Anda di halaman 1dari 20

KEDUDUKAN HAK ATAS MEREK JIKA TERJADI PERCERAIAN DALAM

SUATU PERKAWINAN

JOHAN SUDANTA CHANDRA, S.H.


Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Johansudantac94@gmail.com

Abstrak - Untuk membedakan satu barang dengan barang lainnya, maka barang
tersebut memuat “tanda” pada barang buatannya itu dengan kata, angka,
gambar, simbol ataupun warna untuk memberikan identifikasi pembuatnya.
Tujuan “tanda” pertama-tama adalah sebagai informasi untuk mengetahui siapa
pembuatnya, kemudian untuk menghindari sengketa tentang siapa pembuatnya
dan akhirnya untuk menunjukan kepada konsumen kualitas dari barang
tersebut. “Tanda” tersebut inilah yang dikenal sebagai merek dagang. Dalam era
globalisasi, merek dagang sebagai komunikasi penyampaian berita menjadi
suatu aset bisnis berharga dan sebagai alat perlindungan terhadap persaingan
curang dan penipuan, termasuk pemalsuan produksi dan penyebarluasaannya.
Perlindungan terhadap Hak atas Merek di Indonesia yaitu adanya Undang –
Undang tentang Merek No 15 Tahun 2001 dan diubah dengan Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hak merek
(merken recht), dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tak berwujud
berupa hak-hak, dalam hal ini termasuk sebagai hak kebendaan sempurna yang
hanya dapat dimiliki oleh orang yang terdaftar dan namanya tercantum dalam
Daftar Umum Merek serta Hak atas Merek timbul karena perdaftaran merek
tersebut maka lahirlah hak atas merek, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5
UU Merek Dengan adanya hak eksklusif ini, maka orang yang namanya terdaftar
dalam daftar umum merek adalah pemilik merek, tidak ada pihak lain yang
boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang hak merek. Sehingga
bila dalam suatu perkawinan, suami atau istri mendaftarkan merek atas suatu
produk, maka berdasarkan hak eksklusif, maka yang berhak atas merek tersebut
adalah suami atau istri yang namanya tercantum dalam daftar umum merek,
Dengan adanya hak eksklusif ini, maka orang yang namanya terdaftar dalam
daftar umum merek adalah pemilik merek, tidak ada pihak lain yang boleh
memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang hak merek. Sehingga bila
dalam suatu perkawinan, suami atau istri mendaftarkan merek atas suatu
produk, maka berdasarkan hak eksklusif, maka yang berhak atas merek tersebut
adalah suami atau istri yang namanya tercantum dalam daftar umum merek.

1
Dengan demikian suatu Hak atas Merek jika terjadi perceraian dikategorikan
sebagai harta bawaan bukan sebagai harta bersama.

Kata Kunci: Hak atas Merek, Perceraian, Harta Bawaan

Abstract - To distinguish one item from another, the item contains "marks" on the
goods made with words, numbers, drawings, symbols or colors to provide the
manufacturer with identification. The purpose of the "sign" is first as information
to find out who the author is, then to avoid a dispute about who the manufacturer
is and ultimately to show the consumer the quality of the item. These "marks" are
known as trademarks. In the era of globalization, trademarks as news delivery
communications become a valuable business asset and as a means of protection
against fraudulent and fraudulent competition, including production
counterfeiting and dissemination. Protection of the Right to Brand in Indonesia is
the existence of the Law on Trademark No. 15 of 2001 and amended by Law No. 20
of 2016 on Brands and Geographical Indications. The right of the mark (merken
recht), may be categorized as an intangible moving object of rights, in this case
including as a perfect material right which can only be owned by a registered
person and its name contained in the General Register of Marks as well as the
Right to Brand arising from the registration of the mark The right to the mark, as
defined in Article 1 point 5 of the Trademark Law. With the existence of this
exclusive right, the person whose name is registered in the general register of the
mark is the owner of the mark, no other party may use the right without the
permission of the holder of the trademark. So if in a marriage, the husband or the
wife registers the mark on a product, then on the basis of an exclusive right, then
the entitled to the mark is a husband or wife whose name is listed in the general
register of the mark. With this exclusive right, the person whose name is registered
in The general listing of brands is the owner of the mark, no other party may use
such rights without the permission of the rights holder. So if in a marriage, the
husband or the wife registers the mark of a product, then under exclusive rights,
then the entitled to the mark is a husband or wife whose name is listed in the
general list of brands. Thus a Right to a Mark in the event of divorce is categorized
as a loot instead of a joint property
Keywords: Right to a Mark, Marriage, Seperate property

PENDAHULUAN
Pada dasarnya pemilik merek memakai mereknya untuk mengidentifikasi
produknya dalam hal untuk membedakan persaingan barang-barang. Selain itu,
merek juga memberikan jaminan terhadap pasar, menciptakan wilayah dimana

2
pemilik merek mempunyai posisi yang kuat terhadap pesaing di wilayah
perdagangan yang sama. Merek-merek tersebut memenuhi berbagai sasaran di
dunia pasar karena merek tersebut meyakinkan para konsumen untuk cepat dan
mudah mengidentifikasikan barang-barang yang hendak mereka beli, sehingga
dapat menghemat waktu dan uang konsumen dengan kemudahan
mengidentifikasikan tersebut.1 Dalam perdagangan internasional, merek dagang
sebagai komunikasi penyampaian berita menjadi suatu aset bisnis berharga dan
sebagai alat perlindungan terhadap persaingan curang dan penipuan, termasuk
pemalsuan produksi dan penyebarluasaannya. Di Indonesia, pengaturan Hak
atas Merek sebelumnya diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 2
Pada tahun 2016, tepatnya pada tanggal 25 November 2016 Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2001 telah mengalami perubahan yaitu Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Secara umum di dalam pengelompokan benda sesuai Kitab Undang -
undang Hukum Perdata, hak merek (merken recht), dapat dikategorikan sebagai
benda bergerak tak berwujud berupa hak-hak dimana hak tersebut termasuk
dalam Hak Kekayaan Intelektual3, pendekatan hukum terhadap Hak Kekayaan
Intelektual dilakukan dengan pendekatan hukum kebendaan seperti yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berupa hak milik berdasarkan
Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan
untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan
tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-
hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan

1
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993,
hal. 1.

Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan


2

Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 159.


3
Ibid

3
pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang
pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

Hak atas merek tidaklah sedemikian rupa dapat diperoleh. Merek harus
didaftarkan dahulu untuk mendapatkan hak atas merek. Apabila merek sudah
terdaftar dan orang atau badan hukum telah memiliki hak atas merek, maka
orang atau badan hukum pemegang hak tersebut dapat memberikan lisensi
kepada orang atau badan hukum lain. Merek yang telah terdaftar itu akan
mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan tersebut memiliki jangka
waktu, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam perkawinan, pasangan suami istri dapat mempunyai harta benda
dalam perkawinan, menurut Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (yang selanjutnya disebut UU Perkawinan), Bab VII tentang Harta
Benda dalam Perkawinan mengatur ada 2 (dua) jenis Harta benda dalam
perkawinan yaitu Harta bawaan dan Harta bersama, mengenai pengaturan 2
(dua) jenis harta benda tersebut dapat dilihat dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perkawinan. Untuk ketentuan Pasal 35 ayat (1), UU Perkawinan
memberikan peluang untuk dilakukan penyimpangan dengan membuat sebuah
perjanjian kawin yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan itu terjadi
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan
Dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda
yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum
perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta
bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Oleh karena itu, jika harta tersebut diperoleh dalam
perkawinan dan tidak ada perjanjian kawin maka harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama yang harus dibagi antara suami dan istri

4
dalam hal terjadi perceraian sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UU
Perkawinan.
Berdasarkan urian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas
adalah Hak atas Merek yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek dapat
dikatagorikan sebagai Harta bersama jika terjadi perceraian serta Kepemilikan
hak atas merek jika terjadi perceraian.
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penulisan
ini, maka metode penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum yuridis
normatif yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan literatur-literatur terkait untuk memecahkan
persoalan hukum atau permasalahan yang akan dibahas.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute
Approach dan Conceptual Approach. Statute Approach adalah pendekatan
masalah yang dirumuskan dan dikaji berdasarkan pendekatan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan Conceptual Approach
adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada buku-buku, literatur-
literatur, dan pendapat para sarjana. Pendekatan masalah baik Statute Approach
maupun Conceptual Approach yang dilakukan adalah terhadap hal-hal yang
memiliki korelasi dengan masalah yang dibahas.
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan hukum
primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 serta Undang – Undang Nomor 1
Tahun 1974, sedangkan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku,
literatur-literatur, dan pendapat para sarjana, yang berkaitan dengan masalah
yang dibahas.

5
Langkah penulisan yang menggunakan studi kepustakaan ini diawali
dengan inventarisasi bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas, kemudian dilakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang
terkait untuk disusun secara sistematis agar lebih mempermudah dalam
membaca, mempelajari, dan melaksanakan studi pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setiap “hak”, menurut hukum tersebut mempunyai titel nya masing -
masing, karena berindikasi pada suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan
atas melekatnya hak tersebut kepada pemiliknya. Yang dimaksudkan dengan
Merek batasannya tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek yang menyatakan
bahwa :
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi
dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau
lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan
barang dan/atau jasa.

Menurut Suyud Margono:“yang dimaksudkan dengan memiliki daya


pembeda adalah memilki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang
dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. 4”
Merek yang digunakan dalam perdagangan yang diatur dalam Undang – Undang
merek ada dua jenis yaitu merek dagang dan merek jasa. Hal itu dapat dilihat
dari pengertian merek dagang dan merek jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 2 dan angka 3 UU Merek yaitu sebagai berikut :
Merek dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya,
sedangkan Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya.

4
Ibid, hal.27

6
Agar suatu merek dagang maupun jasa mendapatkan suatu perlindungan
hukum maka merek tersebut harus didaftarkan pada Direktorat Jendral
Kekayaan Intelektual, dengan didaftarkannya merek, maka pemilik merek
tersebut mendapatkan hak eksklusif, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 UU
Merek : Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada
pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak atas merek dinyatakan sebagai
hak ekslusif karena hak tersebut merupakan hak yang sangat pribadi bagi
pemiliknya dan diberi hak untuk menggunakan sendiri atau melakukan
monopoli dan memberikan izin kepada orang lain untuk menggunakan
sebagaimana ia sendiri menggunakannya5
Untuk menentukan siapa yang berhak atas hak ekslusif tersebut
tergantung sistem yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sistem – sistem
tersebut biasanya dikenal dengan sistem konsitutif dan sistem deklaratif.
Yang dimaksud dengan sistem konstitutif adalah hak ekslusif suatu merek
tercipta atau diperoleh karena pendaftaran, sedangkan yang dimaksud
dengan sistem deklaratif adalah hak ekslusif atas merek tercipta atau
diperoleh karena pemakaian pertama walaupun tidak didaftarkan. Sistem
deklaratif pernah digunakan dalam Hukum Merek di Indonesia yaitu pada UU
Merek tahun 1961 yaitu Pasal 2 ayat (2) sedangkan sistem konstitutif
diterapkan dalam Undang – Undang Nomor 15 tahun 2001 dan kemudian
diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2016 yaitu pada Pasal 1
angka 5 tentang penegrtian Hak atas Merek dan Pasal 3.6

Menurut Suyud Margono, keuntungan dari merek yang terdaftar


dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan adalah dalam hubungannya
jika terjadi sengketa.7 Merek yang didaftar akan lebih mudah pembuktiannya

5
Ibid

6
Suyud Margono, OpCit, hal. 29

7
Ibid

7
dariapda merek yang tidak didaftar, sedangkan bagi merek yang tidak terdaftar,
si pemakai akan mengalami kesulitan untuk mebuktikan dirinya sebagai
pemakai pertama karena tidak terdapat surat – surat yang dapat diajukan
sebagai bukti otentik. Padahal dalam perkara – perkara perdata dalam
pemeriksaan di Pengadilan.
Dalam konsep harta kekayaan setiap barang selalu ada pemiliknya yang
disebut pemilik barang dan setiap pemilik barang mempunyai hak atas barang
miliknya yang biasanya disebut hak milik. Dalam pasal 499, KUHPerdata
menjelaskan bahwa barang adalah tiap benda atau tiap hak yang dapat menjadi
obyek dari hak milik.
Dalam KUH Perdata pasal 570 disebutkan bahwa hak milik adalah hak untuk
menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu
dengan sebebas-bebasnya, asal tak dipergunakan bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang
mempunyai wewenang untu itu dan asal tidak menimbulkan gangguan
terhadap hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi
kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan
pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-
undang.

Menurut OK Saidin, Hak atas Merek adalah hak kebendaan, hak atas
sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari
pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril,
benda tidak berwujud.8 Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang
disebut pasal 499 KUH Perdata. Karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat
menjadi obyek dari suatu hak benda. Menurut Ahmadi Munir, “Hak benda adalah
hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang obyeknya
bukan benda berwujud.”9

8
OK Saidin, Aspek Hukum Hak atas kekayaan Intelektual, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2003, hal 60
9
Ahmadi Munir, OpCit, hal. 31

8
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengenai hak kebendaan ini
dibaginya atas dua bagian, yakni: “hak kebendaan sempurna dan hak kebendaan
yang terbatas. Hak Kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang
memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. 10 Bila
dikaitkan dengan Hak atas Merek, dapatlah dikatakan Hak atas Merek itu
sebagai hak kebendaan sempurna.
Pandangan ini dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 1 angka 4 UU Merek
yang mengatakan bahwa Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada pemilik Merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu
dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberi izin kepada pihak
lain untuk menggunakannya.

Hal ini menunjukkan bahwa Hak atas Merek itu hanya dapat dimiliki oleh
pemilik merek yang terdaftar. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang
hak eksklusif lah yang boleh menggunakan merek tersebut dan ia dilindungi
dalam penggunaan haknya terhadap subyek lain yang mengganggu atau yang
menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak atas Merek sebagai hak yang merupakan bagian dari suatu merek menurut
rumusan ini dapat dijadikan obyek hak milik, oleh karena itu ia memenuhi
kriteria pasal 499 KUH Perdata.
Si pemegang Merek terdaftar dapat menguasai merek tersebut sebagai
hak milik. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dilindungi oleh
undang-undang hak atas merek adalah yang termasuk Merek dagang dan Merek
Jasa juga merupakan hak kekayaan immateril.
Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga di samping
masalah ikatan lahir bathin sebagai suami istri, maka masalah harta benda
adalah merupakan pokok pangkal yang menjadi sebab timbulnya berbagai
perselisihan atau ketegangan dalam hidup suatu perkawinan, sehingga mungkin

10
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Alumni
Bandung, 1983, hal. 43.

9
akan menghilangkan kerukunan antara suami dengan isteri dalam satu keluarga.
Sehubungan dengan itu, maka timbul asusmsi masyarakat yaitu kebutuhan akan
suatu peraturan yang mengatur mengenai harta benda dalam suatu perkawinan.
Di Indonesia terdapat suatu sistem peraturan dalam hal ini, yaitu
peraturan menurut hukum agama Islam dan peraturan menurut Hukum BW,
yang satu sama lain diametraal saling berhadapan. Antara dua sistem di
Indonesia ini, yaitu sistem dari Hukum Agama Islam dan sistem Hukum BW,
maka ada suatu sistem yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia yang
merupakan suatu sistem tengah – tengah , yakni Hukum Adat serta dalam
Undang – Undang yang secara khusus mengatur Perkawinan yaitu Undang –
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam hal ini, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) mencantumkan 2 jenis harta benda
dalam suatu perkawinan yaitu :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama
2. Harta bawaan dari masing – masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atauw
arisan, adalah di bawah pengusaan masing – masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.

Ternyata menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta bersama suami istri,


hanyalah meliputi harta yang diperoleh suami istri sepanjang perkawinan saja.
Maksud dari penyataan tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian
perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena
sematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena
perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada
saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak di luar harta bersama. 11

11
J. satrio, Loc.Cit

10
Dengan adanya konsep harta bersama maka konsekuensi hukumnya
adalah semua harta yang ada, termasuk semua hutang – hutang yang sudah ada,
pada waktu perkawinan dilangsungkan, pada asasnya adalah hak (milik)
kewajiban suami atau istri yang mempunyai harta atau hutang tersebut.
Terdapat perbedaan ciri dari konsep harta bersama menurut UU perkawinan
dengan Harta persatuan yang diterapkan dalam BW yaitu sebagai berikut :
Harta persatuan pada dasarnya meliputi :
a. Semua harta/hak – hak yang dipunyai suami dan isteri sebelum
perkawinan;
b. Semua kewajiban – kewajiban/hutang – hutang suami dan istri
yang sudah ada sebelum perkawinan;
c. Semua hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang
perkawinan;
d. Semua hibahan warisan yang diperoleh suami – isteri sepranjang
perkawinan, kecuali si pemberi hibah/warisan menentukan lain. 12

Sedang harta bersama pada asasnya meliputi hanya :


a. Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan.
b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang
perkawinan.13
Harta yang sudah dimiliki suami/isteri pada saat perkawinan
dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka
memperjanjikan lain. Harta ini dapat disebut sebagai harta pribadi suami/isteri,
untuk membedakannya dengan harta bersama. Harta pribadi suami/istri,
menurut Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan, dapat dibedakan menjadi:
a. Harta bawaan yang diperoleh suami/isteri sebagai hadiah atau
warisan;
b. Harta yang diperoleh suami/istri sebagai hadiah/warisan

12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Mandar Maju, Jakarta, 2007,
hal. 56
13
Ibid, hal 57

11
Pernyataan diatas ditambahkan dengan pendapat Yahya Harahap dalam
bukunya yang Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama mengenai
rincian raung lingkup harta bersama yaitu :
a. Harta yang dibeli selama perkawinan. Tidak menjadi persoalan
suami atau isteri yang membeli, atas nama siapa harta itu
terdaftar, atau dimana harta itu terletak. Akan tetapi ada
pengecualian, yaitu apabila harta tersebut dibeli dengan uang yang
berasal dari harta pribadi atau suami.
b. Harta yang dibeli atau dibangun sesudah perceraian yang dibiayai
dari harta bersama. Hal ini menjadi patokan dalam menentukan
barang yang menjadi (termasuk) objek harta bersama.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan. Akan
tetapi hal ini dikecualikan apabila bisa dibuktikan bahwa harta
tersebut diperoleh dari warisan, wasiat, hibah, atau hadiah.
d. Penghasilan harta bawaan dan harta bersama. Hal itu didasarkan
bahwa biasanya di dalam rumah tangga biasanya ada pengelolaan
bersama suami – isteri, baik langsung maupun tidak langsung.
Akan tetapi, lain halnya jika harta tersebut merupakan hasil
penjualan dari harta bawaan.
e. Segala penghasilan pribadi suami atau isteri. Yaitu pengahasilan
selama perkawinan sepanjang tidak ada perjanjian lain.14

Adanya pemisahan harta antara Harta Pribadi dan Harta Bersama


dinamakan Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin merupakan salah satu cara yang
diberikan UU Perkawinan untuk melakukan penyimpangan dalam Pasal 35 ayat
(1) dan ayat (2).
Pada Pasal 29 ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa perjanjian pra
nikah harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, hal tersebut juga diatur
dalam Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa “perjanjian haruslah dibuat dengan akta notariil dan harus dibuat
sebelum perkawinan dilangsungkan.” Untuk perjanjian pra nikah yang dibuat
sebelum perkawinan dilangsungkan bukan hal yang aneh, namun salah satu

14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hal. 275 - 278

12
yang menarik adalah ketika mulai muncul perjanjian perkawinan yang dibuat
setelah perkawinan berlangsung.
Perjanjian Perkawinan atau perjanjian pranikah (prenuptial agreement)
dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata maupun Undang - Undang nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu perjanjian mengenai harta
benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau
pola yang ditetapkan oleh Undang – Undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut, berarti
perjanjian itu harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Hak Atas Merek termasuk dalam Harta bawaan dikarenakan Hak atas
Merek merupakan Hak Ekslusif yang diberikan Negara kepada orang yang
namanya terdaftar dalam Daftar Umum Merek dan pemilik Merek berhak
melakukan monopoli terhadap merek tersebut dengan kata lain, Merek terdaftar
mengikuti orang yang namanya terdapat dalam Daftar Umum Merek sehingga
tidak bisa masuk atau dijadikan objek harta bersama dalam suatu perkawinan
melainkan sebagai Harta bawaan.
Hak eksklusif pemilik Merek dalam skala internasional, diatur dalam
TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) yaitu dalam Article
16 Paragraph (1), (2), (3) dan Article 6 bis dan Article 6 quater Paris
Convention.15 Pembuktian Indonesia memiliki keterkaitan dengan dilakukannya
ratifikasi tersebut yaitu Indonesia membuat Undang – Undang tentang Merek
yaitu UU Nomor 15 tahun 2001 kemudian dirubah dengan Undang – Undang
Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

15
Rahmi, Jened, Hukum Merek, Prenamedia group, Jakarta, 2015, hlm. 191 (selanjutnya
disebut Rahmi Jened I)

13
Berkaitan dengan Pemilik hak eksklusif diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU
Merek yaitu Bahwa Hak Atas Merek merupakan Hak Ekslusif yang dapat
digunakan oleh Pemilik Merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin (lisensi) kepada
pihak lain untuk menggunakannya. Dengan kata lain Pemilk Merek terdaftar
meiliki hak ekslusif untuk menggunakan mereknya dan memberikan izin bagi
pihak lain untuk menggunakan mereknya. Seperti yang dikatakan oleh Ahmadi
Miru bahwa yang dimaksud dengan ”Hak Ekslusif” adalah merupakan hak yang
sangat pribadi bagi pemiliknya dan diberi hak untuk menggunakan sendiri atau
melakukan monopoli dan memberikan izin kepada orang lain untuk
menggunakan sebagaimana ia sendiri menggunakannya.16
Pengalihan Hak atas Merek dalam UU Merek diatur dalam Pasal 41 UU
Merek menetapkan bahwa :
a. Pewrisan;
b. Wasiat;
c. Wakaf;
d. Hibah;
e. Perjanjian;
f. Sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang – undang.

Selanjutya Pasal 41 ayat (2) menentukan bahwa Pengalihan Hak atas


Merek terdaftar oleh pemilik merek yang memiliki lebih dari satu merek
terdaftar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
untuk barang dan/atau jasa yang sejenis hanya dapat dilakukan jika semua
Merek terdaftar tersebut dialihkan kepada pihak yang sama. Pasal 41 ayat (3)
menetapkan bahwa Pengalihan hak atas merek yang merek terdaftar harus

16
Ahmadi Miru, Loc.Cit

14
dilakukan pencatatan oleh Mentri dan pada Pasal 41 ayat (5) harus pula
dilakukan pengumaman dalam Berita Resmi Merek.
Jika tidak dilakukan pencatatan maka pada Pasal 41 ayat (6) maka
Pengalihan hak atas Merek tersebut tidak memiliki akibat hukum terhadap
pihak ketiga. Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dikenakan
biaya serta dilampirkan dengan dokumen pendukun (Pasal 41 ayat (4)).
Hak Merek merupakan benda bergerak yang tidak berwujud 17 yang
mempunyai nilai komersial yang sangat tinggi. Hak ini timbul karena
kemampuan intelektual manusia dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya
yang tidak sedikit. Baik sebagai objek kekayaan (vermogen) maupun sebagai
objek kepemilikan (eigendom), hak merek dapat dialihkan atau dilisensikan oleh
pemilknya kepada pihak lainnya. Pada dasarnya pemilik merek terdaftar dapat
mengekploitasi mereknya, baik melalui penggunaan yang dilakukanya sendiri,
atau dileisensikan atau bahkan dialihkan kepada pihak lain. Hak ekslusif
(exclusive right) diartikan sebagai ” one which only the grantee there of can
exercise and from which all others are prohibited or shout out. 18”
Dan bila dikaitkan dengan ketentuan hak milik sebagaimana diatur dalam
Pasal 570 KUHPerdata, sudah jelas ketentuan klausul dalam Pasal 35 dan Pasal
36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama dan harta bawaan
sangat bertentangan, karena Pasal 570 KUHPerdata menyatakan bahwa hak
milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa,
dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan
tidak mengganggu hak-hak orang lain.

17
Rahmi Jened, Perbedaan Hukum Benda antara Common Law dan Civil Law, Jakarta,
Yuridika Media, 2009, hlm. 42-43 (selanjutnya disebut Rahmi Jened II)
18
Rahmi Jened,Op.Cit, hlm. 195

15
Ketentuan tersebut juga diperkuat dengan Pasal 92 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain
tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Namun
demikian, dalam hal terjadinya perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 37
UU Perkawinan, maka harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
Jika terjadi cerai mati maka separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama. Sedangkan Janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak atas setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Dan sama halnya menurut Pasal 97 ketentuan Kompilasi
Hukum Islam  bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak ½ (seperdua)
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Demikian pula mengenai merek atas suatu produk yang diperoleh suami-
istri selama perkawinan. Dalam hukum merek, hak atas merek timbul karena
pendaftaran merek tersebut pada Direktorat Jenderal Merek. Dengan adanya
pendaftaran maka timbullah Hak atas merek, karena untuk merek Undang -
undang Merek menganut stelsel konstitutif, artinya sistem pendaftaran yang
akan menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek, pendaftar
pertama adalah pemilik merek. Pihak ketiga tidak dapat menggugat sekalipun
beritikad baik.19
Pemohon dapat berupa:
1. Orang/Persoon
2. Badan Hukum / Recht Persoon
3. Beberapa orang / Badan Hukum (Pemilikan Bersama)
Dengan melakukan pendaftaran, maka orang yang namanya tercantum
dalam daftar umum merek yang berhak atas merek tersebut, sehingga orang
tersebut memonopoli merek tersebut

19
Ahmadi Miru, Op.Cit,hlm. 34

16
Demikian pula mengenai harta benda dalam perkawinan dikaitkan
dengan kepemilikan merek atas suatu produk yang diperoleh suami-istri selama
perkawinan. Hal ini menjadi masalah karena pengertian hak atas merek yang
ditentukan dalam UU merek : “Hak atas merek adalah hak eksklusif yang
diberikan Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum
Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek
tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Dengan dilakukannya pendaftaran atas merek, maka lahirlah hak atas
merek, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Merek :” Hak atas merek
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain
untuk menggunakannya”. Adapun pengertian hak eksklusif adalah hak yang
semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain
yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.20
Dengan adanya hak eksklusif ini, maka orang yang namanya terdaftar
dalam daftar umum merek adalah pemilik merek, tidak ada pihak lain yang
boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang hak merek. Sehingga
bila dalam suatu perkawinan, suami atau istri mendaftarkan merek atas suatu
produk, maka berdasarkan hak eksklusif, maka yang berhak atas merek tersebut
adalah suami atau istri yang namanya tercantum dalam daftar umum merek.
Jadi hak atas merek bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan,
artinya bila terjadi perceraian, maka hak atas merek tersebut mengikuti
orang/pihak yang namanya tercantum dalam daftar umum merek pada
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN

20
Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 12

17
Berdasarkan pada uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Kesimpulan I
 Hak eksklusif suatu merek yang telah didaftarkan dalam Daftar Umum
Merek tidak bisa dijadikan sebagai harta bersama dalam suatu
perkawinan dikarenakan Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar
Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri
merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. yang dimaksud dengan ”Hak Ekslusif” adalah
merupakan hak yang sangat pribadi bagi pemiliknya dan diberi hak untuk
menggunakan sendiri atau melakukan monopoli dan memberikan izin
kepada orang lain untuk menggunakan sebagaimana ia sendiri
menggunakannya. Hak atas Merek yang nama pemiliknya terdaftar dalam
Daftar Umum Merek secara otomatis nama pemilik merek mengikuti
dimana pun Hak atas Merek itu berada;
Kesimpulan II
 Dengan adanya hak eksklusif atas Merek, maka orang yang namanya
terdaftar dalam daftar umum merek adalah pemilik merek, tidak ada
pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang
hak merek. Sehingga bila dalam suatu perkawinan, suami atau istri
mendaftarkan merek atas suatu produk, maka berdasarkan hak eksklusif,
maka yang berhak atas merek tersebut adalah suami atau istri yang
namanya tercantum dalam daftar umum merek. Jadi hak atas merek
bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan, artinya bila terjadi
perceraian, maka hak atas merek tersebut mengikuti orang/pihak yang
namanya tercantum dalam daftar umum merek pada Direktorat Jendral

18
Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka dapat disampaikan saran
sebagai berikut:
1. Dalam suatu perkawinan dengan perjanjian kawin hendaknya
diperjanjikan hak atas merek tidak termasuk dalam harta bersama
melainkan sebagai harta bawaan yang dikuasai oleh pihak yang namanya
tercantum dalam daftar umum merek

DAFTAR BACAAN

BUKU :

19
Badrulzaman, Marius Badrus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN,
Alumni Bandung, 1983;

Djumhana, Muhammad, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori, Prakteknya di


Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993;

Gautama, Sudargo, Hukum Merek Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993;

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Mandar Maju,


Jakarta, 2007;

Jened, Rahmi, Hukum Merek, , Jakarta, Prenamedia group , 2015

___________, Perbedaan Hukum Benda antara Common Law dan Civil Law,
Jakarta, Yuridika Media, 2009;

Miru, Ahmadi, Hukum Merek “Cara mudah mempelajari Undang – Undang


Merek”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005;

20

Anda mungkin juga menyukai