OLEH : WAKYUDI,MSi
Di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi,
dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan
artikulasinya masing-masing. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu
wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi
sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak
dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, merupakan
masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan. Sedangkan nasionalisme di Indonesia awal
mulanya merupakan idelogi bentuk perlawanan tehadap kolonialisme yang dimulai dengan
penerbitan koran Medan Prijaji milik pengusaha pers dan jurnalis pribumi pertama R.M.
Tirtoadisoerjo. Sikap radikalnya dituangkan dalam tulisan-tulisan yang banyak menyerang
pejabat-pejabat Hindia Belanda serta pengungkapan-pengungkapan skandal-skandal korupsi
di lingkungan birokrasi kolonial. Akibatnya, tahun 1912 surat kabar ini dilikuidasi dengan
alasan utang dan penipuan, dan Tirtoadisoerjo dibuang ke Ambon.
Era politik kontemporer saat ini politik identitas mengancam sikap nasionalisme dan
pluralisme yakni sebuah realitas kegamangan yang dialami bangsa Indonesia terkait
menguatnya politik identitas. Agnes Heller (dalam Abdillah, 2002: 22) mengasumsikan
politik identitas sebagai politik yang memfokuskan pembedaan sebagai kategori utamanya
yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun
memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas dapat
mencakup rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu lingkungan), dan
perselisihan etnis. Oleh karena itu, bila dilacak dari sejarah Indonesia politik identitas yang
muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik. Terkait dengan kondisi
bangsa Indonesia yang multikulturalisme, maka politik identitas dapat menjadi bahan kajian
yang menarik untuk ditelaah jika dihubungkan dengan penguatan nasionalisme bangsa.
Pola-pola operasionalisasi politik identitas ini dapat kita jumpai pada realitas yang
terjadi di masyarakat ditunjukkan dengan banyaknya perbenturan kepentingan dan fenomena
ego sektoral, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya
secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergeseranya pola
sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah
oleh konstituen di daerah masing-masing. Politik Identitas ini ditampakkan dengan maraknya
isu etnisitas dan gejala primordialisme yang diusung melalui isu “putra daerah” dalam
menduduki jabatan publik, isu etnis asli dan anti pendatang, dan isu etnis mayoritas dan
minoritas. Kedua, wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Dalam
konteks Indonesia politik identitas itu dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok
agama mayoritas dengan niat menyingkirkan kaum minoritas yang dianggapnya menyimpang
atau menyeleweng. Bersamaan dengan ini munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi
radikal yang berbaju Islam di Indonesia. Ketiga adalah wilayah hukum. Wilayah hukum yang
dimaksud adalah wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing
memiliki aturannya sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian
kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara
partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi dasar bagi hubungan politik identitas yang
dibangun sangatlah besar. Namun demikian, hal ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan
dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-
haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.
Berdasarkan pada ketiga pola operasionalisasi tersebut, politik identitas cenderung
mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa Indonesia.
Kemajukan dalam ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya
nasionalisme tidak pernah tuntas dalam proses pendefinisian tentang identitas ke-
Indonesiaan.
Issu Politik Identitas dan Nasionalisme dalam Pilkada 2017
Masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan kelompok masih jadi komoditas
politik. Dalam kontestan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 20117 ada yang berbeda
dibandingkan pilkada sebelumnya. Hal ini dikarenakan Issu sara dan agama menjadi ikon
politik dalam berbagai manufer kampanye. Penggunaan politik SARA dan keagamaan hal
dalam pilkada serentak 2017 dikarenakan munculnya salah satu kandidat Gubernur yang
beragama non islam dan dari kalangan minoritas. Dalam perhelatan pilkada 2017 terutama
Pilkada DKI Jakarta yang dipicu pasangan Basuki –Jarot menjadi titik awal tradisi politik
baru dalam sistem kampanye politik. Tradisi politik yang menguatkan politik SARA
membuat Indonesia akan kehilangan integritas kebangsaan yang digagas pendiri bangsa yang
tertuang dalam konsep Bhineka Tunggal Ika. Dengan kampanye Masing – masing kubu
pendukung menggunakan cara – cara yang kurang sehat dan saling menjatuhkan dengan
menggunkan kekuatan – kekuatan identitas seperti SARA yang melekat pada rakyat bangsa
Indonesia. Praktek politik tersebut sangat rentan konflik dan perpecahan sesama anak bangsa.
Politik SARA lebih mengeksploitasi perbedaan agama dan etnis bahkan ideologis dalam
meraup aspirasi masyarakat dalam proses mementukan pilihan politik. Proses politik yang
mengekploitasi issu – issu SARA, suku dan agama yang terjadi di perhelatan Pilkada DKI
Jakarta kemarin menjadi issu sentral awal dalam babak tradisi politik baru yang kemungkinan
berlanjut pada pilkada berikutnya bahkan ke pilpres 2019 nanti.
Berbeda dengan pilkada serentak yang digelar sebelumnya segala aktifitas kampanye
politik tidak mengarah pada politik SARA melainkan lebih cenderung pada orientasi politik
aliran yang menekankan afiliasi identitas keberagamaan (santri vs abangan) dalam
menentukan pilihan politik. Seperti halnya pada kontestan pilpres, Kemenangan pasangan
SBY-JK (60,62%) atas Megawati-Hasyim Muzadi (39,38%) pada putaran kedua Pilpres 2004
telah dipahami sebagai manifestasi senja kala politik aliran. Koalisi gerbong nasionalis dan
santri kala itu berhasil diatasi sosok SBY-JK yang akar ideologisnya mungkin kurang
mengakar dibandingkan Mega-Hasyim. Tesis ini teruji pada ajang Pilpres 2009. Gerbong
politik Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto tidak mampu mengimbangi magnet politik
SBY-Boediono yang meraup suara 60% lebih. Fenomena politik ini menandakan
berkurangnya signifikansi faktor sosiologis dalam menentukan perilaku pemilih sebagaimana
ditemukan Mujani dkk (2012).
Penulis :
Aktivis Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) Bogor.
Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur Lanskap, Institut
Pertanian Bogor (IPB)
Biodata Penulis
Nama : Wakyudi
Tempat, tgl lahir : Pandeglang, 14 -03-1987
Alamat : Kecamatan Cikeusik, Kab. Pandeglang Banten
Tempat Tinggal : Jln Batu Hulung KelurahanMarga Jaya, Kec. Bogor Barat, Kota
Bogor
No HP : 087773525980
Pedidikan :
1. SDN Sukamulya 1
2. SMPN 2 Cikeusik
3. SMAN 1 Wanasalam
4. S-1 Fakultas Pertanian UNTIRTA SERANG
5. S-2 Program studi Arsitektur Lanskap IPB - Bogor
Pengalaman Organisasi
1. Ikatan Mahasiswa Cilangkahan (IMC) Lebak
2. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang
3. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda Cibaliung (HMPC)
Pandeglang
4. Keluarga Mahasiswa Banten (KMB)-Bogor
5. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UNTIRTA
Pegalaman Kerja
1. Penyluh Pertanian Swadaya Masyarakat Pandeglang
2. Wartawan Harian Radar Banten.