Anda di halaman 1dari 6

MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL DAN KAUM TERPELAJAR

Oleh :Wakyudi

Setiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia selalu merayakan hari kebangkitan


nasional. Hari kebangkitan nasional bagi segenap lapisan masyarakat
Indonesia dianggap penting dikarenakan cikal bakal lahirnya
kebangsaan Indonesia yang dilanjutkan dengan momentum
sumpah pemuda. Dimasa sebelum kemerdekaan kaum intelektual
terutama para kalangan terpelajar muda memiliki posisi terhormat
dimata kemanusiaan hingga mampu mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Posisinya cemerlang berangkat dari kekuatan ekpresif membela rakyat Indonesia yang
tertindas. Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah pergerakan – pergerakan pra kemerdekaan
yang dipelopori para mahasiswa STOVIA melalui gerakan Budi Utomo, cita cita kemerdekaan
Indonesia pertama kali dicetuskan orang orang terpelajar seperti Dowes Dekker,
Tjiptomangunkusumo dll. Perhimpunan Indonesia di Negara Belanda merupakan arena
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di neraga kincir tersebut. Sumpah pemuda yang merupakan cikal bakal persatuan
negara Indonesia terbentuk tahun 1928 dipelopori kaum muda dan terpelajar.
Tidak terlepas dari peranannya, ketertarikan untuk mengupas keterkaitan masalah
peranan pemuda dan kaum intelektual dewasa ini, melihat dari sisi aktual dan pundamental
peranannya dikancah proses perjalanan bangsa Indonesia. Secara aktual di Indonesia terjadi
himpunan militer dan inteleketual dalam menggerakan roda pemerintahan negara, peranan
yang makin besar yang dimainkan kaum terpelajar di Indoensia dalam masalah – masalah
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti paham-paham gerakan politik tanah air
kebanyakan diintrodusir oleh kaum terpelajar dan masalah – masalah perjuangan
keagamaan perlu peranan kaum terpelajar juga dildalamnya. Adapun secara pundamental
sedemikian besarnya peranan perubahan sosial dimainkan para kaum terpelajar. Melihat
kondisi kedua potensi tersebut, tinjauan pembahasan peran intelektual muda merupakan
penting sebagai lokomotif teoritis menuju perubahan yang pundamental secara nilai dan
aktual dalam menjawab persoalan pembangunan bangsa hari ini.

MODAL INTELEKTUAL DALAM PEMBANGUNAN


Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab yang penting dan karenanya
akan semakin menjadi suatu tumpuan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi
pembangunan. Penyimpulan seperti ini didasari di atas temuan-temuan tentang kinerja
organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-
intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen).
Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada
konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh
Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005). Menyikapi
mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau
kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena
pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan.
Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan
pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya
Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga
kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud
membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam
masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi
aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan
juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang
paling powerful (dalam Bontis 2005).
Konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu, terjadi juga pergeseran model
perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan Edvinsson
2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996).
Perekonomian yang berat- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu karakteristik
kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan, dan 3) pembelajaran dan
kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi struktur yang lebih datar, dan modal
sosial. Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for
Development untuk mendorong perkembangan negara-negara ke arah knowledge economy.
Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau
mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan
kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat
signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya
dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi
perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul
pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di
era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara
komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan
muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan
berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai
sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan
pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset
tak-wujud (intangible assets). Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan
bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan
basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan
Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia
berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya. Dalam wacana pencarian cara untuk
unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika
pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi
adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan
keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan
secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang
dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan
tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin
and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing
harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan
memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang
dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam
istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.
Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang
kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh
karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual
ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk
mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun
formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.

DILEMA KEBANGKITAN KAUM TERPELAJAR MUDA MODERN

Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara
bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik
ini juga mencatat eksistensi mereka dalam berbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi
Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama
1966, hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda (terpelajar) mampu menunjukkan
peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah
transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur
melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap
masyarakat di tingkatan basis struktur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai
meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan
common sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah
memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan yang
dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi 277.000
orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000 (252.000); tahun 2002 270.000 (250.000);
tahun 2003 245.000 (200.000); tahun 2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836).
Walaupun seorang akademisi berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan
tidak sepragmatis itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka. Sebagai negara
berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya
menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (human investment) merupakan
komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral
dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi selama ini diyakini mampu
menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika
lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung
meningkat per tahun. Secara umum, tingginya jumlah pengangguran seringkali diakibatkan oleh
ketidakmampuan dunia kerja mengakomodasi tenaga kerja produktif – dalam konteks ini,
lulusan perguruan tinggi. Penulis mencoba berpikir sebaliknya, tingginya jumlah pengangguran
lulusan perguruan tinggi dipicu oleh ketidakmampuan (baca: kegagalan) lulusan tersebut dalam
menciptakan lapangan kerja atau inovasi mandiri. Ada apa dengan sistem pendidikan
perguruan tinggi kita?
Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada
human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang
memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian
melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan
‘kemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa
segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya.
Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap
pembangunan melainkan menuntut membangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan
transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan
manusia kembali dari proses dehumanisasi.
Keterputusan ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh
Soekarno dalam pidatonya pada peresmian Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18
Maret 1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah
merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif membangun,
membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada bekal itu masih ada
dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu, adalah satu hal lain, satu dasar. Dan
yang dimaksudkan dengan perkataan dasar yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting
daripada ilmu pengetahuan”. Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam
menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu memosisikan
dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion penguat sistem yang telah
terbangun.
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered
development. Budaya riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna
yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan infrastruktur dan
finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian
Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
mengatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah
itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan
perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah mendorong
entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat
dalam pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala
regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah
karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari
jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih
baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat
pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi tenaga kerja tidak produktif
(pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan jiwa entrepreneurship sehingga
terjebak untuk taat (obedient) dalam iklim akademis non kritis transformatif.
Tulisan ini mengajak para pemuda bahwa betapa pentingnya peren intelektual muda
dengan modal idealismenya dan berbekal nalar kritis mampu berkontribusi dalam
pembangunan bangsa yang ideal.

Penulis :
Peneliti di Yuwana Skripta Institute
Biodata Penulis

Nama : Wakyudi
Tempat, tgl lahir : Pandeglang, 14 -03-1987
Alamat : Kecamatan Cikeusik, Kab. Pandeglang Banten
Tempat Tinggal : Jln Batu Hulung KelurahanMarga Jaya, Kec. Bogor Barat, Kota
Bogor
No HP : 087773525980
Pedidikan :
1. SDN Sukamulya 1
2. SMPN 2 Cikeusik
3. SMAN 1 Wanasalam
4. S-1 Fakultas Pertanian UNTIRTA SERANG
5. S-2 Program studi Arsitektur Lanskap IPB - Bogor
Pengalaman Organisasi
1. Tim Pendiri Ikatan Mahasiswa Cilangkahan (IMC) Lebak
2. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam HMI Kom. Untirta periode 2009
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang bidang
kewirausahaan dan pengembangan profesi
4. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda Cibaliung (HMPC)
Pandeglang
5. Keluarga Mahasiswa Banten (KMB)-Bogor
6. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UNTIRTA
Pegalaman Kerja
1. Penyluh Pertanian Swadaya Masyarakat Pandeglang
2. Wartawan Harian Radar Banten.
3. Konsultan Lingkungan dan Enginering
4. Konsulta perencana dan arsitektur pertamanan

Anda mungkin juga menyukai