Anda di halaman 1dari 4

Melawan Lupa-Kesaksian dari Meja Mahmilub

Sejarah peristiwa berdarah 30 September (G-30-S) 1965 hingga kini masih mengundang
kontroversi. Kontroversi muncul karena narasi sejarah resmi Peristiwa G-30-S yang ditulis
semasa pemerintahan Orde Baru dianggap sejumlah pihak tidak melukiskan fakta sejarah secara
akurat. Beberapa peneliti sejarah menyatakan hasil persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub) yang digelar untuk mengadili para terdakwa kasus G-30-S tidak menyebut PKI
sebagai dalang utama peristiwa G-30-S seperti yang dinarasikan pemerintah Orde Baru. Salah
satu bentuk sidang Mahmilub yakni kasus G-30-S PKI 1965 dengan terdakwa Sudisman,
anggota Dewan Politbiro Partai Komunis Indonesia (PKI). Sudisman merupakan salah satu dari
16 orang yang diseret ke meja sidang Mahmilub pada tahun 1966 yang digelar di gedung kantor
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas di Jl. Diponegoro Jakarta. Dalam
persidangan ini, Sudisman yang dinyatakan bersalah terlibat dalam G-30-S divonis hukuman
mati, yang menjadi satu dari 13 orang terdakwa yang divonis mati dalam persidangan Mahmilub
sepanjang tahun 1966.

Proses peradilan kasus G-30-S bermula dari permintaan Mayjen Soeharto kepada
presiden Soekarno pada akhir November 1965 untuk menggunakan Mahmilub guna memeriksa
dan mengadili para tahanan yang dituduh terlibat G-30-S. Permintaan Soeharto dalam
kapasitasnya sebagai penanggung jawab ketertiban dan keamanan nasional pasca Peristiwa G-
30-S dipenuhi Soekarno dengan mengeluarkan Keppres Nomor 370/1965. Dengan Keppres ini
Mahmilub diberi mandat mengadili orang-orang yang dituduh terlibat gerakan 30 September
1965. Soeharto menumpas G-30-S sampai ke akar-akarnya yang secara hukum harus didukung
oleh sebuah pengadilan. Maka dibentuklah Mahmilub melalui Keppres pada bulan Desember
tahun 1965. Mahmilub yang dibentuk pada tahun 1963 merupakan lembaga peradilan khusus
yang memiliki dua kekhususan. Pertama, lembaga ini merupakan pengadilan tingkat pertama
sekaligus terakhir dimana terdakwa dan oditur (penuntut) tidak dapat melakukan upaya banding.
Kedua, Mahmilub merupakan lembaga peradilan militer yang bisa memeriksa dan mengadili
warga sipil. Pada masa itu peradilan militer sangat berkuasa termasuk mengadili sipil. Pada
tahun 1965 belum ada persoalan HAM. Jadi tidak ada persoalan ketika militer mengadili sipil.
Sekarang, hukum militer tidak boleh mengadili sipil dan sebaliknya, sipil tidak boleh mengadili
militer.
Wewenang yang diterima Mayjen Soeharto untuk menggelar Mahmilub kasus G-30-S
1965 digunakan beliau secara maksimal. Kala itu Soeharto bukan hanya bertindak sebagai
perwira penyerah perkara tapi juga berkuasa menentukan siapa saja tokoh yang akan diseret ke
kursi terdakwa dan menentukan susunan auditur dan hakim Mahmilub. Posisi Soeharto sangat
penting karena didalam Keppres nomor 370 tahun 1965 itu Soeharto mempunyai tiga peran.
Pertama, peran sebagai orang yang menetapkan siapa saja yang diadili. Kedua, sebagai perwira
penyerah perkara. Ketiga, menentukan susunan Mahkamah Militer. Itu semuanya dipegang oleh
Soeharto. Jadi Mahmilub tidak pernah terlepas dari tangan soeharto.

Persidangan-persidangan para terdakwa kasus gerakan 30 September 1965 di Mahmilub


yang digelar pada sepanjang tahun 1966 berlangsung terbuka. Namun meski berlangsung terbuka
sejumlah kalangan menilai proses persidangan di Mahmilub kala itu seperti diarahkan untuk
menyalahkan PKI sebagai dalang utama peristiwa G-30-S. Sebelum Mahmilub digelar sudah
kerap dituduhkan terhadap PKI, antara lain lewat berita-berita di sejumlah koran yang
melukiskan kekejaman orang-orang PKI di dalam peristiwa gerakan 30 September 1965. Dalam
persidangan Mahmilub beberapa elite pengurus PKI yang menjadi terdakwa seperti Sudisman,
Sjam Kamaruzaman dan Nyono memang memberi kesaksian tentang sepak terjang ketua komite
sentral PKI dan DN Aidit dalam peristiwa G-30-S. Namun berbeda dengan tuturan resmi
pemerintah Orde Baru yang menyebut PKI sebagai dalang utama Peristiwa G-30-S dalam
sidang-sidang di Mahmilub. Para elite PKI yang menjadi terdakwa menolak bila PKI
dipersalahkan dalam peristiwa berdarah ini.

Anggota Dewan Politbiru PKI, Sudirman misalnya, mengatakan bahwa sebagai partai
politik PKI tidak pernah merencanakan atau dilibatkan dalam gerakan 30 September. Gerakan ini
menurut Sudisman merupakan buah dari konflik internal antara angkatan darat yang dipimpin
Letkol Untung dan Brigjen Suparjo. Dalam kesaksian di sidang Mahmilub, Sudisman
mengatakan bahwa ketua CC PKI DN Aidit tidak pernah menyatakan PKI hendak mengadakan
operasi militer. DN Aidit yang mendukung gerakan 30 September menurut Sudisman juga tidak
pernah mengemukakan bahwa PKI akan mencetuskan revolusi saat itu. Pemrakarsa dan
pengorganisir gerakan 30 September 1965 kata Sudisman adalah para perwira progresif
revolusioner yang ingin menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal yang dibelakangnya ada
perwira-perwira non komunis dan komunis. Dalam persidangan ini Sjam Kamaruzaman
terungkap sebagai sosok penting yang mempengaruhi DN Aidit untuk mendukung gerakan para
perwira TNI angkatan darat progresif yang dipimpin Letkol Untung dan Brigjen Suparjo. Dalam
persidangan Mahmilub terungkap bahwa gerakan 30 September 1665 ditujukan untuk
menyingkirkan sejumlah perwira tinggi TNI angkatan darat sayap kanan yang tergabung dalam
Dewan Jenderal. Para Jenderal ini dalam pandangan Sjam Kamaruzaman telah siap mengambil
alih kekuasaan bila Presiden Soekarno yang menurutnya yang tengah sakit keras meninggal
dunia.

Persidangan para terdakwa kasus Gerakan 30 September 1965 yang digelar secara
terbuka mulai bulan Februari 1966 menarik perhatian banyak kalangan dan mendapat publikasi
cukup luas. Risalah persidangan Mahmilub hingga menjelang tahun 1971 juga sempat dimuat di
publikasi Angkatan Darat tanpa diedit. Namun menjelang Pemilu tahun 1971 ketika Soeharto
selaku pejabat presiden melakukan konsolidasi kekuasaan, dokumen persidangan Mahmilub
mulai disensor. Tentara yang pada awalnya memang berkepentingan untuk membuka apa
adanya, kemudian tidak bisa mengakses karena sidang sudah menjadi tertutup dan sulit diakses.

Terkait kasus peristiwa G-30-S, Samuel Gultom dalam bukunya "Mengadili Korban"
menyatakan bahwa ada 17 perkara yang diperiksa Mahmilub. Sementara hingga tahun 1978,
Mahmilub memeriksa 291 perkara dan Pengadilan Negeri sebanyak 466 perkara. Namun, Buku
Putih G-30-S yang diterbitkan Sekretariat Negara di tahun 1964 mencatat ada 24 orang yang
diajukan ke pengadilan terkait peristiwa G-30-S. Sidang dan penjatuhan vonis ke-24 terdakwa
kasus G-30-S di Mahmilub berlangsung dari bulan Februari 1966-1975. Beberapa nama
terdakwa yang divonis hukuman mati antara lain Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Nyono,
Sudisman, Sam Kamaruzzaman, Oemar Dani, Dr. Soebandrio, Wirjomartono, Sujono, Peris
Pardede, Heru Atmodjo, Ulung Sitepu, Hidajat, Bono Walujo, Abdullah Alihami, Ranu Sunardi,
Sukatno, Supono Marsudjidjojo, Suwandi, Ismail Bakri, R. Sugeng Sutarto, Ruslam Widjajastro,
Rustomo, dan Gatot Sutarjo.

Ini skenario politik besar yang tujuannya adalah menggulingkan rezim demokrasi
terpimpin dan syarat utamanya adalah menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Itu sebabnya
semua yang Soekarnois walaupun bukan PKI juga ditangkap, diadili, termasuk Pak Subandrio.
Skenario politik itu menggulingkan rezim demokrasi terpimpin dan mengganti dengan rezim
yang kemudian mereka menamakan sebagai orde baru.
REVIEW

Dari video tersebut kita dapat mengetahui bahwa gedung Bappenas di Jl. Diponegoro
Jakarta menjadi tempat digelarnya persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Tempat itu menjadi saksi bisu proses peradilan bagi tokoh-tokoh yang dituduh terlibat G-30-S
dan hampir semuanya dihukum mati.

Dalam video tersebut terdapat kutipan kesaksian Sudisman dalam sidang Mahmilub 1966
yang berbunyi:

"... tokoh-tokoh PKI termasuk saya sendiri terlibat dalam G-30-S tetapi PKI sebagai partai
yang tidak terlibat dalam G-30-S.”

Dari kesaksian itu, jelas bahwa Sudisman sudah mengakui kalau memang ada keterlibatan
pimpinan. Tapi bukan sebagai organisasi dan itu sama persis dengan analisis Bung Karno di
dalam pelengkap Nawaksara, bahwa memang ada pimpinan-pimpinan PKI yang dibilang
keblinger. Tapi mereka bekerja bukan atas dasar organisasi dan di dalam penelitian-penelitian
selanjutnya semakin terlihat bahwa mereka memang bekerja secara individual sebagai sebuah
komplotan tapi di luar sepengetahuan dari organisasi. Bahkan komite sentral PKI pun tidak tahu
menahu soal ini.

Selain lewat penuturan Sudisman, lewat kesaksian ketua biro khusus PKI Sjam
Kamaruzaman beliau mengatakan bahwa Dewan Revolusi yang bergerak melalui G-30-S adalah
keputusan partai. Jadi menurut saya cerita intinya adalah PKI melalui biro khusus menghasut
beberapa perwira TNI untuk melaksanakan operasi G-30-S, tapi gagal. Soeharto mengambil
peluang dan kesempatan tersebut untuk membersihkan PKI dan Soekarnois.

Dari video tersebut kita dapat mengetahui bahwa sepak terjang Soeharto pada waktu itu
bukan sekadar untuk memberantas PKI, tapi betul-betul mau menggulingkan rezim demokrasi
terpimpin. Itu sebabnya semua yang Soekarnois walaupun bukan PKI juga ditangkap dan diadili.

Anda mungkin juga menyukai