1. PENDAHULUAN
Setiadi dan Kolip (2013) mengemukakan bahwa di dalam setiap
kehidupan sosial pasti terdapat aturan-aturan pokok untuk mengatur
perilaku anggota-anggota masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan
sosial . Aturan-aturan tersebut meliputi segala perbuatan yang dilarang,
diperbolehkan, atau diperintahkan. Seperangkat aturan tersebut biasanya
didasarkan pada sesuatu yang dianggap baik, layak, patut, pantas bagi
kehidupan masyarakat setempat. Sesuatu yang dianggap patut, baik,
layak, pantas ini juga tidak sepenuhnya memiliki kesamaan antara
masyarakat satu dan masyarakat lainnya. Artinya di dalam setiap
kelompok memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda yang berlaku
di dalam setiap kelompok sosial, sehingga perilaku yang dianggap boleh
dilakukan di suatu masyarakat tertentu belum tentu berlaku di masyarakat
lainnya.
Menurutnya, di dalam setiap kehidupan sosial memiliki
pandangan tentang sesuatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas, dan
biasanya dijadikan sebagai pedoman bagi tata kelakuan masyarakat
tersebut. Pedoman tata kelakuan dari pandangan hidup masyarakat
tersebut biasanya dimulai dari pandangan unit kesatuan sosial terkecil,
yaitu keluarga, kelompok, masyarakat, suku bangsa, hingga bangsa
sampai pada masyarakat internasional.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam bab ini akan dibahas
nilai sosial dan norma sosial yang meliputi nilai sosial, fungsi nilai
sosial, nilaibudaya, nilai moral, norma sosial dan norma moral, proses
pertumbuhan norma sosial. Hal tersebut meliputi cara, kebiasaan, tata
kelakuan, adat istiadat dan hukum, perubahan nilai dan norma sosial,
kelompok masyarakat dalam menanggapi transformasi nilai dan norma
136
soial, masyarakat konservatif dan masyarakat radikal serta penyebab
ketidakseimbanga ndalam perubahan.
137
3. KEGIATAN BELAJAR
3.1.1. URAIAN
138
antarmanusia dalam mencegah benturan-benturan antarmanusia, sebab
selain kehendak bebas tersebut, manusia juga memiliki dorongan untuk
hidup tenang, tertib, nyaman, aman, dan sebagainya. Dorongan naluri
manusia inilah yang akhirnya memunculkan apa yang senyatanya ada
yaitu perilaku manusia yang hidup di dalam kelompok. Hal tersebut
merupakan perbuatan manusia secara riil walaupun baik atau buruk,
bermoral atau asusila. Akan tetapi, dorongan hati manusia yang
menginginkan hidup tertib, aman, nyaman, dan rasa naluri kemanusiaan
memunculkan perasaan di dalam dirinya sebagai makhluk yang tidak
bisa memenuhi kebutuhan melalui kemampuan dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, naluri dapat mendorong manusia
untuk membuat pola pola di dalam kerja sama untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di dalam kelompok tersebut. Pola-pola tersebut
menjadi konsep abstrak yang berada dalam angan-angan dan pikirannya
yang berisi sesuatu yang seharusnya ada hingga menjadi sebuah
patokan-patokan atau standar dalam tata cara pergaulan antar-umat
manusia, antarsuku bangsa, antarbangsa hingga terbentuk masyarakat
dunia yang memiliki budaya.
Selanjutnya Setiadi dan Kolip (2013) mengemukakan pola-pola
tersebut meliputi; (1) segala sesuatu yang menjadi dasar-dasar tujuan
kehidupan sosial yang ideal atas dasar pola-pola yang terbentuk di dalam
realitas sosial tersebut. Sesuatu yang menjadi dasar tujuan kehidupan
sosial tersebut merupakan awal lahirnya sistem nilai, yaitu sesuatu yang
menjadi patokan di dalam kehidupan sosial yang mengandung kebaikan,
kemaslahatan, manfaat, kepatutan yang biasanya menjadi tujuan
kehidupan bersama; (2) sesuatu yang menjadi pola-pola pedoman untuk
mencapai tujuan dari kehidupan sosial, yang di dalamnya terdapat
seperangkat perintah dan larangan berikut, sanksinya yang, dinamakan
sistem norma. Nilai dan norma merupakan konstruksi (susunan)
imajinasi, artinya konstruksi yang hanya ada karena dibayangkan di
dalam pikiran-pikiran, dan banyak dipengaruhi oleh daya kreatif mental.
139
Lebih lanjut Setiadi dan Kolip (2003) mengemukakan norma-
norma yang berisi keharusan dan bertujuan merealisasi imajinasi mental
ke wujud yang konkret. Di dalam kenyataan tersebut harus betul-betul
memahami alam realitas dan fakta. Alam realitas dan fakta di dalam
wujudnya masih dibedakan dalam dua katagori, yaitu perbuatan yang
dianggap baik (konformis), dan perbuatan yang dianggap menyimpang
(deviant). Suatu perbuatan dianggap konformis jika perbuatan ini
mengarah pada pembentukan integritas sosial, sedangkan perbuatan
yang dianggap deviant atau menyimpang karena mengarah pada
terjadinya disintegrasi sosial.
Menurutnya, yang dijadikan ukuran atau indikator apakah
perbuatan itu termasuk menyimpang atau konformis adalah sistem nilai
yang disepakati bersama di dalam kehidupan sosial tersebut. Dengan
demikian, munculnya norma sebagai dasar dari pengkategorian
perbuatan yang diperintah, dianjurkan, diperbolehkan, dan dilarang,
berpedoman pada nilai-nilai yang telah menjadi kesepakatan bersama di
dalam kehidupan sosial. Berdasarkan urian di atas jelaslah bahwa nilai
adalah konsep-konsep umum tentang sesuatu yang dicita-citakan,
diinginkan, atau dianggap baik. Oleh sebab itu konsep umum tersebut
dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun norma
merupakan penjabaran nilai-nilai secara perinci ke dalam bentuk pola-
pola kehidupan sosial yang berisi perintah, anjuran, mubah, dan larangan
yang dijabarkan baik dalam bentuk tata aturan yang bersifat informal
maupun nonformal.
140
perilaku tertentu salah atau benar. Nilai merupakan bagian penting dari
kebudayaan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa suatu tindakan
dianggap sah (secara moral dapat diterima) jika harmonis atau selaras
dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di
mana tindakan tersebut dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan
bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi,
maka jika terdapat orang tidak beribadah tentu akan dianggap sebagai
bentuk penyimpangan. Demikian pula seseorang yang dengan ikhlas
menyumbangkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan ibadah dan
rajin mengamalkan ibadah, maka ia akan dinilai sebagai orang yang
terhormat dan menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Penjelasan lebih lanjut dikemukakan pula bahwa suatu
kelompok masyarakat yang hidup bersama tidak cukup hanya dipandang
dari suatu kesatuan wilayah geografi saja, akan tetapi bentuk kesatuan
kelompok masyarakat tersebut selalu ada sistem kebudayaan yang
menjadi alat untuk menyatukan kelompok tersebut. Beberapa faktor
pemersatu di antaranya, adalah kekuasaan, identitas bersama, solidaritas
bersama dan yang lebih penting lagi adalah adanya sistem nilai di dalam
kesatuan kelompok tersebut. Nilai-nilai yang dijadikan sebagai dasar
untuk menyatukan kelompok tersebut. Secara makro, bangsa Indonesia
misaInya, memiliki nilai-nilai pasional yang digunakan untuk
mempersatukan bangsa yang majemuk ini. Setiadi dan Kolip (2013)
mencontohkan nilai yang dimaksud di antaranya Pancasila dan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, yaitu konsep-konsep umum tentang
sesuatu yang patut, layak, pantas yang keberadaannya dicita-citakan,
diinginkan, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan
menjadi tujuan kehidupan, bersama di dalam kelompok masyarakat
tersebut, mulai dari unit kesatuan sosial terkecil hingga suku, bangsa,
dan masyarakat internasional. Dalam konsep mikro, nilai-nilai, sejahtera,
makmur, dan sebagainya. Di dalam konsep yang lebih makro; nilai dapat
dijabarkan dalam konsep, "keadilan, kebebasan, demokrasi, pemerataan,
141
kemanusiaan", sebagaimana dalam penjabaran nilai-nilai nasional
bangsa Indonesia, yaitu menuju masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera, aman, dan damai dalam naungan Pancasila dan UUD 1945.
Andrain dalam Setiadi dan Kolip (2013) mengemukakan nilai-
nilai yang memiliki enam karakteristik, yaitu:
a. Umum dan abstrak, karena nilai-nilai itu berupa patokan umum tentang
sesuatu yang dicita-citakan atau yang dianggap baik. Nilai dapat
dikatakan umum sebab tidak akan ada masyarakat tanpa pedoman
umum tentang sesuatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas
sekaligus sesuatu yang menjadi larangan atau tabu bagi kehidupan
masing-masing kelompok. Pedoman tersebut dinamakan nilai sosial.
Akan tetapi, kendati terdapat nilai sosial dalam setiap kehidupan
masyarakat, kenyataannya setiap kehidupan kelompok sosial memiliki
nilai-nilai sosial yang berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan ini
sangat tergantung pada sistem budaya yang dianut serta letak geografis
di mana kelompok sosial tersebut berada. Nilai sosial memiliki sifat
abstrak, artinya nilai tidak dapat dilihat sebagai benda secara fisik yang
dapat dilihat dengan diraba atau difoto. Sebab nilai sosial adalah
pedoman tata kelakuan bersifat pokok yang keberadaannya adalah eksis
dalam keyakinan masyarakat yang hanya dapat dijabarkan dalam
bentuk perilaku umum oleh masyarakat tersebut.
b. Konsepsional, artinya bahwa nilai-nilai itu hanya diketahui dari ucapan-
ucapan, tulisan, dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa nilai sosial bukanlah benda
fisik yang dapat dilihat dengan mata, diraba dengan indra peraba atau
difoto, sebab nilai hanyalah konsepsi tentang tata kelakuan masyarakat
yang berupa pedoman antara perilaku yang diperbolehkan dan yang
tidak boleh dilakukan oleh anggota masyarakat. Oleh sebab itu, nilai
sosial hanya dapat dilihat melalui ucapan-ucapan, tulisan, dan tingkah
laku seseorang atau sekelompok orang, MisaInya, untuk mengetahui
cita-cita seseorang, maka orang harus menelusuri tulisan-tulisan, beliau.
142
Melihat nilai atau cita-cita suatu bangsa harus dilakukan dengan melihat
konstitusi yang berlaku di negara atau bangsa tersebut. Akan tetapi, tidak
menutup kemungkinan ada nilai-nilai yang bersifat simbolis yang dapat
dilihat, diraba, dan difoto. MisaInya lambang negara Indonesia yang
berupa burung garuda dan bendera merah putih. Akan tetapi, yang lebih
esensial dari simbol adalah arti dari simbol itu sendiri. Dalam kasus dua
lambang negara Indonesia, burung garuda menyimbolkan simbol
kebesaran dan keagungan, merah putih melambangkan keberanian dan
kesucian.
c. Mengandung kualitas moral, karena nilai-nilai selalu berupa petunjuk
tentang sikap dan perilaku yang sebaiknya atau yang seharusnya
dilakukan. Artinya moral manusia di dalam, kehidupan sosial sangat
berkaitan dengan nilai-nilai moralitas yang berlaku di dalam kelompok
tersebut. Butir-butir nilai inilah yang biasanya dijadikan sebagai
indikator untuk menentukan apakah kepribadian seseorang tersebut baik
atau buruk. Jika bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai moral yang
dituangkan dalam bentuk Pancasila, maka untuk mengukur baik dan
tidak baiknya kualitas moral warga negara ialah dilihat sampai seberapa
jauh tingkat loyalitas dan komitmennya dengan nilai-nilai yang tertuang
dalam butir-butir sila yang ada. Konsep ini dapat juga diartikan lain,
bahwa untuk mengukur tingkat peradaban suatu masyarakat juga dapat
dilihat dari kualitas nilai-nilai yang ada. Demikian juga komitmen
anggota. masyarakat atas dasar tingkat loyalitasnya terhadap ajaran
agama dapat diukur sampai seberapa jauh tingkat kepatuhannya pada
ajaran agama yang dianut. Jika ada seseorang atau sekelompok orang
yang masih melakukan pelanggaran atas nilai-nilai agama yang
dianutnya, maka kualitas moral seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat dikatakan rendah, sebaliknya jika mereka memiliki
tingkat komitmen yang tinggi menjauhi larangan agama dan memenuhi
segala perintah agama, maka kualitas moral atas dasar agama yang
dianutnya adalah tinggi.
143
d. Tidak selamanya realistik, artinya bahwa nilai itu tidak akan seIalu dapat
direalisasikan secara penuh di dalam realitas sosial. Hal itu disebabkan
oleh kemunafikan manusia, tetapi juga karena nilai-nilai itu merupakan
hal yang abstrak sehingga untuk memahaminya diperlukan tingkat
pemikiran dan penafsiran tertentu. Selain itu, nilai-nilai yang dihayati
oleh masyarakat secara keseluruhan berbeda dengan nilai yang dihayati
oleh individu. Atau bisa juga nilai yang dihayati oleh masyarakat satu
dengan masyarakat lain memiliki karakter yang berbeda. Dengan
demikian, tidak ada masyarakat manapun yang tidak memiliki nilai-nilai,
tetapi masing-masing kelompok masyarakat memiliki karakter nilai yang
berbeda. Hal itu dapat terjadi disebabkan oleh nilai yang
disosialisasikan kepada individu atau masyarakat di mana masyarakat
atau individu tersebut berada tidak selalu sama dan terkadang ada
sebagian nilai yang tidak dapgt dimengerti dan dihayati oleh individu
atau masyarakat tersebut.
e. Dalam situasi kehidupan masyarakat yang nyata, nilai-nilai itu akan
bersifat campuran. Artinya, tidak ada masyarakat yang hanya
menghayati satu nilai saja secara mutlak. Yang terjadi adalah campuran
berbagai nilai dengan kadar dan titik berat yang berbeda. Misalnya
masyarakat Jawa yang menganut agama Islam ternyata tidak sepenuhnya
menghayati nilai-nilai Islam secara mutlak, sebab selain nilai-nilai Islam
yang dianut, masyarakat Jawa juga menganut paham-paham keyakinan
asli Jawa, seperti menganut kepercayaan, animisme, dinamisme, Hindu,
Buddha, dan sebagainya, Hal itu ditunjukkan dalam perilaku spiritual
masyarakat Islam Jawa yang memuja arwah-arwah tertentu, percaya
dedemit, peri periyangan, dewa, tuyul, dan semacamnya.
f.Cenderung bersifat stabil, sukar berubah, karena nilai-nilai yang telah
dihayati telah melembaga atau mendarah daging dalam masyarakat.
Perubahan akan terjadi jika struktur sosial berubah atau jika nilai-nilai
baru timbul di dalam struktur masyarakat tersebut. Bahkan ada sebagian
masyarakat yang meyakini kebenaran, nilai-nilai yang dianutnya sebagai
144
bentuk harga mati, artinya anggota, masyarakat yang menganut nilai
tersebut akan mempertahankannya hingga titik darah penghabisan.
Biasanya nilai-nilai yang demikian ini adalah nilai yang bersifat
ideologis atau keyakinan akan kebenaran ajaran agama. Akan tetapi,
tidak menolak kemungkinan bahwa ada sebagian nilai-nilai sosial yang
mengalami pergeseran seiring dengan perubahan zaman. Biasanya nilai
yang bersifat labil ini adalah yang menyangkut gaya hidup masyarakat.
Berbeda pula yang dikemukakan Huky dalam Setiadi dan Kolip (2013)
bahwa ciri nilai sosial dapat berlaku sama maupun berbeda namun yang
sama adalah substansi , yaitu
a. Merupakan konstruksi masyarakat yang terbentuk melalui interaksi
sosial para anggota masyarakat.
b. Dapat diteruskan dan diimbaskan dari satu orang ke orang lain atau dari
satu kelompok ke kelompok lainnya melalui berbagai macam proses
sosial seperti kontak sosial, komunikasi, interaksi, difusi, adaptasi,
adopsi, akulturasi, dan asimilasi.
c. Dapat memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang demikian ini adalah
nilai yang disetujui, diterima secara sosial dan menjadi dasar bagi setiap
tindakan dan tingkah laku baik secara pribadi, kelompok maupun
masyarakat secara keseluruhan.
d. Merupakan asumsi-asumsi abstrak yang di dalamnya terdapat konsensus
sosial tentang harga relatif dari objek di dalam kehidupan sosial.
e. Nilai yang dicapai dan dijadikan sebagai pedoman kehidupan sosial dan
dijadikan sebagai milik bersama adalah berasal dari proses belajar yaitu
melalui sosialisasi sosial semenjak seseorang dalam fase kanak-kanak
hingga fase dewasa.
f.Antara nilai satu dan nilai lainnya terdapat hubungan keterkaitan dan
membentuk pola-pola dan sistern sosial.
145
g. Memiliki nilai yang beragam tergantung pada faktor kebudayaan yang
berlaku di dalam kehidupan kelompok sosial, sehingga antara kelompok
sosial satu dan kehidupan kelompok sosial lainnya terdapat perbedaan
akan tetapi antara nilai sosial yang satu dan nilai sosial lainnya ada
kemungkinan proses difusi, akulturasi, dan asimilasi.
h. Selalu memberikan pilihan dari sistem-sistem yang ada, sesuai dengan
tingkatan kepentingannya.
i. Masing-masing nilai dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
orang perorangan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
j. Melibatkan emosi atau perasaan, misalnya nilai yang bersumberkan dari
rohani.
k. Dapat memengaruhi perkembangan kepribadian dalam masyarakat baik
secara positif maupun secara negatif.
146
buruknya atau harga suatu benda yang diukur dengan alat ukur, tertentu
seperti uang atau benda-benda berharga lainnya. Misalnya tipe rumah
akan dinilai layak atau tidak baik atau buruk tergantung bagaimana
corak dan tipenya, corak dan bentuk perhiasan yang dikenakan oleh para
wanita, baju, mobil, dan peralatan hidup lainnya,
2) Nilai vital, yaitu meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan
segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai
aktivitas. Suatu benda akan dinilai dari daya guna yang dimiliki oleh
benda tersebut, misaInya pasir akan bernilai karena untuk membuat
konstruksi bangunan, tetapi ketika pasir berada di gurun pasir tentu tidak
bernilai sebab di sana pasir tidak berguna. Contoh lain seperti batu di
gunung yang dianggap tidak bernilai akan memiliki nilai jika di bawa ke
kota sebab digunakan untuk kepentingan pembangunan dan sebagainya,
3) Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani
manusia, seperti:
a) Nilai kebenaran yang bersumber pada rasio (akal manusia), misalnya
sesuatu itu dianggap benar atau salah karena akal manusia memiliki
kemampuan untuk memberikan penilaian.
b) Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur perasaan, misalnya daya
tarik suatu benda, sehingga nilai daya tarik atau pesona yang melekat
pada benda tersebutlah yang dihargai,
c) Nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak, terutama pada
tingkah laku manusia antara penilaian perbuatan yang dianggap baik
atau buruk, mulia atau hina menurut tatanan yang berlaku di dalam
kelompok sosial tersebut
d) Nilai keagamaan, yang bersumber pada kitab suci (wahyu Tuhan).
147
layak, benar, maka norma merupakan perwujudan dari nilai yang di
dalamnya terdapat kaidah, aturan, patokan, atau kaidah pada suatu
tindakan (aksi). Bagi orang yang melanggar norma, maka ia akan
mendapat sanksi, atau hukuman oleh masyarakat yang berupa
digosipkan, ditegur, dimarahi, diancam hingga sampai pada hukuman
yang diberikan oleh negara melalui aparat hukum. Dengan demikian,
norma merupakan petunjuk, kaidah, atau aturan untuk berbuat atau
berperilaku yaing dibenarkan untuk mewujudkan nilai atau tujuan
tersebut. Dengan kata lain, norma merupakan cara kelakuan sosial yang
disetujui oleh nilai tersebut, sehingga setiap pola perilaku yang telah
dijadikan sebagai norma mengandung unsur pembenaran, artinya
perbuatan yang dilakukan oleh orang atau sekelornpok orang dengan
cara tertentu tersebut akan dibenarkan oleh banyak pihak, jika perbuatan
tersebut mengandung kebaikan, memiliki daya ikat memaksa yang
berpedoman pada pemikiran bahwa hal itu baik benar, patut, layak
sehingga, memiliki kekuatan memaksa pada setiap orang dalam
kelompok. Dengan demikian, alat pembenar dari tindakan adalah nilai-
nilai yang telah lama disepakati oleh publik dalam kehidupan sosial
tersebut.
Untuk menjaga agar nilai-nilai di dalam kehidupan sosial
tersebut bisa bertahan, maka disusunlah norma-norma yang memiliki
kekuatan untuk menjaganya. Dengan begitu, maka pelanggaran terhadap
norma juga berarti pelanggaran terhadap nilai terdasarkan kenyataan
inilah, maka nilai dan norma dapat mendorong bahkan dapat menekan
anggota masyarakat untuk mencapai dan memenuhi tujuan kehidupan
sosial. Jadi nilai bagi kehidupan manusia merupakan dasar alasan atau
motivasi dalam segala perbuatan. Nilai merupakan sumber norma yang
memiliki kekuatan mengikat bagi semua tingkah laku kelompok. Bagi
para pelanggar akan mendapatkan sanksi baik sanksi moral hingga
sanksi fisik. Sanksi moral misalnya dikucilkan dari pergaulan,
digosipkan, dihina, dilecehkan, dimarahi, diusir dari komunitasnya, dan
148
sebagainya. Adapun sanksi fisik, misalnya perlakuan dari kelompok
yang berupa menyakiti, memenjarakan, menyiksa, hingga membunuh,
dan sebagainya.
149
di seluruh wilayah negara yang berbentuk kepulauan dengan bentangan
laut yang luas.
d. Benteng perlindungan atau penjaga stabilitas, budaya kelompok atau
masyarakat. Dalam hal ini, bangsa Indonesia menempatkan Pancasila
sebagai nilai-nilai luhur bangsa sekaligus filter bagi masuknya budaya
asing, terutama sesuai atau tidak sesuainya budaya asing yang masuk
wilayah negeri ini. Proses sosialisasi ini dilakukan melalui serangkaian
proses pendidikan kepada generasi penerus agar tidak meninggalkan
Pancasila. sebagai perjanjian luhur bangsa.
3. Nilai Budaya
Nilai budaya dikemukakan oleh Setiadi dan Kolip (2013),
bahwa nilaibudaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah dasar
dan bersifat umum, yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan
masyarakat. Nilai budaya itu menjadi acuan tingkah laku sebagian besar
anggota masyarakat yang bersangkutan; berada dalam alam pikiran
mereka dan sulit diterangkannya secara rasional. Nilai budaya bersifat
langgeng, tidak mudah berubah atau diganti dengan nilai budaya lain.
Anggota masyarakat memiliki nilai sebagai hasil proses belajar sejak
masa kanak-kanak sampai dewasa hingga mendarah daging.
Setiadi dan Kolip (2013) mencontohkaan nilai budaya pada
bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan lima silanya yang merupakan
satu kesatuan atau satu sistem dalam (lihat nilai budaya, sistem). Suku-
suku bangsa di Indonesia memiliki nilai budaya atau sistem nilai budaya
yang menjadi pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakatnya.
Berbagai suku bangsa berbeda memiliki dan mengamalkan nilai-nilai
seperti tolong-menolong atau gotong royong, musyawarah setia kawan,
harga diri, tertib, dan sebagainya yang tercermin dalam berbagai
lapangan hidup, unsur-unsur kebudayaan atau pranata-pranata, seperti
religi, organisasi sosial, kekerabatan, mata pencaharian, unsur teknologi,
kesenian, dan sebagainya.
150
Menurutnya, bahwa unsur-unsur teknologi tradisional seperti
pakaian sering kali menampilkan motif hiasan tertentu yang kadang-
kadang merupakan simbol sebuah nilai yang mengandung makna
berharga bagi kehidupan sosial pendukung kebudayaan yang
bersangkutan. Aktivitas tertentu dalam rangka mata pencaharian
dilatarbelakangi oleh nilai-nilai seperti gotong royong. Aktivitas kerja
sama yang bersifat saling tolong-menolong itu merupakan perwujudan
pandangan bahwa manusia tidak hidup sendiri, harus saling bergantung,
dan karena itu harus pula memelihara hubungan baik dengan sesama
dalam satu lingkungan sosial tertentu. Pandangan semacam itu
menyebabkan terwujudnya aktivitas dalam lapangan lain, seperti dalam
upacara religi, upacara perkawinan, membangun rumah dan lain-lain.
Hal seperti ini tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapi juga pada
masyarakat suku bangsa lain di Asia, Afrika, Oseania, dan lain-lain.
4. Nilai Moral
Nilai moral dalam etika atau filsafat moral, digunakan untuk
menghubungkan pernyataan faktual dan pernyataan normatif. Nilai
dibedakan dengan fakta dan norma. Fakta adalah apa yang ada apa yang
terdapat atau yang terjadi. Fakta tidak bergantung pada senang atau tidak
senangnya seseorang. Suatu fakta tidak mengandung norma karena itu
tidak dapat membenarkan atau menyalahkan tindakan atau kelakuan,
Norma adalah aturan, sekaligus ukuran bagi kelakuan manusia.
Pernyataan bersifat norma dalam bahasa sehari-hari diungkapkan antara
lain dengan kata-kata; harus, sebaiknya, selayaknya, sewajarnya, wajib,
dan lain-lain. Pada dasarnya, ada dua macam pernyataan normatif, yakni
yang sesuai dengan norma maka wajib yang tidak sesuai dengan norma
maka "wajib tidak" atau dilarang. Dengan demikian, pernyataan
normatif itu selalu bersifat, mutlak dalam arti sesuai atau tidak sesuai
salah atau benar; tidak jalan tengah. Nilai adalah sesuatu yang dianggap,
diyakini, dan dipeluk seseorang sebagai sesuatu yang baik, sebagai
151
sesuatu yang berharga. Nilai dapat diungkapkan dengan berbagai kata,
misalnya bagus, jelek, jujur, sehat, tidak enak. Kata penilaian yang lazim
digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah baik dan buruk. Penilaian
tidak pernah mutlak; selalu ada sederetan tingkatan dari yang rendah
sampai yang tinggi. Nilai moral digunakan sebagai dasar untuk
menyusun dan membuat norma dan pernyataan normatif.
152
yang harmonis, bahagia, tenteram baik di dunia maupun di akhirat.
Kehidupan yang demikian belum memiliki definisi yang tetap sebelum
membaca sumber norma-norma Islam yang tercantum di dalam pedoman
kehidupan Islam, yaitu Al-Our'an dan Hadis. Karena itu al-Qur'an dan
Hadis disebut sebagai sumber norma. Lebih jauh batasan tentang norma
Islam itu sendiri masing-masing individu atau kelompok memiliki
konsep penafsiran yang berbeda-beda sehingga perbedaan tersebut
melahirkan kelompok-kelompok Islam tertentu yang dalam konsep
sosiologi disebut sektarian Islam. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Pancasila dan tujuan negara Indonesia yang tercantum di
dalam Pembukaan UUD 1945; (1) memajukan kesejahteraan umum, (2)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial
merupakan nilai-nilai bangsa. Adapun batang tubuh UUD 1945,
Peraturan Perundangan lainnya adalah sumber norma yang lebih konkret
menjabarkan konsepsi nilai-nilai tersebut ke dalam penjabaran. yang
lebih konkret.
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa pada hakikatnya nilai dan
norma tidak akan terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat,
misalnya di dalam keluarga terdapat kebiasaan anak mematuhi orang
tuanya, seseorang yang muda mematuhi saudaranya yang lebih tua, atau
masyarakat mematuhi petuah para sesepuh, seperti ulama, tokoh
masyarakat, dan sebagainya. Pola-pola demikian adalah nilai. Nilai yang
demikian ini termasuk nilai informal.
Adapun nilai formal terbentuk melalui mekanisme yang resmi
misalnya sekretaris daerah di suatu kabupaten dijabat oleh orang yang
lebih tua usianya daripada bupati, jika menurut ketentuan informal orang
yang lebih tua biasanya dihormati, oleh orang yang lebih muda, tetapi
kenyataannya bupati justru dipanggil dengan sebutan "Bapak" oleh
sekda yang usianya lebih muda dan seluruh perintah bupati dipatuhinya.
Bentuk hubungan seperti ini merupakan nilai dan norma yang bersifat
153
formal. Di dalam tata aturan formal yang dipandang bukan masalah tua
atau muda, akan tetapi lebih menekankan pada jabatan struktural,
sehingga sebutan "Bapak” bagi bupati dan ketaatan sekda yang usianya
lebih muda bukanlah karena faktor tata krama komunal, tetapi tata
krama resmi.
Setiadi dan Kolip (2013), nilai sosial dan norma sosial
merupakan sesuatu yang sering kali disamakan, akan tetapi sebenarnya
keduanya berbeda. Perbedaannya terletak pada orientasi, bahwa nilai
lebih merupakan sikap dan perasaan yang diperlihatkan oleh perorangan
maupun kelompok masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk,
benar salah, suka tidak suka, dan sebagainya terbadap objek tertentu baik
secara material maupun secara immaterial. Adapun norma orientasinya
adalah aturan-aturan dalam kehidupan sosial secara kolektif (bersama)
yang mengandung berbagai sanksi, baik sanksi secara moral maupun
sanksi fisik bagi orang atau sekelompok orang yang melakukan
pelanggaran atas nilai-nilai sosial. Adapun pemberlakuan atas norma
ditujukan untuk menekan anggota masyarakat agar segala perbuatan
(perilaku) yang dilakukannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
telah bersama. Dengan demikian, antara nilai dan norma selalu
bergandengan bagaikan dua sisi mata uang, sehingga antara satu dan
lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Adapun keberadaan dari keduanya
tidak lain adalah untuk mencapai cita-cita dalam kehidupan bersama.
5. Norma Moral
Norma moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak; mores)
yang berarti adat, cara bertindak, kebiasaan. Norma moral berarti aturan
bagi kelakuan atau tindakan dan sekaligus ukuran apakah seseorang itu
baik atau tidak baik sebagai manusia.
Etika norma manusia dibedakan menjadi norma khusus dan
norma umum. Norma khusus sering disebut norma teknis dan permainan
yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu atau kegiatan yang
154
bersifat sementara -dan terbatas. Norma umum berlaku bagi setiap warga
masyarakat. Norma umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga norma,
yakni norma sopan santun, hukum, dan moral. Norma sopan santun
berlaku berdasarkan kebiasaan dan/atau konvensi saja, sehingga
prinsipnya mudah diubah. Norma hukum adalah norma yang
pelaksanaannya dapat dituntut dan dipaksakan oleh yang berwenang
dalam masyarakat, sehingga pelanggaran atas norma hukum dapat
ditindak tegas oleh penguasa sah-norma-norma hukum biasanya berlaku
berdasarkan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas Setiadi dan Kolip (2013)
menyimpulkan bahwa mulainya norma hukum dan berakhirnya
keberlakuan norma hukum tersebut dapat diketahui secara pasti. Lain
halnya dengan keberlakuan norma moral yang tidak pernah dapat
ditentukan secara pasti pada saat atau tanggal tertentu. Pelaksanaan
norma moral belum tentu dapat dituntut dan pelanggarannya dapat
ditindak. Norma moral seIalu berlaku bagi siapa saja, kapan saja, dan di
mana saja. Misalnya, tindakan bengis kepada anak kecil tak pernah
dibenarkan oleh siapa pun dan di mana pun. Karena itu norma moral itu
menjadi dasar yang menentukan apakah seseorang itu baik atau jahat
sebagai manusia; terhadap norma moral semua norma harus mundur dan
mengalah.
Selanjutnya dikemukakan pula tentang norma moral yang berlaku di
masyarakat di antaranya:
1. Norma agama, yaitu ketentuan-ketentuan yang bersumber dari ajaran-
ajaran agama yang dianggap sebagai wahyu dari Tuhan yang
keberadaannya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Norma agama berisi
perintah dan larangan atas suatu perbuatan yang diperintahkan disebut
wajib, sedangkan yang dilarang disebut haram. Adapun sanksi bagi para
pelanggar atas norma agama adalah sanksi kehidupan di alam baka, yang
disebut siksaan di neraka, dan bagi yang mematuhi norma tersebut akan
mendapatkan pahala di surga. MisaInya melakukan sembahyang adalah
155
wajib, sehingga bagi yang mematuhinya akan mendapatkan surga dan
berzina adalah larangan, sehingga bagi para pelanggarnya akan
mendapatkan siksaan di neraka.
2. Norma kesopanan, yaitu ketentuan-ketentuan hidup yang sumbernya
adalah pola-pola perilaku sebagai hasil interaksi sosial di dalam
kehidupan kelompok. Pola-pola atau ketentuan-ketentuan ini merupakan
produk interaksi sosial, sehingga dari interaksi tersebut menghasilkan
pola-pola perilaku antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan berdasarkan pada kesepakatan bersama. MisaInya jika dalam
kelompok sosial berlaku tata aturan sopan santun baik dalam perbuatan
maupun sikap seperti cara berbicara dengan menggunakan bahasa
krama, berpakaian rapi dengan menutup bagian-bagian badan yang
seharusnya ditutup, kemudian ada seseorang yang tidak menggunakan
bahasa krama ketika ia berbicara dengan orang yang lebih tua,
mengenakan pakaian yang selorok, maka ia akan dianggap sebagai orang
yang tidak memiliki sopan santun. Adapun sanksi bagi orang melakukan
perbuatan ini yaitu mendapatkan teguran dari orang lain.
3. Norma kesusilaan, yaitu ketentuan-ketentuan kehidupan yang berasal
dari hati nurani, yang produk dari norma susila ini adalah moral. Bagi
anggota masyarakat yang tidak mematuhi norma ini dianggap sebagai
tindak asusila atau amoral (tidak memiliki tata kesusilaan atau tidak
memiliki moral). Anda tentu sering mendengar istilah wanita tunasusila
(WTS) yang sebutan itu selalu tertuju pada wanita yang pekerjaannya
menjajakan seks kepada para lelaki hidung belang. Istilah tuna susila
sebenarnya bukan hanya disandang oleh para wanita yang berprofesi
sebagai pekerja seks komersial saja, sebab banyak pelanggar kesusilaan,
seperti pria yang menjajakan diri sebagai pemuas para wanita (gigolo),
kaum waria, homoseks, dan sebagainya. Mereka sebenarnya juga
kategori sebagai kelompok asusila, tetapi sementara ini tindak tunasusila
selalu tertuju pada para wanita penjajak seks saja. Akan tetapi istilah
"tunasusila" merupakan sebutan yang amat tidak manusiawi, sehingga
156
istilah tersebut diperhalus dengan menggunakan istilah pekerja seks
komersial (PSK).
4. Norma hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hidup yang berlaku dalam
kehidupan sosial yang sumbernya adalah undang- undang yang dibuat
oleh lembaga formal kenegaraan. Tujuan dibuat ketentuan hukum
formal tersebut selain untuk mencapai kehidupan sosial yang tertib,
aman, dan damai juga untuk mencapai tujuan dari cita-cita berdirinya
negara tersebut. Untuk mencapai tujuan negara selain menciptakan
kehidupan yang aman dari berbagai gangguan sosial, juga perlu untuk
menjaga stabilitas suatu negara agar proses pembangunan yang
dijalankan oleh pemerintah berjalan dengan lancar, sesuai dengan tujuan
yang dicanangkan.
157
dilakukan secara berulang-ulang, misaInya memberikan sesuatu dengan
tangan kiri dianggap sebagai hal yang tidak sopan, maka pola-pola sikap
yang demikian ini akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap
baik, yang akhirnya menjadi pedoman tata kelakuan bagi kehidupan
sosial. Cara berbicara dan berpakaian yang sopan dan baik dianggap
sebagai salah satu kebiasaan yang ideal, sehingga kebiasaan itu menjadi
keharusan yang harus dilakukan oleh anggota masyarakat hingga
diturunkan dari generasi ke generasi.
Biasanya nilai sosial tidak begitu saja ada di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. la lahir melalui proses interaksi sosial antaranggota
masyarakat. Di saat manusia berada di dalam kesendirian, maka nilai
sosial tidak akan pernah ada. Akan tetapi, setelah manusia berinteraksi
dengan manusia lainnya maka di situlah berlaku nilai-nilai dan norma-
norma sosial. Nilai sosial muncul ketika suatu pandangan tentang hal-hal
yang dianggap baik, bermanfaat, maka pandangan tersebut akan diterima
masyarakat, sebaliknya jika dirasakan merugikan kehidupan sosial,
maka pandangan tersebut tentu akan ditolak keberadaannya. Dengan
demikian, tidak semua pandangan yang oleh seseorang secara individual
mesti dapat diterima masyarakat.
158
tidak semua anggota masyarakat ini menerima keberadaan UU ini. Ini
berarti ada beberapa elemen yang bersikap tidak bisa menerima, sebab
UU ini dianggap merugikan bagi dirinya. Dengan demikian, proses
pertumbuhan norma akan tergantung pada proses pelembagaan
(institusionalized) yang akhirnya menghadapi sikap masyarakat yaitu
antara kekuatan masyarakat yang menerima UU tersebut dan kekuatan
yang menentangnya. Formula di atas memberikan indikasi bagi proses
pelembagaan norma sosial berkaitan dengan sikap masyarakat, yaitu
antara pihak yang menerima dan pihak yang menentang.
Proses pertumbuhan norma dapat dilihat dari pola-pola kebiasaan
berikut sanksi yang dijatuhkan pada para pelanggarnya. Masing-masing
pengertian tersebut memiliki dasar yang sama, yaitu norma-norma sosial
memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai petunjuk arah bagi tingkah
laku di dalam kehidupan sosial. Proses ini dikelompokkan dalam empat
macam, akan tetapi oleh sosiolog lainnya ditambah satu lagi, yaitu
hukum (laws), sehingga keberadaannya menjadi lima macam, yaitu:
1. Cara (Usage)
Usage merupakan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sebagai produk
dari hubungan sosial antar-individu di dalam masyarakat yang tidak
mengakibatkan sanksi yang berat bagi pelanggarnya. Contoh dalam
kehidupan kebiasaan makan bersama dengan tata cara makan yang tidak
boleh mengeluarkan bunyi atau suara-suara kecapan makan, maka jika
ada seorang anggota melakukan pelanggaran dengan mengeluarkan
bunyi kecapan di waktu makan, maka ia akan ditegur oleh pihak lain.
Contoh lain, kebiasaan makan daging dengan menggunakan garpu, maka
jika ada seorang anggota yang makan daging dengan cara dipegang
kemudian digigit, maka ia akan d itegur oleh pihak lain. Berbagai
kebiasaan ini merupakan pola yang jika dilanggar tidak akan
mengakibatkan sanksi berat bagi para pelanggar, sanksi biasanya hanya
berupa teguran, bukan sanksi fisik seperti hukuman dan sebagainya.
159
2. Kebiasaan (Folkways)
Folkways merupakan aktivitas yang dilakukan secara berulang- ulang
dalam bentuk yang sama, karena dirasakan kebiasaan itu dianggap baik,
enak dirasakan ada manfaatnya dan sebagainya, sehingga banyak orang
yang menyukainya. Contoh kebiasaan menghormati orang lain yang
dianggap lebih tua, jika kebiasaan itu dilanggar oleh pihak-pihak tertentu
makaipelanggar dianggap telah melakukan penyimpangan atas kebiasaan
yang berlaku. Mac Iver mendefinisikan kebiasaan sebagai perilaku yang
diakui dan diterima oleh masyarakat. Selanjutnya kebiasaan tersebut
tidak lagi dianggap sebagai cara berperilaku saja, tetapi kebiasaan ini
menjadi tata kelakuan yang diterima sebagai norma-norma pengatur.
Artinya pola-pola kebiasaan itu sudah mengarah pada yang menetapkan
mana yang dianggap salah dan mana yang dianggap benar, apa yang
boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan. Lama-kelamaan pola-pola
kebiasaan itu menjadi pola-pola aturan dalam kehidupan sosial sehingga
posisinya sudah bukan lagi sebagai kebiasaan, tetapi telah menempati
posisi sebagai tata kelakuan (mores).
3. Tata Kelakuan (Mores)
Mores mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia
yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, baik secara sadar maupun
tidak sadar oleh masyarakat terhadap para anggotanya. Tata kelakuan
sudah menempati posisi yang agak kuat di mana satu pihak memiliki
kekuatan memaksa di pihak lain memiliki kekuatan melarang atas suatu
perbuatan para anggotanya, sehingga secara langsung merupakan alat
agar anggota masyarakat yang ada di dalamnya menyesuaikan
perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Di sini tata kelakuan
memiliki peranan, sebab:
a. Tata kelakuan memberikan batas-batas pada kelakuan-kelakuan
individu. Selain itu, tata kelakuan juga merupakan alat untuk
memerintah dan melarang anggota masyarakat untuk melakukan
perbuatan. Contoh masyarakat melarang orang- orang untuk melakukan
160
perkawinan dalam satu keturunan atau ada aturan di dalam kehidupan
sosial yang secara tegas melarang para muda-mudinya melakukan
pergaulan bebas, akan tetapi larangan ini belum tentu tegas di kehidupan
sosial lainnya.
b. Tata kelakuan mengidentifikasikan individu dengan kelompoknya,
artinya tata kelakuan memaksa anggotanya untuk menyesuaikan
tindakannya dengan tata kelakuan kemasyarakatan yang berlaku,
sehingga pihak lain juga berusaha menerima orang lain karena
kesanggupannya menyesuaikan diri di dalam kelompoknya. Contoh,
ketika seseorang melakukan kejahatan misalnya pelecehan seks terhadap
anak di bawah umur. Tindakan ini diketahui oleh masyarakat sehingga
masyarakat menghukumnya. Tindakan menghukum ini semata-mata
agar pelaku penyimpangan ini menyesuaikan dirinya dengan tata
kelakuan yang berlaku di dalam kehidupan sosial tersebut. Sebaliknya,
seseorang yang dianggap telah memberikan teladan yang baik kepada
kelompok sosial tertentu ia akan diterima dan mendapatkan penghargaan
dari masyarakat tersebut sesuai dengan pola-pola kelakuan yang berlaku
di dalam kehidupan kelompok tersebut.
c. Tata kelakuan menjaga solidaritas, antar-anggota masyarakat yang
setiap masyarakat memilikinya. Misalnya, tentang hubungan antara pria
dan wanita yang berlaku bagi semua orang yang berlaku bagi semua
orang dengan semua usia, untuk segala golongan masyarakat dan
seterusnya. Dengan demikian, tata kelakuan memberikan andil bagi
terjaganya keutuhan dan kerja sama antaranggota masyarakat. Tata
kelakuan yang kekal dan kuat daya integrasinya dengan pola-pola
perilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya, sehingga
menjadi adat istiadat (custom).
4. Adat Istiadat (Customs)
Adat istiadat pola-pola kelakuan yang tidak tertulis, tetapi memiliki,
kekuatan mengikat kepada para anggotanya, sehingga bagi yang
melanggar adat istiadat tersebut akan menderita sanksi yang keras yang
161
kadang-kadang jatuhnya sanksi tersebut tidak secara langsung. Misalnya
dalam hukum adat tentang pola-pola pembagian harta benda peninggalan
orang tuanya (warisan) di mana keturunan laki-laki mendapat bagian
satu, sedangkan keturunan perempuan mendapatkan bagian separuh. Jika
terdapat pelanggaran misalnya keturunan perempuan menguasai harta
warisan tersebut karena keturunan laki-lakinya masih kecil, sehingga
hak adik-adiknya diabaikan maka ia akan dikucilkan oleh masyarakat,
menjadi gunjingan dan bahan olok-olokan masyarakat. Sanksi yang
demikian ini tidak secara langsung, tetapi bersifat pengucilan.
5. Hukum (Laws)
Hukum merupakan tata kelakuan sosial yang dibuat secara formal
dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, misalnya para pengendara
kendaraan bermotor harus membawa surat izin mengemudi (SIM),
BPKB, dan kelengkapan surat lainnya. Bila ada seorang pengemudi
yang tidak membawa SIM kemudian tertangkap polisi, maka ia akan
dikenakan sanksi denda dan sebagainya. Atau barangsiapa yang dengan
sengaja mengambil barang milik orang lain tanpa izin diri pihak yang
memiliki baik dengan cara mencuri maupun dengan cara merampas,
maka ia dikenakan sanksi hukuman penjara. Hukum merupakan salah
satu norma yang memiliki alat kelengkapan, seperti undang-undang,
aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim pengadilan, penjara, sekolah
hukum, dan sebagainya, sedangkan norma lainnya tidak memiliki unsur-
unsur kelengkapan seperti unsur-unsur yang ada pada hukum.
162
tersebut dikenalkan, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam
kehidupan sehari-hari.
1. Jelaskan perbedaan nilai sosial dan norma sosial menurut para ahli !
2. Jelaskan pengertian karakteristik menurut Andrian sebagai penjabaran
dari konsep keadilan, kebebabasan, demokrasi, pemerataan,
kemanusiaan dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 !
3. Jelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat perubahan nilai dan norma
sosial!
4. Jelaskan kelompok masyarakat dalam menanggapi transformasi nilai
dan norma sosial !
5. Jelaskan perbedaan masyarakat konservatif dengan masyarakat radikal
menurut para ahli!
6. Kemukakan penyebab ketidakseimbangan!
7. Kemukakan contoh norma sosial yang berlaku dalam masyarakat!
8. Kemukakan fungsi nilai bagi kehidupan masyarakat!
3.1.3 RANGKUMAN
163
dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di
mana tindakan tersebut dilakukan.
164
D. Benteng perlindungan atau penjaga stabilitas, budaya kelompok
atau masyarakat. Dalam hal ini, bangsa Indonesia menempatkan
Pancasila sebagai nilai-nilai luhur bangsa sekaligus filter bagi
masuknya budaya asing, terutama sesuai atau tidak sesuainya
budaya asing yang masuk wilayah negeri ini. Proses sosialisasi ini
dilakukan melalui serangkaian proses pendidikan kepada generasi
penerus agar tidak meninggalkan Pancasila. sebagai perjanjian
luhur bangsa.
165
3. Berikut ini gagasan Huky tentang beberapa ciri nilai sosial yang
memiliki persamaan dan perbedaan namun memiliki substansi
yang sama, kecuali..
a. merupakan konstruksi masyarakat yang terbentuk melalui
interaksisosial para anggota masyarakat
b. dapat dilanjutkan dari satu kelompok kepada kelompok lain
melalui proses sosial dan kontak sosial
c. dapat memuaskan manusia dalam pemenuhan kebutuhan
sosial
d. Tidak mampu mempengaruhi perkembangan kepribadian
dalam masyarakat baik positif maupun negatif
4. Berikut ini contoh norma sosial baik yang bersifat formal maupun
nonformal, yaitu...
a. Konstitusi
b. Undangundang.
c. Peraturanpemerintah
d. a, b dan c benar
5. Berikut norma moral yang berlaku di masyarakat, di antaranya...
a. Norma agama yang bersumber dari ajaran agama tsb
b. Norma kesopanan yang bersumber dari pola pola perilaku
sebagai hasil interaksi sosial dalam kehidupan kelompok
c. Norma hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial yang
sumbernya dari undangundang
d. Pernyataan a, b dan c benar
166
3.2. KEGIATAN BELAJAR 2
3.1.1. URAIAN
167
pergeseran nilai-nilai secara luas yang mau atau tidak mau
masyarakat akan terseret ke proses perubahan itu tanpa
disadarinya. Media yang paling dominan memengaruhi
transformasi nilai-nilai ini di antaranya media penyiaran (TV).
Wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan
televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat
bahwa di dalam masyarakat tersebut mulai muncul terjadinya
pergeseran nilai-nilai, misalnya tata kesopanan yang dahulu
dijunjung tinggi dan merupakan keharusan bagi semua warga
masyarakat & pedesaan tersebut. Akan tetapi tata kesopanan mulai
tergeser dengan perilaku yang lebih liberal yang menggeser
keberadaan konsep kesopanan itu sendiri. Tayangan acara yang
didominasi sinetron mutakhir yang acap kali memperlihatkan artis-
artis berpakaian relatif terbuka sedikit banyak menyebabkan batas-
batas toleransi masyarakat terpengaruh ikut longgar. Kaum remaja
yang dahulu terbiasa berpakaian “normal”, kini ikut latah
berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang
kehitaman yang dahulunya menjadi kebanggaan gadis-gadis desa,
kini justru dianggap sebagai simbol ketertinggalan, dan sebagai
gantinya potongan rambut yang dianggap trendy adalah model
rambut dengan warna pirang, kecokelatan seperti milik artis asing,
dan sebagainya. Sebagian dari ucapan dan perilaku yang dahulu
dianggap tabu di masa sekarang dianggap sebagai hal yang biasa.
Ada beberapa pola perilaku yang dahulu tidak boleh dilakukan,
maka sekarang menjadi boleh. MisaInya, peranan wanita di zaman
dahulu yang dibatasi hanya berkutat pada peran di kasur, di dapur,
dan di sumur, hingga munculnya gerakan emansipasi wanita
dewasa ini, akhirnya nilai-nilai yang dahulu bersifat membatasi
ruang gerak wanita, akhirnya perah wanita menjadi lebih luas. Di
beberapa kehidupan bangsa, tingkah Iaku homoseksualitas,
dianggap sebagai bentuk penyimpangan, dan keberadaannya tidak
168
diakui oleh tatanan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya, tapi
di sebagian negara yang menganut nilai-nilai kebebasan individual
pernikahan dengan sesama jenis justru disahkan.
Lalu bagaimana pula sikap anggota masyarakat dalam
menanggapi transformasi nilai-nilai dan norma-norma sosial
tersebut. Sikap masyarakat sendiri dalam menanggapi arus
perubahan tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu; (1) masyarakat
konservatif dan (2) masyarakat radikal. Masyarakat konservatif
adalah masyarakat memiliki keteguhan terhadap pola-pola
kelakuan yang ada dan anti-perubahan. Kelompok ini biasanya
diwakili oleh kelompok agamawan, orang-orang tua yang biasanya
memiliki sikap kekecewaan terhadap segala macam bentuk
perubahan. Mereka selalu merindukan dan ingin mengembalikan
keadaan pada zaman masa Ialu. Adapun kelompok radikal adalah
kelompok yang selalu menghendaki perubahan secara frontal dan
biasanya memiliki kekecewaan terhadap keberadaan nilai-nilai dan
norma-norma yang dianggap mandek. Perubahan sosial yang
ditandai oleh adanya perubahan pada lembaga sosial titik fokus
dari perubahan itu adalah perubahan nilai-nilai dan norma-norma.
Contoh yang mudah dipahami adalah perubahan hilai-nilai dan
norma-norma antara masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter
dan struktur pemerintah Reformasi yang lebih terbuka.
Otoriter pemerintah Orde Baru yang dipertahankan oleh
rezim Soeharto banyak ditentang oleh kalangan akademisi yang
prodemokrasi. Kelompok prodemokrasi inilah yang mengusung
perubahan. Sebagian masyarakat mengidam-idamkan kebebasan
demokrasi, kemanusiaan, dan slogan-slogan kebebasan politik
lainnya. Demokrasi yang mendambakan adanya sebuah kebebasan
adalah hal yang mahal. Demokrasi berjalan melalui liku-liku
perjalanan yang berhadapan dengan rezim otoriter telah menempuh
keinginannya. Semula kekuatan prodemokrasi dianggap sebagai
169
perilaku menyimpang, radikal, ekstrem kiri, anti-kemapanan, dan
sebagainya. Hal itu semata-mata karena penguasa rezim otoriter
lebih menganut nilai-nilai persatuan, stabilitas nasional yang pada
masa itu dianggap sebagai harga mati. Akan tetapi, tatkala
kelompok prodemokrasi berhasil menumbangkan rezim otoriter,
maka segala bentuk tatanan yang di dalamnya mengandung unsur
pemaksaan kehendak, anti-pluralisme dianggap sebagai bentuk
penyimpangan. Dengan demikian, pada dasarnya tingkat kekuatan
nilai-nilai akan sangat bergantung pada sampai seberapa jauh
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan atas nilai-nilai
tersebut dipertahankan.
Pada mulanya kebebasan, demokratisasi sebagai arah
perubahan struktur sosial menjadi sesuatu yang dicita-citakan
bersama sebagai bentuk negara yang ideal pada masa itu, akan
tetapi kenyataannya perubahan struktur pemerintahan Reformasi
ternyata tidak membawa keadaan negara meniadi lebih baik, tetapi
justru lebih binyak penyimpangan hukum dan politik. Jika pada
masa rezim otoriter, penguasa melalui sistem koordinasi
pemerintahan memiliki otoritas yang besar menekan segala bentuk
pergerakan yang mengarah pada perubahan nilai-nilai, maka di era
reformasi justru banyak kasus-kasus sekelompok masyarakat
memaksakan kehendak kepada kelompok lain. Kekacauan terjadi
di mana-mana, gerakan separatis merajalela di berbagai daerah.
Mengapa keadaan itu terjadi? Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan struktur sosial yang sangat cepat dan frontal, sehingga
akibat perubahan ini, nilai-nilai dan norma-norma lama sudah tidak
berlaku lagi sementara nilai-nilai dan norma-norma baru belum
dirumuskan dengan baik, akibatnya masyarakat mengalami
kehilangan pegangan hidup. Akibat dari perubahan tersebut,
hukum mengalami kekacauan. Kekacauan akibat dari keadaan
170
masyarakat yang kehilangan pegangan hidup akibat perubahan
secara frontal tersebut disebut anomi.
Sebab dari gejala tersebut adalah tatkala sebuah sistem
menyumbat berbagai bentuk pergerakan nilai-nilai dengan
rapatnya, maka tanpa didasari bahwa integritas nasional yang ada
pada saat otoriter berkuasa, ternyata menyimpang konflik laten
yang besar, bagaikan bom waktu yang siap meledak setiap saat.
Akibat dari tekanan sosial yang makin ketat, maka muncullah
kelompok pergerakan anti-otoriter yang manifestasinya ini
reformasi struktur sosial politik yang akhirnya justru menjadi
anomi tersebut. Dengan demikian, perubahan sosial yang frontal
biasanya akan menghasilkan struktur sosial yang kacau, sehingga
agar perubahan sosial akan selalu membawa kestabilan sosial,
maka perubahan itu sendiri harus dipersiapkan terlebih dahulu
terutama mentalitas masyarakat yang akan mengalami perubahan.
171
mengalami perubahan yang sangat cepat. Hampir semua sektor
pekerjaan di bidang industri menggunakan sarana, komputer untuk
mempermudah sistem kerja di setiap perusahaan. Sementara di
sektor pendidikan yang selama ini dianggap sebagai tenaga kerja
terdidik dan terlatih yeng akan menempati di semua sektor
ketenagakerjaan tersebut. Lalu jika laju perubahan di bidang
teknologi informatika berjalan sangat cepat, sedangkan perubahan
di lembaga pendidikan justru mengalami kemandekan atau lamban,
maka tingkat kredibilitas lembaga pendidikan tersebut diragukan.
Alasannya ialah antara lembaga pendidikan dan teknologi
informatika komputer serta industri ada hubungan keterkaitan yang
sangat erat. Jika antara unsur-unsur kebudayaan yang memiliki
hubungan keterkaitan tidak berjalan beriringan, maka akan
menimbulkan ketidakseimbangan sosial. Kemajuan di bidang
industri akan berpengaruh pada tatanan nilai dan norma sosial, di
mana pada saat struktur sosial didominasi oleh pola-pola agraris
dominasi feodal sangat kuat. Akan perubahan sosial yang
mengarah pada industrialisasi modern justru diikuti oleh perubahan
seperangkat nilai-nilai dan norma-norma sosial. Jika masyarakat
agraris lebih identik dengan feodalisme, sedangkan industrialisasi
lebih identik dengan kapitalisme, maka jelas feodalisme di dalam
masyarakat agraris tidak berlaku di dalam masyarakat kapitalis.
Industrialisasi di segala bidang kehidupan sosial telah mengubah
struktur sosial yang sangat spektakuler, di antaranya laju
pertumbuhan penduduk, urbanisasi, gaya hidup masyarakat,
penyimpangan sosial, dan sebagainya. Jika perubahan yang sangat
cepat ini tidak diimbangi oleh sikap dan perilaku sosial oleh
sebagian masyarakat, maka masyarakat tersebut akan mengalami
ketertinggalan. Suatu teori yang populer di kalangan pemelajar
sosiologi tentang perubahan dalam masyarakat yang dikemukakan
oleh William F. Ogburn dinamakan cultural lag. Artinya
172
pertumbuhan dan perkembangan sosiokultural tidak selalu sama
cepatnya dengan sikap mental masyarakatnya. Cultural lag atau
ketertinggalan budaya adalah sikap masyarakat yang tidak atau
belum siap secara mental dalam mengikuti perubahan.
Pengertian lag, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu (1)
sebagai suatu jangka waktu antara terjadinya pertemuan baru dan
diterimanya penemuan baru tersebut. (2) digunakan untuk
menunjuk pada tertinggalnya unsur tertentu terhadap unsur lainnya
yang erat hubungannya. Perubahan infrastruktur kehidupan
masyarakat di kota-kota besar dengan pembangunan gedung-
gedung yang menjulang tinggi, jalan-jalan semakin mulus, alat
transformasi dan komunikasi yang kian canggih, ternyata masih
menyisakan kelompok masyarakat yang tertinggal dalam
mengikuti perubahan tersebut. Kelompok masyarakat yang
mengalami cultural lag ini adalah kelompok masyarakat pinggiran
(marginal) yang tinggal di bantaran sungai atau di pinggiran jalan
kereta api. Kelompok inilah yang tidak memiliki kesanggupan
untuk menyerap nilai-nilai yang telah berubah, utamanya nilai-nilai
modernisasi dunia. Globalisasi dan modernisasi tidak membawa
perubahan apa-apa bagi kehidupan kelompok ini, sehingga nilai-
nilai primitif berlaku di tengah-tengah kota metropolitan.
Perubahan sosial yang tidak diimbangi oleh tingkat mentalitas
masyarakatnya selain menimbulkan cultural lag juga akan
menimbulkan anomi, dan mostezo culture.
Anomi adalah keadaan di mana perubahan yang terlalu
frontal, revolusioner akan membawa dampak ketidakpastian
tatanan nilai-nilai dan norma-norma mana yang akan dijadikan
sebagai pedoman kehidupan sosial. Perubahan yang revolusioner
tersebut telah terlanjur berakibat tidak berlakunya nilai-nilai dan
norma-norma lama sementara nilai-nilai dan norma-norma sosial
yang baru belum dirumuskan. Akibatnya kehidupan masyarakat
173
menjadi kacau karena kehilangan patokan atau pegangan hidup.
Dengan demikian, keadaan anomi merupakan situasi sosial di
mana perubahan yang terlalu cepat, telah mengakibatkan nilai-nilai
dan norma-norma sosial yang lama sudah tidak berlaku, sedangkan
nilai-nilai dan norma-norma sosial yang baru belum dirumuskan,
sehingga masyarakat kehilangan pedoman atau arah untuk
menentukan jalan hidupnya. Keadaan ini sering disebut situasi
sosial yang chaos.
Sebagai contoh yaitu Reformasi sosial politik yang
terjadi di Indonesia di era 1998 diawali oleh adanya ketidakpuasan
sosial atas rezim pemerintahan Orde Baru yang dianggap otoriter.
Pemerintahan Orde Baru yang "diimami" Pak Harto selain telah
menghasilkan beberapa prestasi di bidang tertentu seperti
swasembada pangan, stabilitas dan keamanan juga terdapat
beberapa kelemahan yang mengakibatkan semakin lemahnya
dukungan dari berbagai pihak.
Di balik keberhasilan tersebut, Pak Harto juga dianggap
sebagai orang bertanggung jawab atas terciptanya budaya korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Budaya KKN inilah yang menjadi
faktor pemicu ketidakpercayaan masyarakat kepada rezim ini.
Selain faktor tersebut, kejatuhan Pak Harto juga tidak lepas dari
krisis moneter internasional yang tampak diciptakan oleh negara-
negara industri maju untuk menciptakan ketidakberdayaan negara-
negara berkembang. Dampak yang paling terasa adalah negara-
negara asia termasuk negara Indonesia. 16 bank dilikuidasi oleh
pemerintah, harga dollar meroket tidak terkendali, banyak
perusahaan nasional gulung tikar, PHK tenaga kerja massal terjadi
di berbagai daerah, kehidupan rakyat semakin susah makin
tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Selain itu, berbagai
peristiwa kekerasan yang merenggut nyawa banyak orang terjadi di
berbagai daerah. Partai politik yang berseberangan dengan
174
kebijakan politik pemerintah dilibas dengan alasan mengganggu
stabilitas nasional. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi yang
melibatkan militer terjadi di mana-mana.
Persoalan inilah yang menyebabkan sikap ketidakpuasan
dari berbagai kalangan masyarakat hingga akhirnya Reformasi
sosial politik dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan ini.
Pak Harto lengser dari jabatan kepresidenan digantikan oleh Prof.
B.J. Habibie. Situasi politik makin longgar, partai politik
bermunculan bagaikan tumbuhnya jamur di awal musim
penghujan. Longgarnya sistem politik masa Reformasi seolah-olah
membuka keran politik yang semula tersumbat oleh sistem. Euforia
politik masyarakat makin meluas, kerusuhan terjadi di mana-mana.
Nilai-nilai Orde Baru sudah tidak berlaku, sementara nilai-nilai dan
norma-norma Orde Reformasi belum terbentuk secara definitif,
seperti ketidakpastian hukum dan sebagainya telah menyulut
berbagai tindakan anarkis di kalangan masyarakat. Keadaan inilah
yang disebut anomi.
Adapun mostezo culture, secara bebas juga dapat
diartikan sebagai bentuk sikap sosial yang tidak tahu maksud arti
dari perubahan itu sendiri. Misalnya pada masa sebelum
handphone marak di tengah-tengah kehidupan sosial, Dinas
Telkom memasang telepon umum, di tempat-tempat umum, agar
masyarakat luas dapat menggunakan alat komunikasi tersebut.
Akan tetapi kenyataannya adalah tidak sedikit dari jumlah telepon
umum yang dirusak oleh anggota masyarakat. Untuk diambil
koinnya atau adanya fasilitas kipas angin di dalam kereta api rel
disel (KRD) adalah agar penumpang kereta api memperoleh
kenyamanan, tidak pengap, udara tetap bisa mengalami sirkulasi
dengan baik, akan tetapi kenyataannya lain sebab beberapa bulan
kemudian banyak kipas angin di kereta ini habis dicuri penumpang
untuk dijual ke tukang besi loakan. Dengan demikian, perubahan
175
sosial adalah merupakan hal yang mutlak terjadi, akan tetapi
perubahan yang tidak diikuti oleh tingkat kesiapan mental sosial
untuk dapat menerima nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berubah, maka perubahan itu sendiri dan menjadi malapetaka bagi
kehidupan sosial berupa disintegrasi masyarakat. Oleh sebab itu,
dalam mengantisipasi perubahan sosial yang lebih penting adalah
mempersiapkan masyarakat agar memiliki kesiapan untuk
menerima nilai-nilai dan norma-norma sosial yang akan
mengalami perubahan meIalui berbagai proses terutama adalah
melalui proses sosialisasi.
Kita bahwa perubahan sosial tidak lain adalah perubahan
struktur sosial itu sendiri di antaranya adalah perubahan pada
lembaga yang di dalamnya terdapat perubahan nilai-nilai dan
norma-norma yang nantinya akan berdampak pada perubahan ke
bidang-bidang lainnya, seperti diferensiasi sosial, stratifikasi sosial,
dan sebagainya. Oleh sebab itu, transformasi sosial tidak lain
adalah-pergeseran nilai-nilai dan norma-norma sosial itu sendiri
sebagai akibat dari proses penyesuaian dengan perubahan
peradaban sosial antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya.
Kita tidak menolak keadaan dimana banyak sekali nilai-nilai dan
norma-norma sosial yang terpaksa harus diikuti oleh bangsa
Indonesia sebagai akibat perubahan global, misalnya bangsa
Indonesia mau tidak mau terjerat pada artis kapitalisme global,
liberalisme yang pada awalnya istilah tersebut bukanlah istilah
bangsa Indonesia. Kapitalisme dan liberalisme yang menekankan
pada aspek individualisme bukanlah nilai-nilai bangsa Indonesia,
sebab adat leluhur bangsa Indonesia ialah gotong royong, bekerja
sama, saling bantu membantu yang tentu berbeda dengan nilai-nilai
yang ditanam oleh negara-negara penganut kapitalisme dan
liberalisme seperti di Amerika yang menanamkan bangsanya sejak
dini untuk memiliki kemampuan bersaing dalam hal apa pun.
176
Seiring dengan arus transformasi nilai-nilai dan norma-
norma sosial yang tidak akan dapat ditolak oleh bangsa mana pun
akibat dari globalisasi, maka hal lebih penting adalah menyiapkan
mentalitas bangsa untuk dapat mengikuti perubahan itu sendiri.
Sebab bangsa yang dinamis adalah bangsa yang mampu mengikuti
perubahan dan memiliki kemampuan selektif untuk memilih
perubahan mana yang baik dan perubahan mana yang tidak baik,
dalam arti apakah perubahan itu seiring dengan nilai-nilai budaya
bangsa atau tidak. Karena, sebaik-baiknya bangsa adalah bangsa
memiliki jati diri, karakter budaya bangsa sebagai simbol
kebesaran dalam percaturan internasional, dan seburuk-buruknya
bangsa adalah bangsa yang tidak memiliki jati diri. Kita bangsa
Indonesia memiliki budaya nasional, bahasa Indonesia sebagai
bahasa kebesaran bangsa, memiliki Pancasila sebagai sumber nilai-
nilai bangsa, memiliki Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol
persatuan dan kesatuan nasional yang semua itu harus tetap
menjadi rujukan dalam mengantisipasi segala bentuk perubahan.
Kita sebagai bangsa Indonesia memiliki keragaman nilai dan
budaya, akan tetapi keragaman itu bukanlah alat untuk membeda-
bedakan antara kelompok satu dan kelompok lainnya, akan tetapi
keragaman nilai dan budaya adalah merupakan kekayaan khazanah
kebudayaan yang utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indongsia.
Perubahan bukan sesuatu yang menyimpang, akan tetapi
justru akan menjadi ciri sebagai bangsa yang dinamis. Akan tetapi,
bentuk peruhahan tentunya harus melalui proses perencanaan yang
matang. Pertama kali yang harus dipersiapkan dalam proses
perubahan tersebut, adalah mencari format nilai-nilai yang akan
dijadikan sebagai pedoman dasar untuk mengatur kehidupan sosial
di masa perubahan tersebut. Suatu bangsa tidak ingin menjadi
bangsa yang statis, mandek tanpa ada perubahan, akan tetapi yang
177
mesti dipenuhi adalah merencanakan perubahan sosial agar
perubahan tersebut terarah sesuai dengan harapan sosial. Untuk
mewujudkan proses perencanaan perubahan tersebut hanya ada
satu proses yang disebut pembangunan. Pembangunan tidak hanya
sekadar melakukan perubahan, tetapi melalui pembangunan
diharapkan perubahan sosial yang terarah sesuai dengan target
yang ditetapkan. Target tersebut di antaranya adalah mencapai
tatanan kehidupan sosial yang lebih baik, mapan dan target-target
lainnya.
3.2.2 LATIHAN KE 2
3.2.3 RANGKUMAN
Perubahan (transformasi) nilai merupakan sesuatu
persoalan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, artinya seberapa
kukuhnya masyarakat penganut nilai-nilai tertentu, ketika
transformasi dunia berjalan dengan cepat, ternyata daya tahan
nilai yang semula dianggap sebagai "harga mati” akhirnya
berubah juga. Ajaran komunisme Marxis dan Frederick Engles
yang semula dipertahankan di Rusia, ternyata pada akhirnya
juga tidak memiliki daya tahan setelah transformasi nilai-nilai
liberalisme lebih berpengaruh di belahan dunia. Hal-hal yang
memengaruhi transformasi Pilai tentunya tidak lepas dari faktor
internal masyarakat pendukung nilai itu sendiri yang
menghendaki perubahan sementara terdapat jugal faktor
178
eksternal, yaitu pergeseran nilai-nilai secara luas yang mau atau
tidak mau masyarakat akan terseret ke proses perubahan itu
tanpa disadarinya. Media yang paling dominan memengaruhi
transformasi nilai-nilai ini di antaranya media penyiaran
(TV).Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan
televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat
bahwa di dalam masyarakat tersebut mulai muncul terjadinya
pergeseran nilai-nilai, misalnya tata kesopanan yang dahulu
dijunjung tinggi dan merupakan keharusan bagi semua warga
masyarakat & pedesaan tersebut.
Sikap masyarakat sendiri dalam menanggapi arus
perubahan tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu; (1)
masyarakat konservatif dan (2) masyarakat radikal. Masyarakat
konservatif adalah masyarakat memiliki keteguhan terhadap
pola-pola kelakuan yang ada dan anti-perubahan. Kelompok ini
biasanya diwakili oleh kelompok agamawan, orang-orang tua
yang biasanya memiliki sikap kekecewaan terhadap segala
macam bentuk perubahan. Mereka selalu merindukan dan ingin
mengembalikan keadaan pada zaman masa Ialu. Adapun
kelompok radikal adalah kelompok yang selalu menghendaki
perubahan secara frontal dan biasanya memiliki kekecewaan
terhadap keberadaan nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap
mandek. Perubahan sosial yang ditandai oleh adanya perubahan
pada lembaga sosial titik fokus dari perubahan itu adalah
perubahan nilai-nilai dan norma-norma. Contoh yang mudah
dipahami adalah perubahan hilai-nilai dan norma-norma antara
masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan struktur
pemerintah Reformasi yang lebih terbuka.
179
3.2.4 LATIHAN FORMATIF 2
a hubungan sosial
b. masalah sosial
c. moral
d. nilai sosial
2. Berikut yang bukan merupakan ciri ciri dan nilai sosial adalah…
a. tindakan
c. landasan
d. konsep
4) Berikut yang tidak benar tentang fungsi nilai sosial yang diartikan oleh
pakar, yaitu
180
5) Yang disebut masyarakat konservatif adalah…
a. masyarakat yang memiliki keteguhan terhadap pola pola
perilaku dan anti perubahan
b. masyarakat yang selalu menghendaki perubahan secara frontal
c. masyarakat yang bersifat dinamis
d. masyarakat yang sangat patuh pada aturan
181