Oleh :Wakyudi
Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara
bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik
ini juga mencatat eksistensi mereka dalam berbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi
Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama
1966, hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda (terpelajar) mampu menunjukkan
peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah
transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur
melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap
masyarakat di tingkatan basis struktur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai
meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan
common sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah
memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan yang
dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi 277.000
orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000 (252.000); tahun 2002 270.000 (250.000);
tahun 2003 245.000 (200.000); tahun 2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836).
Walaupun seorang akademisi berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan
tidak sepragmatis itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka. Sebagai negara
berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya
menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (human investment) merupakan
komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral
dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi selama ini diyakini mampu
menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika
lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung
meningkat per tahun. Secara umum, tingginya jumlah pengangguran seringkali diakibatkan oleh
ketidakmampuan dunia kerja mengakomodasi tenaga kerja produktif – dalam konteks ini,
lulusan perguruan tinggi. Penulis mencoba berpikir sebaliknya, tingginya jumlah pengangguran
lulusan perguruan tinggi dipicu oleh ketidakmampuan (baca: kegagalan) lulusan tersebut dalam
menciptakan lapangan kerja atau inovasi mandiri. Ada apa dengan sistem pendidikan
perguruan tinggi kita?
Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada
human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang
memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian
melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan
‘kemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa
segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya.
Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap
pembangunan melainkan menuntut membangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan
transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan
manusia kembali dari proses dehumanisasi.
Keterputusan ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh
Soekarno dalam pidatonya pada peresmian Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18
Maret 1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah
merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif membangun,
membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada bekal itu masih ada
dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu, adalah satu hal lain, satu dasar. Dan
yang dimaksudkan dengan perkataan dasar yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting
daripada ilmu pengetahuan”. Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam
menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu memosisikan
dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion penguat sistem yang telah
terbangun.
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered
development. Budaya riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna
yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan infrastruktur dan
finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian
Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
mengatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah
itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan
perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah mendorong
entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat
dalam pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala
regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah
karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari
jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih
baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat
pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi tenaga kerja tidak produktif
(pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan jiwa entrepreneurship sehingga
terjebak untuk taat (obedient) dalam iklim akademis non kritis transformatif.
Tulisan ini mengajak para pemuda bahwa betapa pentingnya peren intelektual muda
dengan modal idealismenya dan berbekal nalar kritis mampu berkontribusi dalam
pembangunan bangsa yang ideal.
Penulis :
Peneliti di Yuwana Skripta Institute
Biodata Penulis
Nama : Wakyudi
Tempat, tgl lahir : Pandeglang, 14 -03-1987
Alamat : Kecamatan Cikeusik, Kab. Pandeglang Banten
Tempat Tinggal : Jln Batu Hulung KelurahanMarga Jaya, Kec. Bogor Barat, Kota
Bogor
No HP : 087773525980
Pedidikan :
1. SDN Sukamulya 1
2. SMPN 2 Cikeusik
3. SMAN 1 Wanasalam
4. S-1 Fakultas Pertanian UNTIRTA SERANG
5. S-2 Program studi Arsitektur Lanskap IPB - Bogor
Pengalaman Organisasi
1. Tim Pendiri Ikatan Mahasiswa Cilangkahan (IMC) Lebak
2. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam HMI Kom. Untirta periode 2009
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang bidang
kewirausahaan dan pengembangan profesi
4. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda Cibaliung (HMPC)
Pandeglang
5. Keluarga Mahasiswa Banten (KMB)-Bogor
6. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UNTIRTA
Pegalaman Kerja
1. Penyluh Pertanian Swadaya Masyarakat Pandeglang
2. Wartawan Harian Radar Banten.
3. Konsultan Lingkungan dan Enginering
4. Konsulta perencana dan arsitektur pertamanan