Anda di halaman 1dari 12

Pendekatan Sosiologi Hukum Teori Eugen Ehrlich Terhadap Kebakaran Hutan di

Provinsi Riau

Faisal Hadi Pinem


Mahasiswa Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Hukum sebagai produk budaya selalu ada di setiap masyarakat, baik masyarakat tradisional
maupun masyarakat primitif. Hukum berkembang dan tumbuh dalam masyarakat itu sendiri.
Hukum tidak dibentuk, namun hukum ditemukan. Oleh karena itu, setiap masyarakat
mempunyai hukum yang telah hidup dan tumbuh bersama tumbuh dan berkembangnya
masyarakat. Hukum tersebut disebut sebagai The living law. Pendekatan sosiologis terhadap
hukum merupakan usaha untuk memahami hukum dari segi tingkah laku sosial masyarakat.
Pandangan sosiologis terhadap hukum bukan berdasarkan analisis terhadap produk hukum
secara normatif, melainkan melihat hukum dari sisi perilakunya. Dalam konsepnya, Ehrlich
berpendapat bahwa hukum yang hidup dan baik itu adalah berasal dari rakyat atau hukum
yang relevan sesuai kehendak rakyat. Pembangunan haruslah mampu untuk menjaga
keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat
senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Hutan menjadi bagian hidup, dari sebagian masyarakat
berpandangan bahwa hutan merupakan tempat mereka lahir, tumbuh, berkembang, sumber
kehidupan dan akhir hidupnya. Eksistensi pemanfaatan hutan dan lahan harus sesuai apa yang
termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Usaha perlindungan hutan adalah
suatu usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan akibat pendudukan hutan secara
tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusaha hutan yang
tidak bertanggungjawab, penambangan liar, pencurian kayu dan penebangan tanpa izin,
penggembalaan ternak dan akibat kebakaran, gangguan hama, dan penyakit serta daya alam.

1
A. PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Di Indonesia permasalahan lingkungan hidup kurang mendapat perhatian, sebagai
negara berkembang tentu banyak permaslaahan-permasalahan yang dihadapi seperti
pembangunan infrastruktur, peningkatkan jumlah penduduk dan persoalan ekonomi. Namun
tidak pula melupakan batasan-batasan dalam melakukan pembangunan, harus memperhatikan
asas-asas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan agar tidak sampai
merusak dan mencemar terhadap lingkungan hidup, sebagaimana yang tercantum dalam pasal
2 UUPLH No 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas : tanggung jawab negara, kelestarian dan
keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadialn,
ekoregion, keanekaragaman hayati pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata
kelola pemerintahan yang baik, dan otonomi daerah. Maka dengan memperhatikan asas-asas
tersebut diharapkan pembangunan yang dilakukan dapat berdampak positif bagi lingkungan
dan masyarakat.
Hutan adalah salah satu karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pemanfaatannya harus
mengacu pada landasan konstitusional, yaitu ketentuan dalam pasal 33 Undang Undang
Dasar 1945. Sebagaimana dipahami, sumber daya hutan semakin hari semakin berkurang.
Pada perspektif ekoniomis, di tengah kian terbatasnya sumber daya hutan serta terjadinya
kecenderungan penurunan manfaat ekonomi sektor kehutanan.1 Oleh karena itu, pengelolaan
hutan sangat penting untuk dilakukan bermanfaat untuk mengetahui sejauhmana pemanfaatan
dan penggunaan kawasan hutan tersebut.
Kawasan Hutan yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 2 Hutan menjadi bagian
hidup, dari sebagian masyarakat berpandangan bahwa hutan merupakan tempat mereka lahir,
tumbuh, berkembang, sumber kehidupan dan akhir hidupnya. Eksistensi pemanfaatan hutan
dan lahan harus sesuai apa yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Namun pada kenyataannya pemanfaatan hutan sebagai penyokong perekonomian
cenderung dirusak dan di eksploitasi sebesar-besarnya tanpaa melihat dampak yang terjadi

1
Djoni, “Hukum Progresif Sebagai Pencegahan Malpraktik Kehutanan di Indonesia”, Jurnal
Cakrawala Hukum, Vol.5, No.2 Desember 2014, hlm. 123–136, Hal. 124
2
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 1 ayat 2

2
kepada hutan dan masyarakat itu sendiri. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
merumuskan pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di berbagai daerah Indonesia akhir-akhir ini,
khususnya di Provinsi Riau merupakan sebuah bencana tahunan yang sangat
memprihatinkan, sehingga sangat perlu ditangani secara serius oleh semua pihak. Tindakan
pembakaran hutan dan lahan tersebut telah menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi seperti biasanya dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Lebih dari 300 titik api yang ada di Riau dalam tahun 2015 berada dalam wilayah
konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan. 3 Kebakaran hutan dan lahan juga
telah menyebabkan udara bercampur dengan asap, yang menyebabkan jarak pandang menjadi
terganggu, kualitas udara menurun dan beberapa warga mengalami gangguan kesehatan
seperti iritasi mata dan ISPA.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penulisan hukum ini penulis
memberikan suatu pengetahuan akan suatu hal yang patut diangkat menjadi sebuah penelitian
dengan judul “Pendekatan Sosiologi Hukum Teori Eugen Ehrlich Terhadap Kebakaran
Hutan di Provinsi Riau”.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pendekatan sosiologi hukum teori eugen ehrlich terhadap kebakaran
hutan di provinsi riau ?

3
Eko Ardiansyah Pandiangan, “Penerapan Prinsip Strict Libility Dalam Pertanggungjawaban
Korporasi Yang Dianggap Bertanggungjawab Atas Kebakaran Hutan di Provinsi Riau”, Artikel Jurnal JOM,
Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume III Nomor 2, Oktober 2016, Hal. 2.

3
C. Pembahasan

Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Dan perkembangan ini


berkaitan dengan sifat hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Dimana ada
masyarakat maka disitu pula pasti akan tercipta hukum, baik secara disengaja ataupun tidak
disengaja, secara tertulis ataupun tidak tertulis. Karena masyarakat pada hakikatnya terus
berubah dan berkembang dari waktu ke waktu, maka tidak menutup kemungkinan selalu ada
persoalan baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat tersebut.
Keterlibatan publik dalam setiap penentu kebijakan, keputusan hukum dan kekuasaan
dapat memiliki daya laku yang efektif ketika sebuah peraturan atau kebijakan tersebut
memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Fenomena yang terjadi terhadap kerusakan
lingkungan dengan peristiwa kebakaran hutan dimasyarakat yang sering terjadi, banyak
faktor yang mempengaruhi, cenderungnya faktor yang terjadi disebabkan oleh empat hal
yaitu peraturannya, penegak hukum, sarana dan prasarana, dan masyarakat itu sendiri.
Manusia bermasyarakat, hidup di dalam apa yang dinamakan situasi sosial dan situasi
alam. Situasi sosial merupakan suatu keadaan, di mana terdapat hubungan timbal balik antara
manusia. Adanya situasi sosial tersebut, dapat dikembalikan pada paling sedikit tiga faktor,
yaitu Naluri manusia untuk hidup bersama dengan manusia, Keinginan untuk menyesuaikan
diri dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosialnya. Keinginan untuk menyesuaikan
diri dengan alam sekelilingnya.4
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur
yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemafaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah. Menurut
Kusumaatmadja,5 pengembangan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di
Indonesia, lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada konsep law as o tool of
social engereering itu sendiri.
Penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai
instrumen perlindungan hutan belum berhasil secara maksimal melindungi hutan dari
kerusakan akibat perbuatan manusia. Temuan penelitian menunjukkan, satu di antara banyak

4
Atang Hermawan Usman, Artikel Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30, No. 1, Februari 2014, Hal. 29.
5
Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. (Bandung: Binacipta, 1976), h. 9-
10.

4
sebab kegagalan hukum positif dalam perlindungan hutan disebabkan kurang kesadaran
hukum ditengah masyarakat, pemerintah, dan stakeholder.
Peraturan Gubernur Riau No. 27 Tahun 2014 Tentang Prosedur Tetap Pengendalian
Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau menjelaskan Tahapan
Pelaksanaan Pengendalian Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan dimulai dari:
1. Mitigasi
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh
dari suatu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Pada permasalahan ini, mitigasi yang harus
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru antara lain yakni mengecek kondisi
peralatan kesehatan, agar ketika terjadinya bencana kabut asap tidak lagi kekurangan
peralatan seperti persediaan ambulan,masker,obatobatan, dan tenaga medis.
2. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah suatu bentuk dasar dari sikap antisipasi terhadap suatu kejadian
yang akan berlangsung. Kesiapsiagaan pada permasalahan ini yakni bagaimana Pegawai
Dinas Kesehatan melakukan pelatihan, sosialisasi tentang penanggulangan dampak kabut
asap kebakaran hutan.
Hal ini disebabkan masyarakat desa penyangga menganggap tanggungjawab
perlindungan hutan merupakan kewenangan aparatur kepolisian kehutanan. Kebijakan
perlindungan hutan dengan mengakomodir nilai hukum kehutanan lokal, dapat meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat dan akan memudahkan pemerintah dalam membangun jaringan
komunikasi massa, baik secara vertikal maupun horizontal.6 Implikasi lebih lanjut akan
memudahkan pemerintah dalam pengendalian sosial dan politik di daerah. Karena itu, dalam
perlindungan hutan, seyogyanya pemerintah memperhatikan kemajemukan nilai-nilai hukum
lokal yang hidup dalam masyarakat sebagai living law, sehingga pelaksanaan perlindungan
hutan tercapai secara maksimum.
Lunturnya rasa memiliki hutan yang selama ini melekat pada jiwa setiap individu
warga masyarakat yang bermukim di desa-desa penyangga kawasan hutan. Kalau saja warga
sekitar hutan dilibatkan dalam pemeliharaan hutan sekitarnya, merekalah yang bergerak cepat
dan melaporkan setiap perbuatan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya. Akan tetapi
karena sistem hukum perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat sekitar
hutan, maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasus perambahan hutan, meskipun
mereka mengetahuinya.

6
Muhammad Yamani, “Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal di Enam Komunitas Adat
Daerah Bengkulu”, Artikel Jurnal Hukum, No. 2, vol. 18, april 2011: 175 – 192, Hal. 177

5
Namun, Peraturan Gubernur tersebut masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana
yang diharapkan dari peraturan terhadap masyarakat. Dengan banyaknya dampak dari
kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau yang hampir setiap tahun sekali, maka perlu
adanya kesadaran bersama antar masyarakat, pemerintah dan stakeholder dalam perlindungan
dan pengelolaan hutan. Lemahnya budaya masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup
menunjukkan bahwa tidak adanya pemahaman yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk
sosialisasi hukum dan pencegahan kebakaran hutan.

Pendekatan Sosiologi Hukum


Masyarakat yang berbudaya selalu menghasilkan hukumnya masing-masing. Setiap
masyarakat menghasilkan tipe dan jenis hukumnya sendiri. Setiap masyarakat selalu
mencitrakan hukumnya sesuai dengan budaya kemasyarakatan masing-masing. Karenaya,
setiap masyarakat selalu menghasilkan tradisi hukum yang berbeda dengan masyarakat
lainnya, misalkan tradisi hukum civil law dan common law memiliki perbedaan karakteristik
yang disebabkan kedua tradisi hukum tersebut berkembang dan tumbuh dalam kehidupan
kebudayaan masyarakat yang berbeda. Dari dasar pemikiran tersebut, setiap masyarakat
mempunyai the living law yang sudah berkembang dan tumbuh semenjak masyarakat
terbentuk.
Kesadaran hukum didalam masyarakat sangat lemah atau hukum yang diterapkan
tidak mencerminkan budaya sosial di masyarakat, sehingga terjadi ketidakharmonisan antar
peraturan dengan masyarakat. Padahal didalam masyarakat sudah ada aturan-aturan yang
menjadi pedoman masyarakat dalam menjaga ekosistem hutan yang disebut dengan hukum
lokal. Konsepsi hutan dalam hukum lokal mengandung falsafah hidup bahwa segala jenis
makhluk hidup dalam hutan, baik yang berupa tumbuhan, binatang, bahkan makhluk ghaib
masing-masing memiliki fungsi dan peranan tersendiri, yang secara bersinergi menjaga
keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam.7
Keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam semesta dalam hubungannya dengan
fungsi hutan, seperti tidak terjadi banjir, longsor, kekeringan, memelihara kesuburan tanah,
dan mencegah terjadinya bencana alam lain yang dapat mengganggu ketentraman dan
kedamaian hidup seluruh anggota komunitas, seperti wabah penyakit menular dan gangguan
binatang buas. Hukum lokal menempatkan status hukum kepemilikan hutan sebagai hak
milik komunal setiap masyarakat hukum lokal.

7
Muhammad Yamani, Ibid, Hal. 182.

6
Untuk melihat secara objektif terhadap fenomena kebakaran hutan di Provinsi Riau,
maka bentuk yang paling ojektif menilainya adalah sosiologi hukum. Sebab sosiologi hukum
memiliki karakteristik untuk melihat gejala sosial yang terjadi.
Dalam hal ini Rahardjo menjelaskan karakteristik studi hukum secara sosiologis
sebagai berikut:
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-
praktek hukum. Apabila praktek-praktek itu dibeda-bedakan ke dalam
pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga
mempelajari, bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang
tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktek yang
demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar
belakangnya dan sebagainya.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari
suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimanakah dalam kenyataannya
peraturan itu?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan?.
Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan
pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang
tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya
dengan data (empiris).
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku
yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan
objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain.
Perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek
yang dipelajarinya. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan
mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk
memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.8

Pandangan ahli Sosiologi Hukum Eugen Ehrlich

The living law lahir dari pergaulan hidup masyarakat yang secara materil
dipraktekkan secara terus menerus dan kemudian masyarakat tersebut menaatinya
berdasarkan moral duty, bukan karena coercive dari yang berdaulat.9

8
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 332-333.
9
Syofyan Hadi, “Hukum positif dan the living law (eksistensi dan keberlakuannya dalam
masyarakat)”, Artikel Jurnal DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 13 Nomor 26 Agustus 2017, Hal. 259.

7
Keterlibatan publik dalam setiap penentu kebijakan, keputusan hukum dan
kekuasaan dapat memiliki daya laku yang efektif ketika sebuah peraturan atau kebijakan
tersebut memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Maka dalam hal ini seperti gagasan Eugen
Ehrlich, seorang yuris berkebangsaan Austria penganut legal pluralism yang
memperkenalkan konsep living law of the people (hukum yang hidup dari rakyat). 10 Dalam
konsepnya, Ehrlich berpendapat bahwa hukum yang hidup dan baik itu adalah berasal dari
rakyat atau hukum yang relevan sesuai kehendak rakyat. Pembangunan haruslah mampu
untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada
dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang
maupun masa yang akan datang.11
Usaha perlindungan hutan adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan
hutan akibat pendudukan hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari
fungsinya, dan pengusaha hutan yang tidak bertanggungjawab, penambangan liar, pencurian
kayu dan penebangan tanpa izin, penggembalaan ternak dan akibat kebakaran, gangguan
hama, dan penyakit serta daya alam.
Ehrlich adalah seorang yuris yang berpikir mengenai basis sosial dari hukum.
Baginya hukum berasal dari fakta sosial dan bergantung tidak pada otoritas negara tetapi
pada kompulsi-kompulsi yang ada dalam masyarakat, walaupun asosiasi ini memiliki
karakteristik dari kompulsi. Menurut Ehrlich, sumber hukum yang sebenarnya bukanlah
peraturan perundang-undangan dan juga bukan kasus-kasus tetapi aktivitas dari masyarakat
itu sendiri.12 Ada sebuah hukum yang hidup dalam masyarakat yang mendasari aturan formal
dari sistem hukum yang ada. Oleh karena itu, ia melihat bahwa pusat dari keberadaan hukum
adalah masyarakat itu sendiri.
Pernyataan Ehrlich yang populer, yaitu: “The center of gravity of legal development
lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.”
Menurut Ehrlich, perkembangan hukum tidak terdapat dalam undang-undang, tidak juga
dalam ilmu hukum, dan tidak juga dalam putusan pengadilan, melainkan dalam masyarakat
sendiri. Karenanya, bagi Eugen Ehrlich hukum negara (state law) bukan merupakan sesuatu
yang independen dari faktor-faktor kemasyarakatan. Hukum negara harus memperhatikan the
living law yang telah hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat.
10
Wahyu Nugroh dan Agus Surono, “Rekonstruksi Hukum Pembangunan Dalam Kebijakan
Pengaturan Lingkungan Hidup Dan Sumber Daya Alam”, Artikel Jurnal Hukum Lingkungan, Vol.4, Issue 2,
Februari 2018, Hal. 78.
11
Pan Mohamad Faiz , “Perlindungan terhadap Lingkungan dalam Perspektif Konstitusi”, Artikel
Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016, Hal. 774.
12
Syofyan Hadi, Loc. Cit, Hal. 261.

8
Oleh karena itu, dalam penanganan kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau
haruslah mengutama perlindungan dan pencegahan kebakaran hutan. Regulasi peraturan yang
dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat lokal. Pendekatan-pendekatan secara sosiologis
pada hakikatnya senantiasa bersifat anti-formal. Hal ini dihubungkan dengan pandangannya
terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan normatif dalam masyarakat, yaitu yang tidak hanya
diselenggarakan oleh hukum yang diambil dari sumber-sumber formal. Jika dihubungkan
dengan pandangan Ehrlich yang menyatakan bahwa sumber hukum yang sebenarnya
bukanlah peraturan perundang-undangan dan juga bukan kasus-kasus tetapi aktivitas dari
masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak
pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri.
Olehnya itu hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Pendekatan sosiologis terhadap hukum merupakan usaha untuk memahami hukum
dari segi tingkah laku sosial masyarakat. Dalam hal ini, pandangan sosiologis terhadap
hukum bukan berdasarkan analisis terhadap produk hukum secara normatif, melainkan
melihat hukum dari sisi perilakunya. Hukum bisa menjadi a tool of social engineering jika
semua elemen baik pembuat hukum, penegak hukum, masyarakat dan semua unsur terkait
saling menunjang untuk menciptakan budaya hukum yang memiliki nilai-nilai keadilan bagi
semua pihak. Dan penegakan hukum seharusnya tidak sekedar menurut aturan normatif
(seperti yang termuat dalam undang-undang), tapi juga harus melihat hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat itu sendiri, dan inilah yang disebut dengan paradigma hukum
sosiologis.
Perlindungan hutan dalam hukum lokal bertujuan untuk mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, dan
mempertahankan hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Pola perlindungan
hutan dalam hukum lokal didasarkan pada aturan-aturan hukum lokal berupa tabu dan
larangan, dan dilakukan melalui tindakan preventif berupa pembentukan aturan, penyuluhan
dan pengawasan, dan represif berupa penjatuhan sanksi.
Penegak hukum sama halnya seperti masyarakat biasa yang memiliki kedudukan dan
peranan secara bersamaan, sehingga satu sisi penegak hukum menerapkan perundang-undang
dan dilain pihak dalam hal melakukan diskresi di dalam keadaan-keadaan tertentu yang di
pengaruhi penilaian pribadi.
Hukum dan tata hukum (rechtsorde) dicipta oleh manusia untuk mengorganisasi dan
menata kebersamaan hidup antar manusia. Hukum dan tata hukum niscaya menyesuaikan diri
9
dengan realitas manusia.13 Tiap realitas seperti apa adanya itulah yang merupakan kebenaran,
bukan pendapat subjektif manusia mengenai realitas. Manusia yang satu selalu dalam relasi
saling tergantung pada manusia yang lain dan pada lingkungan tempat dia hidup.
Evaluasi hukum, berdasarkan pembaruan hukum untuk yang lebih baik, tujuannya
agar hukum itu menjadi efektif. Seperti diketahui, efektivitas hukum berkaitan dengan
peranan hukum sebagai alat atau instrument untuk tujuan politik reformasi yang demokratis
berdasarkan UUD 1945 dengan melaksanakan nilai-nilai atau waarborg dari prinsip negara
hukum.
Di dalam ilmu hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan
perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan schagai penilaian hukum yang timbul secara serta
merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. 14 Kesadaran hukum lebih
banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah
dila kukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-
nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hokum yang
diharapkan ada.
Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai tentang fungsi
hukum dan bukan terhadap kejadiankejadian yang konkret dalam masyarakat yang
bersangkutan. Bila demikian, kesadaran hukum menekankan tentang nilai-nilai masyarakat
tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa persoalannya di sini kembali kepada
masalah dasar dari validitas hukum yang berlaku, yang akhirnya harus dikembalikan pada
nilai-nilai masyarakat.
Alhasil, dengan mengambil dan melaksanakan nilai-nilai prinsip negara hukum
tersebut, ditambah dengan hukum yang hidup di tengah rakyat (Living law of the people),
maka evaluasi hukum dan perundang-undangan akan menghasilkan politik pembaruan
hukum untuk yang lebih baik, sesuai keadilan dan hak asasi manusia, persamaan, pluralisme,
dan sebagainya.15 Jika dilihat dari aspek sosiologis dan antropologis, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk dengan beranekaragam budaya, agama, adat istiadat.
Karenanya, ada berbagai hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, misalkan hukum
adat dan hukum islam.

13
Riri Nazriyah, “Peranah Cita Hukum dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum, No.
20, VOL. 9, Juni 2002:. 136 – 151, Hal. 139
14
Atang Hermawan Usman, Loc. Cit, Hal. 35
15
Atang Hermawan Usman, Ibid, Hal. 50

10
Kekuatan pengaruh Ehrlich terletak pada kemampuannya untuk mendorong para ahli
hukum mengabaikan cengkeraman pemahaman hukum secara betul-betul abstrak, dan
menarik perhatian mereka kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang
bisa dilontarkan terhadap pendapat Ehrlich yang demikian itu adalah, bahwa ilmu hukum
yang dilahirkannya menjadi tanpa bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari
hukum itu tenggelam, dan menuntun kepada kematian ilmu tersebut.
Jadi sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia sudah memiliki The living
law. Bahkan, telah terjadi pluralisme hukum dimana setiap masyarakat hukum telah memiliki
hukum masing-masing dengan corak dan karakteristik tersendiri. Penjajahan Belanda di
Indonesia sedikit banyak mempengaruhi. Untuk melihat hukum yang hidup, yang dipakai
untuk menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak dapat hanya
memandang kepada bahan-bahan dan dokumen-dokumen formal saja, melainkan perlu terjun
sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatanya.

D. Penutup
Hukum sebagai produk budaya selalu ada di setiap masyarakat, baik masyarakat
tradisional maupun masyarakat primitif. Hukum berkembang dan tumbuh dalam masyarakat
itu sendiri. Hukum tidak dibentuk, namun hukum ditemukan. Oleh karena itu, setiap
masyarakat mempunyai hukum yang telah hidup dan tumbuh bersama tumbuh dan
berkembangnya masyarakat. Hukum tersebut disebut sebagai The living law. Namun seiring
tumbuh dan berkembangnya negara-negara modern, The living law cenderung dihilangkan
dan diganti dengan hukum positif, yakni law as a command of souvereign backed by
sanction. The living law tidak dianggap sebagai hukum. Bahkan dalam tradisi civil law,
hukum positif (undang-undang) merupakan sumber hukum utama. Indonesia sebagai bekas
jajahan Belanda juga dipengaruhi oleh tradisi civil law di atas, karenanya hukum positif juga
dijadikan sebagai sumber hukum utama. Namun demikian, dalam sistem hukum Indonesia
The living law masih diakui dengan batas-batas tertentu. Misalkan dalam penegakan hukum
berkewajiban untuk menggali rasa hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat,
pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak-haknya tradisionalnya, pengakuan hak ulayat
dan sebagainya.

11
Daftar Pustaka

Atang Hermawan Usman, Artikel Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30, No. 1, Februari
2014

Djoni, “Hukum Progresif Sebagai Pencegahan Malpraktik Kehutanan di Indonesia”,


Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.5, No.2 Desember 2014, hlm. 123–136

Eko Ardiansyah Pandiangan, “Penerapan Prinsip Strict Libility Dalam


Pertanggungjawaban Korporasi Yang Dianggap Bertanggungjawab Atas Kebakaran Hutan
di Provinsi Riau”, Artikel Jurnal JOM, Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume III Nomor
2, Oktober 2016.

Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. (Bandung:


Binacipta, 1976)

Muhammad Yamani, “Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal di Enam


Komunitas Adat Daerah Bengkulu”, Artikel Jurnal Hukum, No. 2, vol. 18, april 2011: 175 –
192

Pan Mohamad Faiz , “Perlindungan terhadap Lingkungan dalam Perspektif


Konstitusi”, Artikel Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016

Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006)

Riri Nazriyah, “Peranah Cita Hukum dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Jurnal
Hukum, No. 20, VOL. 9, Juni 2002:. 136 – 151

Syofyan Hadi, “Hukum positif dan the living law (eksistensi dan keberlakuannya
dalam masyarakat)”, Artikel Jurnal DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 13 Nomor 26 Agustus
2017

Wahyu Nugroh dan Agus Surono, “Rekonstruksi Hukum Pembangunan Dalam


Kebijakan Pengaturan Lingkungan Hidup Dan Sumber Daya Alam”, Artikel Jurnal Hukum
Lingkungan, Vol.4, Issue 2, Februari 2018

12

Anda mungkin juga menyukai