui, Qin, &
Chan, 2008). chi adalah seni bela diri tradisional Cina dan latihan pikiran-tubuh yang
melibatkan perhatian terfokus pada serangkaian gerakan.Satu studi menemukan
bahwa chi adalah satu intervensi yang paling hemat biaya untuk mengurangi patah
tulang pinggul (Frick, Kung, Parrish, & Narrett, 2010).
Imobilitas bisa dilatih dengan cara melatih cardiovaskuler. Hal yang bisa
dilakukan dengan meningkatan kapisitas ketahanan, penurunan denyut jantung,
peningkatan transport oksigen, penurunan kolesterol, dan penurunan tekanan darah
pada klien hipertensi. Latihan respirasi bisa dilakukan dengan peningkatan kapisitas
vital. Latihan endokrin dilakukan dengan peningkatan metabolisme glukosa.
Selanjutnya latihan muskuloskeletal dengan peningkatan kekuatan otot, peningkatan
rentang gerak, peningkatan fleksibilitas, peningkatan remineralisasi dan peningkatan
keseimbangan.

Tes toleransi terhadap aktivitas harus dilakukan sebelum seseorang lansia


telibat dalam latihan tingkat sedang sampai berat, tetapi tes ini hanya sedikit memiliki
kegunaan pada sebagai besar lansia yang berusia lebih dari 75 tahun (A. Aziz 2012).

Tingkat aktivitas / mobilitas Kategori


Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaaan alat atau peralatan
Tingkat 2 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain dan peralatan
atau alat
Tingkat 4 Semua tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi
dalam perawatan

Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan adalah inspeksi dan palpasi


persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati warna kulit, ukuran,
kelembutan kulit, serta pembengkakan, lakukan pengukuran passive range of motion
pada sendi-sendi synovial, catat bila ada keterbatasan gerak sendi, krepitasi dan bila
terjadi nyeri saat digerakkan, lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara
bilateral. Catat bila ada atrofi, tonus yang berkurang dan ukur kekuatan otot, kaji
tingkat nyeri, derajat dan mulainya, kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari. Diagnosa yang
sering diangkat biasanya resiko jatuh berhubungan dengan kekakuan sendi dan nyeri
akut berhubungan dengan gejala penyakit dan inflamasi.

B. Instabilitas
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi
(center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base
of support). Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah
untuk mengompensasi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan
keseimbangannya (Barnedh, 2006). Fisiologi dari ketidakseimbangan yang dialami lansi
adalah karena integritas antara tiga sistem sensorik (visual, vestibular, dan proprioseptif),
sistem saraf pusat sebagai unit pemroses (central processing), serta sistem
neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui respon motorik untuk merespon perubahan
gravitasi, pergerakan linear atau angular, dan perubahan lingkungan. Batang otak juga
memiliki sistem dalam mengatur gerakan seluruh tubuh dan keseimbangan. Sistem
keseimbangan postural melibatkan nuklei retikular pontin dan nuklei retikular medular.
Kedua rangkaian ini berfungsi secara antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular
pontin akan merangsang otot-otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi
untuk merelaksasi otot yang sama (Guyton, 2008).
Komponen-Komponen Pengontrol Keseimbangan
1. Sistem Informasi Sensoris
a. Sistem Visual

1) Aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran dan


pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri,
2) Anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang
signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri),
3) Diplopia (double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat
sumbu ke dua mata tidak parallel,
4) Gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan
ke dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi
dengan aspek akomodasi,
5) Strabismus yaitu gangguan aligment mata kanan dan kiri (Sugiarto, 2005).
b. Sistem Vestibular
Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi
keseimbangan. Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang. Dalam sistem ini
terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan
merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular.
c. Sistem Somatosensorik:
Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang
berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan pengikatnya.
Somatosensorik eksteroseptif sederhana meliputi rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa
raba. Somatosensorik proprioseptif terdiri dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa
tekan, rasa gerak, dan rasa sikap.
2. Central Processing
Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan
alligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang
dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat
berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf pusat
menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian
menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik yang
korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika dalam
keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis).
3. Efektor
a.) Respon otot-otot postural yang strategis
Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi
mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh
dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012).
b.) Kekuatan Otot
Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik
berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force).
c.) Range of Motion
Range of motion (ROM) menentukan kemampuan sendi dalam membantu gerak
tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan
keseimbangan yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk
memenuhi kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana,
2013).
Faktor yang mempengaruhi keseimbangan adalah :

a. Pusat Gravitasi (Center of Gravity-CoG)


b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
c. Bidang Tumpu (Base of Support-BOS)

Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem


kontrol postural, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Penurunan kemampuan pada salah
satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan
meningkatkan kejadian jatuh pada lansia, penurunan tersebut diantaranya:

a. Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)


b. Strategi Gerakan (Movement Strategies)
c. Strategi Sensoris (Sensory Strategies)
d. Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)
e. Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)
f. Proses Kognitif (Cognitive Processing)

Kejadian diatas dapat menimbulkan resiko jatuh pada lansia yang merupakan
suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan
tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan
kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik
yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Stanley, 2006). Menurut Callor.A.Miller (2012) terdapat beberapa
faktor resiko jatuh anta lain:

a. Kondisi patologis dan gangguan fungsional


1) Kondisi terkait usia (misalnya, nokturia, osteoporosis, hipotensi postural
2) Penyakit kardiovaskular (misalnya, aritmia atau miokard infark)
3) Penyakit pernapasan (misalnya, penyakit paru obstruktif kronis)
4) Gangguan neurologis (misalnya, parkinson)
5) Gangguan metabolisme (misalnya, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit)
6) Masalah muskuloskeletal (misalnya, osteoartritis)
7) Serangan iskemik sementara (TIA)
8) Gangguan penglihatan (misalnya, katarak, glaukoma)
9) Gangguan kognitif (misalnya, demensia, kebingungan)
10) Faktor psikososial (misalnya, depresi, kecemasan, agitasi)
b. Efek dan Interaksi Obat
1) Antiarrhythmia
2) Antikolinergis (misalnya, diphenhydramine)
3) Antikonvulsan
4) Diuretik
5) Benzodiazepin
6) Antipsikotik
7) Antidepresan
8) Alkohol
c. Faktor Lingkungan
1) Pencahayaan yang tidak memadai
2) Kurangnya pegangan tangan di tangan
3) Lantai licin
4) Lempar karpet
5) Tali atau kekacauan
6) Lingkungan yang tidak dikenal
7) Lantai yang sangat dipoles
8) Ketinggian tempat tidur, kursi, atau toilet yang tidak tepat
9) Pengekangan fisik, termasuk bedrails.

Pencegahan dapat dilakukan dengan identifikasi faktor resiko, penilaian gaya


berjalan / gait, mengatur/mengatasi faktor situasional. Penatalaksanaan bisa dilakukan
dengan :

a. Berpartisipasi dalam program latihan yang diawasi dan berdampak rendah yang
berfokus pada peningkatan kekuatan muskuloskeletal, keseimbangan, dan daya
tahan
b. Menghindari aktivitas berdampak tinggi
c. Mengenakan sepatu yang baik dan rendah
d. Menyeimbangkan aktivitas dengan istirahat
e. Menurunkan berat badan jika sesuai
f. Mendapatkan asupan vitamin C dan D yang memadai
g. Menggunakan walker dan perangkat bantu lainnya sebagaimana mestinya untuk
meringankan sendi pembawa berat badan, meningkatkan keseimbangan, atau
mencapai fungsi independen
h. Menggunakan panas lembab dan analgesik untuk rasa sakit (Rencana perawatan
untuk mengelola osteoartritis paling efektif)

Anda mungkin juga menyukai