Anda di halaman 1dari 4

SOAL UJIAN :

1. Jelaskan mengapa pengertian konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian
konsumen di beberapa Negara lainnya ?

2. Mengapa di Indonesia debitor yang masih memiliki harta yang cukup banyak (solven)
dapat dipailitkan, bandingkan dengan ketentuan kepailitan di Amerika Serikat ?

3. Bagaimana perbedaan perdamaian (accord) dalam rangka kepailitan di Indonesia


dengan Negara lainnya, berikan penjelasan ?

4. Apakah yang menjadi latar belakang penerapan asas Cabotage dalam hukum
pengangkutan laut di berbagai Negara ?
NAMA : FAISAL HADI PINEM
NIM : 197005144
DOSEN PENGAMPU : Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum
MATA KULIAH : Perbandingan Hukum Dagang

1. Jelaskan mengapa pengertian konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian
konsumen di beberapa Negara lainnya ?
Jawaban : dikarenakan ada beberapa faktor diantaranya, terkait dengan sistem ketatanegaraan
di Indonesia dengan negara lain yang berbeda, budaya masyarakat, produk, konsumennya,
dan juga disebabkan karena perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam
kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetery
Fund(IMF), dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian
perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap pemerintah Indonesia untuk melakukan
harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan. Maka dari
itu terjadi perbedaan penegrtian konsumen Indonesia yang lebih sempit daripada negara lain
di dunia.

2. Mengapa di Indonesia debitor yang masih memiliki harta yang cukup banyak (solven)
dapat dipailitkan, bandingkan dengan ketentuan kepailitan di Amerika Serikat ?
Jawaban : Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU mengatur syarat
debitur dapat dinyatakan pailit yaitu: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Longgarnya syarat mengajukan permohonan pailit merupakan kelalaian pembuat
Undang-Undang dalam merumuskan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan tidak adanya
persyaratan “tidak mampu membayar”, maka kreditor dapat dengan mudah mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa harus membuktikan bahwa perusahaan dalam keadaan
tidak mampu. Mudahnya syarat kepailitan tersebut, memungkinkan risiko terjadinya kerugian
ekonomi yang dapat dialami oleh debitor apabila kepailitan tidak dilakukan secara hati-hati.
Mengingat dampak akibat kepailitan tersebut, seharusnya kepailitan diupayakan sebagai
pintu terakhir proses penyelesaian utang piutang antara debitor dengan kreditor-kreditornya.
Hal tersebut turut ditekankan oleh Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa kepailitan
seyogianya merupakan “ultimum remedium” atau sebagai solusi terakhir.
Berbeda dengan negara Amerika Serikat yang menerapkan sistem tes insolvensi
(insolvency test), yaitu sistem suatu metode yang dilakukan untuk menentukan tingkat
kesehatan usaha debitor, yang nantinya akan dijadikan suatu ukuran apakah debitor tersebut
layak untuk dipailitkan atau tidak. Namun, prosedur ini belum diaplikasikan di Indonesia.
3. Bagaimana perbedaan perdamaian (accord) dalam rangka kepailitan di Indonesia dengan
Negara lainnya, berikan penjelasan ?
Jawaban : Bahwa perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses kepailitan.
Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah “akkoord” (bahasa
Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “composition”.
Pasal 144 UU KPKPU menentukan bahwa Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu
perdamaian kepada semua Kreditor. Pada dasarnya perdamaian dalam proses kepailitan pada
prinsipnya sama dengan perdamaian dalam pengertian yang umum, yang intinya terdapatnya
”kata sepakat” antara para pihak yang bertikai. Jadi, kata kuncinya adalah “kata sepakat”.
Untuk perdamaian dalam proses kepailitan, kata sepakat tersebut diharapkan terjadi antara
pihak debitor dan para kreditornya terhadap rencana perdamaian (composition plan) yang
diusulkan oleh debitor.
Prosedur & Pengaturan Pengajuan Rencana Perdamaian, yaitu Perdamaian dalam UU
KPKPU diatur dalam Pasal 144 sampai dengan Pasal 177. Pengajuan Perdamaian dilakukan
paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang. Rencana perdamaian
disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap
orang yang berkepentingan. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil
keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang tersebut
dilakukan penundaan. Serangkaian perkembangan Undang-Undang Kepailitan di Amerika
Serikat, Inggris, Australia maupun Jerman menunjukkan perubahan yang sama, yaitu
mengarahkan kepada suatu proses untuk memaksimalkan nilai on-going business dan
mempertahankan keuntungan sosial dari eksistensi bisnis, serta meningkatkan tagihan-
tagihan yang dimiliki oleh para kreditor.
Debitor di Swiss dapat membuat perdamaian dengan kreditor yang isinya adalah
penundaan pembayaran utang, pembayaran persentase tertentu kepada kreditor konkuren,
penyerahan semua atau sebagian aset debitor kepada parakreditor. Inti penundaan
pembayaran utang adalah perdamaian. Penyerahan semua atau sebagian aset debitor kepada
para kreditor adalah inti dari perdamaian tersebut.

4. Apakah yang menjadi latar belakang penerapan asas Cabotage dalam hukum
pengangkutan laut di berbagai Negara ?
Jawaban : Lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 merupakan awal dari lahirnya
prinsip Asas Cabotage di Indonesia. Lahirnya prinsip Asas Cabotage tertuang didalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 8, yaitu: (1) Kegiatan
angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan
menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal
berkewarganegaraan Indonesia. (2)Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau
barang antarpulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Dengan lahirnya
prinsip ini, Pemerintah mengharuskan kepada perusahaan pelayaran dalam negeri untuk
memiliki kapal berbendera Indonesia/memiliki kapal sendiri dan menggunakan jasa anak
buah kapal dalam negeri. Tujuan Pemerintah menerapkan Asas Cabotage ini adalah untuk
menjadikan kapal-kapal berbendera Indonesia menjadi raja diperairan lautnya sendiri. Selain
itu, dengan lahirnya Asas Cabotageini, diharapkan pelayaran di Indonesia menjadi semakin
baik dan kondusif. Sehingga tidak ada lagi pihak asing yang ikut berperan dalam industri
pelayaran Indonesia. Lebih lanjut, bahwa Lahirnya Asas Cabotage didasari oleh terbitnya
Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional
dan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Instruksi Presiden Nomor 5
tahun 2005 menekankan untuk menerapkan Asas Cabotage secara konsekuen dan
merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan
kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran nasional.

Anda mungkin juga menyukai