Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PATIENT SAFETY


(PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI)
PADA MASALAH APPENDICITIS

JAMALLUDIN

(433131490120085)

PRODI STUDI PROFESI NERS

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kharisma Karawang

Jalan Pangkal Perjuangan KM 1 (By Pass), Kabupaten Karawang,

Jawa Barat 413116, Indonesia


2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PATIENT SAFETY (PENINGKATAN KEAMANAN


OBAT YANG PERLU DIWASPADAI) PADA MASALAH APPENDICITIS

A. KONSEP APPENDICITIS
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, 2000).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum


inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi


dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen
yang paling sering terjadi.

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
a. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
b. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis
ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.
c. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
perforasi apendiks.
d. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan,
namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis
dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
e. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.

2. Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya
apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus
terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya
penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidayat, 2004).

3. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan
ini disebut apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke
arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada
anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada
orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2000).

4. Manifestasi klinis
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 –
12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan
demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual dan muntah.

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap
namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan
dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri
maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan
lokasi nyeri.

Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering
tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing
yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai
oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang
terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik
Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior.
Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing
dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila
apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala
apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada
apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.

Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis


apendisitis adalah sebagai berikut:
a. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat
rendah, mual, dan seringkali muntah
b. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit
kaku dari bagian bawah otot rektus kanan
c. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri
tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
d. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah ,
yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
e. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya
ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan
pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-
12 jam setelah inflamasi jaringan.
b. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan
ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi
saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian
yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
d. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
e. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

6. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada
kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak
(Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:


a. Tindakan medis
1) Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering
tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang
cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui
mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan
pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural
atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan
abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara
periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua
kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran
kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
2) Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas
yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada
penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita
dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.
3) Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan
toksitas yang berat dan demam yang tinggi .

b. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik
lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang
direncanakan secara dini baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer
angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh
komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.

c. Terapi pasca operasi


Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde
lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum
mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur
selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

7. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

B. KONSEP PATIENT SAFETY SKP 3 (PENINGKATAN KEAMANAN OBAT


YANG PERLU DIWASPADAI)
1. Penyimpanan Obat
Penyimpanan obat merupakan salah satu cara pemeliharaan perbekalan farmasi
sehingga aman dari gangguan fisik dan pencurian yang dapat merusak kualitas suatu
obat. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan
keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis siap pakai (Permenkes, 2016).

2. High Alert Medication (HAM)


1. Pengertian
Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert Medications) adalah sejumlah
obatyang memiliki risiko tinggi menyebabkan bahaya yang besar pada
pasien jika tidak digunakan secara tepat.
Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert Medications) merupakan obat
yangpersentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinya kesalahan / error dan /
ataukejadian sentinel (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan
dampakyang tidak diinginkan (adverse outcome) termasuk obat-obat yang
tampak mirip (Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip / NORUM, atau
Look-Alike Sound-Alike /LASA),serta elektrolit dengan konsentrasi
tinggi.Jadi, obat yang perlu diwaspadai merupakan obat yang
memerlukankewaspadaan tinggi, terdaftar dalam kategori obat berisiko
tinggi, dapatmenyebabkan cedera serius pada pasien jika terjadi
kesalahan dalam penggunaan.

Menurut studi yang dilakukan pada salah satu rumah sakit umum di Melbourne,
Australia pada awal tahun 2014; ada 6984 peluang untuk terjadinya insiden
penyalahgunaan HAM di lima unit pelayanan rumah sakit tersebut yang meliputi
IGD, ICU, Instalasi Jantung, Instalasi Kanker, dan Instalasi Pasca Bedah. Selain itu
pada lima unit pelayanan ini juga terjadi 1176 insiden peresepan dan 758 insiden
pemberian obat. Insiden ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya pasien
yang dirawat pada unit pelayanan tersebut. Untuk mengurangi tingkat kejadian
insiden tersebut diperlukan hubungan yang kompleks antara tenaga medis dan
kefarmasian dalam pengelolaan obat high alert (Manias et al., 2014).

Hal serupa juga ditemukan pada rumah sakit di Taijin, China; berdasarkan survei
yang dilakukan menunjukkan bahwa pengetahuan staf medis tentang HAM masih
sangat rendah. Hasil survei juga mengatakan untuk meningkatkan kewaspadaan staf
medis terhadap HAM di rumah sakit tersebut diperlukan adanya aturan administrasi
tertulis dari pihak rumah sakit, pelatihan bertarget, dan seminar farmasis klinis
(Tang et al., 2015). Banyak kesalahan obat yang mungkin tidak menimbulkan
kerugian yang cukup serius bagi pasien dan hanya beberapa obat saja yang dikenal
sebagai pembawa resiko lebih tinggi atau berbahaya daripada obat lain. Obat- obat
ini dapat disebut sebagai high alert medication (HAM) dan memerlukan
pertimbangan pertimbangan khusus (Suzanne et al., 2008).

High alert medication (HAM) atau obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obat
yang sering menyebabkan terjadinya kesalahan/kesalahan serius (sentinel event),
obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) seperti obat/-obat yang terlihat mirip atau kedengarannya mirip (Nama
Obat Rupa dan Ucapan Mirip / NORUM, Look Alike Sound Alike/LASA)
(Permenkes, 2011).

High alert juga didefinisikan oleh The Institute For Healthcare Improvement (IHI)
sebagai obat yang kemungkinan besar menyebabkan bahaya ketika digunakan. The
Joint Commission menggambarkan high alert sebagai obat yang memiliki resiko
tinggi menyebabkan bahaya ketika misuse. Resiko yang tinggi dari obat high alert
ini dapat menyebabkan komplikasi, efek samping, atau bahaya. Hal ini dikarenakan
adanya dosis terapeutik dan keamanan yang sempit sehingga menyebabkan insiden
yang tinggi untuk terjadi kesalahan (John Dempsey Hospital, 2008).

Obat-obatan yang disebutkan dalam isu keselamatan pasien itu salah satunya adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (kalium klorida 2 meq/ml atau
yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida yang lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat yang lebih pekat dari 50%). Carayang paling efektif untuk
mengurangi dan mengeliminasi terjadinya kejadian tersebut yaitu dengan
meningkatkan proses pengelolaan obat-obatan yang perlu diwaspadai termasuk
memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah
sakit dapat secara kolaboratif untuk mengembangkan suatu kebijakan untuk
membuat daftar obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data rumah sakit.
Kebijakan ini juga dapat mengidentifikasi daerah mana saja yang membutuhkan
elktrolit konsentrat, seperti Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau kamar operasi, serta
pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area
tersebut sehingga dapat membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak
sengaja/kurang hati-hati (DepKes, 2008).

DAFTAR OBAT HIGH ALERT


2. Hal yang perlu diperhatikan
Hal- hal yang perlu diperhatikan dari obat-obat high alert ini antara lain:
a. Perlunya penandaan obat high alert berupa stiker “HIGH ALERT DOUBLE
CHECK” untuk elektrolit konsentrasi tinggi, jenis injeksi atau infus tertentu
seperti heparin dan insulin.
b. Penandaan stiker “LASA” untuk obat yang termasuk kelompok LASA; baik itu
pada tempat penyimpanannya maupun apabila obat dikemas dalam paket untuk
kebutuhan pasien.
c. Pentingnya memiliki daftar obat high alert pada setiap depo farmasi, ruang rawat,
dan poliklinik.
d. Kewajiban bagi setiap tenaga kesehatan untuk mengetahui cara penanganan
khusus untuk obat high alert.
e. Penyimpanan obat high alert diletakkan pada tempat yang terpisah dengan akses
yang terbatas.
f. Perlunya dilakukan pengecekan obat dengan 2 orang perugas yang berbeda.
g. Jangan pernah menyimpan obat dengan kategori kewaspadaan tinggi di meja
dekat pasien tanpa pengawasan.
Institute for Healthcare Improvement’s (IHI’s) Collaboratives juga menemukan 4
kelompok obat-obat high alert (HAM) seperti antikoagulan, narkotika dan opiat, insulin,
dan obat penenang/sedatif. Obat-obat tersebut mewakili resiko dengan kerugian terbesar
serta kesempatan yang besar untuk diperbaiki. Jenis bahaya yang paling umum terkait
dengan obat-obat ini meliputi hipotensi, pendarahan, hipoglikemi, delirium, kelesuan,
dan bradikardi (Alan, 2012).
3. Beberapa bukti bahwa keempat kelompok obat HAM ini harus mendapat perhatian
dan pengawasan lebih dari tenaga kesehatan yaitu :
a. Antikoagulan
Antikoagulan seperti heparin intravena dan warfarin oral biasanya digunakan
untuk penyakit jantung dan tromboembolisme rawat inap maupun rawat jalan.
Meskipun antikoagulan dapat digunakan secara luas, kesalahan dan kekurangan
manajemen yang tepat dan konsisten masih sering terjadi. Efek dari warfarin
yang memiliki indeks terapeutik yang sepit mudah berubah karena berinteraksi
dengan obat lainnya; baik itu herbal, produk OTC, ataupun makanan. Proses
pengelolaan yang handal sangat diperlukan untuk mencapai INR (International
Normallized Ratio) yang diinginkan secara konsisten serta untuk melakukan
manajemen yang tepat pada pasien antikoagulan sebelum dan sesudah operasi
(National Patient Safety Agency, 2006).

b. Narkotika dan Opiat


Ketakuatan akan kecanduan pada pasien menjadi perhatian penting bagi para
beberapa dokter ketika berhadapan dengan manajemen nyeri kronis dalam
keadaan apapun. Banyak pasien yang mungkin mengalami kerugian bahkan
dengan dosis narkotika yang sesuai. Jenis bahaya yang paling umum seperti
sedasi berlebihan, depresi pernapasan, kebingungan, kelesuan, mual, muntah, dan
sembelit. Banyak dari kerugian ini dapat dicegah dengan cara pemberiann dosis
yang tepat atau memilih metode pereda rasa nyeri yang lainnya (Kanjanarat et al.,
2003).

c. Insulin
NPSA menerima laporan setidaknya terdapat 2 orang meninggal dan 6 orang
menderita kerugian parah antara Januari 2005 sampai Juni 2006 terkait insiden
insulin yang sebenarnya masih dapat dicegah. Insiden yang diakibatkan insulin
ini dilaporkan memberi gambaran tentang pentingnya hubungan antara dosis
insulin dengan makanan dan terapi lain yang sedang dijalankan serta akurasi
dosis yang diberikan (Donihi et al., 2006).

d. Sedatif
Sebagai contoh overdosis dapat terjadi jika pasien menggunakan injeksi
midazolam untuk sedasi sadar. Sediaan ampul midazolam 10 mg, 2 ml, dan 10
mg dalam 5 ml; melebihi dosis yang dibutuhkan untuk kebanyakan pasien.
Adanya resiko yang timbul jika seluruh isi ampul ditarik ke jarum suntuk dan
diberikan secara tidak sengaja pada pasien ketika hanya sebagian kecil dari dosis
ini yang diperlukan.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identifikasi pasien
b. Data riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan dahulu
- Riwayat kesehatan sekarang : apakah mempunyai alergi obat atau tidak
- Riwayat kesehatan keluarga
c. Pemeriksaan diagnostik

Pada saat dilakukan operasi, kewaspadaan pemberian obat harus diperhatikan seperti
pemakaian obat sedatif yang diberikan haris dengan hati-hati karena termasuk ke
dalam high alert.
a. Metoda pendekatan
Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut
adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan
pasien ke farmasi. Fasilitas pelayanan kesehatan secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun daftar obat-
obat yang perlu diwaspadai berdasarkan datanya sendiri.

Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana yang


membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis sebagaimana ditetapkan oleh
petunjuk dan praktek profesional, seperti di IGD atau Kamar Operasi, serta
menetapkan cara pemberian label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di
area tersebut sedemikian rupa, sehingga membatasi akses untuk mencegah
pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.

b. Kegiatan yang dilaksanakan


Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
lokasi, pemberian label, dan penyimpanan obat-obat yang perlu diwaspadai.

c. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan.


- Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang tidak sengaja di area tersebut, bila diperkenankan kebijakan.
- Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).

d. Metoda yang digunakan


Beberapa metode yang digunakan untuk meminimalisasi kesalahan ini meliputi
beberapa strategi; a.l. :
- Meningkatkan akses informasi mengenai high alert medications
- Membatasi akses terhadap obat high alert
- Menggunakan huruf tallman
- Menggunakan label dan tanda ‘peringatan’ untuk obat high alert
- Menstandarisasi prosedur mengenai penyimpanan, persiapan, dan
pemberian high alert medications
- Melakukan prosedur pengecekan ganda ̧untuk obat-obat tertentu.
Menurut Potter & Perry (2010), pengkajian keperawatan klien dengan post
apendiktomi yaitu :
a. Sistem pernafasan
Kaji patensi jalan nafas, laju nafas, irama ke dalam ventilasi, simteri gerakan
dinding dada, suara nafas, dan warna mukosa.
b. Sirkulasi
Penderita beresiko mengalami komplikasi kardiovaskuler yang disebabkan oleh
hilangnya darah dari tempat pembedahan, efek samping dari anestesi. Pengkajian
yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung, bersama dengan tekanan
darah, mengungkapkan status kardiovaskular penderita. Kaji sirkulasi kapiler
dengan mencatat pengisian kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan
temperatu kulit. Masalah umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan
darah dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal.
c. Sistem Persarafan
Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika
penderita telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan
pengkajian neurologi secara lebih menyeluruh.
d. Sistem Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung
kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk
mengkaji distensi kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus
ada aliran urine terus-menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati
warna dan bau urine, pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan
menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam, tergantung
pada jenis operasi.
e. Sistem Pencernaan
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas.
Perawat perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan
aspirasi atau adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4
sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali
normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan
gerak peristaltik yang telah kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi
perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah
penderita membuang gas (flatus), ini merupakan tanda penting yang
menunjukkan fungsi usus normal.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Pre op
 Nyeri akut
 Ansietas
b. Post op
 Nyeri akut
 Gangguan integritas kulit

3. Intervensi Keperawatan
Pre operasi
No Diagnosis Intervensi
1 Nyeri akut INTERVENSI UTAMA
- Manajemen Nyeri
- Pemberian Analgesik

INTERVENSI PENDUKUNG
- Terapi Relaksasi
- Latihan Pernapasan
- Edukasi Teknik Nafas
- Pemantauan Nyeri
- Edukasi Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri [I.08238]


Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakterisitk, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperringan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
- Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengeruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
- Berika teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (TENS, hipnosis,
akupresusr, terapi musik, biofeedback,terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
Terapi Relaksasi [I.09326]
Menggunakan teknik peregangan untuk
mengurangi tanda dan gejala ketidaknyamanan
seperti nyeri, ketegangan otot, atau kecemasan
Observasi
- Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan konsentrasi, atau gejala
lain yang mengganggu
- Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
digunakan
- Periksa ketegangan otot, TTV sebelum dan
sesudah latihan
- Monitor respons terhadap terapi relaksasi

Terapeutik
- Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahaaan dan suhu
ruang nyaman, jika mungkin
- Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
- Gunakan pakaian longgar
- Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambar dan berirama
- Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang analgetik atau tindakan medis
lainnya, jika sesuai

Edukasi
- Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia [mis. Musik,
meditasi, napas dalam, relaksasi otot
progresif]
- Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi
yang dipilih
- Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
- Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih
- Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi.
2 Ansietas INTERVENSI UTAMA
- Reduksi ansietas
- Terapi relaksasi

INTERVENSI PENDUKUNG
- Edukasi perioperatif
- Persiapan pembedahan
- Teknik distraksi
- Terapi relaksasi otot progresif
- Dukungan pengungkapan kebutuhan

Reduksi Ansietas
Definisi : meminimalkan kondisi individu dan
pengalaman subyektif terhadap objek yang tidak
jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan individu melakukan tindakan untuk
menghadapi ancaman.
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis,
kondisi, waktu, stresor)
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda – tanda ansietas (verbal dan non
verbal)
Terapeutik
- Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasaan,
jika memungkinkan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
- Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
- Diskusikan perencanaan realistis tentang yang
akan datang
Edukasi
- Informasikan secara faktual mengenal
diagnosis, pengobatan, prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika
perlu

EDUKASI PREOPERATIF [I.12440]


Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
- Identifikasi pengalaman pembedahan
- Identifikasi harapan akan pembedahan
- Identifikasi kecemasan pasien dan keluarga

Terapeutik
- Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
- Sediakan waktu untuk mengajukan
pertanyaan dan mendiskusikan masalah

Edukasi
- Infomasikan jadwal, lokasi operasi dan
lama operasi
- Informasikan hal-hal yang akan didengar,
dicium, dilihat atau dirasakan selama
operasi
- Jelaskan rutinitas preoperasi
- Jelaskan obat preoperasi, efek dan alasan
penggunaannya
- Jelaskan tindakan pengendalian nyeri
- Jelaskan pentingnya ambulasi dini
- Anjurkan puasa minimal 6 jamsebelum
operasi

Post operasi
No Diagnosis Intervensi
1 Nyeri akut INTERVENSI UTAMA
- Manajemen Nyeri
- Pemberian Analgesik

INTERVENSI PENDUKUNG
- Terapi Relaksasi
- Latihan Pernapasan
- Edukasi Teknik Nafas
- Pemantauan Nyeri
- Edukasi Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri [I.08238]


Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakterisitk, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperringan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
- Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengeruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
- Berika teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (TENS, hipnosis,
akupresusr, terapi musik, biofeedback,terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik

Terapi Relaksasi [I.09326]


Menggunakan teknik peregangan untuk
mengurangi tanda dan gejala ketidaknyamanan
seperti nyeri, ketegangan otot, atau kecemasan
Observasi
- Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan konsentrasi, atau gejala
lain yang mengganggu
- Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
digunakan
- Periksa ketegangan otot, TTV sebelum dan
sesudah latihan
- Monitor respons terhadap terapi relaksasi

Terapeutik
- Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahaaan dan suhu
ruang nyaman, jika mungkin
- Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
- Gunakan pakaian longgar
- Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambar dan berirama
- Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang analgetik atau tindakan medis
lainnya, jika sesuai

Edukasi
- Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia [mis. Musik,
meditasi, napas dalam, relaksasi otot
progresif]
- Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi
yang dipilih
- Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
- Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih
- Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi.
2 Gangguan integritas INTERVENSI UTAMA
kulit - Perawatan integritas kulit
- Perawatan luka
INTERVENSI PENDUKUNG
- Edukasi perawatan diri
- Edukasi program pengobatan
- Latihan rentang gerak
- Teknik latihan penguatan otot
- Pemberian obat

Perawatan luka [I.14564]

Observasi

- Monitor karakteristik luka


- Monitor tanda-tanda infeksi

Terapeutik

- Lepaskan balutan dan plester secara


perlahan
- Bersihkan dengan cairan NaCl atau
pembersih non toksik
- Bersihkan jaringan nekrotik
- Berikan salep yang sesuai ke kulit
- Pasang balutan sesuai jenis luka
- Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
- Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
- Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam
atau sesuai kondisi pasien
- Berikan diet kalori dan protein
- Berikan suplemen vitamin dan mineral
- Berikan tepai TENS, jika perlu

Edukasi

- Jelaskan tanda dan gejala infeksi


- Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
- Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian antibiotik

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dalam masalah status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2010).

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut (Craven & Hirnle, 2007), evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari
efektifitas asuhan keperawatan Antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah
ditetapkan dengan respon perilaku yang ditunjukkan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C  dan  Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku


untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Tim pokja SDKI, DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim pokja SLKI, DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP
PPNI.
Tim pokja SIKI, DPP PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:


Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai