Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH AGAMA

MUAMALAH ‘ARIYAH

Nama Kelompok :
1. Atha Maulana .B (05)
2. Echa Diyanti .C (12)
3. Kurniawan Ardiansyah (17)
4. Lilis Fitriana (18)
5. Nova Ari .R (24)
6. Septian Dimas (30)
7. Veny Rahmadani (34)
1. Pengertian
Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab diambil dari kata
yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari
kata yang sama dengan artinya saling tukar menukar, yakni dalam tradisi pinjam-
meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah
yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil
manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap bisa dikembalikan
kepada pemiliknya.
Berikut pandangan ‘ariyah menurut ulama :
a. Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah
“Pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”
b. Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah
“pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam akibat


hukum selanjutnya, pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada
peminjam, sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain
atau pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda, sedangkan pengertian yang kedua
menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja, sehingga peminjam
dilarang meminjamkan terhadap orang lain.

2. Syarat dan Rukun


2.1 Syarat
a. Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan), adalah orang yang harus berakal
dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak
berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah. Padahal barang
‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang
yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan
orang bodoh tidak boleh melakukan akad atau transaksi ‘ariyah.
Menurut para ulama’ Madzhab Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam
akad ini.
b. Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh,
dan bukan barang yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis
barang yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan
seperti rumah, pakaian, dan kendaraan.
c. Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh
peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam
harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara
langsung pula.
d. Manfaat yang diambil adalah mubah. Misalnya apabila meminjam
kendaraan orang lain hendaknya kendaraan itu digunakan untuk hal-
hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk
silaturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya. Apabila
kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka
peminjam dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah
pada dasarnya sah. Ia dicela karena pemanfaatannya tidak sesuai
dengan syara’ yaitu tolong menolong dalam kebaikan.

Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang ‘ariyah :

a. ‘Ariyah tidak sah tanpa adanya izin dari Mu’ir (orang yang
meminjamkan).
b. Barang yang dipinjamkan bermanfaat bagi si peminjam.
c. Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Mu’ir
tidak memberikan batasan waktu.
d. Barang yang dipinjam oleh Musta’ir rusak, maka Musta'ir harus
bertanggung jawab terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut
belum dipakai sama sekali.
2.2 Rukun
a. Al Mu’ir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan
harta (tasarruf) dan berhak penuh atas hartanya itu.
b. Al-Musta’ir (Orang yang meminjam), disyaratkan jelas dan ahli
mengendalikan harta.
c. Al-Mu’ar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat
yang dibolehkan kekal ‘ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan,
uang, dll, yang berubah atau habis ‘ainnya.
d. Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam
meminjam. Seperti, “Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama
sebulan”.
3. Dasar Hukum
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (ariyah) adalah sunnah.
Sedangkan menurut al-Ruyani,sebagaimana dikitip oleh Taqiy al-Din,
bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan
hukumnya dari nash alquran ialah:
‫وتعا ونوا على البر والتقوى وال تعا ونوا على اال ثم والعدوان‬
“Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)

‫ان هللا يأ مر كم ان تؤ د و ااال ما نا ت ا لى اهلها‬


“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya.”
(An-Nisa’:58)

Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain al-quran landasan hukum


yang kedua ialah Al-Hadis, dalam landasan ini, ariyah dinyatakan sebagai
berikut:
‫ وال تخن من خانك‬f‫اداآل ما نة الى من ائتمنك‬
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan
janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu”
(HR. Abu Dawud)
‫من أخذ اموا ل الناس يريد أداء ها ادى هللا عنه ومن أخذ يريد اتال فها اتلفه هللا‬
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya
maka Allah akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”
(HR. Buhari).
4. Kesimpulan
 ‘Ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang memberikan
manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil
manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap bisa
dikembalikan kepada pemiliknya.
 Dalam melakukan ‘Ariyah ada beberapa syarat dan rukun yang
harus dipenuhi oleh oleh Al-Mu’ir maupun yang Al-Musta’ir.
Rukun ‘Ariyah bagi Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir harus disyaratkan
ahli dalam mengendalikan harta, dan barang yang dipinjam
diharapkan memberikan manfaat kepada yang meminjam barang
tersebut, dan barang tersebut harus kekal dan tidak sah
meminjamkan barang yang dapat habis. Dan yang terakhir harus
ada Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan
arti pinjam meminjam.
 ‘Ariyah hukumnya sunnah karena dalam Al-Qur’an Surat Al-
Maidah ayat 2 dianjurkan kepada manusia agar saling tolong
menolong dalam kebaikan. Juga pada Surat An-Nisa’ ayat 58
dianjurkan untuk menyampaikan amanat pada yang berhak
menerimanya.

Anda mungkin juga menyukai